Bayu berkali-kali mengusap wajahnya kasar. Dia sangat gusar karena pernikahan yang dipaksakan padanya. Bagaimana mungkin dia bertanggung jawab atas kehamilan Adelia, sementara dia tidak pernah menyentuh wanita tersebut.
Adelia, remaja yang baru saja menginjak usia delapan belas tahun. Siapa yang mengira, wanita yang dikenal sebagai pribadi yang santun dan pendiam itu tengah mengandung entah benih siapa, yang membuat pria itu bingung, Adelia bungkam seribu bahasa tentang jati diri sang penanam benih. Meski Fairuz telah mengancam dan memukuli, dia tetap tak mau bicara. Hal itulah yang membuat Bayu kesal. Seberapa berharga pria itu hingga Adelia rela menahan sakit.Andai saja Adelia bicara, tentu dia tidak akan berada di posisi serba sulit seperti sekarang ini. Bayu telah merencanakan pernikahan dengan seorang wanita dua bulan lagi, tetapi semua hancur karena penawaran dari Fairuz. Mau tidak mau dia harus menerima mengingat besarnya jasa beliau.Angin malam yang berembus tak sedikit pun menyejukkan hati pria bermanik cokelat madu itu. Dia berjalan mondar-mandir di balkon kamar dengan pikiran berkelindan. Dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Adelia. Dulu, saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah keluarga Fairuz, gadis itulah yang pertama kali menyapanya dengan ramah. Hampir setiap hari dia menemani sang gadis, entah sekadar berbincang di teras belakang rumah atau membantu mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Memang, Bayu tinggal di rumah keluarga Fairuz sejak sang ibu meninggal dunia, setelah bertahan dengan penyakit kanker yang menggerogoti tubuhnya.Ibunya dulu merupakan asisten rumah tangga di rumah keluargs Fairuz. Beliau membesarkan Bayu seorang diri karena sang suami yang telah meninggal terlebih dahulu. Pembawaan Bayu yang tenang serta ulet, menarik perhatian Fairuz hingga membiayai semua pendidikan si pria. Lagipula dia memang tidak memiliki putra selain dua orang putri.Mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan lebih tinggi, membuat Bayu tidak menyia-nyianya. Dia berhasil menyelesaikan pendidikan srata satunya dengan nilai Summa cumlade. Setelah lulus kuliah, Fairuz pun mempercayakan pria itu menjadi asisten pribadinya."Mas Bayu ...," lirih suara lembut mendayu menyapa gendang telinga sang pria, membuatnya memejamkan mata dan menganjur napas perlahan. Dia mencoba menetralisir amarah dan kecewa yang padu di dalam dada. Walau bagaimanapun, pernikahan ini telah terjadi. Mau tidak mau dia harus bersikap baik pada wanita yang kini telah menjadi istrinya.Bayu berbalik ketika mencium aroma mawar menggelitik penciumannya. Terlihat Adelia tengah berdiri di tengah kamar lengkap dengan pakaian pengantinnya. Setelan kebaya berwarna putih tulang dipadu dengan songket yang berwarna cokelat tua. Rambut panjangnya dicepol sederhana dengan menyisakan anak-anak rambut di sekitar pelipisnya. Sebuah tiara kecil tersemat di atas cepolan itu membuat penampilan Adelia bak putri raja.Andai saja Adelia masih suci dan terjaga marwahnya, tentu Bayu tidak akan seberat ini menerima pernikahan tersebut. Tidak perlu ada rasa jijik di hati membayangkan kelakuan gadis tersebut di luar sana. Dia juga tidak habis pikir, mengapa begitu mudah wanita tersebut memberikan kehormatannya begitu saja. Semua pertanyaan itu berdesakkan ingin dimuntahkan oleh Bayu, tetapi pria itu menahannya, tak ingin memancing keributan di hari pertama pernikahannya."Maaf, Mas ...." Adelia menatap jalinan jemarinya yang terpilin di depan dada. "Mas, bisa menceraikanku besok. Aku enggak mau menjadi penyebab kehancuran hati yang lain karna pernikahan ini."Bayu mendengkus seraya mengulas senyum sinis, kedua tangan pria itu terbenam di kedua saku celana bahannya. Dia menatap Adelia tajam, seolah-olah ingin menikam wanita tersebut dengan pandangannya."Kamu pikir aku pria seperti apa? Yang hari ini mengucap akad, lalu dengan mudahnya menalak dalam hitungan jam."Adelia menunduk mendengar tajamnya ucapan sang pria. Dia menyembunyikan embun yang kini membuat matanya berkabut."Aku hanya enggak mau dianggap orang ketiga, Mas."Bayu berjalan mendekat, pria itu mengulurkan tangan menyentuh dagu Adelia, memaksa wanita itu menatapnya. Pandangan keduanya beradu. Sesaat dia tertegun melihat manik mata si wanita yang begitu jernih. Iris hitam itu masih saja terlihat memesona, meski tertutup kabut tersebab air mata yang mulai tergenang."Tak perlu cemas. Pernikahan ini hanya perlu waktu tiga tahun. Setelah itu kita akan berpisah. Jadi, jaga dirimu agar enggak jatuh cinta padaku selama perjanjian berjalan. Lagipula kekasihku bersedia menunggu."Adelia mengangguk perlahan seiring Bayu yang melepaskan sentuhannya pada dagu si gadis."Satu lagi, jangan berharap aku akan berperan sebagai suami. Karena pernikahan ini hanya status. Jadi, silahkan lanjutkan kehidupan kita masing-masing," tegasnya lugas. "Ini adalah sentuhan pertamaku padamu dan akan menjadi sentuhan terakhir. Aku tidak sudi menyentuh gadis yang tidak bisa menjaga kehormatannya. Persis wanita liar."Setelah mengucapkan rangkaian kalimat pedas tersebut, Bayu berjalan menjauh menuju kamar mandi yang berada di sudut kamar. Dia tak peduli air mata yang perlahan luruh ke pipi Adelia yang masih dipoles make-up. Wanita itu hanya mampu menekan dadanya yang terasa ngilu karena ucapan pria yang baru saja menghalalkannya. Sesuatu tak kasat mata seakan meremas dadanya dari dalam. Begitu perih dan sakit.Dia tahu jika pernikahan ini dipaksakan. Tak mungkin berharap hal indah akan terjadi dalam bahtera yang nakhodanya saja tak sudi berlayar. Akan tetapi, haruskah sefrontal itu? Tidak bisakah Bayu bersikap lembut padanya seperti biasa?Adelia juga tak menginginkan pernikahan ini. Andai wanita itu punya kemampuan untuk menentang, maka sudah dia lakukan sejak semula. Tak ingin memerangkap orang lain karena kesalahan satu malam.Perlahan terdengar gemericik air dari dalam kamar mandi, pria itu mungkin sedang menikmati segernya guyuran air dari shower sementara Adelia tengah dikepung kesedihan. Dia tahu, jika catatan kelabu hidupnya baru saja dimulai dan halaman pertama dari pernikahannya adalah hinaan dari sang suami.*Azan subuh bergema bersahutan dari masjid yang berada tidak jauh dari komplek perumahan keluarga Fairuz. Adelia mengerjapkan matanya beberapa kali. Pemandangan pertama yang ditangkap matanya adalah sosok Bayu tidur di lantai yang dialasi karpet. Pria itu meringkuk dalam posisi seperti bayi di dalam kandungan. Satu selimut tipis menutupi tubuhnya dari hawa dingin yang keluar dari pendingin ruangan.Adelia tersenyum getir. Begitu benci Bayu padanya hingga untuk tidur satu ranjang pun pria itu tak sudi. Perlahan wanita itu menurunkan kakinya ke tepian ranjang, lantas memakai sandal khusus untuk di dalam rumah. Dia beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wuduk. Akan tetapi, langkahnya tertahan ketika melihat keadaan Bayu. Pria itu terlihat menggigil karena tidur tepat di bawah embusan air conditioner. Adelia berbalik, meraih selimutnya, lalu menyelimuti tubuh sang suami. Gerakannya sangat perlahan, seolah-olah takut perbuatannya itu akan membangunkan sang pria.Setelah itu Adelia beranjak ke kamar mandi untuk meneruskan niatnya berwuduk, lalu menunaikan salat subuh. Wanita itu terlihat sangat khusyuk. Dia memang bukan perempuan yang terlalu taat, tetapi untuk menunaikan kewajibannya dia tidak pernah lalai. Setelah salat, Adelia mengusap perutnya yang belum terlihat jelas meski kehamilannya telah memasuki bulan ketiga. Perlahan air matanya luruh begitu saja ketika mengingat bagaimana benih itu tertanam di rahimnya. Hari itu saat terkelam dalam hidupnya. Bagaimana bisa dia menceritakan kepada orang lain, jika kehamilan ini bukan karena keliarannya? Atau bukan karena suka berhubungan di luar nikah. Bagaimana bisa sementara dia tidak memiliki kekasih? Tidak ada yang akan mempercayai dirinya. Begitupun sang papa yang tak tanggung-tanggung melabelinya sebagai anak penzina.Itulah sebabnya Adelia bungkam, karena apa pun pembelaan yang keluar dari bibirnya, tidak akan pernah dipercaya, meski itu sebuah kebenaran. Wanita itu yakin Tuhan tidak tidur dan suatu hari akan menunjukkan kebenaran kepada semua orang, termasuk pada Bayu."Ngapain, kamu?"Adelia menoleh ketika suara Deyana menyentuh gendang telinganya. "Buat kopi, Kak." Dia tersenyum seraya meneruskan kegiatannya. Meletakkan satu sendok kecil gula dan kopi ke dalam cangkir kecil, lalu menyeduhnya dengan air mendidih yang ada di atas kompor. Aroma kopi hitam menguar di dapur yang selalu bersih. Deyana adalah saudara tiri Adelia. Wanita itu tidak tahu sebabnya bagaimana dia memiliki dua orang ibu. Yang dia tahu, Fairuz membawanya tinggal di rumah ini saat berumur sepuluh tahun. Saat itu sang ibu menghilang entah ke mana. Pria itu menjelaskan jika dirinya memiliki seorang kakak perempuan dan seorang wanita yang harus dia panggil mama. Adelia kecil tidak mengerti, dia hanya menurut ketika sang papa memerintahkan demikian. Selain mereka berempat, di rumah itu juga tinggal Mbak Nani yang bertugas sebagai asisten rumah tangga dan juga Mang Hadi yang setia mengantar ke mana saja salah satu anggota keluarga ingin pergi."Kamu pikir bisa ngambil hati Bayu denga
Adelia baru saja menyabuni piring kotor di bak cuci piring ketika suara Fairuz terdengar gusar."Dasar ceroboh! Lihat, Deyana meninggalkan dokumen penting. Bagaimana dia akan mempresentasikan penawaran untuk tender nanti," keluh Fairuz melihat sebuah map yang tertinggal di meja makan."Biar Adel yang antar, paling juga masih di depan." Adelia menawarkan diri. Dia mematikan kran air, lalu mengelap tangannya dengan kain lap yang tergantung di dekat kran.Fairuz menganggguk, lalu menyerahkan dokumen yang berada di dalam map berwarna cokelat. Adelia gegas melangkah keluar mengejar Deyana dan Bayu yang baru saja pamit hendak ke kantor. Memang, keduanya bekerja di perusahaan milik Fairuz yang bergerak di bidang periklanan. Mungkin kedekatan itulah yang membuat keduanya jatuh cinta. Bayu memberi pengaruh positif pada Deyana. Sang kakak yang gemar akan dunia malam dan suka berpetualang dari satu hati ke hati lain, perlahan-lahan mengurangi kebiasaannya. Dia berubah menjadi gadis penurut dan
Adelia menatap hujan dari balik jendela kamar. Pikiran wanita itu membentangkan kejadian beberapa bulan yang lalu. Hari di mana semua berawal. Saat itu juga hujan deras. Petir dan kilat silih bergantian di langit. Dia memeluk tas di halte bis tepat di depan sekolah. Seragam putih-abunya sedikit basah karena tempias air hujan yang ditiupkan angin. Harusnya sopir keluarga telah menjemputnya satu jam yang lalu, tetapi Mang Hadi mengatakan jika mobil mengalami pecah di jalan. Mencoba menghubungi sang papa, tetapi ponsel pria itu tidak aktif.Adelia mencoba bertahan di halte tersebut, tetapi hingga senja merangkak naik, Mang Hadi belum juga menampakkan batang hidungnya. Satu nama yang diingatnya, Bayu. Dia ingat jika pria tersebut mengatakan sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dekat dari sekolahnya. Mencoba menghubungi, tetapi ponselnya sudah kehabisan daya. Adelia menimbang apa yang harus dia lakukan. Jika menunggu tanpa kepastian, dia takut terjadi sesuatu sementara hari sudah
Udara masih terasa dingin meski mentari sudah memancarkan sinarnya. Jejak basah di rumput yang terhampar di halaman belakang rumah keluarga Fairuz, membuat kaki Adelia terasa segar karena embun yang menyentuh kulitnya. Gadis itu tak bisa tidur nyenyak semalam. Kata-kata Deyana terus memantul-mantul di gendang telinganya. Perih merayap ke dada Adelia, menikamkan rasa sakit yang tak terperi. Gadis itu tak pernah meminta hadir ke dunia dari benih Fairuz, tak juga meminta dilahirkan dari seorang wanita berstatus istri kedua. Meski banyak yang mengatakan ibunya perebut suami orang, sangat jarang sang papa berada di rumah. Pria itu hanya mengunjungi Adelia dan ibunya sekali dalam tiga bulan.Banyak juga yang mengatakan ibunya wanita matre, tapi pada kenyataannya hidup mereka biasa-biasa saja. Benda berharga yang dimiliki sang ibu hanya sepeda motor dan televisi ukuran 22" inci. Keduanya juga tak pernah makan dengan menu mewah. Hanya satu yang selalu diingat Adelia dan hal itu masih dia ge
Deyana memasukkan baju-bajunya ke dalam 'travel bag' dengan wajah ditekuk. Sesekali wanita cantik berkulit putih bersih itu menggerutu, sambil melirik ke arah jam yang tergantung di dinding kamarnya. Hampir dua jam Bayu mengantar Adelia ke rumah sakit, tapi tak sekali pun pria itu menjawab pesan darinya. Apa keadaan gadis perebut kekasihnya itu parah? Deyana sangat berharap janin di rahim Adelia luruh, hingga pernikahan gadis tersebut dengan pria yang dia cintai bisa berakhir lebih cepat.Namun, saat mengingat reaksi Bayu kala melihat Adelia kesakitan, membuat sesuatu tak tembus pandang meremas jantung Deyana. Wanita itu bisa merasakan aura kecemasan menghampiri sang pria. Seketika gerakan sang wanita terhenti. Dia duduk di pinggir pembaringan, seraya menatap ke arah meja rias yang ada di hadapan. Di sana terpajang foto dirinya dan Bayu saat keduanya berlibur ke Bali. Senyum yang diabadikan dalam potret tersebut sangat nyata. Deyana bisa merasakan cinta Bayu padanya tulus, meski ter
Malam ini hujan turun lagi. Adelia tak pernah membenci hujan. Dia sangat suka melihat air yang tercurah dari langit tersebut. Baginya, hujan adalah berkah dari Yang Mahakuasa. Begitu banyak tempat yang dilanda kekeringan, menanduskan mahkluk yang ada di sana. "Hujan itu waktu yang sangat baik untuk berdoa."Adelia masih ingat nasehat ibunya. Kala itu, mereka berdua sedang duduk di teras rumah, sambil menikmati sepiring pisang goreng hasil kreasi Adelia yang lumayan ... gosong. Akan tetapi, tetap di puji sang ibu, setidaknya Adelia sudah berusaha belajar memasak. Satu gelas besar teh hangat ikut menemani aktivitas santai keduanya sore itu. Minum satu gelas dengan ibunya memberi kesenangan tersendiri bagi gadis tersebut, lebih enak katanya. Meski sebenarnya, tak ada yang berubah dari rasa teh itu."Banyak orang berpikir hujan itu menyedihkan, bikin orang galau. Padahal kalau mau dipikir baik-baik, hujan itu waktunya kita santai. Bisa tiduran tanpa perlu nyalain kipas angin, bisa rebaha
Adelia menutup kelopak matanya rapat-rapat, saat mendengar pintu terbuka dari luar. Langkah Bayu yang mendekat, lalu pembaringan di sebelahnya terasa bergerak. Si gadis bisa menerka jika pria itu baru saja duduk di sana. Mati-matian Adelia menahan gemuruh di dadanya. Harusnya dia tak terbangun di tengah malam, hingga tak perlu mendengar percakapan Fairuz dengan Bayu. Saat hendak menuruni tangga menuju dapur yang berada di lantai dasar rumahnya, Adelia mendengar permintaan Fairuz kepada Bayu. Gadis itu membujuk hatinya agar kuat. Dia tak ingin lagi memanen kesedihan karena Bayu. Namun, sesak telanjur mengaliri seluruh rongga dadanya. Benar apa yang disangkakan Adelia, pria itu sengaja menghindar bertemu dengannya. Lalu bagaimana mereka akan hidup satu atap nanti? Jika boleh memilih, dia ingin tinggal sendirian saja tanpa siapa pun. Akan tetapi, sang papa tidak meluluskan permintaannya.Adelia mengurungkan niatnya mengambil sepotong roti untuk mengganjal perutnya. Rasa lapar gadis itu
Mata Adelia tak lepas mengawasi jalanan sejak keluar dari bandar udara Chagi. Sepanjang mata memandang, hanya hijau yang terlihat. Pohon-pohon tumbuh dengan kokoh dan berjajar rapi di sepanjang jalan. Terlihat beberapa petugas memangkas dahan-dahan pohon agar terlihat indah.Adelia pernah membaca, bahwa kota Singapura anti polusi, paling bersih, dan rapi. City in the garden adalah julukan untuk kota tersebut. Bahkan, kota itu adalah salah satu kota terhijau di dunia, dengan pohon-pohon yang berjajar teratur di tengah dan pinggir jalanan, taman-taman kota di berbagai sudut kota, hingga hutan kota yang bisa dijangkau dengan mudah dari pusat kota. Gadis itu hanyut melihat keindahan kota dari balik kaca mobil, hingga tak menyadari manik mata Bayu memperhatikan dirinya. Sejak berangkat dari bandara internasional Soekarno-Hatta, Adelia sudah menegaskan pada dirinya sendiri. Dia tak akan pernah memberi kesempatan pada siapa pun untuk masuk ke dalam hidupnya. Fokus gadis itu adalah, bagaiman
Adelia melangkah pelan-pelan, seraya melihat dekorasi ruangan tempat pernikahan mereka dilangsungkan. Perubahan tempat yang awalnya akan dilangsungkan di gedung, diganti ke sebuah villa milik keluarga Fairuz di daerah puncak. Semua itu atas permintaan Fairuz yang meminta pernikahan keduanya dipercepat satu bulan, karena pria itu hendak membawa Sarmila ke Singapura untuk berobat. Kabar baik didapat dari kenalannya dokter di sana, bahwa ada pendonor yang cocok dengan sang istri. Fairuz mengatakan, yang penting akad dulu, untuk resepsi nanti setelah Sarmila selesai melakukan transplantasi ginjal. Adelia tak bereaksi apa-apa dengan permintaan sang papa. Toh, cepat atau lambat, pernikahan akan terjadi juga. Dia hanya perlu mempersiapkan hati untuk mulai belajar mencintai Anta.Adelia juga mengurangi pertemuan dengan Bayu. Setiap kali pria itu datang menjemput Nika, Adelia memilih tidak menemui. Dia tak ingin rasa cinta yang susah payah dia matikan, kembali bertunas setelah melihat pria t
Aku tidak tahu sudah berapa lama duduk di atas susunan batu pemecah ombak. Membiarkan kakiku terjuntai ke bawah dijilat air laut yang mulai pasang. Yang pasti matahari sudah tidak segarang tadi. Perlahan-lahan sang surya mulai merangkak turun meninggalkan cahaya kemerahan di ujung cakrawala. Aku mengamati fenomena alam tersebut. Benda besar bersinar itu seolah-olah turun dan tenggelam ke dalam lautan. Aku tersenyum dan berpikir bagaimana bintang terbesar, yang menerangi seluruh dunia, saat waktunya telah selesai tetap harus tunduk kembali ke peraduan untuk memberi jalan pada bulan menjalankan tugasnya.Tanpa bisa dicegah masa lalu kembali berpandang ke tempurung kepalaku. menggali saat-saat bahagia yang tidak pernah bisa aku lupakan. Saat itu aku masih berseragam putih abu-abu. Sebagai senior dan anggota osis, kami diberi tanggung jawab membuat acara menyambut siswa baru. Aku masih ingat, hari itu malam terakhir. Kami mengadakan acara malam hiburan dan kesenian. Hampir semua siswa da
Rumah Fairuz dipenuhi kerabat dan beberapa relasi bisnis. Hari ini keluarganya mengadakan syukuran kepulangan sekaligus sehatnya Sarmila kembali. Keadaan wanita itu sudah lebih baik setelah dirawat sekitar dua minggu. Dokter mengingatkan kondisi Sarmlia belum terlalu baik. Sewaktu-waktu bisa saja kembali kolaps. Dokter menyarankan secepatnya mencari pendonor dan menjaga kondisi pasien agar tak terlalu lelah, apalagi stress. Taman belakang yang luas disulap menjadi tempat berlangsungnya acara. Kursi-kursi disusun sejajar untuk anak-anak yatim yang sengaja diundang. Makanan juga dihidangkan di atas meja dengan aneka macam menu khas indonesia. Ada juga banyak nasi kotak untuk para tamu yang tak sempat hadir lama. Fairuz dan Sarmila tersenyum melihat tingkah Nika yang bergelayut di punggung Bayu. Sejak bertemu dengan ayahnya, bocah kecil itu seolah-olah tak bisa dipisahkan. Dia bahkan berulang kali meminta, agar sang ayah tidur bersamanya. Adelia terpaksa meloloskan keinginan putrinya i
"Aneh, Nika langsung lengket sama kamu?" Bayu tersenyum tipis menjawab celutukkan Fairuz. "Nika bilang, pernah dikasih liat foto aku sana Adelia." Mata kedua pria itu, sedari tadi tak lepas mengawasi Nika yang bermain di taman rumah sakit, ditemani Deyana. Rasa terima kasih tak cukup rasanya dia ucapkan kepada Adelia, gadis itu tak menghilangkan jejaknya di pikiran putri mereka. Terbuat dari apa hati gadis itu? kebaikannya membuat Bayu merasa semakin tak pantas meski hanya memikirkannya saja. "Aku minta maaf kalau menyusahkan Papa." Lanjut Bayu, lagi. Fairuz menggeleng. "Justru Papalah yang harusnya berterima kasih. Kamu sudah merawat Sarmila empat tahun ini. Entah apa maksud Tuhan mempertemukan kita dalam lingkaran yang selalu terhubung." "Aku juga enggak mengira, Ibu adalah Ibu Adelia. Selama ini beliau sudah mengijinkan tinggal bersama. Ibu sudah aku anggap sebagai orang tua sendiri." Fairuz menepuk bahu Bayu pelan sebagai ungakapan rasa terima kasihnya. Melihat penampilan Ba
"Udah pulang. Nak?" Mama Anta menyapa ketika melihat putranya pulang dengan wajah lesu. Anta hanya tersenyum sebagai balasan dari pertanyaan mamanya. Dia melonggarkan ikatan dasi di leher, lalu duduk menghempaskan tubuh ke atas sofa. Ratna--Ibu Anta--mengernyitkan dahi melihat wajah Anta yang kusut. Dia meletakkan majalah fashion yang sedang dibaca ke atas meja. "Kok wajahnya seperti kain belum disetrika, gitu?" "Enggak pa-pa, Ma. Aku cuma capek," jawab Anta singkat. "Capek, apa capek?" Ratna menggoda, bibirnya tertarik ke atas melihat Anta yang irit bicara. Bukan kebiasaannya seperti itu. Apalagi belakangan ini. Setiap hari wajah Anta selalu berseri, berdendang setiap melakukan apa saja. Entah sedang mencuci mobil, bersih-bersih, bahkan saat berjalan pun dia juga berdendang. Bukannya menjawab, pria itu malah menerawang, menatap langit-langit rumahnya. Apa yang dia lihat tadi siang, sangat mengganggu fikirannya. Ingin rasanya menutup mata dan berpura-pura tidak mengetahui apa-ap
Adelia duduk mematung di depan ruangan ICU. Tatapan gadis itu kosong, matanya sembab, dan wajah terlihat sangat kusut. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Semua campur aduk di dada. Ada bahagia bisa bertemu kembali dengan sang ibu, sekaligus takut jika harus kembali kehilangan. Dia ingin menangis, ingin seseorang mengusap bahunya dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Namun, Adelia menahan semua kecamuk di dada. Dia tak ingin terlihat menyedihkan di depan Bayu yang sering mencuri-curi pandang padanya. Anta juga tak bisa berbuat apa-apa. Pria itu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Otaknya mencerna dengan hati-hati, dimulai dari pergerakan Adelia yang tiba-tiba, lalu memeluk seorang wanita dan memanggil, ibu. Dia memang mengetahui jika Adelia bukan saudara kandung Deyana, tetapi tak mengira Ibu kandung si gadis masih hidup. Salah pria itu, dia tak pernah bertanya. Padahal Adelia pernah memberikan selembar foto dan meminta tolong untuk mencari keberadaan wanita itu
Adelia tak bisa menutupi kekagumannya. Mata gadis itu bersinar, senyum tak luntur dari bibirnya saat Anta menunjukkan desain baju pengantin untuknya. Saat ini keduanya berada di butik ternama, yang menjadi langganan para pengusaha, sosialita, dan artis-artis ibukota. Adelia menaksir, harga gaun tersebut lebih dari dua puluh juta. Hanya dengan meraba saja, dia tahu gaun itu terbuat dari sutra plilihan. Kristal swarosky yang menjadi detail di bagian dada dan bawah gaun, membuat gaun tersebut seperti kepunyaan putri bangsawan. Itu baru satu gaun. Ada dua gaun lagi dengan desain lebih sederhana untuk dua pesta lainnya. Anta berkata, pesta pernikahan mereka nanti, akan digelar di tiga tempat. Di Jakarta untuk rekan bisnis dan teman-teman mereka. Di Bogor, kota kelahiran Anta dan yang terakhir di Paris. Adelia bertanya mengapa harus di sana? Pria itu menjawab, Paris adalah kota di mana dia menemukan Adelia kembali. Selain itu, Anta beralasan, banyak teman-temannya tinggal di sana. Pesta se
Udara sabtu pagi terasa sangat segar. Sisa hujan semalam, masih menyebarkan aroma petrikor yang menenangkan. Sisa embun terlihat bergelantungan di ujung-ujung daun. Suara burung perkutut peliharaan Fairuz, bersahutan menyambut matahari yang baru naik sepenggalah. Hari ini Adelia tidak pergi mengajar. Sejak berbicara dengan Deyana, perasaan gadis itu tak karuan. Dia membenak, ada apa dengan wanita itu? Walaupun tak ada lagi aroma permusuhan di antara mereka, tetapi sikap Deyana terasa ganjil. Kakaknya itu seolah-olah tak menyukai keputusannya menerima lamaran Anta. Harusnya, Deyana lega bukan? Empat tahun ini Adelia tak pernah melihat wanita tersebut bersama pria lain. Dia berpikir, mungkin saja Deyana masih mengharapkan Bayu. Sebuah asumsi yang sebenarnya menghantarkan denyut ngilu ke sekujur tubuhnya. Namun, dari pembicaraan keduanya tadi, dia menyimpulkan, seakan-akan Deyana mengetahui perihal Bayu. Apa keduanya sudah bertemu? Atau memang selama ini mereka masih berkomunikasi? Lal
Angin malam berembus menerpa wajah Deyana. Hujan telah reda, tetapi tidak rasa penasaran yang bergumul di dadanya. Empat tahun menghilang, siapa mengira takdir mempertemukannya dengan Bayu di rumah ini. Wanita itu meraih satu tas yang selesai dianyam. Senyum kecil terulas di bibirnya. Hasil buatan tangan sang pria sangat rapi. Benaknya bertanya-tanya, sejak kapan Bayu mahir membuat kerajinan rotan itu? "Maaf, nunggu lama. Aku harus memastikan Ibu minum obat dulu." Bayu meletakkan secangkir teh hangat di atas balai kayu tempat kerajinan disusun. Deyana tersenyum, meletakkan kembali tas itu, lalu duduk di sebelah Bayu. "Kamu apa kabar?" "Baik," jawab Bayu singkat. Deyana mengulum bibirnya. Benaknya berusaha mencari topik pembicaraan agar kekakuan mereka bisa mencair. "Makasih kamu udah ngaterin Ibu pulang," ucap Bayu, lagi. "Iya, kebetulan tadi kecelakaannya di depan kantor. Aku juga enggak tega biarin Ibu itu pulang sendiri." Bayu menatap Deyana sebentar. Ada yang berubah di di