Satu minggu setelah kejadian itu. Acara untuk bertemu dengan orangtua Nikita dan nenek Alexandra pun akhirnya terlaksana.Alexandra yang sudah berdandan di salon malam sore itu dijemput oleh William.Pertemuan pertama dia akan menemui orangtua Nikita dan selanjutnya akan menemui neneknya sendiri.“Aku gugup,” kata Alexandra sambil mengambil napasnya dalam dalam.“Jangan gugup. Semuanya akan baik baik saja.” William mengenggam tangan Alexandra dengan erat untuk menenangkannya.“Nenek akan setuju kan Om?”“Tentu. Nenek sudah banyak berubah.”“Tapi aku takut kalau nenek berubah pikiran.”“Jangan berpikiran buruk. Aku sudah memastikannya.”Alexandra tersenyum.Sesampainya di hotel tempat ibunya menginap. Alexandra terdiam cukup lama di dalam mobil.“Kenapa? Ibu sudah menunggu lama.”“Padahal dia juga nenekku, tapi kenapa aku sangat asing,” gumam Alexandra.William tertawa.“Sudah, jangan buat dia menunggu lebih lama, atau dia akan berubah pikiran.”Alexandra pun turun. Dia berjalan bersam
Satu bulan kemudian …William dan Alexandra akhirnya sudah sah menjadi suami istri. Setelah perjalanan panjang yang mereka lalui selama ini.Kini, Alexandra tinggal di rumah di mana dulu Nikita berada. Di sana dia mengurus Abraham dan Fiona.Pagi itu Alexandra sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya bersama dengan pembantu. Hal itu kini sudah dia biasa lakukan setelah dia resmi menjadi istri William. Bahkan dia belajar memasak untuk menyenangkan hati suaminya tersebut.Suara langkah dari tangga membuat Alexandra menoleh. William sedang menuruni tangga sambil membenarkan dasinya.“Hari ini mungkin aku datang agak terlambat,” kata William saat duduk di kursi meja makan.“Ada urusan pekerjaan?” tanya Alexandra.“Bukan. Aku harus pergi ke acara pemakaman seseorang.”Mendengar hal itu Alexandra pun terkejut. Dia ingin bertanya tapi ragu untuk mengungkapkannya.“Adik tiriku,” kata William saat melihat Alexandra memasang wajah tanda tanya.Adik tiri? Alexandra pernah mendengarnya
Beberapa puluh tahun yang lalu …Seorang wanita menggandeng tangan seorang lelaki kecil di sebelahnya. Anak kecil itu mengeluh kelaparan karna sudah satu hari tidak makan.“Theo, kamu tunggu di sini,” kata wanita itu.“Ibu mau ke mana?”“Ibu akan cari makan.”“Theo ikut,” rengeknya. Pakaiannya lusuh dan compang camping. Wajahnya kotor karena debu dan asap kendaraan waktu itu.“Kamu harus menurut sama ibu, kamu harus di sini.”“Tapi Theo takut Bu.”“Nggak apa apa. Nggak akan terjadi apa apa.”Kemudian suara gerimis rintik hujan pun turun. Anak lelaki itu dibawa pergi di depan sebuah emperan toko yang sudah lama tidak terpakai.“Tunggu di sini, ibu akan cari makan.”William kecil pun menurut apa kata ibunya saat itu. Usianya yang masih kecil membuatnya percaya jika ibunya akan datang membawa makanan untuknya.Wanita itu melangkahkan kakinya perlahan lalu meninggalkannya. Masuk ke sebuah mobil di mana sudah ada seorang laki laki yang menunggunya.“Kenapa harus ditinggal di sana,” kata le
“Nanti ibu akan pulang kalau Alexandra akan melahirkan,” kata ibu William saat turun dari mobil. “Jaga dia baik baik.”William mengangguk sambil tersenyum dan melepas kepergian ibunya dengan tenang.Sementara itu Evan yang sejak tadi berada di kursi kemudi melihat bayangan William melalui spion di depannya.“Alexandra hamil? Kamu serius?” tanya Evan tak percaya.“Ya, baru dua minggu.”“Hebat!”“Makanya, kamu juga harus segera menikah.”“Dengan siapa? Aku nggak pernah berkencan. Tapi selamat ya kamu akan menjadi ayah lagi,” kata Evan.Sebenarnya William tahu jika Alexandra hamil belum lama ini, waktu itu dia melihat gelagat Alexandra yang tidak biasa. Perempuan itu selalu merasa mual dan muntah setiap pagi.Hingga dia bertanya ada apa dengan istrinya, kemudian Alexandra mengatakan jika dia sedang hamil saat ini.“Aku sebenarnya mau memberimu kejutan, tapi kamu sudah tahu duluan,” kata Alexandra waktu itu.“Sekarang pun aku masih terkejut,” balas William.“Jangan beritahu anak anak dulu
Sepulang mengantarkan William malam itu, Evan kembali dengan mobil yang akan dipakai untuk menjemput William besok pagi.Perkataan William membuatnya terus memikirkannya. Kapan dia akan menikah dan memiliki seorang anak? Sementara William sebentar lagi akan memiliki tiga anak, sementara dia masih sendirian.Jujur saja Evan ingin memiliki istri. Atau mungkin kekasih, tapi hal itu tak mungkin karena dia selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja dan bekerja. Sempat dia berpikir untuk mengikuti kencan buta yang sudah diatur oleh temannya. Namun dia selalu ragu karena melihat William yang selalu mendapatkan masalah ketika bersama dengan wanita.“Tapi kali ini aku harus berani,” kata Evan dalam hati.Akhirnya dia menghubungi temannya lagi dan memintanya untuk mengatur kencan buta.“Aku ingin wanita yang sederhana saja,” kata Evan di telepon. “Foto yang terakhir kamu kirimkan dia terlalu mencolok.”Teman yang di ujung teleponnya tertawa.“Baiklah baiklah, akan aku pilihkan wanita yang sede
Evan masih belum terbiasa dengan keadaan apartemennya yang rapi dan terurus. Bahkan makan malamnya yang sudah tersaji di atas meja pun dia masih tidak menyangka.Akan tetapi, mau sampai kapan Arini berada di apartemennya?“Kamu sudah pikirkan mau bekerja di mana?” tanya Evan saat makan malam yang ditemani oleh Arini.“Iya sudah.”“Di mana?”“Di sini,” jawabnya.“Di sini? Maksud kamu di apartemenku? Kamu mau bekerja jadi apa?” tanya Evan terkejut.“Jadi pembantu di sini sampai… sampai kapan ya?”Evan mengembuskan napasnya perlahan. Jawaban Arini benar benar membuatnya tak habis pikir.“Tapi kan …”“Saya udah nggak ada orangtua dan kakak saya masuk penjara. Saudara dari ibu bapak saya nggak peduli sama saya.”“Iya iya, kamu udah bilang itu berkali-kali. Tapi masalahnya, aku jarang di apartemen. Memangnya pekerjaan apa yang kamu lakukan? Lagi pula kamu masih muda,” kata Evan.Ya, Arini masih terlalu muda untuk menjadi pembantu di rumahnya. Apalagi gadis itu juga terlihat cerdas, mengapa
Alexandra pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya. Dia datang sendiri, tapi nanti akan dijemput oleh William.Semakin hari dia merasa takut jika kejadian beberapa tahun silam akan terjadi lagi. Bagaimana kalau dia melahirkan kemudian koma? Lalu menghilang dari William selama enam tahun seperti dulu?Alexandra tak mau hal itu terjadi, dia tak ingin William dan anak anaknya sendirian di dunia ini.Ketika dia memikirkan hal itu, William masuk ke lobi rumah sakit. Setelah melihat Alexandra dia pun menghampiri gadis itu.“Kamu mikir apa?” tanya William pada Alexandra yang terlihat sedang melamun.Alexandra mendongak kemudian tersenyum.“Nggak ada,” jawabnya berbohong.“Kamu nggak bisa bohong. Kenapa?” William duduk di sebelah Alexandra lalu memandang wajah istrinya itu dari samping.“Aku takut,” kata Alexandra pelan.William diam.“Aku takut kalau sampai aku koma lagi. Aku sempat bahagia bisa hamil anakmu. Tapi aku lupa jika aku pernah mengalami hal yang sangat mengerikan saat
Jam lima sore Evan sudah sampai di apartemennya. Namun, dia merasa aneh ketika tidak mendapati Arini ada di mana mana. Padahal biasanya gadis itu menyambutnya saat pulang dari kantor.“Ke mana gadis itu, tumben nggak heboh,” gumam Evan.Tapi, Evan kemudian teringat kejadian tadi siang.“Jangan jangan … dia pergi gara gara tadi,” gumam Evan lagi. “Ah aku nggak peduli.”Hening.Terdengar suara air mengalir dari kamar mandi.“Arini!” panggil Evan.“Om? Om udah pulang!” teriak Arini yang berasal dari arah kamar mandi.“Kamu ada di mana!”“Kamar mandi Om! Aku di sini udah mau dua jam!”“Kenapa kamu di sana?”“Aku terkunci di dalam. Tolong aku!”Evan pun gegas ke arah kamar mandi. Rupanya kunci kamar mandi rusak dan tak bisa dibuka dari dalam.Ketika Evan membuka pintu, terlihat bayangan Arini yang sedang mengenakan handuk sampai dadanya. Sementara rambutnya yang basah tergerai panjang.Arini mematung di depan Evan, pun dengan Evan.Hingga beberapa detik kemudian Arini keluar dari kamar ma
Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
William tiba di apartemennya setelah seharian kerja. Saat ia memasuki ruang tamu, ia melihat Alexandra tertidur pulas di balkon. Bulan purnama menerangi wajah muda Alexandra yang tenang. William menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkannya. "Dingin sekali di sini," gumam William sambil menyelimuti Alexandra dengan lembut. Gadis itu merasa hangat dan sedikit menggeliat, tetapi tetap tertidur.Setelah meyakinkan diri bahwa Alexandra nyaman dengan selimutnya, William memutuskan untuk membopongnya ke dalam kamar. Tubuh Alexandra yang ringan membuatnya mudah diangkat. Langkahnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur Alexandra yang lelap. Sampai di dalam kamar, William meletakkan Alexandra dengan lembut di atas tempat tidur. Ia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian sejenak, lalu menutup pintu kamar perlahan ketika meninggalkannya untuk tidur dengan tenang.--Malam itu, Alexandra terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia tampak gelisah, terli
Evan duduk gelisah di ruang tamu rumahnya, memikirkan nasib Arini yang belum diketahui keberadaannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Arini. Ponselnya tiba-tiba berdering, mengagetkannya. Dia buru-buru mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari nomor polisi.Evan mengangkat telepon, "Halo, ini Evan.""Halo, Pak Evan. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa Arini telah ditemukan. Dia sedang dirawat di rumah sakit setelah mengalami kejadian yang traumatis. Anda bisa menjemputnya di sana."Evan merasa lega, "Oh, syukurlah. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera ke sana."Evan segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia langsung menuju ruang perawatan tempat Arini berada. Dia melihat Arini terbaring di tempat tidur, tampak lemah dan pucat, tetapi dia merasa lega melihat Arini selamat.Evan duduk di samping tempat tidur Arini. "Arini. Bagaimana kabarmu?"Arini dengan suara lemah. "
Polisi setelah menerima laporan penculikan dari Evan, segera melakukan penyelidikan dan menemukan keberadaan rumah Edward. Dengan sigap, mereka menggerebek rumah tersebut dengan harapan menemukan Arini.Saat polisi memasuki rumah, mereka menemukan Edward sedang berusaha untuk melarikan diri melalui pintu belakang. Dengan cepat, polisi mengejar dan berusaha menghentikannya. Namun, Edward menolak untuk menyerah dan terus berlari.Dalam keputusasaan, salah satu polisi memutuskan untuk menembak ke arah kaki Edward untuk menghentikannya. Peluru tersebut mengenai kakinya, membuat Edward jatuh tersungkur ke tanah dengan rasa sakit yang luar biasa.Polisi segera menangkap Edward dan memeriksanya untuk memastikan dia tidak membawa senjata atau bahaya lainnya. Setelah yakin aman, mereka membawanya ke mobil patroli dan membawanya ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut.Sementara itu, Arini telah dibawa pulang oleh pria yang menolongnya di hutan. Dia merasa lega karena telah sela
Arini duduk tegak di dalam kamar yang gelap dan hening. Dia merasa terjebak dalam situasi yang mencekam dan tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi tersebut. Mendadak, pintu terbuka dan Edward masuk membawa sebuah piring makanan."Dengar, Arini. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan. Silakan makan," ucap Edward dengan suara yang tenang, lalu dia duduk di depan Arini.Arini menatap piring makanan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa menolak akan membuat situasinya semakin buruk, tetapi dia juga tidak ingin bergantung pada Edward.Tanpa kata, Arini menerima piring makanan itu dari tangan Edward. Dia mencoba untuk memakannya dengan lambat, tetapi perasaannya yang campur aduk membuatnya kesulitan menelan makanan. Akhirnya, rasa mual yang teramat sangat membuatnya tidak tahan lagi, dan dia memuntahkan semua makanan yang sudah dimakan ke piring di hadapannya.Edward terkejut melihat tindakan Arini. "Kenapa kau melakukan itu, Arini? Aku mencoba untuk memperlakukanmu de
Arini merasa panik ketika mobil yang dikemudikan oleh Edward semakin menjauh dari tempat pesta pernikahan. Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi kekhawatirannya semakin memuncak ketika dia menyadari bahwa dia sedang dibawa ke suatu tempat yang tidak diketahuinya.Edward tidak mengucapkan sepatah kata pun selama perjalanan. Arini mencoba mencari peluang untuk melarikan diri, tetapi dia sadar bahwa dia tidak bisa melawan sendirian. Dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang mencekam.Setelah beberapa saat, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan mewah. Edward membawa Arini masuk ke dalam rumah tersebut tanpa berkata apa-apa. Arini mencoba untuk tetap tenang, tetapi ketakutan yang dirasakannya membuatnya gemetar.Di dalam rumah, Arini dibawa ke sebuah ruangan yang gelap. Edward menutup pintu dan duduk di depan Arini dengan tatapan dingin. "Kau tahu mengapa aku membawamu ke sini, kan?" ucap Edward dengan suara yang dingin.Arini menelan ludahnya. "Apa yang kau in