"Apa yang sudah terjadi Dinda?" Mama menyambutku dengan khawatir begitu mendapati anaknya pulang dengan kondisi berantakan dan penuh luka."Tadi Dinda di kerjai kakak kelasnya bu" Jawab Kak Febri yang saat ini masih bersamaku."Masuk... masuk...." Pinta Mama, lalu kami masuk ke dalam rumah."Sebentar ya mama ambilkan kotak obat dulu" Katanya, langsung beliau pergi mencari barang yang di maksudkan."Duduk Kak" Kataku mempersilahkan Kak Febri. Mata lelaki itu nampak masih beredar mengamati seluruh ruangan."Dari kapan loe pindah ke sini?" Tanyanya, laki - laki itu memilih sofa panjang dan kemudian aku duduk di sebelahnya."Baru beberapa hari yang lalu""Syukurlah akhirnya loe bisa bareng orang tua loe lagi"Aku mengangguk, meski nyatanya yang tinggal bersamaku sekarang bukan lagi orang tua yang lengkap seperti dulu, hanya Mama dan orang itu sedang rapuh karena perbuatan suaminya saat ini."Sini nak, Mama obati dulu lukamu" Ucap Mama begitu kembali dengan kotak p3k di tangannya."Biar sa
Aku menatap kursi yang masih kosong di sampingku. Mendesah resah. Ingin bercerita tapi bingung pada siapa. Aku gak mungkin mengatakan masalah ini sama Nia. Apalagi Nia satu kelas sama Zendra. Satu - satunya yang bisa menampung ceritaku dengan aman cuma Amanda, tapi kemana anak itu sampai sekarang belum ada kabar? Apa benar dia sakit?"Mana si jawa" Suara Kak Alif mengagetkanku. Lelaki itu menongolkan kepalanya di jendela tanpa kaca, seperti biasa.Aku menggeleng "Kak Alif juga gak dapat kabar dari dia?""Nggak" Jawabnya cuek, tapi jangan salah ya secuek - cueknya Kak Alif cintanya tulus banget loh buat Amanda. Emang dasar sifatnya aja yang lebih suka becanda dan gak mau ambil pusing."Apa dia sakit ya kak? Kemarin juga dia gak ikut kegiatan semeru""Emangnya anak itu bisa sakit?" Celetuknya, membuatku melirik kesal."Pacarmu itu manusia loh Kak""Manusia kok gak bisa ngaji" Ucapnya sambil manyun."Kita jenguk ke rumahnya yuk Kak, gue penasaran takut dia kenapa - napa, gak biasanya dia
Kak Alif melajukan motornya dengan kencang, membawaku untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin tanpa arah tujuan.Lelaki itu sejak tadi hanya diam dengan terus melajukan motornya menyusuri setiap jalanan yang terlihat di matanya, hingga akhirnya di sebuah jalan yang sepi ia mengerem mendadak dan mematikan mesin motornya.Ia menghela nafas, lalu mengangsurkan kepalanya pada stang motor, menenggelamkan wajahnya pada kedua tangan yang bersilang di sana."Are you okey?" Tanyaku sambil menepuk bahunya yang mulai berguncang.Kak Alif gak menjawab, ia masih dengan posisinya, namun kali ini suara isaknya mulai terdengar membuat air mataku ikut turun juga.Untuk beberapa waktu, Kak Alif terus menangis. Ia pasti kecewa, mungkin sangat kecewa hingga tangisnya pecah gak terkendali.Dia mencintai Amanda dengan begitu hebatnya. Orang yang sehari - harinya hanya bisa bercanda dan tertawa nyatanya memiliki cinta yang lebih serius dibandingkan dengan orang lain yang nampak romantis.Kamu sangat b
Aku melangkah memasuki sebuah coffe shop di jl Hassanudin. Sebuah cafe klasik dengan dinding berwarna cream dan pintunya berwarna coklat tua.Hari itu suasana coffe shop cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk disana. Termasuk salah seorang wanita dengan dress biru yang duduk tenang di kursi jati di salah sudutnya. Amanda tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.Aku menghampirinya dengan ragu. Menarik satu kursi di depannya. Lalu menjatuhkan tubuhku di sana."Udah lama nunggunya?" Tanyaku setelah merapihkan diri di kursi tersebut.Amanda melirik jam di tangannya "Sekitar 10 menit. Lama banget sih loe dari mana dulu?""Iya maaf" Ucapku, lalu melirik mejanya yang masih kosong dengan buku menu yang tergeletak. "Loe belum pesan sesuatu?""Nungguin loe" Amanda melotot dan aku cekikikan melihat bibirnya yang mulai manyun."Iya sorry... sorry..." Aku membuka buku menu yang sedari tadi di anggurkan Amanda "gue mau pesan hazelnut latte, loe mau apa?""Samain aja, gue juga gak ngerti
"Kamu yakin mau titipin Dinda di keluargamu, pah?""Mau bagaimana lagi, itu pilihan yang terbaik untuk masa depan Dinda supaya dia bisa tetap sekolah!"Aku dengan jelas mendengar percakapan mereka (mama dan papa) di ruang keluarga membuat piala yang ada di tanganku tiba-tiba terlepas begitu saja.Sore itu, aku baru tiba di rumah setelah merayakan perpisahan sekolah bersama teman-temanku.Lulus dengan nilai terbaik tentu sebuah kebanggaan. Apalagi, selama ini prestasiku di SMP selalu stabil. Menjadi kebanggaan guru-guru gak semua orang bisa mendapatkannya. Itu adalah usahaku untuk membuat kedua orang tuaku bangga.Tadi, aku sudah berjanji pada teman-temanku, untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah yang sama, tapi ternyata tuhan sudah mempersiapkan hal lain yang belum pernah terfikirkan olehku sebelumnya.Ternyata kebahagiaan itu, hanya sebatas angan-angan dan yang ku capai selama ini sia-sia saja."Dinda!" Sontak Mama terkejut melihat keberadaanku.Aku menatap mama dengan sedih, "Mah,
"Din, nanti Tante Dewi mau datang. Kamu main dirumah Nia jangan lama-lama ya" pesan Nenek padaku.Pada akhirnya, aku menurut keputusan Mama dan Papa untuk tinggal bersama Kakek dan Nenekku."Iya Nek!" Jawabku singkat.Meski sudah 6 bulan tinggal bersama Kakek dan Nenek, aku masih tetap merasa canggung. Hanya berbicara seperlunya dan menjawab 'iya' dari setiap perintah yang diberikan padaku saja rasanya lebih dari cukup.Entah diriku yang salah atau keadaan yang membuatku jadi orang yang salah diantara mereka. Aku juga gak tau, yang jelas aku gak suka dengan kecanggungan ini.Aku yakin Mama juga tahu ketidak nyamananku ini, tapi mau bagaimana lagi, aku hanya bisa menunggu janji Mama yang akan berusaha untuk segera menjemputku kembali.Dan meskipun terlambat,Perkenalkan, namaku Adinda Kirana. Sekarang aku sudah duduk di kelas 7 SMK Dwiputera, Jawa barat. Aku terlahir sebagai seorang anak tunggal dengan kepribadian tomboy, tapi gak urakan. Aku pendiam, dan hanya asyik dengan beberapa or
"Si Dinda dari tadi di kamar mulu, mak!"Itu suara Tanteku, adik Papa yang paling bungsu, namanya Tante Diah. Orang yang paling rese diantara adik Papa yang lain. Maklumlah ya, namanya juga anak bungsu.Suaranya berasal dari dapur, tapi bisa-bisanya terdengar jelas sampai ke kamarku yang memiliki jarak cukup jauh dari dapur, bahkan memiliki sekat 2 kamar lain, karna kamarku berada di paling ujung, berdekatan dengan jalan setapak."Iya gak tau itu anak, kenapa betah-betah banget dikamar!" Jawab Nenekku, suaranya gak kalah nyaring.Aku tahu mereka sedang menyindirku, kalau ngomongin kan pasti bisik-bisik ya, gak mungkin sekenceng itu.Lantas, memangnya kenapa kalau aku lebih sering dikamar? Lagipula, aku dikamar buat baca buku. Memangnya salah?Pergi main salah, diem dikamar salah, terus yang benar buatku apa?"Ngasuh si Galang kek, daripada diem di kamar terus. Bersosialisasi gitu kaya manusia pada umumnya" suara Tante Diah meninggi seolah-olah aku harus mendengar ucapannya.Aku menutu
Kalian tahu??Apa rasanya setelah dilecehkan oleh sepupu sendiri? Sedangkan, yang seharusnya sebagai korban malah disudutkan? Kecewa, Marah, trauma, campur aduk deh, pokoknya. Apalagi gak ada satu orang pun yang percaya sama kamu dalam posisi traumamu sekarang.Parahnya, selain harus menangani segala rasa itu, aku juga harus memulihkan trauma itu sendiri, semuanya, dan pastinya, aku harus tetap bersikap baik-baik aja didepan mereka. Karena percuma, sekuat apapun aku membela diri pada mereka. Aku tetap gak akan pernah benar.Aku mengelap bibirku, kesal. Jijik! Jika tiba-tiba ingat lagi kejadian kemarin. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?Apa aku sekuat itu? hingga Tuhan memberiku berbagai masalah yang gak kunjung habisnya. Aku menghela nafasku, menatap langit yang biru dengan awan putih yang indah siang itu."Dor!" Nia mengagetiku, ia baru saja keluar dari kelasnya.Aku tersentak "Ampun deh na, bisa gak sih loe gak ngangetin gue begitu."Aku memang selalu menunggu nia di dekat