“Hanya aku yang boleh menjadi menantu Tante,” ucap seorang wanita muda berusia sekitar dua puluhan.Wanita itu mendekati Ibu Intan dan mengalami dan menatap sinis pada Asma yang sedang menyiapkan bahan untuk menghias kuenya.“Liana! Liana! Kamu itu tidak pernah menyerah mengejar Arya. Kamu sudah ditolak Arya loh.” Ibu Intan hanya menggelengkan kepala, mendengar ucapan Liana yang merupakan anak sahabatnya.“Sebelum janur kuning melengkung, masih ada harapan buat Liana, Tante,” ucapnya.Liana menduduki kursi yang berada di dekat Ibu Intan. Dia menatap Asma yang sudah bersiap menghias kuenya.“Siapa dia, Tante?” tanya Liana yang memang belum pernah bertemu dengan Asma. Selama ini, dia kuliah di luar kota.Ibu Intan mengenalkan Asma pada Liana. Liana memandang perut Asma yang membesar. “Tante ingin mempunyai menantu yang sudah bersuami?”Liana menatap Ibu Intan dengan memberi kode ke perut Asma, meminta penjelasan dengan kondisi Asma.Asma sudah tidak memperhatikan Liana. Dia sudah fokus
“Sikapmu sama Liana kok ketus banget sih, Ar?” tanya Asma pada Arya ketika dalam perjalanan menuju ke panti. Arya menengok sekilas ke arah Asma yang berada di jok samping kemudi. Dia menghela nafas sembari fokus pada jalanan di depannya. “Aku heran saja sama dia. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali, tetapi dia tidak berhenti mencari perhatianku. Aku tuh risih. Gara-gara dia, aku pernah bertengkar dengan almarhumah istriku dan juga dengan Khansa.”“Dengan Siska juga?” tanya Asma menggodanya seraya tersenyum. “Kok kamu bisa nebak sih, As?” Asma tersenyum lebar seraya tertawa pelan. Dia tentu bisa menebak siapa saja yang pernah berseteru dengan Liana. “Orang-orang yang kamu sebut itu, orang-orang terdekatmu. Dia itu cemburu padamu. Denganku yang baru saja bertemu sudah menabuh genderang perang karena merasa terancam posisinya. Apalagi dengan Siska yang jelas-jelas memang menyukaimu,” ucap Asma. Arya ikut tertawa mendengar penjelasan Asma. Dia memang mengetahui Liana menyukain
"Selamat Milad, Mbak Khansa.”“Selamat Hari lahir, Bunda Khansa.”Ucapan serempak dari penghuni panti menghentikan langkah Khansa. Dia tertegun dengan apa yang terjadi di ruang tengah.Ibu Intan mendekati Khansa seraya membawa sebuah kue ulang tahun.“Maaf ya, tidak pakai lilin. Kata yang buat kuenya untuk menghindari bertentangan dengan ajaran Islam. Takut menyerupai suatu kaum,” ucap Ibu Intan seraya melirik ke arah Asma yang berada di samping kanannya.Khansa mengernyitkan dahi, dia baru mengetahui ada seorang pembuat kue yang memperhatikan hukum Islam.“Terima kasih, Bu,” ucap Khansa seraya menerima kue ulang tahun tersebut. Dia kemudian membawanya ke arah meja.“Jangan berterima kasih pada Ibu, Khansa. Ini semua ide anak-anak panti dan tentunya di dukung Asma dan Arya. Dan tentunya Ibu juga.” Ibu Intan tertawa kecil dengan ucapannya yang disambut senyuman oleh yang lain.Khansa menatap satu persatu penghuni panti dari yang paling kecil hingga yang paling dewasa. Air mata tak terb
“Aku memang tidak menutup-nutupi keinginanku yang ingin menjadi nyonya Arya. Jadi, jangan harap kamu akan bisa menjadi nyonya di rumah ini,” ucap Liana dengan percaya diri. Liana memang baru saja tiba di rumah Arya. Seperti biasa jika Liana sedang libur kuliah, dia akan menyambangi rumah Arya setiap hari. Asma tersenyum miring mendengar kepercayaan diri Liana. Ada perasaan kasihan kepada sosok gadis di hadapannya ini. Apakah memang Liana benar-benar mencintai Arya atau hanya sekedar obsesi. “Terlalu percaya diri sekali dirimu. Padahal, kamu sudah ditolak berkali-kali oleh Arya. Tetapi, kamu terus saja mengejarnya. Menurutku itu membuat Arya semakin menjaga jarak denganmu.”Ucapan Asma membuat Liana mengepalkan tangannya. Ketika dia akan menjawab ucapan tersebut, Ibu Intan datang. Dia sudah pulang ke rumah setelah pergi ke warung. “Eh, ada Liana. Kapan datang Li?” tanyanya seraya meletakkan sayuran ke atas meja makan. Liana mendekati ibu Intan dan menyalaminya. “Baru saja, Tante.”
“Kamu akan memberikanku modal agar aku bisa membuka toko kue sendiri?” tanya Asma memastikan apa yang didengarnya.“Iya, jika kamu mau. Tetapi, semua terserah padamu, Asma. Walaupun begitu, aku tetap berharap kamu menerima uluran modal dariku.”Asma menatap Ibu Intan dan Arya. Semenjak Asma tiba di kota, Arya sudah banyak berjasa padanya. Ibu Intan juga sangat baik padanya.“Aku akan memikirkannya terlebih dahulu, Arya. Aku masih memikirkan kehamilanku yang tinggal beberapa bulan,” jelas Asma. Dia tidak menerima maupun menolak uluran modal dari sahabatnya itu.“Sepertinya betul juga yang disampaikan Asma, Arya. Persiapan membuat suatu usaha baru pasti membutuhkan tenaga dan pikiran, sedangkan dia harus menjaga kondisi kehamilannya hingga melahirkan. Asma, kamu masih bisa menerima pesanan kue ulang tahun dan membuatnya di rumah ini saja. Lumayan untuk menambah biaya persalinan.” Ibu Intan membenarkan ucapan Asma, bahkan dia menawarkan rumahnya agar digunakan sementara waktu ketika ada
“Bagaimana menurutmu Asma? Kamu bisa membuat kue-kue itu di sela-sela pekerjaanmu. Kamu hanya perlu membeli alat-alat untuk membuat kue saja. Selain bisa menambah tabungan biaya persalinanmu, anak-anak bisa mendapat tambahan uang saku dari hasil penjualan kue-kue itu.” Khansa menambahkan pemaparannya tentang usulan yang diajukan beberapa anak panti.Asma masih terdiam. Semua yang disampaikan Khansa dibenarkan oleh Asma. Akan tetapi, dia masih bimbang untuk mengambil keputusan.“Aku pikirkan dulu ya, Mbak,” ucap Asma akhirnya. Dia harus mempertimbangkan banyak hal sebelum memberikan keputusan.“Ya sudah. Ayo, kita shalat Magrib dulu,” ajak Khansa.Mereka pun berjalan bersama menuju ke arah mushala panti yang berada di bagian belakang, dekat dengan kamar mandi dan dapur.Seperti biasa, Khansa memberikan tausiyah singkat setelah melaksanakan shalat Magrib berjamaah.“Ingatlah bahwa kita hanya bisa berencana dan berusaha sebisa dan semampu kita. Apa pun yang kita lakukan, serahkan hasilny
“Asma, apa hari ini jadi periksa?” tanya Khansa ketika dia sedang sarapan bersama Asma.Anak-anak panti yang bersekolah sudah berangkat beberapa menit yang lalu. Sedangkan, anak-anak balita sedang dimandikan oleh Mila dengan dibantu Intan.“Insya Allah jadi, Mbak. Tapi sebelum itu, akan belanja beberapa perlengkapan dan bahan untuk membuat kue terlebih dahulu,” jawab Asma setelah tidak ada makanan di dalam mulutnya.“Maaf ya, Asma. Kali ini aku tidak bisa ikut mendampingimu ke dokter kandungan.”Asma tersenyum pada Khansa. Sejak Asma tinggal di panti, Khansa selalu mendampingi dirinya periksa ke dokter kandungan secara rutin.“Enggak apa-apa, Mbak. Aku bisa sendiri kok,” ucapnya.Asma maupun Khansa segera menyelesaikan sarapan. Mereka harus melanjutkan aktivitasnya. Khansa akan mengisi kajian putri di salah satu sekolah menengah atas di kota itu. Sedangkan, Asma akan menuju ke toserba milik Arya. Arya akan mengantarnya untuk membeli perlengkapan membuat kue dan bahan-bahannya.Tidak s
“Asma! Kamu Asma?”Asma menarik nafas panjang sebelum dia membalikkan badannya ke arah orang yang telah memanggilnya. Asma pun membalikkan badannya.“Hai, Mas Tanto, Endang! Apa kabar?” Asma berusaha tersenyum pada mantan suami dan selingkuhannya.Tanto terkejut bertemu dengan Asma, apalagi dengan penampilan Asma yang baru. Hampir dua bulan, Tanto tidak bertemu dengan Asma dan kini takdir membawanya bertemu dengan mantan istrinya.Endang yang berada di samping Tanto menatap Asma dengan sinis. Dia bergelayut pada lengan Tanto dan mengusap-usap perutnya yang sudah terlihat membuncit.“Kami baik. Ternyata kamu kabur ke kota tho?” Endang menjawab pertanyaan Asma seraya tersenyum miring. “Malu kembali pada orang tuamu karena kamu harus turun derajat, ya. Kasihan!”Asma tidak bisa berkomentar apa-apa. Dia memang belum siap dengan pertemuan ini, sehingga dia hanya terdiam. Dia ingin pergi dari tempat itu, tetapi dia merasa ragu. Jika dirinya pergi dari sana, maka dia akan semakin dipandang r