Mata Adelia tak lepas mengawasi jalanan sejak keluar dari bandar udara Chagi. Sepanjang mata memandang, hanya hijau yang terlihat. Pohon-pohon tumbuh dengan kokoh dan berjajar rapi di sepanjang jalan. Terlihat beberapa petugas memangkas dahan-dahan pohon agar terlihat indah.Adelia pernah membaca, bahwa kota Singapura anti polusi, paling bersih, dan rapi. City in the garden adalah julukan untuk kota tersebut. Bahkan, kota itu adalah salah satu kota terhijau di dunia, dengan pohon-pohon yang berjajar teratur di tengah dan pinggir jalanan, taman-taman kota di berbagai sudut kota, hingga hutan kota yang bisa dijangkau dengan mudah dari pusat kota. Gadis itu hanyut melihat keindahan kota dari balik kaca mobil, hingga tak menyadari manik mata Bayu memperhatikan dirinya. Sejak berangkat dari bandara internasional Soekarno-Hatta, Adelia sudah menegaskan pada dirinya sendiri. Dia tak akan pernah memberi kesempatan pada siapa pun untuk masuk ke dalam hidupnya. Fokus gadis itu adalah, bagaiman
Adelia merapatkan cardigan hitam, sambil memeluk tubuhnya sendiri. Langit kota Singapura sangat cerah malam ini. Dia bisa melihat kerlip bintang bersanding dengan bulan yang berbentuk sabit. Lalu matanya tertarik pada lampu-lampu yang menghiasi kota tersebut. Seperti ribuan kunang-kunang tengah berpesta di bawah sana. Tanpa sadar, senyum Adelia mengembang. Untuk pertama kalinya setelah pernikahannya dengan Bayu, baru kali ini dadanya merasa lega. Entahlah ... saat pertama kali melihat rumah yang kini dia tempati, seperti tak asing, apalagi ketika ke kamar yang didominasi cat biru muda, membuatnya serasa berada di tempat yang tepat."Sebaiknya Nona masuk karna udara di luar sangat dingin."Adelia menoleh dan melihat sosok Melinda sedang menenteng nampan. "Tapi, saya suka melihat lampu kota dari sini, Bi. Terlihat indah.""Saya tau Nona suka sekali melihat itu, tapi sebaiknya makan malam dulu."Adelia menoleh, dahinya mengerut mendengar jawaban Melinda. "Bibi berkata, seolah-olah menge
"Minumlah ....." Melinda mengangsurkan segelas air putih kepada Adelia. Wanita itu terkejut melihat keberadaan si gadis di depan pintu dengan air mata berlinang di pipinya. Adelia hanya diam. Dia geming di atas kursi, seraya menyentuh tuts piano pelan. Air mata gadis itu telah surut, tetapi tidak sesak di dadanya. Ada rahasia di rumah ini dan Adelia yakin, Melinda tahu sesuatu. "Aku tak perlu air putih. Aku butuh penjelasan. Kali ini. Jujurlah padaku, Bibi Mel," pinta Adelia lirih, berbanding terbalik dengan sorot matanya yang menajam. Melinda meletakkan gelas di atas piano. Dia duduk di sebelah Adelia, seraya menganjur napas. "Apa yang Nona ingat?" "Aku merasa pernah ke rumah ini, Bi. Halaman, tangga, kamar, masakan, bahkan suara piano yang Bibi mainkan, mengingatkan pada ...." Adelia menahan kalimat terakhir. Rasa-rasanya dada gadis itu ingin pecah kala mengingat betapa dia sangat merindukan sang ibu. "Maafkan saya .... harusnya saya tak memainkan piano ini, tapi saya juga mer
Dari sekian banyak objek wisata yang ada di kota Singapura, Bayu memilih Garden By The Bay untuk menyenangkan hati Adelia. Lokasinya yang berada tepat di belakang Hotel Marina Bay, membuat tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan dalam dan luar negeri. Secara umum, Garden By The Bay adalah kebun bunga yang didesain dengan konsep hutan di dalam kota. Hampir semua tanaman dari seluruh penjuru dunia ditanam di sana. Selain taman dan area bermain, sebuah rumah kaca raksasa yang dilengkapi fasilitas canggih, juga berdiri kokoh. Bayu berkali-kali meyakinkan diri, jika dia tak memiliki perasaan apa pun pada gadis tersebut, yang dia lakukan sekarang ini, hanya berdasarkan kemanusiaan. Pria itu tahu benar, besarnya kerinduan si gadis kepada ibunya. Fairuz pernah bercerita keadaan Adelia saat pertama kali dibawa pulang. Gadis itu selalu menangis, dia tak mau memakan apa pun. Setiap malam selalu mengigau memanggil sang ibu. Bayu penasaran mengapa wanita yang terlihat baik--dia menyim
Dahulu senja terlihat indah di mata Bayu. Meskipun, gerimis demi gerimis menimpa tubuhnya, dia tak merasakan dingin yang diembus angin ke dada. Pelukan Adelia di pinggangnya, telah menciptakan aliran hangat. Sehangat wedang jahe yang dibuat dengan bumbu kasih sayang oleh almarhum ibunya, dulu. Sore itu, mereka tak sengaja bertemu. Adelia berjalan menuju gapura komplek tempat tinggal mereka. Sementara itu, Bayu baru saja mengantarkan mobil Fairuz ke bengkel. Tak payah menebak sosok yang berjalan, sambil memeluk buku di dada adalah Adelia. Dengan rambut hitam panjangnya yang dikuncir tinggi, gadis tersebut terlihat imut dan sangat manis mengenakan celana olah raga dan T-shirt lengan panjang, yang di belakangnya bertuliskan nama sekolah tempat si gadis bersekolah. Bayu sengaja memelankan laju motornya. Dia ingin lebih lama menikmati gerakan gemulai Adelia sore itu. Akan tetapi, tangannya tak bisa diajak bekerja sama, mulutnya juga, apalagi hati. Mereka tidak sinkron sama sekali. Seruan
Hujan masih berisik jatuh di atas atap rumah, sementara angin tak jemu meniup daun-daun di pekarangan rumah berlantai tiga yang ditempati Adelia. Sepertinya, terus mencoba meruntuhkan ketegaran sang daun yang bergelayut di ranting pohon yang bergoyang ke sana ke mari. Adelia menyibak tirai yang menutupi jendela kamarnya, hanya untuk melihat genangan air yang membasahi balkon kamar. Ini bukan kali pertama gadis tersebut mengintip keluar kamar. Berbulan-bulan yang lalu hujan juga turun seperti itu. Namun, kali ini intensitasnya cukup rendah. Gadis itu tak pernah membenci hujan. Sebab, jika dia membenci, artinya dia tak menerima ketentuan Tuhan. Apa saja yang terjadi di semesta, tentu sepengetahuan Yang Mahakuasa. Daun jatuh saja, tak akan terjadi jika bukan karena izin-Nya, apalagi hujan dan panas yang memang keharusan.Begitupun apa yang telah terjadi padanya. Adelia tersenyum sumir saat merasakan pergerakan bayi di dalam rahimnya. Makhluk kecil itu bergerak sangat aktif. Sering dia t
Senja temaram, mengantarkan benak Bayu pada sosok Adelia. Gadis itu terlihat menarik setiap hari, meski perutnya semakin membesar. Entah mengapa, kehamilan gadis tersebut membuatnya lebih cantik di mata sang pria. Sering Bayu memperhatikan Adelia diam-diam. Bagaimana cara gadis itu tersenyum saat berbicara dengan calon bayinya. Mengusap perut dengan kasih sayang, kadang menempelkan earphone ke sana, sekadar memperdengarkan musik klasik. Bayu juga menyesali ego yang membumbung tinggi. Tak pernah sekalipun dia menemani Adelia memeriksakan kehamilan. Bukan apa-apa, dia hanya tidak mau gadis itu besar kepala dan mengira bahwa hatinya telah melunak. Namun, jika boleh jujur, ada yang bergetar di dada Bayu saat beradu pandang dengan mata jernih milik Adelia. Sorot mata gadis tersebut tak pernah berubah, masih menenangkan dan membuat nyaman. Seperti musim semi selalu hadir di dadanya. Terasa hangat, indah, dan berpelangi. Berlebihan memang, tetapi itulah yang dia rasakan saat ini. Meskipun,
Pagi yang cerah. Sang surya tidak begitu garang bersinar, tetapi cukup menembus kaca tempat Deyana berdiri. Wanita itu mendengkus kesal, melihat dua puluh pesan WhatsApp yang dia kirim ke telepon genggam Bayu, masih abu-abu dan centang satu. Benaknya bertanya-tanya, ke mana pria itu? Padahal kemarin, dia sudah memberi kabar berada di bandara Changi. Biasanya, Bayu akan langsung menghampiri setiap kali dia meminta. Namun, kali ini, pria tersebut menghilang tanpa kabar. 'Kamu ke mana, sih?! Bisa-bisanya kamu cuekin aku, kek, gini!' Deyana berjalan mondar-mandir di depan jendela hotel tempat dia menginap. Wajah wanita itu memerah dengan rahang mengeras dan bibir terkatup rapat. Berkali-kali dia menjambak rambutnya sendiri, sebagai bentuk kekesalan. Bila amarah sudah memuncak ke puncak kepala Deyana, dadanya seperti digodam palu besi berkali-kali, menyesakkan, meronta-ronta hendak dilepaskan. Rasanya, ingin menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya. Wanita itu memang kesulitan meng
Adelia melangkah pelan-pelan, seraya melihat dekorasi ruangan tempat pernikahan mereka dilangsungkan. Perubahan tempat yang awalnya akan dilangsungkan di gedung, diganti ke sebuah villa milik keluarga Fairuz di daerah puncak. Semua itu atas permintaan Fairuz yang meminta pernikahan keduanya dipercepat satu bulan, karena pria itu hendak membawa Sarmila ke Singapura untuk berobat. Kabar baik didapat dari kenalannya dokter di sana, bahwa ada pendonor yang cocok dengan sang istri. Fairuz mengatakan, yang penting akad dulu, untuk resepsi nanti setelah Sarmila selesai melakukan transplantasi ginjal. Adelia tak bereaksi apa-apa dengan permintaan sang papa. Toh, cepat atau lambat, pernikahan akan terjadi juga. Dia hanya perlu mempersiapkan hati untuk mulai belajar mencintai Anta.Adelia juga mengurangi pertemuan dengan Bayu. Setiap kali pria itu datang menjemput Nika, Adelia memilih tidak menemui. Dia tak ingin rasa cinta yang susah payah dia matikan, kembali bertunas setelah melihat pria t
Aku tidak tahu sudah berapa lama duduk di atas susunan batu pemecah ombak. Membiarkan kakiku terjuntai ke bawah dijilat air laut yang mulai pasang. Yang pasti matahari sudah tidak segarang tadi. Perlahan-lahan sang surya mulai merangkak turun meninggalkan cahaya kemerahan di ujung cakrawala. Aku mengamati fenomena alam tersebut. Benda besar bersinar itu seolah-olah turun dan tenggelam ke dalam lautan. Aku tersenyum dan berpikir bagaimana bintang terbesar, yang menerangi seluruh dunia, saat waktunya telah selesai tetap harus tunduk kembali ke peraduan untuk memberi jalan pada bulan menjalankan tugasnya.Tanpa bisa dicegah masa lalu kembali berpandang ke tempurung kepalaku. menggali saat-saat bahagia yang tidak pernah bisa aku lupakan. Saat itu aku masih berseragam putih abu-abu. Sebagai senior dan anggota osis, kami diberi tanggung jawab membuat acara menyambut siswa baru. Aku masih ingat, hari itu malam terakhir. Kami mengadakan acara malam hiburan dan kesenian. Hampir semua siswa da
Rumah Fairuz dipenuhi kerabat dan beberapa relasi bisnis. Hari ini keluarganya mengadakan syukuran kepulangan sekaligus sehatnya Sarmila kembali. Keadaan wanita itu sudah lebih baik setelah dirawat sekitar dua minggu. Dokter mengingatkan kondisi Sarmlia belum terlalu baik. Sewaktu-waktu bisa saja kembali kolaps. Dokter menyarankan secepatnya mencari pendonor dan menjaga kondisi pasien agar tak terlalu lelah, apalagi stress. Taman belakang yang luas disulap menjadi tempat berlangsungnya acara. Kursi-kursi disusun sejajar untuk anak-anak yatim yang sengaja diundang. Makanan juga dihidangkan di atas meja dengan aneka macam menu khas indonesia. Ada juga banyak nasi kotak untuk para tamu yang tak sempat hadir lama. Fairuz dan Sarmila tersenyum melihat tingkah Nika yang bergelayut di punggung Bayu. Sejak bertemu dengan ayahnya, bocah kecil itu seolah-olah tak bisa dipisahkan. Dia bahkan berulang kali meminta, agar sang ayah tidur bersamanya. Adelia terpaksa meloloskan keinginan putrinya i
"Aneh, Nika langsung lengket sama kamu?" Bayu tersenyum tipis menjawab celutukkan Fairuz. "Nika bilang, pernah dikasih liat foto aku sana Adelia." Mata kedua pria itu, sedari tadi tak lepas mengawasi Nika yang bermain di taman rumah sakit, ditemani Deyana. Rasa terima kasih tak cukup rasanya dia ucapkan kepada Adelia, gadis itu tak menghilangkan jejaknya di pikiran putri mereka. Terbuat dari apa hati gadis itu? kebaikannya membuat Bayu merasa semakin tak pantas meski hanya memikirkannya saja. "Aku minta maaf kalau menyusahkan Papa." Lanjut Bayu, lagi. Fairuz menggeleng. "Justru Papalah yang harusnya berterima kasih. Kamu sudah merawat Sarmila empat tahun ini. Entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita dalam lingkaran yang selalu terhubung." "Aku juga enggak mengira, Ibu adalah Ibu Adelia. Selama ini beliau sudah mengijinkan tinggal bersama. Ibu sudah aku anggap sebagai orang tua sendiri." Fairuz menepuk bahu Bayu pelan sebagai ungakapan rasa terima kasihnya. Melihat penampilan Ba
"Udah pulang. Nak?" Mama Anta menyapa ketika melihat putranya pulang dengan wajah lesu. Anta hanya tersenyum sebagai balasan dari pertanyaan mamanya. Dia melonggarkan ikatan dasi di leher, lalu duduk menghempaskan tubuh ke atas sofa. Ratna--Ibu Anta--mengernyitkan dahi melihat wajah Anta yang kusut. Dia meletakkan majalah fashion yang sedang dibaca ke atas meja. "Kok wajahnya seperti kain belum disetrika, gitu?" "Enggak pa-pa, Ma. Aku cuma capek," jawab Anta singkat. "Capek, apa capek?" Ratna menggoda, bibirnya tertarik ke atas melihat Anta yang irit bicara. Bukan kebiasaannya seperti itu. Apalagi belakangan ini. Setiap hari wajah Anta selalu berseri, berdendang setiap melakukan apa saja. Entah sedang mencuci mobil, bersih-bersih, bahkan saat berjalan pun dia juga berdendang. Bukannya menjawab, pria itu malah menerawang, menatap langit-langit rumahnya. Apa yang dia lihat tadi siang, sangat mengganggu fikirannya. Ingin rasanya menutup mata dan berpura-pura tidak mengetahui apa-ap
Adelia duduk mematung di depan ruangan ICU. Tatapan gadis itu kosong, matanya sembab, dan wajah terlihat sangat kusut. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Semua campur aduk di dada. Ada bahagia bisa bertemu kembali dengan sang ibu, sekaligus takut jika harus kembali kehilangan. Dia ingin menangis, ingin seseorang mengusap bahunya dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun, Adelia menahan semua kecamuk di dada. Dia tak ingin terlihat menyedihkan di depan Bayu yang sering mencuri-curi pandang padanya. Anta juga tak bisa berbuat apa-apa. Pria itu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Otaknya mencerna dengan hati-hati, dimulai dari pergerakan Adelia yang tiba-tiba, lalu memeluk seorang wanita dan memanggil, ibu. Dia memang mengetahui jika Adelia bukan saudara kandung Deyana, tetapi tak mengira Ibu kandung si gadis masih hidup. Salah pria itu, dia tak pernah bertanya. Padahal Adelia pernah memberikan selembar foto dan meminta tolong untuk mencari keberadaan wanita itu
Adelia tak bisa menutupi kekagumannya. Mata gadis itu bersinar, senyum tak luntur dari bibirnya saat Anta menunjukkan desain baju pengantin untuknya. Saat ini keduanya berada di butik ternama, yang menjadi langganan para pengusaha, sosialita, dan artis-artis ibukota. Adelia menaksir, harga gaun tersebut lebih dari dua puluh juta. Hanya dengan meraba saja, dia tahu gaun itu terbuat dari sutra plilihan. Kristal swarosky yang menjadi detail di bagian dada dan bawah gaun, membuat gaun tersebut seperti kepunyaan putri bangsawan. Itu baru satu gaun. Ada dua gaun lagi dengan desain lebih sederhana untuk dua pesta lainnya. Anta berkata, pesta pernikahan mereka nanti, akan digelar di tiga tempat. Di Jakarta untuk rekan bisnis dan teman-teman mereka. Di Bogor, kota kelahiran Anta dan yang terakhir di Paris. Adelia bertanya mengapa harus di sana? Pria itu menjawab, Paris adalah kota di mana dia menemukan Adelia kembali. Selain itu, Anta beralasan, banyak teman-temannya tinggal di sana. Pesta se
Udara sabtu pagi terasa sangat segar. Sisa hujan semalam, masih menyebarkan aroma petrikor yang menenangkan. Sisa embun terlihat bergelantungan di ujung-ujung daun. Suara burung perkutut peliharaan Fairuz, bersahutan menyambut matahari yang baru naik sepenggalah. Hari ini Adelia tidak pergi mengajar. Sejak berbicara dengan Deyana, perasaan gadis itu tak karuan. Dia membenak, ada apa dengan wanita itu? Walaupun tak ada lagi aroma permusuhan di antara mereka, tetapi sikap Deyana terasa ganjil. Kakaknya itu seolah-olah tak menyukai keputusannya menerima lamaran Anta. Harusnya, Deyana lega bukan? Empat tahun ini Adelia tak pernah melihat wanita tersebut bersama pria lain. Dia berpikir, mungkin saja Deyana masih mengharapkan Bayu. Sebuah asumsi yang sebenarnya menghantarkan denyut ngilu ke sekujur tubuhnya. Namun, dari pembicaraan keduanya tadi, dia menyimpulkan, seakan-akan Deyana mengetahui perihal Bayu. Apa keduanya sudah bertemu? Atau memang selama ini mereka masih berkomunikasi? Lal
Angin malam berembus menerpa wajah Deyana. Hujan telah reda, tetapi tidak rasa penasaran yang bergumul di dadanya. Empat tahun menghilang, siapa mengira takdir mempertemukannya dengan Bayu di rumah ini. Wanita itu meraih satu tas yang selesai dianyam. Senyum kecil terulas di bibirnya. Hasil buatan tangan sang pria sangat rapi. Benaknya bertanya-tanya, sejak kapan Bayu mahir membuat kerajinan rotan itu? "Maaf, nunggu lama. Aku harus memastikan Ibu minum obat dulu." Bayu meletakkan secangkir teh hangat di atas balai kayu tempat kerajinan disusun. Deyana tersenyum, meletakkan kembali tas itu, lalu duduk di sebelah Bayu. "Kamu apa kabar?" "Baik," jawab Bayu singkat. Deyana mengulum bibirnya. Benaknya berusaha mencari topik pembicaraan agar kekakuan mereka bisa mencair. "Makasih kamu udah ngaterin Ibu pulang," ucap Bayu, lagi. "Iya, kebetulan tadi kecelakaannya di depan kantor. Aku juga enggak tega biarin Ibu itu pulang sendiri." Bayu menatap Deyana sebentar. Ada yang berubah di di