Beberapa puluh tahun yang lalu …Seorang wanita menggandeng tangan seorang lelaki kecil di sebelahnya. Anak kecil itu mengeluh kelaparan karna sudah satu hari tidak makan.“Theo, kamu tunggu di sini,” kata wanita itu.“Ibu mau ke mana?”“Ibu akan cari makan.”“Theo ikut,” rengeknya. Pakaiannya lusuh dan compang camping. Wajahnya kotor karena debu dan asap kendaraan waktu itu.“Kamu harus menurut sama ibu, kamu harus di sini.”“Tapi Theo takut Bu.”“Nggak apa apa. Nggak akan terjadi apa apa.”Kemudian suara gerimis rintik hujan pun turun. Anak lelaki itu dibawa pergi di depan sebuah emperan toko yang sudah lama tidak terpakai.“Tunggu di sini, ibu akan cari makan.”William kecil pun menurut apa kata ibunya saat itu. Usianya yang masih kecil membuatnya percaya jika ibunya akan datang membawa makanan untuknya.Wanita itu melangkahkan kakinya perlahan lalu meninggalkannya. Masuk ke sebuah mobil di mana sudah ada seorang laki laki yang menunggunya.“Kenapa harus ditinggal di sana,” kata le
“Nanti ibu akan pulang kalau Alexandra akan melahirkan,” kata ibu William saat turun dari mobil. “Jaga dia baik baik.”William mengangguk sambil tersenyum dan melepas kepergian ibunya dengan tenang.Sementara itu Evan yang sejak tadi berada di kursi kemudi melihat bayangan William melalui spion di depannya.“Alexandra hamil? Kamu serius?” tanya Evan tak percaya.“Ya, baru dua minggu.”“Hebat!”“Makanya, kamu juga harus segera menikah.”“Dengan siapa? Aku nggak pernah berkencan. Tapi selamat ya kamu akan menjadi ayah lagi,” kata Evan.Sebenarnya William tahu jika Alexandra hamil belum lama ini, waktu itu dia melihat gelagat Alexandra yang tidak biasa. Perempuan itu selalu merasa mual dan muntah setiap pagi.Hingga dia bertanya ada apa dengan istrinya, kemudian Alexandra mengatakan jika dia sedang hamil saat ini.“Aku sebenarnya mau memberimu kejutan, tapi kamu sudah tahu duluan,” kata Alexandra waktu itu.“Sekarang pun aku masih terkejut,” balas William.“Jangan beritahu anak anak dulu
Sepulang mengantarkan William malam itu, Evan kembali dengan mobil yang akan dipakai untuk menjemput William besok pagi.Perkataan William membuatnya terus memikirkannya. Kapan dia akan menikah dan memiliki seorang anak? Sementara William sebentar lagi akan memiliki tiga anak, sementara dia masih sendirian.Jujur saja Evan ingin memiliki istri. Atau mungkin kekasih, tapi hal itu tak mungkin karena dia selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja dan bekerja. Sempat dia berpikir untuk mengikuti kencan buta yang sudah diatur oleh temannya. Namun dia selalu ragu karena melihat William yang selalu mendapatkan masalah ketika bersama dengan wanita.“Tapi kali ini aku harus berani,” kata Evan dalam hati.Akhirnya dia menghubungi temannya lagi dan memintanya untuk mengatur kencan buta.“Aku ingin wanita yang sederhana saja,” kata Evan di telepon. “Foto yang terakhir kamu kirimkan dia terlalu mencolok.”Teman yang di ujung teleponnya tertawa.“Baiklah baiklah, akan aku pilihkan wanita yang sede
Evan masih belum terbiasa dengan keadaan apartemennya yang rapi dan terurus. Bahkan makan malamnya yang sudah tersaji di atas meja pun dia masih tidak menyangka.Akan tetapi, mau sampai kapan Arini berada di apartemennya?“Kamu sudah pikirkan mau bekerja di mana?” tanya Evan saat makan malam yang ditemani oleh Arini.“Iya sudah.”“Di mana?”“Di sini,” jawabnya.“Di sini? Maksud kamu di apartemenku? Kamu mau bekerja jadi apa?” tanya Evan terkejut.“Jadi pembantu di sini sampai… sampai kapan ya?”Evan mengembuskan napasnya perlahan. Jawaban Arini benar benar membuatnya tak habis pikir.“Tapi kan …”“Saya udah nggak ada orangtua dan kakak saya masuk penjara. Saudara dari ibu bapak saya nggak peduli sama saya.”“Iya iya, kamu udah bilang itu berkali-kali. Tapi masalahnya, aku jarang di apartemen. Memangnya pekerjaan apa yang kamu lakukan? Lagi pula kamu masih muda,” kata Evan.Ya, Arini masih terlalu muda untuk menjadi pembantu di rumahnya. Apalagi gadis itu juga terlihat cerdas, mengapa
Alexandra pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya. Dia datang sendiri, tapi nanti akan dijemput oleh William.Semakin hari dia merasa takut jika kejadian beberapa tahun silam akan terjadi lagi. Bagaimana kalau dia melahirkan kemudian koma? Lalu menghilang dari William selama enam tahun seperti dulu?Alexandra tak mau hal itu terjadi, dia tak ingin William dan anak anaknya sendirian di dunia ini.Ketika dia memikirkan hal itu, William masuk ke lobi rumah sakit. Setelah melihat Alexandra dia pun menghampiri gadis itu.“Kamu mikir apa?” tanya William pada Alexandra yang terlihat sedang melamun.Alexandra mendongak kemudian tersenyum.“Nggak ada,” jawabnya berbohong.“Kamu nggak bisa bohong. Kenapa?” William duduk di sebelah Alexandra lalu memandang wajah istrinya itu dari samping.“Aku takut,” kata Alexandra pelan.William diam.“Aku takut kalau sampai aku koma lagi. Aku sempat bahagia bisa hamil anakmu. Tapi aku lupa jika aku pernah mengalami hal yang sangat mengerikan saat
Jam lima sore Evan sudah sampai di apartemennya. Namun, dia merasa aneh ketika tidak mendapati Arini ada di mana mana. Padahal biasanya gadis itu menyambutnya saat pulang dari kantor.“Ke mana gadis itu, tumben nggak heboh,” gumam Evan.Tapi, Evan kemudian teringat kejadian tadi siang.“Jangan jangan … dia pergi gara gara tadi,” gumam Evan lagi. “Ah aku nggak peduli.”Hening.Terdengar suara air mengalir dari kamar mandi.“Arini!” panggil Evan.“Om? Om udah pulang!” teriak Arini yang berasal dari arah kamar mandi.“Kamu ada di mana!”“Kamar mandi Om! Aku di sini udah mau dua jam!”“Kenapa kamu di sana?”“Aku terkunci di dalam. Tolong aku!”Evan pun gegas ke arah kamar mandi. Rupanya kunci kamar mandi rusak dan tak bisa dibuka dari dalam.Ketika Evan membuka pintu, terlihat bayangan Arini yang sedang mengenakan handuk sampai dadanya. Sementara rambutnya yang basah tergerai panjang.Arini mematung di depan Evan, pun dengan Evan.Hingga beberapa detik kemudian Arini keluar dari kamar ma
Evan dan Arini sedang duduk di hadapan ibu Evan. Wanita paruh baya itu memindari Arini dari atas sampai bawah.“Kamu pacar Evan?” tanyanya.Arini terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Dia menoleh ke arah Evan lalu mengangguk.“Iya… tante,” jawab Arini gugup.“Sejak kapan? Kenapa kamu tidak pernah bilang pada ibumu Evan?”“Itu… karena masih baru, maka dari itu. Evan belum berani bilang. Ibu nanti menyuruhku menikah kan kalau bilang aku punya pacar?”“Kamu sudah tidak muda lagi, berapa umurmu sekarang? Sudah gak pantas kamu pacaran dengan gadis muda. Nikahi dia atau kamu ibu jodohkan dengan perempuan lain.”Mata Evan membul;at. Dia pikir jika dirinya mengatakan jika Arini adalah kekasihnya maka dia akan selamat dari perjodohan.Tapi menikah? Bukankah ini terlalu jauh?“Bu… mana mungkin… ““Apanya yang mana mungkin. Ibu sengaja ngasih kamu kebebasan tapi kammu gak pernah ngenalin ibu sama wanita. Tapi sekarang kamu malah tau tau tidur sama gadis ini. Dan gak ada niatan buat menikahinya
Evan menatap Arini dengan penuh perhatian, mencoba memastikan keputusan Arini. "Apakah kamu yakin dengan keputusan ini, Arini? Aku gak ingin kamu merasa terpaksa."Arini mengangguk mantap. "Iya, aku yakin. Ini adalah solusi terbaik untuk situasi kita saat ini. Aku percaya kita bisa membuat ini berfungsi."Evan tersenyum lega mendengar keputusan Arini. "Baiklah, kalau begitu aku akan menyusun kontrak pernikahan untuk kita. Aku akan menjamin keamanan dan kenyamananmu selama lima tahun ke depan."Arini tersenyum kecil. "Terima kasih, Om Evan. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjalani peran ini dengan baik."Mereka berdua kemudian duduk bersama untuk membahas detail-detail pernikahan kontrak mereka, merencanakan masa depan yang akan mereka jalani bersama.Pasal pertama pernikahan mereka, Evan dan Arini tak harus tidur bersama. Pasal kedua Arini dan Evan tidak boleh menyakiti perasaan satu sama lain. Pasal ketiga jika ingin mengakhiri kontrak pernikahan, jika keduanya setuju mak