“Kamu serius mau memberikan William kepadaku? Bukankah kamu menyukainya?” tanya Nikita waktu itu, dua hari sebelum dia menemui William.“Perasaanku sudah nggak penting, yang penting, om Will bisa bangkit. Tolong bantu dia,” jawab Alexandra.Apakah dia sudah untuk meminta bantuan pada Nikita? Mengapa dia harus menyerahkan lelaki yang sebenarnya tinggal selamgkah bisa dia miliki?“Kamu yakin? Kamu nggak akan cemburu kan melihat pernikahanku dengan William nantinya?”“Tentu saja.”“Termasuk jika aku memiliki anak dari William?”Sontak Alexandra mendongak, dia menatap Nikita dengan pandangan ragu. Ia pikir Nikita tidak menyukai William.Nikita tertawa. “Kenapa kamu melihatku seperti itu? Bukankah wajar kalau aku memiliki anak dari suamiku?”Alexandra tidak menjawab.“Tapi… tante akan menolongnya, kan?”“Jika dia sudah menjadi suamiku, tentu saja aku akan membantunya. Mana mungkin aku membiarkan suamiku mengalami kesulitan.”“Baiklah, itu sudah cukup.”“Aku harap kamu nggak akan menyesal,
Setelah kejadian itu Nikita selalu pulang malam. William merasa jika Nikita sedang menghindarinya. Tetapi William tak yakin alasan apa yang membuat Nikita menjauhinya.Hingga lima hari kemudian Nikita akhirnya pulang normal. Dengan wajah yang kurang tidur, dia duduk di sofa dan menyalakan televisi.William keluar dari kamar terkejut melihat bayangan Nikita duduk di atas sofa.“Akhirnya aku bisa melihatmu di rumah ini,” kata William dengan nada sedikit menyindir.“Yah, akhirnya aku menyelesaikan sedikit masalahku.” Nikita mengambil sebuah undangan dari dalam tasnya kemudian memberikannya pada William.“Apa ini?” tanya William sambil membolak-balikkan undangan yang dia pegang. Wajahnya menegang saat melihat nama ayah Lisa di undangan tersebut.“Mantan ayah mertuamu mengundang kita untuk datang ke acar ulang tahunnya,” jelas Nikita dengan wajah sedikit bingung. “Aku yakin undangan ini jelas bukan untukku. Karena aku sendiri nggak kenal dekat dengan mantan mertuamu.”“Bagaimana kalau kita
Alexandra mendekati Rafael yang terlihat tengah mencarinya. Wajah lelaki itu menunjukkan perasaan lega saat mendapati Alexandra muncul di hadapannya.“Kamu dari mana?” tanya Rafael sambil melihat ke sekelilingnya.“Habis dari toilet,” jawab Alexandra berbohong, ia tak mungkin mengatakan jika dirinya baru saja bertemu dengan William.“Sebaiknya kita pulang sekarang,” kata Rafael yang menunjukkan gelagat anehnya. Alexandra tidak bertanya apapun dan menurut apa kata Rafael.Mereka berdua berjalan ke arah tempat parkir, di sana Alexandra masih bisa melihat mobil William. Bahkan lelaki itu membuka sedikit kaca jendela hingga menampakkan sedikit wajahnya.Gadis itu sedikit terkejut sebelum akhirnya disadarkan oleh Rafael yang memintanya untuk naik.Perasaan Alexandra bercampuraduk. Dalam hatinya ia ingin bersama dengan William. Akan tetapi, keadaannya saat ini tidak memungkinkan untuk bersama dengan lelaki itu.Dia dengan status bertunangan dengan Rafael, dan William yang berstatus menikah
“Lex!” Rafael membuka pintu belakang dan mendapati Alexandra sedang berdiri dengan canggung dan menatapnya aneh.“Kamu baik baik aja, kan?” tanya Rafael dan melihat ke sekelilingnya. “Aku denger kamu lagi ngobrol, sama siapa?”“Oh itu… sama warga sini tadi.”“Tumben udah malam mereka masih di luar.”“Ya.. gitu lah.” Alexandra berjalan ke arah pintu dan mengajak Rafael untuk masuk, meski Rafael sesekali masih melihat ke belakang untuk memastikan apakah ada orang lain di rumahnya.“Kamu pasti capek di jalan, sebaiknya tidur aja,” kata Rafael.Alexandra meneguk minuman dari gelasnya kemudian mengangguk.“Iya, aku mau tidur,” sahut Alexandra.Saat Alexandra hendak membuka pintu kamarnya. Lengannya tiba tiba dipegang oleh Rafael.“Kapan kamu mau membuka hatimu untukku, Lex?” tanya Rafael.Alexandra hanya tersenyum canggung.“Aku tau kita cuma pura pura tunangan, tapi apa nggak ada kesempatan buatku untuk menikahimu?”Sontak Alexandra menatap rafael terkejut.“Bukankah kita udah setuju, kal
Alexandra menatap rumah kecil itu dari mobil William. Pandangannya kosong dan tubuhnya seakan tidak memiliki nyawa. Wajahnya terlihat pucat dengan tangan masih gemetaran.William melepaskan jasnya kemudian memakaikannya kepada Alexandra. Alexandra menoleh lalu membuang wajahnya karena malu terhadap William.“Kita pulang,” kata William.Terdengar suara sesenggukan dari arah Alexandra. William hanya diam dan tak bertanya apa apa pada gadis itu, membiarkan Alexandra untuk melepaskan rasa penat di dalam dadanya.Karena kapal feri tersedia masih besok pagi, akhirnya William dan Alexandra tidur di dalam mobil di dekat dermaga. Mereka tidak mau berada di dekat rumah itu karena hanya akan membuat Alexandra semakin terluka dan trauma.“Kamu tidurlah, aku nggak akan tidur, untuk jaga jaga,” kata William agar Alexandra bisa tidur dengan tenang.Alexandra mengangguk, dia merendahkan kursinya agar bisa berbaring sementara William memandang sekitarnya dengan waspada.Ponselnya bergetar, Nikita akhi
“Maksudmu, ini semua ada hubungannya dengan ayah Lisa?”Alexandra mengangguk.“Terserahlah, yang aku tau lelaki itu brengsek, entah ada kaitannya dengan ayahnya Lisa atau tidak. Aku nggak akan memaafkannya. Aku nggak akan biarkan dia ketemu sama kamu lagi.“Dan aku masih nggak ngerti, kenapa kamu nggak mau aku laporin polisi.”“Aku malu, Om,” kata Alexandra. “Biarin aja.” Suara Alexandra melunak, seakan dia tidak memiliki kepercayaan diri lagi untuk menghadapi semuanya.**Nikita menoleh ke arah pintu ketika terdengar suara pintu dibuka dari luar. Kemudian tak lama dia melihat William datang tapi tidak sendiri… melainkan dengan Alexandra.Nikita tersenyum sambil melambaikan tangannya, sementara satu tangannya memegang cangkir berisi kopi.“Kamu harus segera siap siap,” kata Nikita. “Kita akan rapat di hotel.”“Kenapa kamu mendadak sekali bilangnya?” Meski begitu William bergegas menuju kamarnya, membersihkan dirinya lalu tak lama keluar sudah rapi dengan kemeja dan jasnya yang bersih.
Alexandra menimbang saran dari Ethan, tapi tinggal di rumahnya sebenarnya tidak menyelesaikan masalah apapun. Namun, di sisi lain dia juga harus memiliki seseorang yang bisa melindunginya, mengingat ayah Lisa yang terus berusaha untuk menghancurkannya atas apa yang sudah menimpa Lisa.“Lex?” Panggilan dari Ethan memutus pikirannya. Dia hanya tersenyum tipis kepada kakak sepupunya tersebut.“Pikir baik baik ya, aku harus masuk sekarang. Nanti kamu kabarin aku kalau kamu udah yakin.”Alexandra mengangguk dan mengamati kepergian Ethan dengan gamang.Di sisi lain, Nikita terus mendengus di dalam mobil. Dia berkali-kali melirik ke arah William yang terlihat begitu gusar.“Itu sama saja kamu hampir terbunuh, dan kamu nggak melaporkan hal ini?” tanya Nikita.“Alexandra nggak mau aku melakukannya.”“Alasannya?”William diam.Nikira mendengus lagi.“Sudahlah yang terpenting aku sudah bisa datang ke tempat rapat tadi.”“Tapi aku yakin kejadian ini akan terulang lagi, aku nggak percaya kalau kam
Pintu kamar Alexandra diketuk oleh Ethan, dia mengusap wajahnya dengan punggung tangannya lalu membuka pintu.Ethan terlihat terkejut melihat Alexandra seperti habis menangis.“Kamu kenapa?” tanya Ethan.Alexandra menggeleng, dia sudah tidak melihat keberadaan Ashley di ruang tamu.“Dia udah pulang,” jelas Ethan mengetahui Alexandra mencari keberadaan Ashley.“Aku bawa makanan waktu nganter Ashley pulang tadi,” kata Ethan. “Nasi goreng. Kamu belum makan, kan?”“Iya.”“Kalau begitu keluar, kita makan di ruang makan.”Alexandra mengikuti Ethan ke ruang makan. Di sana sudah ada dua bungkus nasi goreng. Alexandra membuka bungkusannya, meski lapar dia tak memiliki nafsu makan saat ini.“Makan, kamu harus punya tenaga buat menjalani hidup,” kata William.Alexandra mengangguk dan mulai menyendok nasi goreng dan menyuapkan ke dalam mulutnya. Perasaan tak enak meliputi dirinya saat ini. Apakah ini ada kaitannya dengan William?“Besok aku mau ke rumah lama, ambil beberapa pakaianku,” kata Alexa