Alexandra pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya. Dia datang sendiri, tapi nanti akan dijemput oleh William.Semakin hari dia merasa takut jika kejadian beberapa tahun silam akan terjadi lagi. Bagaimana kalau dia melahirkan kemudian koma? Lalu menghilang dari William selama enam tahun seperti dulu?Alexandra tak mau hal itu terjadi, dia tak ingin William dan anak anaknya sendirian di dunia ini.Ketika dia memikirkan hal itu, William masuk ke lobi rumah sakit. Setelah melihat Alexandra dia pun menghampiri gadis itu.“Kamu mikir apa?” tanya William pada Alexandra yang terlihat sedang melamun.Alexandra mendongak kemudian tersenyum.“Nggak ada,” jawabnya berbohong.“Kamu nggak bisa bohong. Kenapa?” William duduk di sebelah Alexandra lalu memandang wajah istrinya itu dari samping.“Aku takut,” kata Alexandra pelan.William diam.“Aku takut kalau sampai aku koma lagi. Aku sempat bahagia bisa hamil anakmu. Tapi aku lupa jika aku pernah mengalami hal yang sangat mengerikan saat
Jam lima sore Evan sudah sampai di apartemennya. Namun, dia merasa aneh ketika tidak mendapati Arini ada di mana mana. Padahal biasanya gadis itu menyambutnya saat pulang dari kantor.“Ke mana gadis itu, tumben nggak heboh,” gumam Evan.Tapi, Evan kemudian teringat kejadian tadi siang.“Jangan jangan … dia pergi gara gara tadi,” gumam Evan lagi. “Ah aku nggak peduli.”Hening.Terdengar suara air mengalir dari kamar mandi.“Arini!” panggil Evan.“Om? Om udah pulang!” teriak Arini yang berasal dari arah kamar mandi.“Kamu ada di mana!”“Kamar mandi Om! Aku di sini udah mau dua jam!”“Kenapa kamu di sana?”“Aku terkunci di dalam. Tolong aku!”Evan pun gegas ke arah kamar mandi. Rupanya kunci kamar mandi rusak dan tak bisa dibuka dari dalam.Ketika Evan membuka pintu, terlihat bayangan Arini yang sedang mengenakan handuk sampai dadanya. Sementara rambutnya yang basah tergerai panjang.Arini mematung di depan Evan, pun dengan Evan.Hingga beberapa detik kemudian Arini keluar dari kamar ma
Evan dan Arini sedang duduk di hadapan ibu Evan. Wanita paruh baya itu memindari Arini dari atas sampai bawah.“Kamu pacar Evan?” tanyanya.Arini terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Dia menoleh ke arah Evan lalu mengangguk.“Iya… tante,” jawab Arini gugup.“Sejak kapan? Kenapa kamu tidak pernah bilang pada ibumu Evan?”“Itu… karena masih baru, maka dari itu. Evan belum berani bilang. Ibu nanti menyuruhku menikah kan kalau bilang aku punya pacar?”“Kamu sudah tidak muda lagi, berapa umurmu sekarang? Sudah gak pantas kamu pacaran dengan gadis muda. Nikahi dia atau kamu ibu jodohkan dengan perempuan lain.”Mata Evan membul;at. Dia pikir jika dirinya mengatakan jika Arini adalah kekasihnya maka dia akan selamat dari perjodohan.Tapi menikah? Bukankah ini terlalu jauh?“Bu… mana mungkin… ““Apanya yang mana mungkin. Ibu sengaja ngasih kamu kebebasan tapi kammu gak pernah ngenalin ibu sama wanita. Tapi sekarang kamu malah tau tau tidur sama gadis ini. Dan gak ada niatan buat menikahinya
Evan menatap Arini dengan penuh perhatian, mencoba memastikan keputusan Arini. "Apakah kamu yakin dengan keputusan ini, Arini? Aku gak ingin kamu merasa terpaksa."Arini mengangguk mantap. "Iya, aku yakin. Ini adalah solusi terbaik untuk situasi kita saat ini. Aku percaya kita bisa membuat ini berfungsi."Evan tersenyum lega mendengar keputusan Arini. "Baiklah, kalau begitu aku akan menyusun kontrak pernikahan untuk kita. Aku akan menjamin keamanan dan kenyamananmu selama lima tahun ke depan."Arini tersenyum kecil. "Terima kasih, Om Evan. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjalani peran ini dengan baik."Mereka berdua kemudian duduk bersama untuk membahas detail-detail pernikahan kontrak mereka, merencanakan masa depan yang akan mereka jalani bersama.Pasal pertama pernikahan mereka, Evan dan Arini tak harus tidur bersama. Pasal kedua Arini dan Evan tidak boleh menyakiti perasaan satu sama lain. Pasal ketiga jika ingin mengakhiri kontrak pernikahan, jika keduanya setuju mak
Arini dan Evan menjenguk Sophia hari itu. Mata Arini berbinar saat melihat anak Alexandra. Dalam hatinya dia juga ingin memiliki satu anak seperti Sophia. "Kamu kapan akan menyusul?" goda Alexandra pada Arini yang tak tahu jika hubungan antara Evan dan Arini hanyalah pernikahan kontrak. "Nurut aja sama om Will, Kak," jawab Arini."Wah! Sophia begitu cantik, ya," ujar Arini sambil tersenyum kepada Alexandra. Dia sengaja ingin mengalihkan pembicaraan. Tak mau membahasnya karena ada Evan di sana. Alexandra mengangguk. "Iya, dia anugerah terindah dalam hidup kami. Kamu pasti akan memiliki anak yang sama cantiknya suatu hari nanti."Arini tersenyum tipis, namun dalam hatinya merasa sedih. Dia tahu bahwa kehamilannya tidak mungkin terjadi, karena hubungannya dengan Evan hanya sebatas pernikahan kontrak. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya dan mencoba untuk tetap tersenyum.Evan melihat ekspresi Arini yang sedikit tertekan. "Kamu baik-baik saja, Rin?"Arini mengangguk
Saat pesta pernikahan Arini dan Evan berlangsung, tiba-tiba seorang lelaki tampan dan elegan masuk ke dalam ruangan. Dia tersenyum melihat Arini dan segera melangkah mendekat. Namun, yang membuat suasana tegang adalah senjata tajam yang tersembul dari balik jasnya."Arini, maaf aku terlambat datang. Tapi aku tidak bisa melewatkan kesempatan untuk mengucapkan selamat pada hari spesialmu," kata Edward dengan nada tenang, sambil menarik Arini agar berdiri dari kursinya.Arini terkejut melihat senjata yang dibawa oleh Edward. Dia melirik ke arah Evan, yang terlihat mematung di tempatnya dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan kekhawatiran."Evan, jangan lakukan apa-apa! Aku baik-baik saja," ucap Arini cepat, mencoba menenangkan Evan.Evan berdiri perlahan, menatap tajam ke arah Edward. "Apa yang kamu inginkan, lepaskan dia!"Edward tersenyum sinis. "Aku ingin Arini kembali padaku, bukan menikah denganmu. Aku tahu bahwa dia masih mencintaiku. Jadi, lebih baik kamu tidak menghalangi
Arini merasa panik ketika mobil yang dikemudikan oleh Edward semakin menjauh dari tempat pesta pernikahan. Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi kekhawatirannya semakin memuncak ketika dia menyadari bahwa dia sedang dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya.Edward tidak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan. Arini mencoba mencari peluang untuk melarikan diri, tetapi dia sadar bahwa dia tidak bisa melawan sendirian. Dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang mencekam.Setelah beberapa saat, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan mewah. Edward membawa Arini masuk ke dalam rumah tersebut tanpa berkata apa-apa. Arini mencoba untuk tetap tenang, tetapi ketakutan yang dirasakannya membuatnya gemetar.Di dalam rumah, Arini dibawa ke sebuah ruangan yang gelap. Edward menutup pintu dan duduk di depan Arini dengan tatapan dingin. "Kau tahu mengapa aku membawamu ke sini, kan?" ucap Edward dengan suara yang dingin.Arini menelan ludahnya. "Apa yang kau in
Arini duduk tegak di dalam kamar yang gelap dan hening. Dia merasa terjebak dalam situasi yang mencekam dan tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi tersebut. Mendadak, pintu terbuka dan Edward masuk membawa sebuah piring makanan."Dengar, Arini. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Silakan makan," ucap Edward dengan suara yang tenang, lalu dia duduk di depan Arini.Arini menatap piring makanan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa menolak akan membuat situasinya semakin buruk, tetapi dia juga tidak ingin bergantung pada Edward.Tanpa kata, Arini menerima piring makanan itu dari tangan Edward. Dia mencoba untuk memakannya dengan lambat, tetapi perasaannya yang campur aduk membuatnya kesulitan menelan makanan. Akhirnya, rasa mual yang teramat sangat membuatnya tidak tahan lagi, dan dia memuntahkan semua makanan yang sudah dimakan ke piring di hadapannya.Edward terkejut melihat tindakan Arini. "Kenapa kau melakukan itu, Arini? Aku mencoba untuk memperlakukanmu de