"Ngapain, kamu?"
Adelia menoleh ketika suara Deyana menyentuh gendang telinganya. "Buat kopi, Kak." Dia tersenyum seraya meneruskan kegiatannya. Meletakkan satu sendok kecil gula dan kopi ke dalam cangkir kecil, lalu menyeduhnya dengan air mendidih yang ada di atas kompor. Aroma kopi hitam menguar di dapur yang selalu bersih. Deyana adalah saudara tiri Adelia. Wanita itu tidak tahu sebabnya bagaimana dia memiliki dua orang ibu. Yang dia tahu, Fairuz membawanya tinggal di rumah ini saat berumur sepuluh tahun. Saat itu sang ibu menghilang entah ke mana. Pria itu menjelaskan jika dirinya memiliki seorang kakak perempuan dan seorang wanita yang harus dia panggil mama. Adelia kecil tidak mengerti, dia hanya menurut ketika sang papa memerintahkan demikian. Selain mereka berempat, di rumah itu juga tinggal Mbak Nani yang bertugas sebagai asisten rumah tangga dan juga Mang Hadi yang setia mengantar ke mana saja salah satu anggota keluarga ingin pergi."Kamu pikir bisa ngambil hati Bayu dengan secangkir kopi?!" Deyana berkata dengan nada sinis seraya bersedekap. "Jangan ngimpi bakal bahagia kalau dapet suami hasil nyolong!"Sindiran itu hanya ditanggapi senyum tipis oleh Adelia. Mana mungkin pernikahan yang dipaksakan itu akan membawa kebahagiaan bagi kedua pengantin. Hatinya sendiri mencibir keterdiamannya. Jika sang suami saja sudah mengultimatum di malam pertama mereka, apa masih bisa berharap ada keromantisan terjadi? Adelia cukup tahu diri dengan ketidaksempurnaannya. Oleh karena itu, dia tidak akan pernah mengatakan apa pun tentang sikap dingin yang diberikan pria itu semalam padanya."Aku ke atas dulu, ya. Mungkin Mas Bayu udah bangun." Adelia meraih sebuah nampan dan meletakkan cangkir kopi di atasnya. Dia memilih menghindar perbincangan yang hanya akan memperkeruh suasana hatinya."Adelia, tunggu!" Deyana mencekal lengan adelia, membuat gerakan si gadis tertahan. "Jangan senang dulu bisa merebut Bayu dari aku. Sebaiknya kamu sadar diri, pernikahan ini hanya sementara. Jika bukan hutang budinya pada Papa, enggak mungkin dia mau menikahi kamu!"Adelia menganjur napas perlahan. Dia bisa merasakan kebencian dari rentetan kalimat yang disemburkan Denaya. Wajar saja, dia adalah kekasih Bayu, gadis yang bermimpi merajut masa depan berdua dengan sang pujaan. Akan tetapi, sebuah kenyataan harus mencabik tenunan harapan tersebut dan itu tersebab dirinya."Jangan cemas, aku sadar siapa aku dan apa dasar pernikahan ini terjadi. Akan tetapi, selama statusku adalah istri Mas Bayu, maka kewajibanku adalah mengurusnya. Enggak peduli Kakak suka atau tidak."Jawaban lugas Adelia membuat wajah Deyana memerah. Dia bermaksud membalas kata-kata Adelia, tetapi wanita itu terlebih dahulu melepaskan cekalan tangan Deyana dan melangkah pergi meninggalkan sang kakak yang menatap punggungnya dengan sorot kebencian.*Adelia menatap hamparan yang berada tepat di hadapan. Dedaunan pohon nangka yang gugur, memberi gradasi warna cokelat pada hijau rerumputan. Dari balik kaca jendela kamar, dia juga bisa melihat rinai, sisa hujan yang turun semalam.Dari dalam kamar mandi terdengar gemericik air. Tentunya dengan Bayu di dalam sana. Saat kembali ke kamar, pria itu tidak ada lagi di tempat dia tidur semalam. Tak ingin dibawa lamun terlalu jauh Adelia bangkit, lalu membereskan ranjangnya. Melipat selimut kemudian meletakkan kembali ke dalam lemari. Tangan terampilnya juga bergerak meraih satu helai T-shirt dan celana pendek dari dalam lemari. Meski Bayu tidak menganggap keberadaannya, dia tidak akan melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Bukankah surganya ada pada sang suami?"Apa yang kau lakukan?!"Bayu menyeru dengan raut tidak suka ke arah Adelia. Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk terlilit di pinggang."Maaf, aku cuma mau nyiapin pakaian." Adelia gugup melihat penampilan si pria. Rona merah segera terbit di pipi putihnya. Selain itu, dia juga terkejut mendengar suara keras milik Bayu. Lima tahun tinggal satu rumah dengannya tak pernah sekali pun Adelia mendengar suara si pria dengan intonasi tinggi.Langkah Bayu cepat dan lebar mendekati Adelia. Dia menarik kasar celana pendek yang sedang dipegang si gadis. "Jangan sentuh barang-barang pribadiku! Aku tidak suka!""A-aku hanya ingin membantu." Mati-matian Adelia menahan getaran dalam suaranya. Dia tidak mengira niat baiknya malah membuat pria itu marah."Aku sudah bilang, enggak usah urusin hidupku. Jangan pernah bersikap seperti seorang istri, karena penilaianku padamu ngga akan berubah." Bayu menatap Adelia dengan pandangan mengejek lengkap dengan senyum sinis di bibirnya.Adelia mengangkat pandangannya "Seperti apa Mas menilaiku ...?" Entah mengapa pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya."Apa perlunya penilaianku? Apa semua yang terjadi bisa kembali?""Setidaknya aku tahu bagaimana harus bersikap," jawab Adelia pelan."Kamu itu seperti wanita liar. Begitu mudah memberikan hal yang seharusnya diberikan pada suamimu kelak. Aku tidak mengira semua sifat pendiammu hanyalah topeng semata."Seperti belati beracun menikam dada Adelia mendengar jawaban Bayu, meski dia tahu pria itu tidak menyukainya, tetapi dia tak mengira seburuk itu sang pria menilainya. Seolah-olah dia adalah wanita pemuja kebebasan seksual. Andai pria itu tahu apa yang sebenarnya terjadi, tentu penyesalan akan menyerbu hatinya. Akan tetapi, Adelia memilih diam, biar saja semua berjalan sesuai skenario yang ditulis Tuhan. Dia yakin semua akan berakhir baik nanti."Terima kasih atas penilaian, Mas. Setidaknya aku tahu menempatkan posisiku di mana," balas Adelia dengan suara bergetar.Bayu mendengkus pelan, lalu berjalan menjauhi Adelia menuju kamar mandi, setelah mengambil satu T-shirt dari dalam lemari. "Jangan pernah melakukan apa pun untuk mengambil hatiku, karena yang akan kau dapat adalah sakit hati. Satu lagi, singkirkan kopi itu aku enggak suka!"Lalu Bayu memutar gagang pintu kamar mandi dan dengan cepat tubuhnya menghilang seiring pintu yang kembali tertutup dengan keras. Air mata yang sejak tadi ditahan Adelia luruh juga. Dia membekap mulutnya agar tangis tak pecah. Dia cukup tahu diri, tiada yang akan membujuknya untuk tenang. Sakit dan perih itu hanya miliknya seorang diri. Dia harus kuat untuk dirinya sendiri.*"Bayu, ayo sarapan."Adelia yang sedang menanting nampan yang berisi dua cangkir teh, menoleh. Matanya menangkap pria tersebut tersenyum menanggapi tawaran Deyana. Ada yang ngilu di dalam dada melihat senyuman itu. Dulu saat semua masih baik-baik saja, Bayu selalu tersenyum padanya. Pria itu tak ubahnya seorang kakak laki-laki yang tidak dia punya. Hampir setiap sore pria tersebut menyapa dan mengajaknya berbincang meski hanya sebentar. Sekarang, jangankan tersenyum, menatapnya saja seakan tak sudi."Adel, kok ngelamun?" Teguran Fairuz membuyarkan lamunan Adelia. Wanita itu tergagap, lalu mencoba menarik garis senyum di bibirnya, sekadar menutupi kegugupannya.Dia melangkah mendekati meja makan. Meletakkan satu cangkir teh untuk Fairuz dan satu cangkir diletakkan di hadapan Bayu."Bayu enggak suka teh, dia bisa mulas kalau minum teh pagi-pagi," ucap Deyana dengan senyum mengejek. Dia sengaja berkomentar demikian untuk membalas sakit hati atas kata-kata Adelia tadi subuh, selain itu dia juga ingin menunjukkan bahwa dia paling mengenal si pria."Tapi, Mas Bayu bilang dia enggak suka kopi." Adelia mati-matian menahan getar dalam suaranya, apalagi saat melihat pria tersebut hanya diam.'Siapa bilang. Justru dia sangat suka kopi, seperti aku." Deyana mengangsurkan gelasnya yang berisi kopi hitam yang masih panas.Adelia bergeming saat melihat Bayu tersenyum tipis pada Deyana, seolah-olah membenarkan ucapan sang gadis. Lagi lagi dadanya seperti ditusuk besi panas. Begitu sakit dan perih. Mengapa tak ada sedikit pun simpati pria itu tersisa untuknya, hingga membiarkan Deyana mempermalukan dirinya."Sudah, ayo sarapan." Suara Fairuz memecah gelombang sakit yang terus menusuk dada Adelia.Wanita itu menurut, dia menarik kursi tepat di sebelah Bayu. Dari ekor matanya dia melihat Deyana sibuk menyendokkan nasi goreng ke piring sang pria. Adelia memilih menekuni sarapannya daripada melihat kedua orang itu berbalas senyum. Bukan tak ingin melayani sang suami, bukankah pria itu sendiri yang melarangnya bersikap layaknya seorang istri? Mungkin dia lebih senang dilayani wanita yang dia cintai dibandingkan dirinya yang terlihat menjijikkan di mata sang pria.Adelia baru saja menyabuni piring kotor di bak cuci piring ketika suara Fairuz terdengar gusar."Dasar ceroboh! Lihat, Deyana meninggalkan dokumen penting. Bagaimana dia akan mempresentasikan penawaran untuk tender nanti," keluh Fairuz melihat sebuah map yang tertinggal di meja makan."Biar Adel yang antar, paling juga masih di depan." Adelia menawarkan diri. Dia mematikan kran air, lalu mengelap tangannya dengan kain lap yang tergantung di dekat kran.Fairuz menganggguk, lalu menyerahkan dokumen yang berada di dalam map berwarna cokelat. Adelia gegas melangkah keluar mengejar Deyana dan Bayu yang baru saja pamit hendak ke kantor. Memang, keduanya bekerja di perusahaan milik Fairuz yang bergerak di bidang periklanan. Mungkin kedekatan itulah yang membuat keduanya jatuh cinta. Bayu memberi pengaruh positif pada Deyana. Sang kakak yang gemar akan dunia malam dan suka berpetualang dari satu hati ke hati lain, perlahan-lahan mengurangi kebiasaannya. Dia berubah menjadi gadis penurut dan
Adelia menatap hujan dari balik jendela kamar. Pikiran wanita itu membentangkan kejadian beberapa bulan yang lalu. Hari di mana semua berawal. Saat itu juga hujan deras. Petir dan kilat silih bergantian di langit. Dia memeluk tas di halte bis tepat di depan sekolah. Seragam putih-abunya sedikit basah karena tempias air hujan yang ditiupkan angin. Harusnya sopir keluarga telah menjemputnya satu jam yang lalu, tetapi Mang Hadi mengatakan jika mobil mengalami pecah di jalan. Mencoba menghubungi sang papa, tetapi ponsel pria itu tidak aktif.Adelia mencoba bertahan di halte tersebut, tetapi hingga senja merangkak naik, Mang Hadi belum juga menampakkan batang hidungnya. Satu nama yang diingatnya, Bayu. Dia ingat jika pria tersebut mengatakan sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dekat dari sekolahnya. Mencoba menghubungi, tetapi ponselnya sudah kehabisan daya. Adelia menimbang apa yang harus dia lakukan. Jika menunggu tanpa kepastian, dia takut terjadi sesuatu sementara hari sudah
Udara masih terasa dingin meski mentari sudah memancarkan sinarnya. Jejak basah di rumput yang terhampar di halaman belakang rumah keluarga Fairuz, membuat kaki Adelia terasa segar karena embun yang menyentuh kulitnya. Gadis itu tak bisa tidur nyenyak semalam. Kata-kata Deyana terus memantul-mantul di gendang telinganya. Perih merayap ke dada Adelia, menikamkan rasa sakit yang tak terperi. Gadis itu tak pernah meminta hadir ke dunia dari benih Fairuz, tak juga meminta dilahirkan dari seorang wanita berstatus istri kedua. Meski banyak yang mengatakan ibunya perebut suami orang, sangat jarang sang papa berada di rumah. Pria itu hanya mengunjungi Adelia dan ibunya sekali dalam tiga bulan.Banyak juga yang mengatakan ibunya wanita matre, tapi pada kenyataannya hidup mereka biasa-biasa saja. Benda berharga yang dimiliki sang ibu hanya sepeda motor dan televisi ukuran 22" inci. Keduanya juga tak pernah makan dengan menu mewah. Hanya satu yang selalu diingat Adelia dan hal itu masih dia ge
Deyana memasukkan baju-bajunya ke dalam 'travel bag' dengan wajah ditekuk. Sesekali wanita cantik berkulit putih bersih itu menggerutu, sambil melirik ke arah jam yang tergantung di dinding kamarnya. Hampir dua jam Bayu mengantar Adelia ke rumah sakit, tapi tak sekali pun pria itu menjawab pesan darinya. Apa keadaan gadis perebut kekasihnya itu parah? Deyana sangat berharap janin di rahim Adelia luruh, hingga pernikahan gadis tersebut dengan pria yang dia cintai bisa berakhir lebih cepat.Namun, saat mengingat reaksi Bayu kala melihat Adelia kesakitan, membuat sesuatu tak tembus pandang meremas jantung Deyana. Wanita itu bisa merasakan aura kecemasan menghampiri sang pria. Seketika gerakan sang wanita terhenti. Dia duduk di pinggir pembaringan, seraya menatap ke arah meja rias yang ada di hadapan. Di sana terpajang foto dirinya dan Bayu saat keduanya berlibur ke Bali. Senyum yang diabadikan dalam potret tersebut sangat nyata. Deyana bisa merasakan cinta Bayu padanya tulus, meski ter
Malam ini hujan turun lagi. Adelia tak pernah membenci hujan. Dia sangat suka melihat air yang tercurah dari langit tersebut. Baginya, hujan adalah berkah dari Yang Mahakuasa. Begitu banyak tempat yang dilanda kekeringan, menanduskan mahkluk yang ada di sana. "Hujan itu waktu yang sangat baik untuk berdoa."Adelia masih ingat nasehat ibunya. Kala itu, mereka berdua sedang duduk di teras rumah, sambil menikmati sepiring pisang goreng hasil kreasi Adelia yang lumayan ... gosong. Akan tetapi, tetap di puji sang ibu, setidaknya Adelia sudah berusaha belajar memasak. Satu gelas besar teh hangat ikut menemani aktivitas santai keduanya sore itu. Minum satu gelas dengan ibunya memberi kesenangan tersendiri bagi gadis tersebut, lebih enak katanya. Meski sebenarnya, tak ada yang berubah dari rasa teh itu."Banyak orang berpikir hujan itu menyedihkan, bikin orang galau. Padahal kalau mau dipikir baik-baik, hujan itu waktunya kita santai. Bisa tiduran tanpa perlu nyalain kipas angin, bisa rebaha
Adelia menutup kelopak matanya rapat-rapat, saat mendengar pintu terbuka dari luar. Langkah Bayu yang mendekat, lalu pembaringan di sebelahnya terasa bergerak. Si gadis bisa menerka jika pria itu baru saja duduk di sana. Mati-matian Adelia menahan gemuruh di dadanya. Harusnya dia tak terbangun di tengah malam, hingga tak perlu mendengar percakapan Fairuz dengan Bayu. Saat hendak menuruni tangga menuju dapur yang berada di lantai dasar rumahnya, Adelia mendengar permintaan Fairuz kepada Bayu. Gadis itu membujuk hatinya agar kuat. Dia tak ingin lagi memanen kesedihan karena Bayu. Namun, sesak telanjur mengaliri seluruh rongga dadanya. Benar apa yang disangkakan Adelia, pria itu sengaja menghindar bertemu dengannya. Lalu bagaimana mereka akan hidup satu atap nanti? Jika boleh memilih, dia ingin tinggal sendirian saja tanpa siapa pun. Akan tetapi, sang papa tidak meluluskan permintaannya.Adelia mengurungkan niatnya mengambil sepotong roti untuk mengganjal perutnya. Rasa lapar gadis itu
Mata Adelia tak lepas mengawasi jalanan sejak keluar dari bandar udara Chagi. Sepanjang mata memandang, hanya hijau yang terlihat. Pohon-pohon tumbuh dengan kokoh dan berjajar rapi di sepanjang jalan. Terlihat beberapa petugas memangkas dahan-dahan pohon agar terlihat indah.Adelia pernah membaca, bahwa kota Singapura anti polusi, paling bersih, dan rapi. City in the garden adalah julukan untuk kota tersebut. Bahkan, kota itu adalah salah satu kota terhijau di dunia, dengan pohon-pohon yang berjajar teratur di tengah dan pinggir jalanan, taman-taman kota di berbagai sudut kota, hingga hutan kota yang bisa dijangkau dengan mudah dari pusat kota. Gadis itu hanyut melihat keindahan kota dari balik kaca mobil, hingga tak menyadari manik mata Bayu memperhatikan dirinya. Sejak berangkat dari bandara internasional Soekarno-Hatta, Adelia sudah menegaskan pada dirinya sendiri. Dia tak akan pernah memberi kesempatan pada siapa pun untuk masuk ke dalam hidupnya. Fokus gadis itu adalah, bagaiman
Adelia merapatkan cardigan hitam, sambil memeluk tubuhnya sendiri. Langit kota Singapura sangat cerah malam ini. Dia bisa melihat kerlip bintang bersanding dengan bulan yang berbentuk sabit. Lalu matanya tertarik pada lampu-lampu yang menghiasi kota tersebut. Seperti ribuan kunang-kunang tengah berpesta di bawah sana. Tanpa sadar, senyum Adelia mengembang. Untuk pertama kalinya setelah pernikahannya dengan Bayu, baru kali ini dadanya merasa lega. Entahlah ... saat pertama kali melihat rumah yang kini dia tempati, seperti tak asing, apalagi ketika ke kamar yang didominasi cat biru muda, membuatnya serasa berada di tempat yang tepat."Sebaiknya Nona masuk karna udara di luar sangat dingin."Adelia menoleh dan melihat sosok Melinda sedang menenteng nampan. "Tapi, saya suka melihat lampu kota dari sini, Bi. Terlihat indah.""Saya tau Nona suka sekali melihat itu, tapi sebaiknya makan malam dulu."Adelia menoleh, dahinya mengerut mendengar jawaban Melinda. "Bibi berkata, seolah-olah menge
Adelia melangkah pelan-pelan, seraya melihat dekorasi ruangan tempat pernikahan mereka dilangsungkan. Perubahan tempat yang awalnya akan dilangsungkan di gedung, diganti ke sebuah villa milik keluarga Fairuz di daerah puncak. Semua itu atas permintaan Fairuz yang meminta pernikahan keduanya dipercepat satu bulan, karena pria itu hendak membawa Sarmila ke Singapura untuk berobat. Kabar baik didapat dari kenalannya dokter di sana, bahwa ada pendonor yang cocok dengan sang istri. Fairuz mengatakan, yang penting akad dulu, untuk resepsi nanti setelah Sarmila selesai melakukan transplantasi ginjal. Adelia tak bereaksi apa-apa dengan permintaan sang papa. Toh, cepat atau lambat, pernikahan akan terjadi juga. Dia hanya perlu mempersiapkan hati untuk mulai belajar mencintai Anta.Adelia juga mengurangi pertemuan dengan Bayu. Setiap kali pria itu datang menjemput Nika, Adelia memilih tidak menemui. Dia tak ingin rasa cinta yang susah payah dia matikan, kembali bertunas setelah melihat pria t
Aku tidak tahu sudah berapa lama duduk di atas susunan batu pemecah ombak. Membiarkan kakiku terjuntai ke bawah dijilat air laut yang mulai pasang. Yang pasti matahari sudah tidak segarang tadi. Perlahan-lahan sang surya mulai merangkak turun meninggalkan cahaya kemerahan di ujung cakrawala. Aku mengamati fenomena alam tersebut. Benda besar bersinar itu seolah-olah turun dan tenggelam ke dalam lautan. Aku tersenyum dan berpikir bagaimana bintang terbesar, yang menerangi seluruh dunia, saat waktunya telah selesai tetap harus tunduk kembali ke peraduan untuk memberi jalan pada bulan menjalankan tugasnya.Tanpa bisa dicegah masa lalu kembali berpandang ke tempurung kepalaku. menggali saat-saat bahagia yang tidak pernah bisa aku lupakan. Saat itu aku masih berseragam putih abu-abu. Sebagai senior dan anggota osis, kami diberi tanggung jawab membuat acara menyambut siswa baru. Aku masih ingat, hari itu malam terakhir. Kami mengadakan acara malam hiburan dan kesenian. Hampir semua siswa da
Rumah Fairuz dipenuhi kerabat dan beberapa relasi bisnis. Hari ini keluarganya mengadakan syukuran kepulangan sekaligus sehatnya Sarmila kembali. Keadaan wanita itu sudah lebih baik setelah dirawat sekitar dua minggu. Dokter mengingatkan kondisi Sarmlia belum terlalu baik. Sewaktu-waktu bisa saja kembali kolaps. Dokter menyarankan secepatnya mencari pendonor dan menjaga kondisi pasien agar tak terlalu lelah, apalagi stress. Taman belakang yang luas disulap menjadi tempat berlangsungnya acara. Kursi-kursi disusun sejajar untuk anak-anak yatim yang sengaja diundang. Makanan juga dihidangkan di atas meja dengan aneka macam menu khas indonesia. Ada juga banyak nasi kotak untuk para tamu yang tak sempat hadir lama. Fairuz dan Sarmila tersenyum melihat tingkah Nika yang bergelayut di punggung Bayu. Sejak bertemu dengan ayahnya, bocah kecil itu seolah-olah tak bisa dipisahkan. Dia bahkan berulang kali meminta, agar sang ayah tidur bersamanya. Adelia terpaksa meloloskan keinginan putrinya i
"Aneh, Nika langsung lengket sama kamu?" Bayu tersenyum tipis menjawab celutukkan Fairuz. "Nika bilang, pernah dikasih liat foto aku sana Adelia." Mata kedua pria itu, sedari tadi tak lepas mengawasi Nika yang bermain di taman rumah sakit, ditemani Deyana. Rasa terima kasih tak cukup rasanya dia ucapkan kepada Adelia, gadis itu tak menghilangkan jejaknya di pikiran putri mereka. Terbuat dari apa hati gadis itu? kebaikannya membuat Bayu merasa semakin tak pantas meski hanya memikirkannya saja. "Aku minta maaf kalau menyusahkan Papa." Lanjut Bayu, lagi. Fairuz menggeleng. "Justru Papalah yang harusnya berterima kasih. Kamu sudah merawat Sarmila empat tahun ini. Entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita dalam lingkaran yang selalu terhubung." "Aku juga enggak mengira, Ibu adalah Ibu Adelia. Selama ini beliau sudah mengijinkan tinggal bersama. Ibu sudah aku anggap sebagai orang tua sendiri." Fairuz menepuk bahu Bayu pelan sebagai ungakapan rasa terima kasihnya. Melihat penampilan Ba
"Udah pulang. Nak?" Mama Anta menyapa ketika melihat putranya pulang dengan wajah lesu. Anta hanya tersenyum sebagai balasan dari pertanyaan mamanya. Dia melonggarkan ikatan dasi di leher, lalu duduk menghempaskan tubuh ke atas sofa. Ratna--Ibu Anta--mengernyitkan dahi melihat wajah Anta yang kusut. Dia meletakkan majalah fashion yang sedang dibaca ke atas meja. "Kok wajahnya seperti kain belum disetrika, gitu?" "Enggak pa-pa, Ma. Aku cuma capek," jawab Anta singkat. "Capek, apa capek?" Ratna menggoda, bibirnya tertarik ke atas melihat Anta yang irit bicara. Bukan kebiasaannya seperti itu. Apalagi belakangan ini. Setiap hari wajah Anta selalu berseri, berdendang setiap melakukan apa saja. Entah sedang mencuci mobil, bersih-bersih, bahkan saat berjalan pun dia juga berdendang. Bukannya menjawab, pria itu malah menerawang, menatap langit-langit rumahnya. Apa yang dia lihat tadi siang, sangat mengganggu fikirannya. Ingin rasanya menutup mata dan berpura-pura tidak mengetahui apa-ap
Adelia duduk mematung di depan ruangan ICU. Tatapan gadis itu kosong, matanya sembab, dan wajah terlihat sangat kusut. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Semua campur aduk di dada. Ada bahagia bisa bertemu kembali dengan sang ibu, sekaligus takut jika harus kembali kehilangan. Dia ingin menangis, ingin seseorang mengusap bahunya dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun, Adelia menahan semua kecamuk di dada. Dia tak ingin terlihat menyedihkan di depan Bayu yang sering mencuri-curi pandang padanya. Anta juga tak bisa berbuat apa-apa. Pria itu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Otaknya mencerna dengan hati-hati, dimulai dari pergerakan Adelia yang tiba-tiba, lalu memeluk seorang wanita dan memanggil, ibu. Dia memang mengetahui jika Adelia bukan saudara kandung Deyana, tetapi tak mengira Ibu kandung si gadis masih hidup. Salah pria itu, dia tak pernah bertanya. Padahal Adelia pernah memberikan selembar foto dan meminta tolong untuk mencari keberadaan wanita itu
Adelia tak bisa menutupi kekagumannya. Mata gadis itu bersinar, senyum tak luntur dari bibirnya saat Anta menunjukkan desain baju pengantin untuknya. Saat ini keduanya berada di butik ternama, yang menjadi langganan para pengusaha, sosialita, dan artis-artis ibukota. Adelia menaksir, harga gaun tersebut lebih dari dua puluh juta. Hanya dengan meraba saja, dia tahu gaun itu terbuat dari sutra plilihan. Kristal swarosky yang menjadi detail di bagian dada dan bawah gaun, membuat gaun tersebut seperti kepunyaan putri bangsawan. Itu baru satu gaun. Ada dua gaun lagi dengan desain lebih sederhana untuk dua pesta lainnya. Anta berkata, pesta pernikahan mereka nanti, akan digelar di tiga tempat. Di Jakarta untuk rekan bisnis dan teman-teman mereka. Di Bogor, kota kelahiran Anta dan yang terakhir di Paris. Adelia bertanya mengapa harus di sana? Pria itu menjawab, Paris adalah kota di mana dia menemukan Adelia kembali. Selain itu, Anta beralasan, banyak teman-temannya tinggal di sana. Pesta se
Udara sabtu pagi terasa sangat segar. Sisa hujan semalam, masih menyebarkan aroma petrikor yang menenangkan. Sisa embun terlihat bergelantungan di ujung-ujung daun. Suara burung perkutut peliharaan Fairuz, bersahutan menyambut matahari yang baru naik sepenggalah. Hari ini Adelia tidak pergi mengajar. Sejak berbicara dengan Deyana, perasaan gadis itu tak karuan. Dia membenak, ada apa dengan wanita itu? Walaupun tak ada lagi aroma permusuhan di antara mereka, tetapi sikap Deyana terasa ganjil. Kakaknya itu seolah-olah tak menyukai keputusannya menerima lamaran Anta. Harusnya, Deyana lega bukan? Empat tahun ini Adelia tak pernah melihat wanita tersebut bersama pria lain. Dia berpikir, mungkin saja Deyana masih mengharapkan Bayu. Sebuah asumsi yang sebenarnya menghantarkan denyut ngilu ke sekujur tubuhnya. Namun, dari pembicaraan keduanya tadi, dia menyimpulkan, seakan-akan Deyana mengetahui perihal Bayu. Apa keduanya sudah bertemu? Atau memang selama ini mereka masih berkomunikasi? Lal
Angin malam berembus menerpa wajah Deyana. Hujan telah reda, tetapi tidak rasa penasaran yang bergumul di dadanya. Empat tahun menghilang, siapa mengira takdir mempertemukannya dengan Bayu di rumah ini. Wanita itu meraih satu tas yang selesai dianyam. Senyum kecil terulas di bibirnya. Hasil buatan tangan sang pria sangat rapi. Benaknya bertanya-tanya, sejak kapan Bayu mahir membuat kerajinan rotan itu? "Maaf, nunggu lama. Aku harus memastikan Ibu minum obat dulu." Bayu meletakkan secangkir teh hangat di atas balai kayu tempat kerajinan disusun. Deyana tersenyum, meletakkan kembali tas itu, lalu duduk di sebelah Bayu. "Kamu apa kabar?" "Baik," jawab Bayu singkat. Deyana mengulum bibirnya. Benaknya berusaha mencari topik pembicaraan agar kekakuan mereka bisa mencair. "Makasih kamu udah ngaterin Ibu pulang," ucap Bayu, lagi. "Iya, kebetulan tadi kecelakaannya di depan kantor. Aku juga enggak tega biarin Ibu itu pulang sendiri." Bayu menatap Deyana sebentar. Ada yang berubah di di