POV : ZENDRAAh sialan! Gara - gara ban motor kempes jadi telat masuk. Baru kemarin kena hukum Pak Yusdi. Masa sekarang harus kena hukum lagi, lama - lama bisa kena kartu merah nih. Aku bergumam kesal begitu melihat gerbang setinggi cita - citaku itu sudah tertutup rapat dengan manekin hidup berbentuk doraemon mematung di depan pos.Doraemon gak ada guna, giliran jaga gerbang aja dia ada, sementara kemarin, di saat genting si Dinda sampai ke kunci di ruang lab, ini manusia kemana? Aku masih bergumam sendiri, melirik kesal pria tua berkumis tebal dengan seragam biru tua tersebut."Pak, ayo atuh bukain gerbangnya. Baru juga telat 15 menit. Masa gak di maklumin. Tar Zen beliin kopi deh!" Aku merayu Pak Abdul agar hatinya tergerak membuka gerbangnya untukku."Tar dibukanya nunggu perintah Pak Yusdi" Jawabannya makin membuatku sebal."Itu mah sama aja bohong atuh pak"Pak Abdul hanya melirik sekilas dan tetap berdiri tegak bak tentara perang yang sedang menjaga perbatasan wilayah.Mau gak
"Alif, ba, ta , tsa..." Kak Alif menunjuk satu per satu huruf hijaiyah yang tertera pada buku iqra kecil di tangannya.Ceritanya, Kak Alif lagi mengajari pacarnya agar bisa mengaji. Supaya jadi ibu yang sholehan untuk anak - anak mereka kelak. Begitulah cita - cita kehidupan mereka di masa depan."Alip... kayak namamu yah. Aku jadi kaya lagi manggil kamu" Ucap Amanda malah mencandai pacarnya yang sedang serius menjadi guru ngajinya tersebut.Mereka sudah hampir satu jam berada di halaman buku yang sama dan Amanda masih belum serius untuk mempelajarinya."Udah ah serius. Ayo coba lagi, alif, ba, ta, tsa" Kak Alif mengulangi lagi entah sudah berapa kali dan aku masih betah saja mendengarkan mereka sambil memandangi dua manusia aneh itu duduk di lantai, dipojokan kelas.Ini jam istirahat, jadi kelas kami sepi dan kedua orang tersebut, hmm... maksudku Amanda seharusnya bisa serius sih menangkap pembelajaran ringan yang Kak Alif ajarkan padanya."Alip, bata, seng, gendeng, batako. Ah gak t
"Ayo Din, gue anter pulang lagi" Ajak Umay yang kali itu bertemu denganku di dekat gerbang."Zendra minta loe lagi buat anter gue?""Iya""Kapan? Katanya tadi loe gak ketemu dia"Umay nyengir, ketahuan berbohong. "Ya udah sih meskipun gak di suruh Zendra emang kenapa balik sama gue. Kan gue sahabatnya""Jangan gitu, tar malah bikin Zendra salah paham sama kita. Udah sana balik, gue juga mau balik bareng sama temen gue""Ya udah kalau gitu gue duluan ya, loe hati - hati" Pesan Umay, lalu dia membawa motornya meninggalkan gerbang sekolah. Sementara aku masih berdiri di depan gerbang menunggu Eka yang masih belum menunjukkan batang hidungnya."Kamu lagi nungguin siapa Dinda?" Tanya Kak Wito"Lagi nungguin teman Kak""Saya antar pulang saja ya" Tawarnya lagi, padahal pagi tadi aku sudah menolak permintaannya."Gak usah Kak, makasih" Aku menolaknya lagi, dengan halus."Kalau gitu, kita tunggu temanmu di sana ya" Katanya sambil menunjuk sebuah warung di bawah pohon ketapang, di ujung jalan.
"Serius banget kayanya ngobrol sama Kak Wito" Ujar Eka begitu aku menghampirinya, lalu kami berjalan bersama menuju halte bis."Dia kan emang orangnya serius gak pernah becanda""Kenapa sih loe gak jadian aja sama dia, kalian bukannya sama - sama saling suka?" Eka melirikku "Sorry bukannya ikut campur tapi rumor yang menyebar sih begitu di sekolah. Bukannya malah lebih nyaman sama yang saling suka ya? Daripada pacar loe sekarang gak jelas, bandel banget lagi" lanjutnya memberi pendapat."Emang dari awal masuk sekolah yang gue taksir dia, tapi kalau di fikir lagi dari dulu kita sama - sama saling suka kok gak pernah bisa bersama. Kan seolah takdir tuh lagi ngasih tahu gue kalau dia bukan jodoh yang tepat"Eka terkekeh "Terus loe berharap anak bandel itu jodoh loe?""Ya nggak gitu juga. Gimana berjalannya waktu aja lah, cuma untuk sekarang sih perasaan gue ke Zendra sepenuhnya. Jadi gue gak mau sia - siakan lagi seperti yang sebelumnya. Tentang perasaan gue sama Kak Wito biar aja jadi p
"Gak bisa. Dinda harus tetap tinggal di sini" Kata Kakek tegas, bersikeras mempertahankanku. Selama ini beliau juga acuh, giliran aku hendak pergi dilarang - larang. "Saya akan tetap membawa Dinda, Pak, bu. Meskipun kalian melarang saya tetap akan membawanya" Mama juga teguh dengan pendiriannya memperjuangkanku untuk pergi dari rumah keluarga Papa. "Ya sudahlah biarkan saja Pak kalau memang dia ngeyel begitu" Ucap Nenek dengan nada kesal. Beliau memang gak suka dengan mamaku. Dulu, mama menikah dengan papa sebenarnya karena perjodohan kedua orang tua mereka. Saat itu keduanya masih sama - sama kaya raya. Tumbuh dari keluarga yang terpandang dan terhormat dengan latar pendidikan yang gak main - main. Namun, dunia gak selalu sempurna dan gak bisa di prediksi sebelumnya. Harapan sukses di masa mendatang dari perjodohan kedua keluarga kaya raya itu sirna tak sesuai yang diinginkan, hingga berujung nenekku yang malah membenci menantu pilihannya sendiri. "Asal mbak tau ya, selama ini
"Niaaa..."Aku mendusel tubuh empuk nia yang sedang duduk santai di bangkunya. Setiap jam istirahat dia memang lebih suka berdiam di kelas daripada harus membuang waktunya dengan mengantri di kantin."Loe kemana tadi pagi? Gue tungguin dirumah kok gak nyamper""Gue sekarang tinggal sama nyokap lagi"Nia langsung memutar posisi duduknya menghadapku "Eh seriusan" Ucapnya senang "syukurlah kalau nyokap loe udah datang lagi"Aku mengedarkan pandangan, melirik bangku kosong di barisan ketiga. Meskipun istirahat seharusnya sebuah tas ada di sana."Zendra kemana?" Tanyaku saat gak menemukan apapun di bangku itu."Gak masuk dia. Itu bocah lama - lama bandel banget sumpah""Yaaah!" Aku mendesah kecewa."Padahal bokapnya galak banget, kalau bokapnya tahu pasti abis tuh anak di gebugin""Berarti kalau bolos dia gak tinggal dirumah?""Ya nggaklah, pasti dari rumahnya berangkat pake seragam, tapi gak tau nyampenya kemana"Aku teringat seseorang yang bisa dipastikan tahu keberadaan Zendra jika seda
Umay merebahkan tubuh sahabatnya di kasur, gak lupa ia juga membuka sepatu, lalu menyelimuti tubuh sahabatnya dengan selimut berwarna ungu miliknya."Biarin aja dia di sini dulu. Gue mau balik ke sekolah. Loe mau ikut gue atau tetap di sini nungguin dia sampe melek?" Tanya Umay padaku.Aku masih bingung memutuskan. Tasku masih di kelas, tapi aku juga ingin menunggui Zendra sadar untuk menanyakan hal yang sempat ia racaukan di warung tadi."Kalau mau tetap di sini, tar gue bawain tas loe kemari" Ucap Umay seolah mengerti apa yang sedang aku fikirkan."Oke makasih""Ortu gue lagi gak di rumah, kalau loe mau minum atau laper loe cari aja di dapur mungkin ada sesuatu. Anggap aja rumah sendiri""Sungkan ah""Yaelah, tuh bocah juga biasa begitu di sini. Loe kan pacarnya, jadi anggap juga gue sahabat loe. Jangan sungkan - sungkan""Iya... iya...""Ya udah gue tinggal dulu" pamitnya, hendak meninggalkan ruangan."Umay makasih" Ucapku menahan langkahnya."Makasih buat apa?""Loe udah tolongin
Sudah beberapa hari berlalu, sejak Zendra meluapkan segala keluh kesan yang di pendamnya tentang kecemburuan terhadap Kak Wito. Semenjak hari itu pula aku selalu berusaha menghindar dari Kak Wito yang ingin bertemu denganku untuk menjaga perasaan Zendra yang mungkin akan terluka lagi jika terjadi kesalahpahaman. Aku merasa sejak hari itu sikap Zendra juga sudah kembali normal. Dia masuk sekolah seperti biasa tanpa melanggar peraturan apapun lagi. Aku lega karena masalah ini segera teratasi dan hubunganku dengannya selamat dari kata pisah. Segala sesuatu memang akan lebih cepat teratasi jika dibicarakan bersama. Itulah pentingnya suatu komunikasi. Pagi ini aku sudah bersiap dengan berbagai bekal perlengkapan di ranselku. Ada cemilan, obat - obatan yang mungkin di butuhkan, dan gak lupa senter pesanan Kak Febri yang wajib di bawa oleh setiap peserta. Selain aku, beberapa orang lain juga sudah nampak menggendong perbekalannya masing - masing dan saat ini kami sedang menunggu aba -