“Asma, tolong! Kembalilah bekerja di toko lagi,” ujar Arya dengan tatapan yang penuh harap.Siska melihat tatapan Arya yang begitu berharap agar Asma bersedia bekerja kembali, menyalahkan artikan tatapan itu. Dia cemburu pada Asma.Asma menatap Arya dengan tatapan ragu. “Sebenarnya aku tidak ingin kembali bekerja setelah apa yang terjadi. Aku ingin mencari pekerjaan di tempat lain. Aku takut kemurahan hatimu padaku disalah artikan oleh karyawan lain,” jawabnya.“Asma, pikirkan lagi. Kamu sedang hamil, jarang ada yang mau menerima pekerja dalam kondisi hamil. Kamu butuh biaya untuk persalinan nanti.” Khansa juga mencoba membujuk Asma.Asma merasa bingung. Dia tidak ingin kembali bekerja di toko itu. Namun, dia juga tidak ingin membuat Arya kecewa.“Kenapa enggak kerja dari panti saja,” celetuk Siska.Celetukan Siska mengalihkan atensi mereka. Mereka menengok ke arah Siska.“Siska benar, Arya. Kamu butuh orang untuk membantumu dalam manajemen keuangan toko. Asma bisa tuh diperkerjakan d
“Kenapa Asma?” tanya Khansa seraya mendekati Asma yang langsung menghapus air matanya.“Tidak ada apa-apa, Mbak.” Asma tersenyum dan menengok ke arah Khansa. “Sudah mau shalat Magrib berjamaah ya, Mbak?”Khansa tidak bisa bertanya lebih lanjut kepada Asma. “Belum azan magrib, kok. Tapi, sudah ditunggu karena ada kajian sebelum shalat Magrib.”“Baik, Mbak. Aku nyusul, ya. Aku mau ganti baju dulu,” ucap Asma.Khansa meninggalkan kamar Asma. Sepeninggal Khansa, Asma segera berganti baju dan menuju ke mushala. Ternyata, semua penghuni sudah berkumpul di mushala dan kajian sudah dibuka dengan membaca Al-Quran oleh salah satu anak panti.“Hati-hati Mbak Asma! Enggak usah terburu-buru. Kajiannya baru dimulai, kok,” ucap Ibu Asih, salah satu ibu penghuni panti yang berada di barisan belakang memperingatkan Asma yang berjalan terburu-buru.Asma tersenyum mendengar teguran dari Ibu Asih. Dia pun duduk di sampingnya. “He... He... He... Iya, Bu. Asma takut telat.”Semua penghuni panti mendengarka
"Arya, panti kok terlihat ramai sekali, ada apa, ya?”Asma melihat panti terlihat ramai dengan ibu-ibu yang bertempat tinggal di sekitar panti. Karena bukan jadwal taklim ibu-ibu, membuatnya heran.Arya hanya mengedikkan bahu, mengatakan jika dia juga tidak mengetahui apa-apa. Mereka segera turun dari mobil.“Mas, panti ada acara apa?” tanya Siska yang juga heran dengan keramaian yang ada di panti.Arya menuju ke arah pintu panti dan diikuti oleh Asma dan Siska yang tanpa mereka sadari berjalan sambil bergandengan tangan. Siska terlihat membantu Asma berjalan tertatih karena perutnya yang sudah membesar.“Alhamdulillah, akhirnya datang juga orangnya,” ucap Khansa ketika melihat kehadiran Asma bersama Siska. Arya sudah berlalu lewat pintu belakang karena sudah banyak ibu-ibu di ruang tamu.Asma bingung dengan ucapan Khansa. “Mbak Khansa menungguku?”“Iyalah. Masa acara doa bersama dalam rangka tujuh bulan kehamilanmu, kamu enggak ada di antara kami,” jawab Khansa dengan tersenyum.“Aca
“Buat di rumahku saja.”Semua wanita yang berada di dapur menengok ke arah datangnya suara. Arya masuk ke dapur dan duduk di kursi dekat meja makan.“Ibuku tuh punya perlengkapan lengkap untuk membuat kue. Yach, walaupun tidak bisa membuat kue. Sedangkan bahan yang dibutuhkan, nanti aku belikan. Yang penting sudah jelas apa saja bahannya.”Ucapan Arya membuat semua orang bengong. Mereka belum memahami maksud ucapan Arya yang datang secara tiba-tiba.“Maksud Mas Arya apa?” tanya Mila.“Loh, katanya mau membuat kejutan buat Mbak Khansa. Mau buat kue sendiri. Ibuku tuh punya perlengkapan lengkap. Buatnya di rumahku saja,” jawab Arya.Mereka saling berpandangan mendengar tawaran dari Arya. Sedetik kemudian, Mila dan Intan tersenyum.“Bagaimana Mbak? Kalau buatnya di rumah Mas Arya?” tanya Mila pada Asma karena dialah yang akan membuat kue itu.Asma agak heran dengan tawaran Arya. Logika Asma, kalau Arya memang akan membantu mereka membuat kejutan untuk Asma, mengapa dia menyokong dana unt
“Hanya aku yang boleh menjadi menantu Tante,” ucap seorang wanita muda berusia sekitar dua puluhan.Wanita itu mendekati Ibu Intan dan mengalami dan menatap sinis pada Asma yang sedang menyiapkan bahan untuk menghias kuenya.“Liana! Liana! Kamu itu tidak pernah menyerah mengejar Arya. Kamu sudah ditolak Arya loh.” Ibu Intan hanya menggelengkan kepala, mendengar ucapan Liana yang merupakan anak sahabatnya.“Sebelum janur kuning melengkung, masih ada harapan buat Liana, Tante,” ucapnya.Liana menduduki kursi yang berada di dekat Ibu Intan. Dia menatap Asma yang sudah bersiap menghias kuenya.“Siapa dia, Tante?” tanya Liana yang memang belum pernah bertemu dengan Asma. Selama ini, dia kuliah di luar kota.Ibu Intan mengenalkan Asma pada Liana. Liana memandang perut Asma yang membesar. “Tante ingin mempunyai menantu yang sudah bersuami?”Liana menatap Ibu Intan dengan memberi kode ke perut Asma, meminta penjelasan dengan kondisi Asma.Asma sudah tidak memperhatikan Liana. Dia sudah fokus
“Sikapmu sama Liana kok ketus banget sih, Ar?” tanya Asma pada Arya ketika dalam perjalanan menuju ke panti. Arya menengok sekilas ke arah Asma yang berada di jok samping kemudi. Dia menghela nafas sembari fokus pada jalanan di depannya. “Aku heran saja sama dia. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali, tetapi dia tidak berhenti mencari perhatianku. Aku tuh risih. Gara-gara dia, aku pernah bertengkar dengan almarhumah istriku dan juga dengan Khansa.”“Dengan Siska juga?” tanya Asma menggodanya seraya tersenyum. “Kok kamu bisa nebak sih, As?” Asma tersenyum lebar seraya tertawa pelan. Dia tentu bisa menebak siapa saja yang pernah berseteru dengan Liana. “Orang-orang yang kamu sebut itu, orang-orang terdekatmu. Dia itu cemburu padamu. Denganku yang baru saja bertemu sudah menabuh genderang perang karena merasa terancam posisinya. Apalagi dengan Siska yang jelas-jelas memang menyukaimu,” ucap Asma. Arya ikut tertawa mendengar penjelasan Asma. Dia memang mengetahui Liana menyukain
"Selamat Milad, Mbak Khansa.”“Selamat Hari lahir, Bunda Khansa.”Ucapan serempak dari penghuni panti menghentikan langkah Khansa. Dia tertegun dengan apa yang terjadi di ruang tengah.Ibu Intan mendekati Khansa seraya membawa sebuah kue ulang tahun.“Maaf ya, tidak pakai lilin. Kata yang buat kuenya untuk menghindari bertentangan dengan ajaran Islam. Takut menyerupai suatu kaum,” ucap Ibu Intan seraya melirik ke arah Asma yang berada di samping kanannya.Khansa mengernyitkan dahi, dia baru mengetahui ada seorang pembuat kue yang memperhatikan hukum Islam.“Terima kasih, Bu,” ucap Khansa seraya menerima kue ulang tahun tersebut. Dia kemudian membawanya ke arah meja.“Jangan berterima kasih pada Ibu, Khansa. Ini semua ide anak-anak panti dan tentunya di dukung Asma dan Arya. Dan tentunya Ibu juga.” Ibu Intan tertawa kecil dengan ucapannya yang disambut senyuman oleh yang lain.Khansa menatap satu persatu penghuni panti dari yang paling kecil hingga yang paling dewasa. Air mata tak terb
“Aku memang tidak menutup-nutupi keinginanku yang ingin menjadi nyonya Arya. Jadi, jangan harap kamu akan bisa menjadi nyonya di rumah ini,” ucap Liana dengan percaya diri. Liana memang baru saja tiba di rumah Arya. Seperti biasa jika Liana sedang libur kuliah, dia akan menyambangi rumah Arya setiap hari. Asma tersenyum miring mendengar kepercayaan diri Liana. Ada perasaan kasihan kepada sosok gadis di hadapannya ini. Apakah memang Liana benar-benar mencintai Arya atau hanya sekedar obsesi. “Terlalu percaya diri sekali dirimu. Padahal, kamu sudah ditolak berkali-kali oleh Arya. Tetapi, kamu terus saja mengejarnya. Menurutku itu membuat Arya semakin menjaga jarak denganmu.”Ucapan Asma membuat Liana mengepalkan tangannya. Ketika dia akan menjawab ucapan tersebut, Ibu Intan datang. Dia sudah pulang ke rumah setelah pergi ke warung. “Eh, ada Liana. Kapan datang Li?” tanyanya seraya meletakkan sayuran ke atas meja makan. Liana mendekati ibu Intan dan menyalaminya. “Baru saja, Tante.”