Untuk beberapa alasan, aku masih bertahan bersama masalah yang sebenarnya tidak ingin kuselesaikan. Aku masih memasang topeng, tersenyum seolah semua baik. Bekerja seperti selayaknya manusia pada umumnya, melupakan bahwa diperut ku ada seorang manusia. Mungkin, jika kelelahan, anak ini akan pergi tanpa perlu ku usir. Aku tau, pikiran itu menakutkan. Namun jujur, aku memang berulang kali berharap hak itu terjadi. Keberadaan dia membuatku lebih takut, daripada trauma yang kini muncul kembali. "Hanna," baru keluar dari kafe, aku mendengar seseorang memanggil. Mencari keberadaannya, aku melihat ke beberapa arah. Lelaki itu Farhan. Mendekat kearahku, sambil membawa mawar putih di tangan. "Apa yang...," aku sampai tak bisa berkata. Ia tersenyum lebar, menyodorkan benda yang selalu dia kirimkan untukku dulu. Sama persis dengan yang kemarin. "Ambilah," suruhnya melihatku yang hanya terpaku. "Ah, terimakasih." Ujarku kaku. "Tadinya mau aku titipkan di satpam, untungnya kita bertemu di
Alex terdiam tidak bergeming. Ia syok berat mendengar kalimat yang keluar dari mulutku. Ia kehilangan kata, menguap bersama dinginnya malam. Sama seperti hatiku sekarang, membeku karena kebencian. Kami hanya saling menatap, tapi lebih terasa saling menyerang. "Kamu serius?" Lelaki itu masih tidak terima, dia masih mencoba memastikan."Iya, aku serius." Jawabku mantap. "Tapi...,""Kamu ingin semua jelas, kan?" Aku menarik nafas panjang, mengikat matanya tenang. "Ini adalah jawaban dariku. Aku tidak akan mungkin bisa melahirkan anakmu.""Anakku?" Ia tersenyum miris. "Jika itu anak Farhan, apakah kamu akan dengan senang hati menerima keberadaannya?" Alex pun ikut mengubah mimik wajahnya, ia melepaskan kekhawatiran itu. Kini dia membalas tatapanku ikut menajam."Tidak usah membawa orang lain!" Aku tidak suka, ketika ia mengungkit tentang lelaki itu.Rasanya seperti direndahkan, dicap sebagai wanita bodoh yang belum bisa melupakan cinta pertamanya. Aku hanya tidak bisa bersamanya, bukan
Ibu pulang, malam itu juga. Dia tidak lagi membalas perkataanku ataupun ikut melepas isi hati. Ia hanya melihat dengan mata yang bergetar. Aku rasa, dia juga berusaha menahan agar tidak ikut menangis. Entahlah, aku tak mau peduli. Saat ini, aku terlalu sibuk menganalisa sebuah brand yang ingin menggunakan jasa kami. Sebaiknya, biarkan pikiran-pikiran tidak jelas itu menghilang ditelan lelah karena pekerjaan. "Hanna," bak Gia menyadarkanku dari lamunan. Aku segera melihatnya, bertanya "Ada apa, bak?"Kamu di panggil pak Alex," jelasnya. "Untuk apa ya, bak?" Pasalnya, aku rasa kami belum memiliki pekerjaan yang mengharuskanku untuk menemuinya. "Kamu kan sekertarisnya." Ah, aku lupa tentang itu. Hanya saja, aku masih menggunakan meja kerja lama dan melakukan tugasku sebagai copy writer. "Pasti ada perlu, makannya dia manggil kamu." Tentu saja. "Iya bak, terimakasih." Aku tersenyum simpul lalu bangun menuju ruang Alex. Begitu berdiri di depan pintu masuk tempatnya mengurus segala ha
Hari ini aku pergi ke dokter kandungan, karena paksaan ibu. Setelah apa yang terjadi, ia menghubungi lebih sering dari sebelumnya. Kurasa, dia benar-benar merasa telah melukaiku. Meski tanpa di sadari. Kini, kami sedang mendengarkan hasil tes. Dokter muda yang begitu cantik menjelaskan dengan baik. Bayi ini, baik-baik saja. Bahkan sangat sehat. Aku tidak tau harus senang atau sedih, aku tidak terlalu memikirkan keadaannya. "Ibu Hanna hanya perlu menjaga makan, saya rasa dia akan menjadi anak yang kuat ketika lahir ke dunia nanti." Basa-basi lain yang sudah terlalu sering kudengar. Selesai pemeriksaan, ibu mengajakku duduk menikmati angin sepoi-sepoi di taman rumah sakit. Ia membelikan roti dan susu kedelai. Aku jadi teringat masa lalu. Ketika aku merengek ingin memakan roti coklat padanya, ia hanya mampu memberi sepotong roti tawar. Dan susu kedelai yang kubeli dengan uang yang kuambil dari kantong jaket ayah. Seumur hidup, lelaki itu tidak pernah memberiku uang jajan. Kami melam
"kamu egois Hanna." Aku menaikkan alis mendengar tuduhan tidak mendasar itu. "Aku egois?" Benar-benar tidak masuk akal. "Iya," dia mendekat kearahku mengikis jarak. "Kamu mengambil semuanya dariku!" Gadis itu membentak dengan kemarahan tak terbendung. Rahangnya mengeras menusukku dengan tatapan. "Apa yang kuambil?" Aku bertanya tidak habis pikir. Ia bertingkah bak korban sekarang. "Semuanya! Semua yang aku inginkan, segala yang awalnya milikku!" Dadanya naik turun menahan kekesalan, melempar kata demi kata dengan teriakan. "Kamu telah merebut segalanya!"Aku mengerutkan kening, miris mendengar kalimatnya. "Aku merebut darimu?" Bahkan kata-kata itu terdengar konyol. "Risa," dia bahkan tidak tau apa yang kulewati karena malam itu. "Berhentilah bertingkah di depanku. Aku tidak pernah menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi padaku. Aku merasa semuanya adalah masalahku dan akan menyelesaikannya sendiri." "Apa?" Ia masih berlagak tak tau. "Aku rasa kamu mengerti, karena kamu bukan
Aku menatap diri di kaca, melihat pantulan tubuhku yang kini sedikit berisi. Jika ini aku beberapa bulan yang lalu, aku akan langsung memilih untuk mencari menu diet di internet. Tapi sekarang, aku rasa bukan makanan yang membuat berat badanku bertambah. Aku mengusap perutku pelan, menghela nafas ringan. "Sepertinya kamu tumbuh sehat."Entah mengapa ada rasa lega yang datang menyentuh hatiku. Aku senang, anak ini tidak mengalami masalah. Meski, masih ada keinginan untuk tidak mengakuinya. Tapi, sampai kapan aku bisa menyembunyikannya pada dunia? Pada akhirnya, aku harus mengakui keberadaannya. Selesai berdandan, memakai jas berwarna biru muda dan rok beberapa centi di bawah lutut yang senada. Aku keluar dari kos menuju kantor. Meski sedikit risau karena akan bertemu dengan Alex. Aku berusaha untuk bersikap biasa. Bukankah Hanna adalah seorang karyawan kantoran yang profesional? Sampai di kantor, aku segera menuju meja kerjaku. Melakukan apapun yang sudah semestinya kukerjakan. Dari
Aku tidak terlalu memikirkan gaun apa yang harus kupakai untuk pergi bersama Farhan. Bagiku, itu hanya makan malam biasa, apalagi Eva bersama kami. Gadis itu akan menjemputku, ia tidak membiarkan Farhan mendekat. Dia tau, apa yang harus dilakukan. Dan sekarang, kami berada di dalam mobil merah Eva, menuju sebuah restoran yang lelaki itu pesankan. Aku akan menjagamu, dengan tangan yang masih memegang kemudi, gadis itu terdengar siap berperang.Aku menggeleng pelan, tersenyum mendengar tuturan tidak masuk akal itu. Kita hanya makan malam, Va. Bukan mau melawan Monster."Tapi mirip," tekan gadis itu menaikkan alis, melirikku sekilas, seolah memberi pembenaran. "Terserah kamu saja," balasku hanya bisa pasrah. Mobil Eva melaju membelah jalan malam yang nampak masih cukup ramai. Sekitar 20 menit, ia mengendarai. Hingga kami sampai di sebuah restoran bintang lima yang terlihat sangat mewah. Bukan hanya aku, yang sebenarnya benar-benar tidak terbiasa menginjakkan kaki di tempat seperti i
Aku memutuskan untuk masuk melewati gerbang. Melawan diriku sendiri yang sedari tadi menyuruh berbalik. Hati dan otakku seakan bertarung tanpa henti. Dan aku, tetap melangkah mengikuti suara lain yang terus berbisik. Kurasa, aku sudah gila. Aku seakan tau, tempat mana yang ingin kutuju. Aku berjalan lurus tanpa merasa terganggu dengan apapun. Seolah, semuanya sudah pasti. Segalanya sudah terencana sedari awal. Aku tidak tau kenapa bisa begini? Aku menginginkannya? Atau mungkin, anak ini? Yang pasti, kini aku berdiri di depan sebuah pintu. Milik seseorang yang terus-menerus membayangiku selama beberapa hari. Aku ingin melihat wajahnya."Apa yang kamu lakukan, Hanna?" Tanyaku pada diri sendiri, memandangi tempat kayu dengan kenop perak di depanku.Hanya saja, segalanya terasa tidak masuk akal. Aku benar-benar ke tempat ini. Tanpa alasan yang jelas. Aku hendak menekan bel, namun ku urungkan ketika sadar akan satu hal. Mungkin, dia belum kembali dari perjalanan bisnis. Aku tidak meli