“Ada apa denganmu?” tanya Fatan menatap istrinya yang saat ini dipenuhi dengan amarah. Fatan memegang lengan istrinya, membuat Jingga menghempaskan genggaman itu.“Jangan sentuh saya, Mas,” ucap Jingga melangkah mundur.“Jingga, kamu salah paham sepertinya,” kata Fatan. “Biar saya jelaskan.”“Sudah, Mas. Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun.” Jingga menggeleng. “Saya minta sama kamu untuk tidak melakukan hal tidak senonoh di tempat ini, dimana saya tinggal di sini. Jika kamu mau melakukan itu di sini, saya akan pergi.”“Jingga, hal tak senonoh seperti apa yang kamu maksud?”“Mas, tolong bawa Elsa pergi dari sini,” pintah Jingga. “Aku mohon.”Fatan tidak bisa menjelaskan hal itu sekarang, karena Jingga terlihat tak bisa diajak bicara, ia akan percaya dengan apa yang ia lihat, jadi Fatan memilih membawa Elsa pergi dari sini.“Fat, kamu sudah janji padaku akan melindungiku,” kata Elsa.“Saya akan suruh bagian keamanan melindungimu,” jawab Fatan.“Tapi—”“Ayo pergi,” ajak Fatan.“Lebay se
“Mas, kamu masih di rumah? Tidak bekerja?” tanya Jingga keluar dari kamarnya.“Tidak,” jawab Fatan. “Oh iya. Tadi, Bapak dan Ibu menelpon saya. Menyuruh kita berdua untuk berkunjung.”“Bapak sama Ibu menelpon?” “Iya. Menyuruh kita berkunjung, katanya hari ini kamu tidak ada mata kuliah.” Fatan menjawab.Jingga menautkan alisnya, tumben sekali kedua orangtuanya memberanikan diri menelpon Fatan langsung, Jingga jadi tidak enak hati. Karena tidak ingin membuat Fatan tak nyaman.“Jadi?” tanya Jingga menatap suaminya.“Ya kita berkunjung,” jawab Fatan.“Mas mau berkunjung?”“Iya.”“Pekerjaan mas bagaimana?”“Tidak masalah.”“Mas, jika terpaksa jangan ya, saya tidak mau membuat kamu terbebani oleh permintaan Ibu dan Bapak.” Jingga melanjutkan membuat Fatan menoleh dan menatap istrinya.“Kenapa kamu melarang saya ke sana? Ada apa?”“Saya hanya tidak mau kamu terbebani oleh permintaan Ibu sama Bapak.” Jingga menjawab.“Saya mau ke sana, lagian saya terbebani atau tidak, itu bukan urusan kamu,
Jingga dan Fatan tiba di rumah kedua orangtua Jingga, Fatan langsung memarkirkan mobil di depan rumah, lalu mereka keluar dari mobil, di sambut langsung oleh Ibrahim dan Nania, sementara itu Jedar duduk di kursi teras seraya memainkan bibirnya yang kesal.Jingga dan Fatan langsung meraih tangan Nania dan Ibrahim, lalu mencium punggung tangan keduanya, seperti itu lah ajaran kepada yang lebih tua.“Ayo masuk, Nak,” ucap Ibrahim mempersilahkan Fatan masuk.“Jedar, kamu buatkan Jingga sama Fatan minum, ya,” titah Nania.“Apa sih, Bu, kayak siapa aja yang datang, lebay banget.”“Jedar, adikmu dan Adik iparmu datang, kamu harus melayani mereka. Mereka itu tamu kita,” kata Nania masih menatap Jedar yang bodoh amat.“Nggak mau ah, aku nggak mau,” tolak Jedar.“Udah, Bu, nanti Jingga saja yang buat minum.” Jingga menggeleng.“Apa sih, kamu kan juga anak Ibu, harusnya kamu yang buat minum, mentang-mentang kamu adalah kesayangan Ibu, jadi kamu kalau kemari mau dilayanin gitu? Lebay. Aku aja ngg
Jingga masuk ke kamarnya setelah membersihkan badan, ia masih menggunakan hijabnya sementara itu suaminya sudah berbaring di atas tempat tidur seraya bermain ponsel sejak tadi ponsel suaminya itu sudah berdering menandakan seseorang mendesak untuk berbicara. Jingga duduk di depan cermin mengenakan pelembab seadanya tanpa Skin Care lengkap Jingga tetap terlihat cantik dan seperti merawat diri. Tak lama kemudian Jingga menoleh dan melihat lirikan suaminya, sepertinya Fatan tak enak hati padanya karena ponselnya sejak tadi bergetar. “Mas angkat saja siapa tahu saja penting,” kata Jingga berusaha untuk tidak terganggu walau ia sudah tahu seseorang yang mendesak ingin berbicara itu sudah pasti Elsa. “Baiklah. Saya keluar sebentar.” Fatan lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar Fatan memilih berdiri di teras rumah mertuanya dan mengangkat telepon dari Elsa. Fatan melirik ke dalam rumah. Ibrahim dan Nania tengah ke masjid, sementara itu Jedar dan Bara sudah di kamar. ‘Halo?’
Pagi menunjukkan pukul 10, Fatan baru bangun, ia merasa lebih enakan dan nyenyak tidur di kampung halaman Jingga. Seolah semua beban pekerjaan hilang begitu saja.Fatan memiliki insomnia berat, bahkan jam 3 malam sering terbangun hingga pagi hari, lalu ke kantor dengan mata lelah. Lalu, malam hari pun sulit tidur. Tak pernah merasakan benar-benar nyenyak.Fatan melihat seisi rumah, tak ada siapa pun, Fatan lalu melangkahkan kakinya keluar rumah melalui pintu samping.Fatan melihat Jingga tengah berbincang dengan seorang wanita yang juga berhijab, Jingga tertawa lebar hingga membentuk tawa yang indah dipandang, Jingga juga memukul pelan lengan temannya. Fatan melihat hal itu, cantik sekali. Didalam pikiran Fatan.Fatan menyunggingkan senyum menatap Jingga yang asyik bercerita dengan temannya sampai tak menyadari jika sejak tadi Fatan tengah memandangnya tak jauh dari tempatnya duduk saat ini.Jingga kembali tertawa lebar, tawa yang membentuk senyuman indah yang menawan, elegant dan pol
Malam itu adalah malam pernikahan Jingga Teresa. Seorang gadis berusia 25 tahun yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan suaminya Fatan Liun Aksara—seorang pengusaha kaya raya, dan kini berusia 30 tahun, ia adalah ahli waris keluarga Aksara.Pernikahan yang harusnya bahagia menjadi malam pernikahan penuh luka, bagaimana tidak jika di malam pertama pernikahan, Fatan meninggalkan rumah dan menemui mantan kekasihnya yang baru datang dari Los Angeles. Elsa namanya, sang mantan kekasih yang sangat Fatan cintai, dan tidak bisa Fatan lupakan hingga saat ini.Ketika mendengar mantan kekasihnya kembali, Fatan rela meninggalkan malam pernikahan mereka.Jingga menatap pemandangan diluar rumah, hujan tak berhenti sejak sore, hujan yang seolah menggantikan Jingga menangis, hujan yang seolah tahu bagaimana perasaan sang Jingga saat ini.Jingga tidak menyalahkan takdir, namun Jingga hanya menginginkan kebahagiaan. Walau sederhana mengatakannya, namun sulit untuk dilakukan. Apalagi menemani pri
Pagi hari berjalan seperti biasanya, Fatan belum pulang ke rumah, Jingga sudah bersiap untuk sarapan bersama keluarganya, ketika hendak keluar dari kamarnya, suaminya masuk dan baru pulang.Jingga hendak meraih tangan Fatan, namun Fatan menghindarinya. Jingga menatap wajah suaminya yang saat ini berganti pakaian.“Mas, kamu baru pulang? Semalam kamu menginap dimana?” tanya Jingga masih dengan suara yang lembut.“Saya menginap di rumah Elsa," ucap Fatan berterus terang.“Elsa? Kenapa kamu menginap di sana, Mas? Apa yang terjadi? Elsa bukan muhrimmu, tapi kamu menginap di sana?” Jingga tak habis pikir, perasaannya memang sudah tidak enak beberapa hari ini, semenjak Elsa datang di tengah mereka.“Kami sudah terbiasa melakukannya.” Fatan kembali menjawab seolah itu tidak penting bagi Jingga.Jingga merasa sesak didadanya, ia mengira pernikahan ini akan menjadi pernikahan yang bahagia, setidaknya diawal pernikahan seperti itu, bukan? Tapi, kenapa berbeda? Fatan bukan orang yang jahat, ia a
Jingga terus saja gelisah, pekerjaannya sudah beres, namun ia tetap duduk di depan meja kerjanya dengan tatapan kosong, yang ia pikirkan saat ini, bagaimana nasib pernikahannya jika suaminya terus memberi harapan kepada Elsa?Jingga memiliki pulang.Jingga sudah berusaha tenang, sudah berusaha menerima, mungkin ada yang belum selesai di antara keduanya, namun jika terus dibiarkan dosa pun tetap Jingga pikul.Disaat Jingga sedang banyak pikiran, Fatan dan Elsa terus bertemu tanpa henti, seolah jika tak bertemu rindu mereka akan terus mengganggu.Jingga sudah berusaha menahan diri, sudah berusaha membiarkan apa yang terjadi, walau dalam hati selalu ada rasa jengkel, rasa kesal dan tidak terima, namun apalah daya, dia bukan wanita yang benar-benar sempurna.Elsa adalah wanita yang Fatan sukai, ia cintai, ketika Elsa tiba-tiba meninggalkan Fatan disaat pernikahan akan dilangsungkan beberapa hari lagi, perasaan Fatan benar-benar hancur, walau tanpa kabar dan tanpa pamit, Fatan tidak pernah
Pagi menunjukkan pukul 10, Fatan baru bangun, ia merasa lebih enakan dan nyenyak tidur di kampung halaman Jingga. Seolah semua beban pekerjaan hilang begitu saja.Fatan memiliki insomnia berat, bahkan jam 3 malam sering terbangun hingga pagi hari, lalu ke kantor dengan mata lelah. Lalu, malam hari pun sulit tidur. Tak pernah merasakan benar-benar nyenyak.Fatan melihat seisi rumah, tak ada siapa pun, Fatan lalu melangkahkan kakinya keluar rumah melalui pintu samping.Fatan melihat Jingga tengah berbincang dengan seorang wanita yang juga berhijab, Jingga tertawa lebar hingga membentuk tawa yang indah dipandang, Jingga juga memukul pelan lengan temannya. Fatan melihat hal itu, cantik sekali. Didalam pikiran Fatan.Fatan menyunggingkan senyum menatap Jingga yang asyik bercerita dengan temannya sampai tak menyadari jika sejak tadi Fatan tengah memandangnya tak jauh dari tempatnya duduk saat ini.Jingga kembali tertawa lebar, tawa yang membentuk senyuman indah yang menawan, elegant dan pol
Jingga masuk ke kamarnya setelah membersihkan badan, ia masih menggunakan hijabnya sementara itu suaminya sudah berbaring di atas tempat tidur seraya bermain ponsel sejak tadi ponsel suaminya itu sudah berdering menandakan seseorang mendesak untuk berbicara. Jingga duduk di depan cermin mengenakan pelembab seadanya tanpa Skin Care lengkap Jingga tetap terlihat cantik dan seperti merawat diri. Tak lama kemudian Jingga menoleh dan melihat lirikan suaminya, sepertinya Fatan tak enak hati padanya karena ponselnya sejak tadi bergetar. “Mas angkat saja siapa tahu saja penting,” kata Jingga berusaha untuk tidak terganggu walau ia sudah tahu seseorang yang mendesak ingin berbicara itu sudah pasti Elsa. “Baiklah. Saya keluar sebentar.” Fatan lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar Fatan memilih berdiri di teras rumah mertuanya dan mengangkat telepon dari Elsa. Fatan melirik ke dalam rumah. Ibrahim dan Nania tengah ke masjid, sementara itu Jedar dan Bara sudah di kamar. ‘Halo?’
Jingga dan Fatan tiba di rumah kedua orangtua Jingga, Fatan langsung memarkirkan mobil di depan rumah, lalu mereka keluar dari mobil, di sambut langsung oleh Ibrahim dan Nania, sementara itu Jedar duduk di kursi teras seraya memainkan bibirnya yang kesal.Jingga dan Fatan langsung meraih tangan Nania dan Ibrahim, lalu mencium punggung tangan keduanya, seperti itu lah ajaran kepada yang lebih tua.“Ayo masuk, Nak,” ucap Ibrahim mempersilahkan Fatan masuk.“Jedar, kamu buatkan Jingga sama Fatan minum, ya,” titah Nania.“Apa sih, Bu, kayak siapa aja yang datang, lebay banget.”“Jedar, adikmu dan Adik iparmu datang, kamu harus melayani mereka. Mereka itu tamu kita,” kata Nania masih menatap Jedar yang bodoh amat.“Nggak mau ah, aku nggak mau,” tolak Jedar.“Udah, Bu, nanti Jingga saja yang buat minum.” Jingga menggeleng.“Apa sih, kamu kan juga anak Ibu, harusnya kamu yang buat minum, mentang-mentang kamu adalah kesayangan Ibu, jadi kamu kalau kemari mau dilayanin gitu? Lebay. Aku aja ngg
“Mas, kamu masih di rumah? Tidak bekerja?” tanya Jingga keluar dari kamarnya.“Tidak,” jawab Fatan. “Oh iya. Tadi, Bapak dan Ibu menelpon saya. Menyuruh kita berdua untuk berkunjung.”“Bapak sama Ibu menelpon?” “Iya. Menyuruh kita berkunjung, katanya hari ini kamu tidak ada mata kuliah.” Fatan menjawab.Jingga menautkan alisnya, tumben sekali kedua orangtuanya memberanikan diri menelpon Fatan langsung, Jingga jadi tidak enak hati. Karena tidak ingin membuat Fatan tak nyaman.“Jadi?” tanya Jingga menatap suaminya.“Ya kita berkunjung,” jawab Fatan.“Mas mau berkunjung?”“Iya.”“Pekerjaan mas bagaimana?”“Tidak masalah.”“Mas, jika terpaksa jangan ya, saya tidak mau membuat kamu terbebani oleh permintaan Ibu dan Bapak.” Jingga melanjutkan membuat Fatan menoleh dan menatap istrinya.“Kenapa kamu melarang saya ke sana? Ada apa?”“Saya hanya tidak mau kamu terbebani oleh permintaan Ibu sama Bapak.” Jingga menjawab.“Saya mau ke sana, lagian saya terbebani atau tidak, itu bukan urusan kamu,
“Ada apa denganmu?” tanya Fatan menatap istrinya yang saat ini dipenuhi dengan amarah. Fatan memegang lengan istrinya, membuat Jingga menghempaskan genggaman itu.“Jangan sentuh saya, Mas,” ucap Jingga melangkah mundur.“Jingga, kamu salah paham sepertinya,” kata Fatan. “Biar saya jelaskan.”“Sudah, Mas. Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun.” Jingga menggeleng. “Saya minta sama kamu untuk tidak melakukan hal tidak senonoh di tempat ini, dimana saya tinggal di sini. Jika kamu mau melakukan itu di sini, saya akan pergi.”“Jingga, hal tak senonoh seperti apa yang kamu maksud?”“Mas, tolong bawa Elsa pergi dari sini,” pintah Jingga. “Aku mohon.”Fatan tidak bisa menjelaskan hal itu sekarang, karena Jingga terlihat tak bisa diajak bicara, ia akan percaya dengan apa yang ia lihat, jadi Fatan memilih membawa Elsa pergi dari sini.“Fat, kamu sudah janji padaku akan melindungiku,” kata Elsa.“Saya akan suruh bagian keamanan melindungimu,” jawab Fatan.“Tapi—”“Ayo pergi,” ajak Fatan.“Lebay se
“Bu Jingga, hari ini ada acara makan malam kantor. Ibu ikut, ‘kan?”“Insha Allah, Bu,” jawab Jingga.“Bu Jingga harus ikut dong, bukannya Pak Reno itu temannya Bu Jingga, ya?”“Senior, Bu.”“Eh iya. Senior. Lupa saya. Bu Jingga harus sempatkan datang.”Jingga tersenyum, ia akan izin ke suaminya dulu, jika suaminya mengizinkan ia akan pergi, jika tidak ia memilih pulang, melewatkan makan malam bersama keluarga besar universitas tempatnya bekerja.Jingga lalu mengirim pesan ke suaminya, tak lama pesannya sudah dibaca, namun beberapa menit kemudian tidak ada balasan sama sekali. Jingga menganggap bahwa suaminya mengizinkannya.“Saya ikut, Bu,” ucap Jingga pada dua wanita yang ada dihadapannya saat ini.“Nah gitu dong. Kita harus akrab, Bu, tidak boleh terlepas, ya. Siapatahu saja kecantikan Bu Jingga pindah ke kami,” kekeh salah satunya membuat Jingga hanya tersenyum mendengarkan.***Jingga sudah berada di tengah semua dosen kampus, ia hanya minum air putih dan beberapa cemilan didepann
Jingga menatap senduh ke arah Fatan yang sejak tadi diam saja dan duduk memandangi sunset malam di luar sana, Jingga tidak bisa diam saja dan langsung mengikis jarak mendekati suaminya.“Mas,” ucap Jingga.Fatan menatap Jingga yang kini sudah duduk dihadapannya.“Apa ada masalah?” tanya Jingga.“Tidak ada,” jawab Fatan.“Kalau ada masalah, saya bisa mas jadikan teman cerita.”“Ini bukan urusan kamu,” jawab Fatan lagi membuat Jingga mengukir senyum di wajahnya.Jingga sudah terbiasa dengan jawaban kasar suaminya, Jingga menyesap teh herbal dihadapannya dan kembali berkata, “Tidak apa-apa jika mas tidak mau cerita, yang penting kalau ada masalah jangan dipendam sendirian.”Fatan menunduk sesaat dan kembali menatap Jingga, gadis yang begitu tenang dan baik hati, sesakit apa pun yang Fatan lakukan kepadanya, Jingga tetap tersenyum.“Mas mungkin merindukan Elsa,” ucap Jingga.Suaminya menautkan alis dan merasa aneh dengan perkataannya, Jingga tersenyum lagi. Alih-alih menjaga ucapannya agar
Fatan menoleh sesaat melihat Elsa yang saat ini terlihat diam saja, mereka saat ini tengah di perjalanan menuju kantor, Fatan akan mengantarkan Elsa ke tempat kerjanya.Elsa terlihat kesal, sejak tadi mulutnya manyun tak jelas.“Ada apa?” tanya Fatan.“Kamu berubah sama aku,” jawab Elsa menoleh sesaat melihat Fatan.“Apa? Berubah? Apanya yang berubah?” tanya Fatan.“Dua hari ini kamu kemana sih? Teleponku tidak di angkat, pesanku tidak dibalas, apa lagi yang kamu lakukan dengan Jingga?” tanya Elsa kesal lalu menghentak kakinya dibawah sana.“Saya sudah menjawabnya, bukan?” ujar Fatan. “Jawaban seperti apa yang kamu inginkan sebenarnya?”“Fat, biasanya kamu tidak pernah loh seperti ini, tidak bertemu denganku sehari saja kamu pasti mencariku, tapi kayaknya kamu tahan banget ya jauh dari aku,” kata Elsa menoleh sesaat.“Kalau saya berubah, saya tidak akan memilih mengantarmu ke kantor, sementara membiarkan Jingga naik taksi.”“Aku butuh uang,” kata Elsa.“Tumben kamu minta uang, biasanya
Author POV.Fatan keluar dari kamar ketika sudah Bersiap ke kantor, ada perasaan senang yang tidak bisa ia jelaskan, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya setelah semalam dirinya meraih haknya pada Jingga dan Jingga memberikannya tanpa menolak, ya mereka suami istri, tak aka nada penolakan. Karena melakukan hal itu juga adalah ibadah.Bahkan Fatan tak mengingat Elsa sejak kemarin.“Eh mas? Kamu sudah bangun?” tanya Jingga yang saat ini sedang mengerjakan bahan mata kuliahnya hari ini. Jingga lalu melangkah menuju dapur. “Ayo mas, sarapan. Semuanya sudah siap.”“Kamu sudah mau ke kampus?” tanya Fatan.“Iya, Mas.” Jingga mengangguk membalikkan piring makan Fatan dan memuat nasi goreng diatas piring. Sementara itu Fatan sudah duduk di hadapannya. “Hari ini jadwal mata kuliah saya hanya satu, mungkin setelah selesai, saya ke desa dulu menengok Ibu dan Bapak.”Fatan mengangguk, alih-alih menawarkan diri, Fatan hanya bilang ‘iya’.“Nanti kalau kamu sempat kita ke desanya sama-sama ya, Mas,