Adelia baru saja menyabuni piring kotor di bak cuci piring ketika suara Fairuz terdengar gusar.
"Dasar ceroboh! Lihat, Deyana meninggalkan dokumen penting. Bagaimana dia akan mempresentasikan penawaran untuk tender nanti," keluh Fairuz melihat sebuah map yang tertinggal di meja makan."Biar Adel yang antar, paling juga masih di depan." Adelia menawarkan diri. Dia mematikan kran air, lalu mengelap tangannya dengan kain lap yang tergantung di dekat kran.Fairuz menganggguk, lalu menyerahkan dokumen yang berada di dalam map berwarna cokelat. Adelia gegas melangkah keluar mengejar Deyana dan Bayu yang baru saja pamit hendak ke kantor. Memang, keduanya bekerja di perusahaan milik Fairuz yang bergerak di bidang periklanan. Mungkin kedekatan itulah yang membuat keduanya jatuh cinta. Bayu memberi pengaruh positif pada Deyana. Sang kakak yang gemar akan dunia malam dan suka berpetualang dari satu hati ke hati lain, perlahan-lahan mengurangi kebiasaannya. Dia berubah menjadi gadis penurut dan itu karena nasehat dari Bayu.Langkah Adelia mati saat melihat keduanya berdiri di teras rumah. Dari balik jendela, dia melihat Deyana merapikan dasi Bayu. Keduanya berdiri sangat dekat, nyaris hidung mereka bersentuhan. Hati Adelia semakin perih saat melihat sang pria tersenyum lembut seraya mengusap pipi Deyana lembut. Pria itu mengucapkan sesuatu yang tak bisa ditangkap gendang telinganya. Adelia menekan dadanya yang berdenyut ngilu. Dia menegaskan pada dirinya sendiri, jika Bayu bukan siapa-siapa. Hanya seorang pria yang dipaksa menikahinya untuk menutupi aib, sedangkan Deyana adalah gadis yang sangat dicintai pria tersebut. Dialah sang perusak hubungan keduanya, dialah sang penghancur impian Deyana. Jadi, sangat wajar jika sang kakak membencinya.Perlahan Adelia menghela napas. Dia berusaha menenangkan riuh yang berdentang di dada, lalu mengutus seulas senyum di bibir tipisnya. Dia menegapkan langkah menuju kedua orang yang kini sudah beranjak menuju mobil."Kak Deyana!" Adelia mempercepat langkahnya saat keduanya menoleh padanya. "Kakak meninggalkan ini di meja makan."Deyana menerima map cokelat dari tangan sang adik, mengintip isinya sebentar, lalu membuka pintu mobil tanpa mengucapkan terima kasih. Bayu hanya diam melihat interaksi keduanya. Dia menatap punggung Adelia yang menjauh setelah gadis itu melirik padanya sekilas sebelum berbalik masuk ke rumah.*"Papa, memanggilku?" Adelia berdiri di ambang pintu ketika asisten rumah tangga memberitahu Fairuz ingin bicara dengannya.Fairuz mengangkat pandangannya dari layar laptop saat mendengar suara Adelia menyapanya."Ke sini, Papa mau bicara."Adelia membuka pintu ruang kerja Fairuz lebih lebar, lalu melangkah masuk. Dia tidak tahu apa yang hendak dibicarakan pria itu. Gadis tersebut masih takut dengan kemarahan sang papa saat mendapatkan hasil test kehamilan dirinya di dalam kamar mandi. Adelia juga masih ingat Fairuz yang mengamuk membabi-buta, membuat gadis tersebut semakin menutup rapat mulut tentang siapa pria yang menghamili dirinya."Duduk di sini." Fairuz menepuk sofa di sebelahnya. Dia menutup laptop setelah menekan tombol 'save'."Ada apa, Pa?" tanya Adelia. Gadis itu bisa merasakan ada hal penting yang hendak dibicarakan sang papa. Keduanya sangat jarang berkomunikasi selama setahun terakhir. Fairuz begitu sibuk dengan karir politik yang baru saja dia bangun, mempercayakan perusahaan pada Bayu dan Deyana. Adelia tersenyum getir. Lagi-lagi benaknya mengingat mereka berdua, lalu alam bawah sadarnya membandingkan dirinya dengan Deyana. Gadis itu lebih tua tiga tahun di atasnya. Lulus dengan predikat terbaik dari universitas luar negeri. Dia sangat cerdas, di tangannya perusahaan Fairuz berkembang pesat sejak tiga tahun terakhir, ditambah dengan kemampuan mumpuni Bayu dalam hal bisnis, membuat keduanya sangat cocok satu sama lain. Kadang ada terselip rasa iri saat keduanya berbincang. Terlihat sangat kompak. Mata sang pria berbinar menatap Deyana kala gadis itu berbicara tentang bisnis. Tidak sepertinya yang hanya bisa membahas masalah aljabar, kimia, dan fisika. Sesekali tentang teman-temannya yang bertingkah menyebalkan."Apa yang kamu pikirkan?" Pertanyaan Fairuz membuyarkan lamunan Adelia yang berlari ke dimensi lain."Em, enggak, Pa ... bukan apa-apa."Fairuz menghempaskan napas dan menatap sang putri lekat. "Maaf, Papa memaksa kamu menikah dengan Bayu."Adelia tersenyum tipis. "Enggak papa, Pa. Adel yang salah bikin malu keluarga."Fairuz mengubah posisi duduknya. Dia menghadap sang putri seraya menatap lebih dalam, seolah-olah ingin mencari kebenaran di sorot teduh milik Adelia."Adel, jujur sama Papa, siapa pria itu? Kenapa kamu begitu keras melindungi dia? Apa dia orang penting atau ada yang mengancammu?"Fairuz mencoba bertanya lebih lembut kepada sang putri. Saat ini pikiran jauh lebih tenang dibanding beberapa minggu yang lalu, kala mendapati kenyataan Adelia hamil di luar nikah. Dia sangat mengenal putri bungsunya. Jika soal karakter, pria itu lebih memuji Adelia yang mewarisi sifat istri keduanya. Sederhana, sopan, dan tidak banyak bicara. Berbeda dengan Deyana yang keras kepala dan sedikit liar.Adelia menundukkan kepala seraya menggeleng pelan. Dia sudah mematri janji di dalam hati untuk tidak akan membuka jati diri pria tersebut. Gadis itu lebih percaya pada takdir Tuhan yang akan menunjukkan kebenaran saat waktunya tiba. Sebab jika dia membuka mulut sekarang, yang terjadi adalah perseteruan yang tidak akan pernah ada ujungnya."Adel, lihat Papa! Tolong jujur, Nak. Mamamu pasti akan sedih melihatmu seperti ini." Lirih Fairuz. Dia berusaha menyentuh sisi terdalam Adelia yang sangat mencintai sang mama.Perlahan Adelia mengangkat pandangannya. Mata gadis itu mulai mengembun, dia meraih tangan sang papa dan menggenggam erat, sementara sorot matanya memperlihatkan keyakinan kuat."Adel, enggak bersalah, Pa. Tidak seburuk yang dipikirkan Kak deyana maupun Papa sendiri. Adel bukan penzina. Bila saatnya tiba, adel akan menceritakan semuanya. Papa harus percaya sama Adel."Fairuz tak bisa berkata apa-apa lagi. Suara sang putri begitu tegas, menyiratkan jika dia tidak main-main dengan ucapannya. Hening ... hanya desau angin di luar jendela yang mempermainkan ranting-ranting pohon. Langit mulai mendung, sepertinya hujan akan kembali turun.Adelia menatap hujan dari balik jendela kamar. Pikiran wanita itu membentangkan kejadian beberapa bulan yang lalu. Hari di mana semua berawal. Saat itu juga hujan deras. Petir dan kilat silih bergantian di langit. Dia memeluk tas di halte bis tepat di depan sekolah. Seragam putih-abunya sedikit basah karena tempias air hujan yang ditiupkan angin. Harusnya sopir keluarga telah menjemputnya satu jam yang lalu, tetapi Mang Hadi mengatakan jika mobil mengalami pecah di jalan. Mencoba menghubungi sang papa, tetapi ponsel pria itu tidak aktif.Adelia mencoba bertahan di halte tersebut, tetapi hingga senja merangkak naik, Mang Hadi belum juga menampakkan batang hidungnya. Satu nama yang diingatnya, Bayu. Dia ingat jika pria tersebut mengatakan sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dekat dari sekolahnya. Mencoba menghubungi, tetapi ponselnya sudah kehabisan daya. Adelia menimbang apa yang harus dia lakukan. Jika menunggu tanpa kepastian, dia takut terjadi sesuatu sementara hari sudah
Udara masih terasa dingin meski mentari sudah memancarkan sinarnya. Jejak basah di rumput yang terhampar di halaman belakang rumah keluarga Fairuz, membuat kaki Adelia terasa segar karena embun yang menyentuh kulitnya. Gadis itu tak bisa tidur nyenyak semalam. Kata-kata Deyana terus memantul-mantul di gendang telinganya. Perih merayap ke dada Adelia, menikamkan rasa sakit yang tak terperi. Gadis itu tak pernah meminta hadir ke dunia dari benih Fairuz, tak juga meminta dilahirkan dari seorang wanita berstatus istri kedua. Meski banyak yang mengatakan ibunya perebut suami orang, sangat jarang sang papa berada di rumah. Pria itu hanya mengunjungi Adelia dan ibunya sekali dalam tiga bulan.Banyak juga yang mengatakan ibunya wanita matre, tapi pada kenyataannya hidup mereka biasa-biasa saja. Benda berharga yang dimiliki sang ibu hanya sepeda motor dan televisi ukuran 22" inci. Keduanya juga tak pernah makan dengan menu mewah. Hanya satu yang selalu diingat Adelia dan hal itu masih dia ge
Deyana memasukkan baju-bajunya ke dalam 'travel bag' dengan wajah ditekuk. Sesekali wanita cantik berkulit putih bersih itu menggerutu, sambil melirik ke arah jam yang tergantung di dinding kamarnya. Hampir dua jam Bayu mengantar Adelia ke rumah sakit, tapi tak sekali pun pria itu menjawab pesan darinya. Apa keadaan gadis perebut kekasihnya itu parah? Deyana sangat berharap janin di rahim Adelia luruh, hingga pernikahan gadis tersebut dengan pria yang dia cintai bisa berakhir lebih cepat.Namun, saat mengingat reaksi Bayu kala melihat Adelia kesakitan, membuat sesuatu tak tembus pandang meremas jantung Deyana. Wanita itu bisa merasakan aura kecemasan menghampiri sang pria. Seketika gerakan sang wanita terhenti. Dia duduk di pinggir pembaringan, seraya menatap ke arah meja rias yang ada di hadapan. Di sana terpajang foto dirinya dan Bayu saat keduanya berlibur ke Bali. Senyum yang diabadikan dalam potret tersebut sangat nyata. Deyana bisa merasakan cinta Bayu padanya tulus, meski ter
Malam ini hujan turun lagi. Adelia tak pernah membenci hujan. Dia sangat suka melihat air yang tercurah dari langit tersebut. Baginya, hujan adalah berkah dari Yang Mahakuasa. Begitu banyak tempat yang dilanda kekeringan, menanduskan mahkluk yang ada di sana. "Hujan itu waktu yang sangat baik untuk berdoa."Adelia masih ingat nasehat ibunya. Kala itu, mereka berdua sedang duduk di teras rumah, sambil menikmati sepiring pisang goreng hasil kreasi Adelia yang lumayan ... gosong. Akan tetapi, tetap di puji sang ibu, setidaknya Adelia sudah berusaha belajar memasak. Satu gelas besar teh hangat ikut menemani aktivitas santai keduanya sore itu. Minum satu gelas dengan ibunya memberi kesenangan tersendiri bagi gadis tersebut, lebih enak katanya. Meski sebenarnya, tak ada yang berubah dari rasa teh itu."Banyak orang berpikir hujan itu menyedihkan, bikin orang galau. Padahal kalau mau dipikir baik-baik, hujan itu waktunya kita santai. Bisa tiduran tanpa perlu nyalain kipas angin, bisa rebaha
Adelia menutup kelopak matanya rapat-rapat, saat mendengar pintu terbuka dari luar. Langkah Bayu yang mendekat, lalu pembaringan di sebelahnya terasa bergerak. Si gadis bisa menerka jika pria itu baru saja duduk di sana. Mati-matian Adelia menahan gemuruh di dadanya. Harusnya dia tak terbangun di tengah malam, hingga tak perlu mendengar percakapan Fairuz dengan Bayu. Saat hendak menuruni tangga menuju dapur yang berada di lantai dasar rumahnya, Adelia mendengar permintaan Fairuz kepada Bayu. Gadis itu membujuk hatinya agar kuat. Dia tak ingin lagi memanen kesedihan karena Bayu. Namun, sesak telanjur mengaliri seluruh rongga dadanya. Benar apa yang disangkakan Adelia, pria itu sengaja menghindar bertemu dengannya. Lalu bagaimana mereka akan hidup satu atap nanti? Jika boleh memilih, dia ingin tinggal sendirian saja tanpa siapa pun. Akan tetapi, sang papa tidak meluluskan permintaannya.Adelia mengurungkan niatnya mengambil sepotong roti untuk mengganjal perutnya. Rasa lapar gadis itu
Mata Adelia tak lepas mengawasi jalanan sejak keluar dari bandar udara Chagi. Sepanjang mata memandang, hanya hijau yang terlihat. Pohon-pohon tumbuh dengan kokoh dan berjajar rapi di sepanjang jalan. Terlihat beberapa petugas memangkas dahan-dahan pohon agar terlihat indah.Adelia pernah membaca, bahwa kota Singapura anti polusi, paling bersih, dan rapi. City in the garden adalah julukan untuk kota tersebut. Bahkan, kota itu adalah salah satu kota terhijau di dunia, dengan pohon-pohon yang berjajar teratur di tengah dan pinggir jalanan, taman-taman kota di berbagai sudut kota, hingga hutan kota yang bisa dijangkau dengan mudah dari pusat kota. Gadis itu hanyut melihat keindahan kota dari balik kaca mobil, hingga tak menyadari manik mata Bayu memperhatikan dirinya. Sejak berangkat dari bandara internasional Soekarno-Hatta, Adelia sudah menegaskan pada dirinya sendiri. Dia tak akan pernah memberi kesempatan pada siapa pun untuk masuk ke dalam hidupnya. Fokus gadis itu adalah, bagaiman
Adelia merapatkan cardigan hitam, sambil memeluk tubuhnya sendiri. Langit kota Singapura sangat cerah malam ini. Dia bisa melihat kerlip bintang bersanding dengan bulan yang berbentuk sabit. Lalu matanya tertarik pada lampu-lampu yang menghiasi kota tersebut. Seperti ribuan kunang-kunang tengah berpesta di bawah sana. Tanpa sadar, senyum Adelia mengembang. Untuk pertama kalinya setelah pernikahannya dengan Bayu, baru kali ini dadanya merasa lega. Entahlah ... saat pertama kali melihat rumah yang kini dia tempati, seperti tak asing, apalagi ketika ke kamar yang didominasi cat biru muda, membuatnya serasa berada di tempat yang tepat."Sebaiknya Nona masuk karna udara di luar sangat dingin."Adelia menoleh dan melihat sosok Melinda sedang menenteng nampan. "Tapi, saya suka melihat lampu kota dari sini, Bi. Terlihat indah.""Saya tau Nona suka sekali melihat itu, tapi sebaiknya makan malam dulu."Adelia menoleh, dahinya mengerut mendengar jawaban Melinda. "Bibi berkata, seolah-olah menge
"Minumlah ....." Melinda mengangsurkan segelas air putih kepada Adelia. Wanita itu terkejut melihat keberadaan si gadis di depan pintu dengan air mata berlinang di pipinya. Adelia hanya diam. Dia geming di atas kursi, seraya menyentuh tuts piano pelan. Air mata gadis itu telah surut, tetapi tidak sesak di dadanya. Ada rahasia di rumah ini dan Adelia yakin, Melinda tahu sesuatu. "Aku tak perlu air putih. Aku butuh penjelasan. Kali ini. Jujurlah padaku, Bibi Mel," pinta Adelia lirih, berbanding terbalik dengan sorot matanya yang menajam. Melinda meletakkan gelas di atas piano. Dia duduk di sebelah Adelia, seraya menganjur napas. "Apa yang Nona ingat?" "Aku merasa pernah ke rumah ini, Bi. Halaman, tangga, kamar, masakan, bahkan suara piano yang Bibi mainkan, mengingatkan pada ...." Adelia menahan kalimat terakhir. Rasa-rasanya dada gadis itu ingin pecah kala mengingat betapa dia sangat merindukan sang ibu. "Maafkan saya .... harusnya saya tak memainkan piano ini, tapi saya juga mer
Adelia melangkah pelan-pelan, seraya melihat dekorasi ruangan tempat pernikahan mereka dilangsungkan. Perubahan tempat yang awalnya akan dilangsungkan di gedung, diganti ke sebuah villa milik keluarga Fairuz di daerah puncak. Semua itu atas permintaan Fairuz yang meminta pernikahan keduanya dipercepat satu bulan, karena pria itu hendak membawa Sarmila ke Singapura untuk berobat. Kabar baik didapat dari kenalannya dokter di sana, bahwa ada pendonor yang cocok dengan sang istri. Fairuz mengatakan, yang penting akad dulu, untuk resepsi nanti setelah Sarmila selesai melakukan transplantasi ginjal. Adelia tak bereaksi apa-apa dengan permintaan sang papa. Toh, cepat atau lambat, pernikahan akan terjadi juga. Dia hanya perlu mempersiapkan hati untuk mulai belajar mencintai Anta.Adelia juga mengurangi pertemuan dengan Bayu. Setiap kali pria itu datang menjemput Nika, Adelia memilih tidak menemui. Dia tak ingin rasa cinta yang susah payah dia matikan, kembali bertunas setelah melihat pria t
Aku tidak tahu sudah berapa lama duduk di atas susunan batu pemecah ombak. Membiarkan kakiku terjuntai ke bawah dijilat air laut yang mulai pasang. Yang pasti matahari sudah tidak segarang tadi. Perlahan-lahan sang surya mulai merangkak turun meninggalkan cahaya kemerahan di ujung cakrawala. Aku mengamati fenomena alam tersebut. Benda besar bersinar itu seolah-olah turun dan tenggelam ke dalam lautan. Aku tersenyum dan berpikir bagaimana bintang terbesar, yang menerangi seluruh dunia, saat waktunya telah selesai tetap harus tunduk kembali ke peraduan untuk memberi jalan pada bulan menjalankan tugasnya.Tanpa bisa dicegah masa lalu kembali berpandang ke tempurung kepalaku. menggali saat-saat bahagia yang tidak pernah bisa aku lupakan. Saat itu aku masih berseragam putih abu-abu. Sebagai senior dan anggota osis, kami diberi tanggung jawab membuat acara menyambut siswa baru. Aku masih ingat, hari itu malam terakhir. Kami mengadakan acara malam hiburan dan kesenian. Hampir semua siswa da
Rumah Fairuz dipenuhi kerabat dan beberapa relasi bisnis. Hari ini keluarganya mengadakan syukuran kepulangan sekaligus sehatnya Sarmila kembali. Keadaan wanita itu sudah lebih baik setelah dirawat sekitar dua minggu. Dokter mengingatkan kondisi Sarmlia belum terlalu baik. Sewaktu-waktu bisa saja kembali kolaps. Dokter menyarankan secepatnya mencari pendonor dan menjaga kondisi pasien agar tak terlalu lelah, apalagi stress. Taman belakang yang luas disulap menjadi tempat berlangsungnya acara. Kursi-kursi disusun sejajar untuk anak-anak yatim yang sengaja diundang. Makanan juga dihidangkan di atas meja dengan aneka macam menu khas indonesia. Ada juga banyak nasi kotak untuk para tamu yang tak sempat hadir lama. Fairuz dan Sarmila tersenyum melihat tingkah Nika yang bergelayut di punggung Bayu. Sejak bertemu dengan ayahnya, bocah kecil itu seolah-olah tak bisa dipisahkan. Dia bahkan berulang kali meminta, agar sang ayah tidur bersamanya. Adelia terpaksa meloloskan keinginan putrinya i
"Aneh, Nika langsung lengket sama kamu?" Bayu tersenyum tipis menjawab celutukkan Fairuz. "Nika bilang, pernah dikasih liat foto aku sana Adelia." Mata kedua pria itu, sedari tadi tak lepas mengawasi Nika yang bermain di taman rumah sakit, ditemani Deyana. Rasa terima kasih tak cukup rasanya dia ucapkan kepada Adelia, gadis itu tak menghilangkan jejaknya di pikiran putri mereka. Terbuat dari apa hati gadis itu? kebaikannya membuat Bayu merasa semakin tak pantas meski hanya memikirkannya saja. "Aku minta maaf kalau menyusahkan Papa." Lanjut Bayu, lagi. Fairuz menggeleng. "Justru Papalah yang harusnya berterima kasih. Kamu sudah merawat Sarmila empat tahun ini. Entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita dalam lingkaran yang selalu terhubung." "Aku juga enggak mengira, Ibu adalah Ibu Adelia. Selama ini beliau sudah mengijinkan tinggal bersama. Ibu sudah aku anggap sebagai orang tua sendiri." Fairuz menepuk bahu Bayu pelan sebagai ungakapan rasa terima kasihnya. Melihat penampilan Ba
"Udah pulang. Nak?" Mama Anta menyapa ketika melihat putranya pulang dengan wajah lesu. Anta hanya tersenyum sebagai balasan dari pertanyaan mamanya. Dia melonggarkan ikatan dasi di leher, lalu duduk menghempaskan tubuh ke atas sofa. Ratna--Ibu Anta--mengernyitkan dahi melihat wajah Anta yang kusut. Dia meletakkan majalah fashion yang sedang dibaca ke atas meja. "Kok wajahnya seperti kain belum disetrika, gitu?" "Enggak pa-pa, Ma. Aku cuma capek," jawab Anta singkat. "Capek, apa capek?" Ratna menggoda, bibirnya tertarik ke atas melihat Anta yang irit bicara. Bukan kebiasaannya seperti itu. Apalagi belakangan ini. Setiap hari wajah Anta selalu berseri, berdendang setiap melakukan apa saja. Entah sedang mencuci mobil, bersih-bersih, bahkan saat berjalan pun dia juga berdendang. Bukannya menjawab, pria itu malah menerawang, menatap langit-langit rumahnya. Apa yang dia lihat tadi siang, sangat mengganggu fikirannya. Ingin rasanya menutup mata dan berpura-pura tidak mengetahui apa-ap
Adelia duduk mematung di depan ruangan ICU. Tatapan gadis itu kosong, matanya sembab, dan wajah terlihat sangat kusut. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Semua campur aduk di dada. Ada bahagia bisa bertemu kembali dengan sang ibu, sekaligus takut jika harus kembali kehilangan. Dia ingin menangis, ingin seseorang mengusap bahunya dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun, Adelia menahan semua kecamuk di dada. Dia tak ingin terlihat menyedihkan di depan Bayu yang sering mencuri-curi pandang padanya. Anta juga tak bisa berbuat apa-apa. Pria itu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Otaknya mencerna dengan hati-hati, dimulai dari pergerakan Adelia yang tiba-tiba, lalu memeluk seorang wanita dan memanggil, ibu. Dia memang mengetahui jika Adelia bukan saudara kandung Deyana, tetapi tak mengira Ibu kandung si gadis masih hidup. Salah pria itu, dia tak pernah bertanya. Padahal Adelia pernah memberikan selembar foto dan meminta tolong untuk mencari keberadaan wanita itu
Adelia tak bisa menutupi kekagumannya. Mata gadis itu bersinar, senyum tak luntur dari bibirnya saat Anta menunjukkan desain baju pengantin untuknya. Saat ini keduanya berada di butik ternama, yang menjadi langganan para pengusaha, sosialita, dan artis-artis ibukota. Adelia menaksir, harga gaun tersebut lebih dari dua puluh juta. Hanya dengan meraba saja, dia tahu gaun itu terbuat dari sutra plilihan. Kristal swarosky yang menjadi detail di bagian dada dan bawah gaun, membuat gaun tersebut seperti kepunyaan putri bangsawan. Itu baru satu gaun. Ada dua gaun lagi dengan desain lebih sederhana untuk dua pesta lainnya. Anta berkata, pesta pernikahan mereka nanti, akan digelar di tiga tempat. Di Jakarta untuk rekan bisnis dan teman-teman mereka. Di Bogor, kota kelahiran Anta dan yang terakhir di Paris. Adelia bertanya mengapa harus di sana? Pria itu menjawab, Paris adalah kota di mana dia menemukan Adelia kembali. Selain itu, Anta beralasan, banyak teman-temannya tinggal di sana. Pesta se
Udara sabtu pagi terasa sangat segar. Sisa hujan semalam, masih menyebarkan aroma petrikor yang menenangkan. Sisa embun terlihat bergelantungan di ujung-ujung daun. Suara burung perkutut peliharaan Fairuz, bersahutan menyambut matahari yang baru naik sepenggalah. Hari ini Adelia tidak pergi mengajar. Sejak berbicara dengan Deyana, perasaan gadis itu tak karuan. Dia membenak, ada apa dengan wanita itu? Walaupun tak ada lagi aroma permusuhan di antara mereka, tetapi sikap Deyana terasa ganjil. Kakaknya itu seolah-olah tak menyukai keputusannya menerima lamaran Anta. Harusnya, Deyana lega bukan? Empat tahun ini Adelia tak pernah melihat wanita tersebut bersama pria lain. Dia berpikir, mungkin saja Deyana masih mengharapkan Bayu. Sebuah asumsi yang sebenarnya menghantarkan denyut ngilu ke sekujur tubuhnya. Namun, dari pembicaraan keduanya tadi, dia menyimpulkan, seakan-akan Deyana mengetahui perihal Bayu. Apa keduanya sudah bertemu? Atau memang selama ini mereka masih berkomunikasi? Lal
Angin malam berembus menerpa wajah Deyana. Hujan telah reda, tetapi tidak rasa penasaran yang bergumul di dadanya. Empat tahun menghilang, siapa mengira takdir mempertemukannya dengan Bayu di rumah ini. Wanita itu meraih satu tas yang selesai dianyam. Senyum kecil terulas di bibirnya. Hasil buatan tangan sang pria sangat rapi. Benaknya bertanya-tanya, sejak kapan Bayu mahir membuat kerajinan rotan itu? "Maaf, nunggu lama. Aku harus memastikan Ibu minum obat dulu." Bayu meletakkan secangkir teh hangat di atas balai kayu tempat kerajinan disusun. Deyana tersenyum, meletakkan kembali tas itu, lalu duduk di sebelah Bayu. "Kamu apa kabar?" "Baik," jawab Bayu singkat. Deyana mengulum bibirnya. Benaknya berusaha mencari topik pembicaraan agar kekakuan mereka bisa mencair. "Makasih kamu udah ngaterin Ibu pulang," ucap Bayu, lagi. "Iya, kebetulan tadi kecelakaannya di depan kantor. Aku juga enggak tega biarin Ibu itu pulang sendiri." Bayu menatap Deyana sebentar. Ada yang berubah di di