"Setidaknya beri aku kesempatan."Memindai wajahnya, mencari maksud sebenarnya. Aku tidak mengerti. "Cukup, aku mau istirahat." Aku membuang rasa penasaran itu. Entah dia serius atau tidak, aku tidak ingin tau lagi. Setidaknya untuk saat ini. Aku akan berhenti, mempertanyakan keseriusannya. Karena jika dia begitu yakin bisa membahagiakan anak ini pun, aku memiliki berjuta keraguan yang tidak bisa kutemukan alasannya.Mungkin aku hanya takut, kepada semua ketidakpastian. Semua kenangan yang perlahan menjadi trauma dan kepada harapan yang tidak pernah menjadi kenyataan. Aku sudah terlalu lama menunggu seseorang. Menerima orang baru bukanlah perkara mudah. Lagipula, sama sepertiku, Alex juga memiliki masalah yang belum diselesaikan. Hatinya pernah terukir nama Risa. Aku tidak yakin, apakah sekarang goresan itu telah mumudar atau masih terlihat jelas. Mengingat apa yang terjadi kemarin, aku merasa tidak akan mudah menjalani hubungan dengannya. Risa akan selalu ada diantara kami. Berdiri
Aku takut, mengerikan. Suara teriakan dan barang-barang pecah saling bersautan. Sendirian di dalam kamar, menutup telinga berusaha menghalau bunyi keras dari luar. Kapan mereka akan berhenti, aku bahkan belum makan siang.Pulang sekolah, dengan seragam merah putih yang masih kukenakan. Aku yang bahkan belum sempat istirahat, diteriaki dengan kasar. Mereka menyuruhku masuk kedalam kamar. Mereka bilang, aku tidak perlu ikut campur, anak kecil tidak akan mengerti. Menjauhlah! Aku hanya bingung, kenapa mereka melakukan hal yang sama setiap hari? Tidak ada masalah yang berhasil diatasi. Semua kembali terulang, lagi dan lagi."Mau sampai kapan begini terus? Aku tau kamu masih menjalin berhubungan dengan wanita itu, aku tau semuanya. Kamu tidak bisa menipuku lagi!" Ibu menangis, suaranya terngiang hingga membuat telingaku berdengung. "Maaf saja, aku juga tidak berniat menyembunyikan apa-apa." Ayah menjawabnya dengan enteng seolah itu bukan apa-apa."Apa artinya aku bagimu? Kenapa kamu tida
Aku mendapat pesan dari Bak Gia. Dia bertanya, apakah besok aku akan masuk kantor. Aku cukup memikirkan hal itu. Apakah tidak apa jika bertemu dengannya sebagai karyawan dan atasan? Setelah semua ini, aku terlalu takut untuk bertemu dengannya. Dia pasti akan menanyakan hal yang sama berulang kali. Alex, benarkah dia serius? Jikapun iya, akankah aku bisa bahagia dengannya? Terlalu banyak hal yang mengusikku. Jujur, aku tidak mau. Aku kerap kali berharap ini semua mimpi, dan anak ini tidak pernah ada. Tapi, aku tau, ini semua nyata dan seorang manusia ada dalam perutku.Meski keraguan masih mengusikku, aku memutuskan untuk tidak lari dan sembunyi. Aku akan pergi ke kantor besok, bertingkah seolah semua baik-baik saja dan tidak terjadi apa-apa. Kurasa, untuk saat ini, aku hanya perlu mengabaikannya. Hingga waktunya tiba, aku akan melakukan apapun yang ku anggap benar nantinya. ***"Apa ini?" Lelaki itu, berdiri di sana. Di depan kos tempatku tinggal. Ia yang tadinya bersandar pada mob
"Siapa Farhan?""Bukan siapa-siapa." Jawabku segera memotong pembicaraan. Tentunya lelaki itu mengenal Farhan dengan baik, ia hanya sedang menyulut api. Aku tidak ingin masuk kedalam masalah lain. Sedangkan karyawan termuda kami, kini menutup mulutnya sambil melirikku takut. Dia sadar sekarang, mengambil topik yang sangat salah untuk obrolan. Tidak seharusnya, dia membawa urusan pribadiku ke atas meja makan ini. Beberapa saat kemudian pelayanan datang membawa pesanan kami. Semua orang mulai menyibukkan diri, memasukkan makanan kedalam mulut. Suasana begitu tenang, mengingat Alex yang terlihat tidak membuka suara ketika makan. Aku yakin, mereka pasti menyesali keputusan menerima taktiran Alex. Jika tidak, mungkin sekarang kami sedang sibuk berbincang sambil tertawa terbahak-bahak. Setelah itu pergi ke tempat karoke melepas penat dengan menyanyi semalam. Walaupun sebenarnya, bagian itu tidak terlalu kuinginkan. Lebih baik aku pulang, daripada mendengarkan mereka bernyanyi tidak jela
Untuk beberapa alasan, aku masih bertahan bersama masalah yang sebenarnya tidak ingin kuselesaikan. Aku masih memasang topeng, tersenyum seolah semua baik. Bekerja seperti selayaknya manusia pada umumnya, melupakan bahwa diperut ku ada seorang manusia. Mungkin, jika kelelahan, anak ini akan pergi tanpa perlu ku usir. Aku tau, pikiran itu menakutkan. Namun jujur, aku memang berulang kali berharap hak itu terjadi. Keberadaan dia membuatku lebih takut, daripada trauma yang kini muncul kembali. "Hanna," baru keluar dari kafe, aku mendengar seseorang memanggil. Mencari keberadaannya, aku melihat ke beberapa arah. Lelaki itu Farhan. Mendekat kearahku, sambil membawa mawar putih di tangan. "Apa yang...," aku sampai tak bisa berkata. Ia tersenyum lebar, menyodorkan benda yang selalu dia kirimkan untukku dulu. Sama persis dengan yang kemarin. "Ambilah," suruhnya melihatku yang hanya terpaku. "Ah, terimakasih." Ujarku kaku. "Tadinya mau aku titipkan di satpam, untungnya kita bertemu di
Alex terdiam tidak bergeming. Ia syok berat mendengar kalimat yang keluar dari mulutku. Ia kehilangan kata, menguap bersama dinginnya malam. Sama seperti hatiku sekarang, membeku karena kebencian. Kami hanya saling menatap, tapi lebih terasa saling menyerang. "Kamu serius?" Lelaki itu masih tidak terima, dia masih mencoba memastikan."Iya, aku serius." Jawabku mantap. "Tapi...,""Kamu ingin semua jelas, kan?" Aku menarik nafas panjang, mengikat matanya tenang. "Ini adalah jawaban dariku. Aku tidak akan mungkin bisa melahirkan anakmu.""Anakku?" Ia tersenyum miris. "Jika itu anak Farhan, apakah kamu akan dengan senang hati menerima keberadaannya?" Alex pun ikut mengubah mimik wajahnya, ia melepaskan kekhawatiran itu. Kini dia membalas tatapanku ikut menajam."Tidak usah membawa orang lain!" Aku tidak suka, ketika ia mengungkit tentang lelaki itu.Rasanya seperti direndahkan, dicap sebagai wanita bodoh yang belum bisa melupakan cinta pertamanya. Aku hanya tidak bisa bersamanya, bukan
Ibu pulang, malam itu juga. Dia tidak lagi membalas perkataanku ataupun ikut melepas isi hati. Ia hanya melihat dengan mata yang bergetar. Aku rasa, dia juga berusaha menahan agar tidak ikut menangis. Entahlah, aku tak mau peduli. Saat ini, aku terlalu sibuk menganalisa sebuah brand yang ingin menggunakan jasa kami. Sebaiknya, biarkan pikiran-pikiran tidak jelas itu menghilang ditelan lelah karena pekerjaan. "Hanna," bak Gia menyadarkanku dari lamunan. Aku segera melihatnya, bertanya "Ada apa, bak?"Kamu di panggil pak Alex," jelasnya. "Untuk apa ya, bak?" Pasalnya, aku rasa kami belum memiliki pekerjaan yang mengharuskanku untuk menemuinya. "Kamu kan sekertarisnya." Ah, aku lupa tentang itu. Hanya saja, aku masih menggunakan meja kerja lama dan melakukan tugasku sebagai copy writer. "Pasti ada perlu, makannya dia manggil kamu." Tentu saja. "Iya bak, terimakasih." Aku tersenyum simpul lalu bangun menuju ruang Alex. Begitu berdiri di depan pintu masuk tempatnya mengurus segala ha
Hari ini aku pergi ke dokter kandungan, karena paksaan ibu. Setelah apa yang terjadi, ia menghubungi lebih sering dari sebelumnya. Kurasa, dia benar-benar merasa telah melukaiku. Meski tanpa di sadari. Kini, kami sedang mendengarkan hasil tes. Dokter muda yang begitu cantik menjelaskan dengan baik. Bayi ini, baik-baik saja. Bahkan sangat sehat. Aku tidak tau harus senang atau sedih, aku tidak terlalu memikirkan keadaannya. "Ibu Hanna hanya perlu menjaga makan, saya rasa dia akan menjadi anak yang kuat ketika lahir ke dunia nanti." Basa-basi lain yang sudah terlalu sering kudengar. Selesai pemeriksaan, ibu mengajakku duduk menikmati angin sepoi-sepoi di taman rumah sakit. Ia membelikan roti dan susu kedelai. Aku jadi teringat masa lalu. Ketika aku merengek ingin memakan roti coklat padanya, ia hanya mampu memberi sepotong roti tawar. Dan susu kedelai yang kubeli dengan uang yang kuambil dari kantong jaket ayah. Seumur hidup, lelaki itu tidak pernah memberiku uang jajan. Kami melam