“Kamu akan memberikanku modal agar aku bisa membuka toko kue sendiri?” tanya Asma memastikan apa yang didengarnya.“Iya, jika kamu mau. Tetapi, semua terserah padamu, Asma. Walaupun begitu, aku tetap berharap kamu menerima uluran modal dariku.”Asma menatap Ibu Intan dan Arya. Semenjak Asma tiba di kota, Arya sudah banyak berjasa padanya. Ibu Intan juga sangat baik padanya.“Aku akan memikirkannya terlebih dahulu, Arya. Aku masih memikirkan kehamilanku yang tinggal beberapa bulan,” jelas Asma. Dia tidak menerima maupun menolak uluran modal dari sahabatnya itu.“Sepertinya betul juga yang disampaikan Asma, Arya. Persiapan membuat suatu usaha baru pasti membutuhkan tenaga dan pikiran, sedangkan dia harus menjaga kondisi kehamilannya hingga melahirkan. Asma, kamu masih bisa menerima pesanan kue ulang tahun dan membuatnya di rumah ini saja. Lumayan untuk menambah biaya persalinan.” Ibu Intan membenarkan ucapan Asma, bahkan dia menawarkan rumahnya agar digunakan sementara waktu ketika ada
“Bagaimana menurutmu Asma? Kamu bisa membuat kue-kue itu di sela-sela pekerjaanmu. Kamu hanya perlu membeli alat-alat untuk membuat kue saja. Selain bisa menambah tabungan biaya persalinanmu, anak-anak bisa mendapat tambahan uang saku dari hasil penjualan kue-kue itu.” Khansa menambahkan pemaparannya tentang usulan yang diajukan beberapa anak panti.Asma masih terdiam. Semua yang disampaikan Khansa dibenarkan oleh Asma. Akan tetapi, dia masih bimbang untuk mengambil keputusan.“Aku pikirkan dulu ya, Mbak,” ucap Asma akhirnya. Dia harus mempertimbangkan banyak hal sebelum memberikan keputusan.“Ya sudah. Ayo, kita shalat Magrib dulu,” ajak Khansa.Mereka pun berjalan bersama menuju ke arah mushala panti yang berada di bagian belakang, dekat dengan kamar mandi dan dapur.Seperti biasa, Khansa memberikan tausiyah singkat setelah melaksanakan shalat Magrib berjamaah.“Ingatlah bahwa kita hanya bisa berencana dan berusaha sebisa dan semampu kita. Apa pun yang kita lakukan, serahkan hasilny
“Asma, apa hari ini jadi periksa?” tanya Khansa ketika dia sedang sarapan bersama Asma.Anak-anak panti yang bersekolah sudah berangkat beberapa menit yang lalu. Sedangkan, anak-anak balita sedang dimandikan oleh Mila dengan dibantu Intan.“Insya Allah jadi, Mbak. Tapi sebelum itu, akan belanja beberapa perlengkapan dan bahan untuk membuat kue terlebih dahulu,” jawab Asma setelah tidak ada makanan di dalam mulutnya.“Maaf ya, Asma. Kali ini aku tidak bisa ikut mendampingimu ke dokter kandungan.”Asma tersenyum pada Khansa. Sejak Asma tinggal di panti, Khansa selalu mendampingi dirinya periksa ke dokter kandungan secara rutin.“Enggak apa-apa, Mbak. Aku bisa sendiri kok,” ucapnya.Asma maupun Khansa segera menyelesaikan sarapan. Mereka harus melanjutkan aktivitasnya. Khansa akan mengisi kajian putri di salah satu sekolah menengah atas di kota itu. Sedangkan, Asma akan menuju ke toserba milik Arya. Arya akan mengantarnya untuk membeli perlengkapan membuat kue dan bahan-bahannya.Tidak s
“Asma! Kamu Asma?”Asma menarik nafas panjang sebelum dia membalikkan badannya ke arah orang yang telah memanggilnya. Asma pun membalikkan badannya.“Hai, Mas Tanto, Endang! Apa kabar?” Asma berusaha tersenyum pada mantan suami dan selingkuhannya.Tanto terkejut bertemu dengan Asma, apalagi dengan penampilan Asma yang baru. Hampir dua bulan, Tanto tidak bertemu dengan Asma dan kini takdir membawanya bertemu dengan mantan istrinya.Endang yang berada di samping Tanto menatap Asma dengan sinis. Dia bergelayut pada lengan Tanto dan mengusap-usap perutnya yang sudah terlihat membuncit.“Kami baik. Ternyata kamu kabur ke kota tho?” Endang menjawab pertanyaan Asma seraya tersenyum miring. “Malu kembali pada orang tuamu karena kamu harus turun derajat, ya. Kasihan!”Asma tidak bisa berkomentar apa-apa. Dia memang belum siap dengan pertemuan ini, sehingga dia hanya terdiam. Dia ingin pergi dari tempat itu, tetapi dia merasa ragu. Jika dirinya pergi dari sana, maka dia akan semakin dipandang r
“Apa maksud Anda? Siapa Anda?” tanya Arya yang mengurungkan diri menuju ke pintu mobil bagian kemudi. Dia berpura-pura tidak mengenal Tanto, padahal dia masih mengingat wajah Tanto ketika Asma masih berpacaran dengan Tanto. Beberapa kali dia melihat Asma dan Tanto pergi bersama.Tanto tersenyum sinis di hadapan Arya. Dia tidak mengenali Arya karena hanya bertemu satu kali ketika Asma dan Tanto masih pacaran. Apalagi, penampilan Arya yang sangat berbeda dengan penampilannya saat masa putih abu-abu. Asma pun tidak pernah mengenalkan Arya pada Tanto, walaupun dia merupakan sahabatnya. Endang yang berada di samping suaminya, tersenyum miring pada Asma yang terdiam di belakang Arya.“Saya mantan suaminya. Untung saja saya menceraikannya sehingga saya tidak harus bertanggung jawab terhadap anak yang ada di dalam kandungannya. Ternyata, dia bukan anakku,” ucap Tanto yang sudah termakan hasutan Endang ketika melihat Arya dan Asma yang berjalan bersama.Endang sempat menghasut Tanto ketika mel
“Kamu masih mencintainya kan?” tanya Arya sekali lagi karena Asma tidak menjawab pertanyaannya. Dia masih melihat cinta di mata Asma, tetapi dia ingin mendengar sendiri pengakuan Asma.“Aku-,” ucap Asma dengan ragu. “Entahlah, Arya. Aku mungkin termasuk wanita bodoh. Dia sudah berselingkuh berulang kali, tapi aku masih menerimanya. Bahkan, masih ada sedikit cinta untuknya sampai saat ini.”Asma menghela nafasnya. Dia sendiri tidak mengetahui bagaimana di dalam hatinya masih ada cinta untuk laki-laki yang sudah berkhianat padanya.Tanto merupakan cinta pertama Asma. Walaupun Tanto berulang kali mengkhianatinya, tetapi dia memang tidak pernah berlaku kasar padanya. Tanto selalu bisa membujuk Asma agar bisa memaafkannya kembali. Asma yang memang sudah dibutakan cinta atau dia memang wanita bodoh, sehingga dia selalu memaafkannya.Sebagai sahabat, Arya merasa kesal dengan sikap Asma. Akan tetapi, dia tidak bisa memaksa hati Asma untuk segera melupakan laki-laki yang sudah mengkhianatinya.
"Bagaimana nasib anakku, Mbak?” tanyanya kembali dalam pelukan Khansa.Khansa membiarkan Asma mengeluarkan semua unek-unek di dalam hatinya. Dia juga membiarkan Asma menangis dengan sepuasnya agar hatinya sedikit lega.Ketika Asma sudah menghentikan tangisnya, Khansa pun melepas pelukannya. Dia menatap Asma masih sesenggukan karena sisa tangisannya.Kini, Asma sedang duduk berhadapan dengan Khansa. Hatinya mulai tenang setelah mengungkapkan keresahan hatinya pada Khansa.“Asma, anakmu akan baik-baik saja. Dia memang tidak akan berada di dekat ayahnya. Tetapi aku yakin, dia tidak akan kehilangan sosok ayah. Kamu tidak bisa menjadi sosok ibu dan ayah sekaligus bagi anakmu kelak. Akan tetapi, kamu masih bisa mencarikan sosok ayah untuk anakmu. Entah nanti dari ayah sambungnya, pak dhe, om ataupun kakeknya. Walaupun tetap nasab seorang anak tidak akan terlepas dari ayahnya. Apalagi, kalau dia seorang perempuan.”Khansa menjeda ucapannya. Asma mendengarkan setiap kata yang terucap darinya.
“Asma, apa kamu sudah akan melahirkan?” tanya Arya dengan panik.Asma tidak menjawab tetapi dia mengusap-usap perutnya dengan wajah meringis. Asma sudah duduk kembali di kursi semula.“Masih kontraksi?” tanya Ibu Intan yang berdiri di samping Asma.“Masih, tapi tidak sesakit tadi.”“Kayaknya masih kontraksi palsu? Apa sudah sering merasakannya?”“Kadang-kadang, Bu. Terutama pada jam-jam tertentu. Biasanya kontraksi saat masuk waktu asar.”Arya yang semula terlihat panik, sudah mulai tenang kembali. Dia melihat Asma sudah lebih baik daripada tadi.“Kamu sudah berdiri sejak tadi pagi kan? Mungkin hal itu memicu kontraksi. Kapan HPL-nya?““Sebenarnya sudah terlewat dua hari yang lalu,” jawab Asma.Ibu Intan terkejut dengan jawaban Asma. “Loh, sudah terlewati. Apa kamu sudah periksa kandungan bulan ini?”Asma menggelengkan kepalanya. “Sejak kemarin bingung mau periksa dimana. Ingin periksa dengan dokter Irma, tetapi bukan di tempat biasa, tetapi di rumah sakit tempatnya bekerja.”Arya men