Dari Dokter Susan inilah, Syahlana baru tahu, kalau Aisha pernah melakukan histerektomi. Sebagai sesama wanita, Susan merasa iba. Tetapi histerektomi harus dilakukan untuk menyelamatkan pasien.
Syahlana dan Aisha duduk saling berhadapan di sebuah kafe dekat rumah sakit.
"Dunia ini sempit, ya," kata Aisha.
"Begitulah. Tetapi terkadang waktu membuatnya seolah tidak terjangkau." Syahlana menyeruput teh hangatnya. "Beberapa waktu lalu aku ketemu sama temen mamaku. Dia ibu dari temen masa kecilku. Sekian puluh tahun berlalu."
"Kamu bener." Aisha tersenyum. "Ujian hidupku datang terlalu berat. Aku beruntung, suamiku begitu menyayangiku. Tetapi aku juga tahu, di mana letak kebahagiaannya. Hidup berdua saja sampai tua akan menyiksa pikirannya. Meski gak dia katakan, aku tahu."
"Sabar ya, Sha...." Syahlana memegang tangan Aisha. "Semua ujian pasti ada jalan keluarnya."
Inilah saatnya Aisha menanyakan lebih soal kehidupan Syahlana. "Kamu sendiri, selain mengelola restoran, sibuk apa lagi, Lana?"
Ketika Aisha menyebutkan soal restoran, Syahlana langsung teringat pada sepuluh kilo sayur kol di bagasi mobilnya. "Astaga! Sha, aku harus balik ke restoran. Tadi aku belanja sayur kol banyak banget."
"Eh, Lana!"
Syahlana tidak lagi menunggu komentar Aisha. Ia sudah melesat pergi.
Hubungan Syahlana dan Aisha begitu baik. Apalagi dalam saling membantu urusan Gala dan keluarganya. Syahlana membantu pengobatan Ibu Wati sampai sembuh, dan Aisha membantu mengurus kehidupan Gala dan adiknya.
Usia Gala sudah 18 tahun. Karena tidak selesai sekolahnya, ia kesulitan dapat kerja. Jadi, sementara, Syahlana merekrutnya bekerja di restorannya sebagai staff bahan makanan di bawah naungan Juki.
"Kenalin, ini Gala," kata Syahlana di ruangannya. Di dalam ruangan itu ada Juki, Lia, dan tentunya Gala sendiri. "Mulai hari ini, dia akan bekerja jadi anak buahnya Juki. Juk, ajarin yang baik, yah."
"Baik, Mbak Lana!" patuh Juki.
Ketika hanya tinggal berdua dengan Syahlana, entah untuk ke berapa kalinya, Gala mengucapkan terima kasih. "Saya janji akan bekerja dengan baik dan jujur."
"Saya percaya sama kamu," kata Syahlana.
Sementara itu, Aisha berniat membantu keluarga mereka untuk tinggal di rumah baru yang lebih layak. Ia menelepon Adrian. "Mas, aku lewat depan kantor kamu. Aku mampir, ya? Sekalian aku bawain kue, tadi dikasih sama Tante Vin pas arisan."
"Wah, seneng banget aku, kalo kamu beneran mampir. Aku tunggu. Kita bisa sekalian makan siang bareng."
"Oke."
Makan siang bersama? Tiba-tiba muncul ide di benak Aisha, ingin mengajak suaminya makan siang di restoran Syahlana. Sekalian memperkenalkan keduanya.
Aisha melihat Adrian masih sibuk di dalam ruangannya.
"Mas..."
"Masuk, Sayang..."
Aisha meletakkan sekotak kue di meja. "Makan kuenya dulu."
"Iya." Adrian meninggalkan pekerjaannya. Menyambut sang istri dengan peluk dan cium. "Emang kamu dari mana, kok lewat sini?"
"Panjang ceritanya. Sebenernya dari beberapa hari lalu mau cerita, tapi tunggu komplit dulu urusannya."
"Emang cerita apa, Sha?" tanya Adrian, kemudian melahap nastar bulat itu ke dalam mulutnya.
"Beberapa hari lalu, aku tuh kecopetan..."
"Kecopetan?" Adrian terkejut.
"Denger dulu ceritanya."
"Oke, lanjut..."
Mengalirlah cerita tentang Gala dan keluarganya. Tetapi Aisha belum menyebutkan nama Syahlana. Hanya mengatakan bahwa ia menolong Gala tidak sendirian. Dibantu teman baik hati. "Jadi, ceritanya sekarang, aku mau carikan rumah untuk mereka. Kalau kamu lihat kondisi kehidupan mereka, kamu pasti mau bantu juga, deh."
"Rumah, ya?"
"Ya. Yang penting layak."
"Di yayasan kita kan ada juga tuh program seratus rumah untuk warga tidak mampu. Nanti aku ambilin satu unit buat mereka. Gimana?"
"Beneran nih, Mas?"
"Iya, beneran."
"Makasih ya, Mas. Gala dan keluarganya pasti bahagia."
"Yang penting, kamu juga bahagia menolong mereka."
Aisha memeluk Adrian. "Oh ya, udah jam makan siang. Kita makan di restoran temenku itu yuk."
"Hm, boleh. Ayo."
Di restorannya.
Syahlana masih sibuk dengan memeriksa laporan keuangan restorannya. Ini sudah akhir bulan. Hampir tidak pernah ada masalah soal ini.
Lalu, Lia masuk. "Mbak, kemarin ada Pak Robert yang orang konveksi nawarin model seragam baru buat karyawan CDM ini. Ini katalognya." Lia menunjukkan buku katalog berisi macam-macam model seragam karyawan.
"Seragam yang dipake karyawan sekarang kan masih baru dua bulan dipake kan, ya? Menurutku kalo gak penting-penting amat, kayaknya belum perlu ya. Kalau alasannya buat varian, kita udah punya beberapa sih. Ya, kan?"
"Iya, sih."
"Bilang aja sama Pak Robert, engga pesen dulu."
"Baik, Mbak. Oh ya, hari ini Mbak jadi mau cooking demo menu baru kan?"
"Jadi, dong." Setiap awal bulan, Syahlana akan mengeluarkan menu baru di restorannya. Sebagai salah satu cara promosi, ia akan melakukan demo masak.
Semua bahan dan peralatan memasak sudah disiapkan. Banyak pengunjung restoran yang sudah hafal jadwal demo masak ini. Tanpa diundang juga pada datang sendiri. Hari ini, Syahlana akan mendemokan makanan terkenal dari Perancis. Yaitu Salmon En Croute. Makanan ini merupakan ikan salmon yang diselimuti dengan puff pastry. Syahlana menunjukkan caranya.
"Siapkan salmon terlebih dahulu," kata Syahlana. Ia menggunakan tiga potong salom filet "Pastikan ikan salmonnya yang masih segar, ya." Lalu ia mengupas kulit salmon. "Hati-hati jangan terlalu tebal." Setelah itu fillet ikan salmon dibumbui dengan garam dan lada hitam bubuk di kedua sisinya. "Bumbu ini sangat penting, agar rasa ikan salmon tidak hambar. Kemudian marinasi di dalam lemari es." Selanjutnya, ia menunjukkan cara membuat pesto cream. "Masukkan daun basil dan bawang putih ke dalam blender. Blend sampai halus." Setelah halus, ia menambahkan olive oil atau minyak zaitun. "Jangan pakai minyak sayur, karena rasanya akan berbeda." Setelah itu ditambahkan pula keju parmesan dan sedikit bubuk lada hitam. "Blend semuanya sampai benar-benar lembut dan creamy. Kasih sejumput garam."
Di tengah-tengah pertunjukan demo masak, Aisha dan Adrian baru tiba. Mereka menyaksikan wanita itu melakukan demo masak dengan sangat apik.
"Setelah jadi pasta seperti ini, pindahkan ke wadah, campurkan cream cheese, aduk rata." Ia menunjukkan cara mengaduknya. "Kemudian sisihkan."
Langkah selanjutnya, Syahlana menunjukkan cara memasak bayamnya. Bayam ditumis bersama dengan irisan bawang bombay dan bawang putih yang dicincang. Aroma dari bawang-bawang itu menyeruak. "Tambahkan sedikit garam. Tumis sampai sedikit layu."
Paling ditunggu adalah, ketika Syahlana mendemokan cara memproses puff pastry-nya. Kemudian mengisinya dengan bayam, salmon, dan cream cheese. Melipatnya sedemikian rupa, direkatkan dengan telur yang sudah dikocok. Setelah mengoleskan telur ke bagian luar puff pastry, barulah semua bahan itu dipanggang ke dalam oven. "Suhu 200 derajat celcius selama tiga puluh menit."
Syahlana sudah menyiapkan yang matang, dan memberikan sampel sebagai tester kepada pengunjung. Ia tidak menyangka, di antara pengunjung itu muncul Aisha.
"Wah, keren banget demo masaknya!" puji Aisha.
"Makasih. Ayo, Sha, dicobain." Lalu ia melihat, bahwa Aisha tidak datang sendiri.
Aisha buru-buru memuluskan salah satu tujuannya mengajak suaminya ke restoran ini. "Mas, kenalin. Dia Syahlana, temen aku. Dia yang punya restoran ini."
Melihat wajah Adrian, sepertinya Syahlana pernah melihatnya di suatu tempat.
Adrian segera mengulurkan tangan, hendak bersalaman dengan Syahlana. "Kenalin, saya Adrian, suaminya Aisha."
Syahlana tersenyum, hanya melakukan salaman namaste kepada Adrian. "Saya Syahlana. Maaf, saya tidak bersalaman dengan lawan jenis yang bukan muhrim."
Adrian tampak salah tingkah, menarik kembali tangannya. "Oh, oke."
Kemudian, Syahlana mengajak Aisha dan Adrian ke ruangan VIP dan menjamu mereka berdua dengan beberapa menu andalan CDM.
Sambil makan siang, Aisha juga menceritakan pada Syahlana, soal rumah buat keluarganya Gala. "Semuanya sudah diatur dengan baik, Lana. Secepatnya, mereka bisa menempati rumah itu."
"Alhamdulillah kalau begitu, Sha. Ini dekat musim hujan. Gala bilang, rumah mereka selalu bocor. Kalau Gala gak di rumah, bagaimana Ibu Wati mengatasinya."
"Lalu gimana Gala di sini?" tanya Aisha. Ia tidak sengaja mengabaikan Adrian karena begitu antusias membantu orang lain. Namun hal itu menjadi Adrian bisa memperhatikan Syahlana. Bagaimana pun, ia harus kenal dengan teman istrinya. Kenal dalam artian, tidak ingin Aisha salah memilih teman.
"Gala itu rajin. Juki sering bilang sama aku, dia kerjanya bagus. Aku salut dan merasa lega karena kita gak salah menolong orang."
"Aku lebih salut sama kamu, Lana." Aisha baru menoleh pada Adrian. "Kalau bukan dia yang melerai keroyokan massa itu, entah gimana nasib Gala."
"Oh ya?"
Syahlana tersenyum. "Di dunia ini, kita gak hidup sendirian. Ada hak orang lain dalam rizki yang diturunkan Tuhan pada kita. Saat kita sehat dan mampu, kenapa tidak kita berikan hak itu pada mereka."
"Kamu benar, Lana. Pokoknya aku salut."
"Kamu juga berbesar hati gak bawa dia ke polisi. Aku lebih salut sama kamu. Sampai menyediakan rumah segala buat mereka."
Aisha tertawa pelan. "Ceritanya kita lagi berbagi pahala, nih."
Syahlana menyetujuinya.
Saat mereka asyik menikmati makan siang sambil bercengkrama, masuklah Lia. "Mbak, ada telepon dari Ibu Kepala Sekolah TK Bunda Pertiwi," katanya.
"Aku terima telepon dulu," kata Syahlana. Lantas ia keluar dari ruangan.
Adrian mendengar nama TK itu disebut. "TK Bunda Pertiwi?"
Aisha mendengarnya. "Iya, Mas. Beberapa waktu lalu, Syahlana kan merilis buku memasak untuk anak-anak, dan dia mendonasikannya ke sekolah itu. Dia bilang sih, dulu sekolah di sana waktu TK."
"Aku... juga alumni sekolah itu, Sha," kata Adrian.
"Oh ya?" Kebetulan macam apa ini, batin Aisha. "Kayaknya aku mempertemukan dua temen lama, nih."
"Tapi udah lama banget. Mungkin dia gak ingat. Udah, gak perlu dibahas juga."
"Emang kenapa?"
"Udah, gak usah. Yuk, cepet selesaiin makannya. Aku mesti balik ke kantor, masih ada meeting bentar lagi."
Kenapa Adrian jadi salah tingkah begini?
Sebenarnya, nama Syahlana saja dari awal sudah mengganggu pikiran Adrian. Ia seolah pernah mengenal nama itu. Sekarang, ditambah, ternyata teman baru istrinya merupakan alumni dari taman kanak-kanak yang sama dengannya. Apakah, dia adalah Syahlana yang itu?
"Jangan suka ganggu orang, dong!" teriak Syahlana kecil. Ia melihat Adrian kecil lagi-lagi diganggu anak-anak berbadan besar.
"Emang kenapa sih? Lihat itu teman kamu kurus ceking, pantes digangguin!"
Syahlana kecil tidak tinggal diam. Ia rela berkelahi, biar pun kena jambak, demi membela Adrian kecil.
Kenangan demi kenangan masa kecil mulai bermunculan di ingatan masing-masing. Benarkah dia yang itu?
Bukan hanya sekali ini Aisha mengajak Adrian makan di restoran Syahlana. Hampir setiap beberapa hari sekali. Makan siang atau makan malam. Setiap kali itu juga, Aisha selalu menyertakan Syahlana dalam obrolan mereka. Lama-lama, Adrian bisa membaca niat Aisha."Sha, jujur sama aku. Apa tujuan kamu?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar pada istrinya."Tujuan apa sih, Mas?" Aisha balik bertanya demi menghindari prasangka. Demi mengamankan niat sesungguhnya. "Kan makanan di sana lezat. Aku sendiri gak pandai masak. Jadi, gak ada salahnya dong, aku ngajakin kamu makan di sana.""Tapi ini keseringan loh. Seminggu, kita bisa tiga kali makan di sana. Pernah gak, sekali aja kamu ngajak ke restoran lain, kalau emang tujuannya buat makan aja?" Rupanya Adrian begitu teliti mengamati gerak-gerik Aisha.Aisha mendesah. Belum saatnya ia mengungkapkan yang sebenarnya. "Ah, kamu nih, kebanyakan mikir ke mana, sih? Menu di restorannya Syahlana itu banyak. Banyak juga yang be
Dahulu, hubungan persahabatan Adrian dan Syahlana saat kecil sangat dekat dan erat. Walau sering berantem dan rebutan sesuatu, keduanya tetaplah sahabat baik yang tidak bisa dipisahkan. Ketika keluarga Sudiro membawa putra mereka pindah ke Amerika, Adrian sempat jatuh sakit karena tidak bisa lagi bertemu dengan sahabat baiknya. Saat itu komunikasi tidak semudah sekarang. Belum ada WhatsApp, apalagi melakukan panggilan video.Kala itu, Adrian kecil sampai mengalami tantrum. Tantrum biasanya disebabkan oleh terbatasnya kemampuan anak untuk mengekspresikan perasaannya. Karena itu, mereka hanya bisa meluapkan emosinya dengan cara menangis, berteriak-teriak dan menjerit. Tidak hanya anak-anak yang masih kecil, anak yang lebih besar pun juga bisa mengalami tantrum. Begitulah yang terjadi kepada Adrian. Setiap hari tidak pernah absen mencari sahabatnya.Dengan bantuan psikolog anak di Amerika tempat mereka tinggal, yaitu di Los Angeles, Rosana dan Ramadhan mengatasinya.
Pagi itu. Adrian sengaja berangkat ke kantor agak siang. Katanya ada pekerjaan yang mesti segera ia selesaikan menggunakan laptop. Aisha tidak banyak menanyainya. Melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh, barulah Adrian mengungkapkan pada Aisha alasannya berangkat siang.Begitu mengetahui rencana Adrian, Aisha agak sebal. "Kok kamu gak bilang dari tadi sih, Mas? Tahu gitu aku kan bisa ikutan.""Biar kamu juga ikut merasakan kejutan ini," kata Adrian. "Yuk, kita mulai!" Ia mengajak Aisha menemui Rosana di teras belakang, sambil membawa sesuatu yang sejak kemarin Adrian simpan di dalam kulkas pribadinya di ruang kerja.Rosana sibuk merangkai bunga untuk hiasan baru di ruang tamu. Karena yang lama sudah pada layu. Sebenarnya ia sudah tahu ini hari apa, tetapi tidak satu pun orang di rumah mengingatnya. Dirinya merasa dilupakan. "Andai aku punya cucu, gak akan sebegini nelangsanya."Tiba-tiba..."Happy Birthda
Di kediaman Keluarga Sudiro malam itu, juga terjadi pembicaraan yang hampir sama. Bedanya, ini keluar dari mulut Aisha."Aku mengizinkan kamu menikah lagi, hanya dengan Syahlana. Aku gak akan rela jika posisi itu diberikan ke orang lain.""Engga, Sha. Jangan paksa aku menikah lagi hanya karena ingin punya anak. Aku gak bisa menyakiti hati kamu." Adrian masih menolak."Mas, demi aku, demi Mama, demi masa depan keluarga ini, gak ada yang tersakiti. Aku gak akan sakit hati. Sebenarnya udah lama aku menyiapkan hatiku. Menyiapkan Lana buat kamu. Aku mohon.""Gak bisa, aku gak bisa, Sayang..." Adrian terus menolak."Ayolah, Mas... Jangan menolak dulu. Kamu pikirin baik-baik. Kamu melakukannya bukan cuma buat aku."Adrian menggeleng."Kalau kamu cinta dan sayang sama aku, tolong lakukan. Nikahi Syahlana." Aisha terpaksa mengucapkan kalimat seperti ini. Agar Adrian berhenti menolak.Adrian mendekapnya. "Kalau kamu bilang Syahlana itu b
Persiapan pernikahan kedua Adrian dengan Syahlana dimulai. Aisha mendamping kedua calon mempelai ke pengadilan agama, guna mengurus pendaftaran pernikahan kedua ini. Tidak ada obrolan khusus antara Adrian dan Syahlana.Ketika ditanya mengenai kesiapan Adrian menjadi suami yang adil, dirinya terdiam sejenak, lalu berkata, "Saya akan berusaha seadil-adilnya."Kemudian, Aisha menandatangani persetujuan atas pernikahan kedua suaminya.Usai dari pengadilan agama, mereka mengantar Syahlana ke restoran, karena masih harus bekerja hari itu.Rupanya, setelah mengantar Aisha pulang, Adrian kembali mampir ke restoran Syahlana. Tadinya, Adrian mau mengajaknya bicara berdua di dalam ruang kerjanya. Tetapi Syahlana menolak."Kita belum sah menjadi suami-istri," katanya. Lantas ia memanggil Lia untuk mendampingi.Tetapi Adrian memintanya memakain headset agar tidak mendengar obrolan mereka dengan jelas."Tenang aja, Mas," kata Lia. "Li
Susai sholat subuh, Syahlana tidak lantas kembali tidur. Ia coba melakukan apa yang biasa mamanya lakukan saat pagi hari. Mengaji sebentar, lalu membuat sarapan. Ia memeriksa apa saja isi lemari es dan bahan makanan di dapur. Sumi melihat nyonya muda baru itu begitu sibuk di dapur. "Non, biar saya aja yang kerjakan." "Gak papa, Mbak. Kamu kerjakan yang lain aja," kata Syahlana. "Biasanya mereka sarapan jam berapa?" "Biasanya jam tujuh sudah pada siap, Non," jawab Sumi. "Karena Den Adrian berangkat ke kantro jam delapan." "Oh, oke." Karena tidak terlalu banyak bahan makanan yang bisa Syahlana temukan, ia berinisiatif memasak nasi goreng untuk sarapan keluarga ini. Dibantu Sumi. Aroma lezat makanan sampai ke indera penciuman setiap orang di rumah ini. Rosana, Adrian, juga Aisha. Saat bangun, Adrian tidak melihat istri barunya di sisi. Sepertinya, seusai sholat subuh tadi, Syahlana tidak kembali ke kamar. Ia segera
Setelah menikah ini, memang, Syahlana masih aktif di restoran, seperti saat belum menikah. Ia baru menyadari hal ini, ketika mengobrol dengan Akasma lewat video call."Meskipun istri muda, bakti dan tugasnya sebagai istri tetep sama, Lana," kata Akasma."Iya, Ma. Lana akan atur, supaya dua-duanya berjalan dengan baik," jawab Syahlana."Gimana dengan program kehamilan?" tanya Akasma."Baik, Ma. Lancar."Seusai bicara di telepon, Syahlana berinisiatif menghubungi Zivara. Menyuruhnya datang ke restoran. Sang adik baru bisa datang setelah jam kuliahnya selesai."Ada apa sih, Kak?" tanya Zivara. "Gak biasanya nyuruh dateng.""Kakak mau minta bantuan kamu," jawab Zivara. "Ini penting.""Bantuan apa, Kak?" tanya Zivara lagi. "Kakak mulai ditindas?" Ia malah asal menebak."Duh, asal ngejeplak!" omel Syahlana. "Makanya dengerin dulu.""Iya, iya, kenapa sih emangnya?"Syahlana mulai menjelaskan
Syahlana semakin mahir mengerjakan urusan rumah tangga. Belajar pada Aisha, Rosana, bahkan Sumi. Seperti pagi ini. Seusai sholat shubuh, ia tidak lantas kembali tidur. Ia menyiapkan sarapan, mencuci pakaian, dan menjemurnya. Semua dikerjakan dengan dibantu Sumi. Masih ada waktu, ketika menunggu semua orang bangun. Syahlana berinisiatif membersihkan daun-daun yang mengambang di kolam renang, dengan gala dan jaring di ujungnya.Sebenarnya, Adrian juga tidak lanjut tidur. Diam-diam, ia memperhatikan apa yang dikerjakan istri mudanya. Sampai, ia melihat Syahlana begitu fokus membersihkan daun di kolam renang. Lalu ia berpura-pura baru bangun tidur. Mengendap-endap di belakangnya, dan... "Aku bantuin, ya!!"Suara Adrian yang mengejutkan, membuat Syahlana hilang fokus dan keseimbangan. Dirinya tercebur ke kolam renang.Adrian malah tertawa. "Sini, aku bantu naik."Iseng, Syahlana membalasnya, dengan menariknya hingga tercebur juga. "Rasain,
Beberapa bulan kemudian Syahlana melahirkan seorang bayi perempuan. Ia dan Adrian pun sepakat menamai bayi baru mereka Rosana Aisha Ramadan. Sebagai bentuk sayang dan rasa terima kasih kepada kedua wanita yang telah menghadap Sang Kuasa terlebih dulu. Pagi itu, Syahlana menggendong bayinya yang berusia satu bulan, di balkon. Berjemur matahari pagi, menuai vitamin dari kehangatannya. Lalu San masuk ke dalam kamar. Anak itu sudah mengenakan seragam sekolah pramukanya. Membuat Syahlana lantas ingat, ini sudah akhir pekan. "Maman, hari ini waktunya San dan Rara terima raport semester pertama," kata San. "Nanti Maman atau Pere yang ambil?" Syahlana tersenyum. "Pere yang ambil ya, San. Soalnya ini, Maman gak bisa tinggalin adek Ocha." San tampak manyun. "Nanti itu, kan San tampil baca puisi. Maman dan Pere datang, ya?" Astaga, Syahlana hampir lupa, kalau San menganggap hari ini sangatlah penting
Bagaikan mendengar guntur terbesar dalam sejarah hidupnya. Adrian menolak keinginan Syahlana. "Aku pernah mengalami situasi seperti ini, dan tidak, Sayang. Tidak lagi. Apalagi, sekarang ini, seluruh perasaanku hanya buat kamu. Aku gak sanggup membaginya.""Mas, coba pakai hati nurani kamu. Aisha itu sebatang kara. Dia tidak punya orang tua, saudara, apalagi anak. Suami yang dia cintai meninggalkannya. Betapa hidupnya sangat menyedihkan sekarang ini." Syahlana ingin Adrian rujuk dengan Aisha. Menikahi kembali wanita itu. "Aku tahu, di dalam lubuk hati kamu yang paling dalam, perasaan kamu pada Aisha masih ada.""Gak ada, Sayang! Aku hanya mencintai kamu. Semenjak apa yang sudah diperbuat Aisha pada keluarga ini, perasaanku sama dia luntur begitu saja. Lenyap. Sudah gak ada lagi." Adrian bersikukuh menolak."Mas, tolong kamu pertimbangkan baik-baik. Pikirkan dengan matang. Tetapi, kalau memang pada akhirnya keputusan kamu tetap sama, aku akan berhenti memohon. Han
Sidang putusan atas kasus yang menjerat Aisha digelar. Kasus yang menyeretnya berhadapan dengan hukum, antara lain adalah penculikan terhadap anak usia enam tahun Muhammad Hassan Ramadan, juga pembeli arsenik ilegal, dan pembunuhan berencana terhadap ibu mertuanya, Rosana Ramadan.Syahlana dan Adrian hadir dalam persidangan itu.Aisha mengenakan kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam. Kepalanya terus tertunduk. Ia didampingi oleh seorang pengacara yang disediakan oleh lembaga hukum. Berita acaranya dibacakan hakim dan rekan-rekannya secara bergantian."Semua bukti telah diperiksa dan valid. Sedangkan saksi telah memberikan kesaksiannya. Kesemuanya itu telah membuktikan dengan akurat, bahwa terdakwa melakukan semuanya dengan sengaja. Oleh karena itu, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kami menuntut hukuman penjara seumur hidup untuk terdakwa," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU).Hakim membaca kembali garis besar dalam berita acara. Be
Rumah Keluarga SudiroDi sana sudah ada Zivara, David, Gala, Lia, dan Juki, beserta beberapa guru sekolah dari TK Bunda Pertiwi, seperti Bu Zoya dan Bu Tia. Mereka sedang bersiap, hendak menyambut kepulangan San. Hari itu, David memasak menu yang spesial untuk sang jagoan cilik."Mereka udah sampai mana, Beb?" tanya David."Kak Lana tadi ngabarin, mereka sudah di jalan tol," jawab Zivara, yang sedang memeriksa ulang dekorasi di ruang tamu, bersama Zoya dan Tia.Lia dan Gala menata makanan di meja makan, dibantu Sumi. Sedangkan Juki ditugaskan mengupas kelapa, karena San sangat suka air kelapa muda.Zoya memasang balon-balon di dinding, dengan diikatkan pada sebuah kawat. Tia memasang gambar-gambar di dinding. Ada tokoh Captain America kesukaan San, juga Snow White kesukaan Aurora."Saya kangen lihat Rara dan San main bareng di sekolah," ungkap Tia."Ya. Aku juga," sambut Zoya. "Rasanya suda
Setahun lalu, ketika prosesi Mammanu'-manu', yaitu ketika calon mempelai laki-laki akan mendatangi orang tua mempelai perempuan dan meminta izin untuk mempersunting gadis pujaannya. Dan ketika momen ini juga dimanfaatkan untuk membahas besaran nilai uang panaidan mahar, jika memang keluarga mempelai perempuan menerima pinangan sang laki-laki.Kedua orang tua Jannah yang merupakan orang asli Jawa Timur, kurang paham dengan adat mereka. Maka, mereka meminta Pak RT yang juga keturunan Bugis, mewakili keluarga ini untuk mendampingi mereka menjalani prosesi tersebut. Acaranya cukup meriah. Dihadiri banyak tetangga mereka, kala itu.Pada acara ini pula, selain menentukan uang panai, kedua mempelai juga menjalani proses pertunangan. Nah, untuk pertunangannya ini, Ibunya Jannah meminta adat Jawa. Namun, karena terbatasnya pengetahuan orang Bugis mengenai lamaran atau pertunangan adat Jawa ini, maka dilaksanakan secara informal.Kala itu, Naing menyatakan
Lagi, Aisha harus merasakan dinginnya di balik jeruji besi. Akibat perbuatannya yang tidak termaafkan. Sendirian, duduk di sudut ruangan. Menunggu keputusan hukum. Seberapa lama hendak mendekam di tempat ini.Kenangan lama kembali menari di ingatannya. Ketika dahulu Adrian masih hanya jadi suaminya seorang. Setiap hari mengucapkan kata cinta. Lebih jauh lagi, Aisha teringat saat dulu pertama kali kenal Adrian, lalu saling jatuh cinta, dan memutuskan pacaran, pada akhirnya menikah.Saat itu, Aisha masih tinggal di Bandung, di sebuah panti asuhan Mentari Bunda. Sebagai salah satu orang dewasa yang tinggal di panti asuhan sejak kecil, dan belum pernah diadopsi, Aisha memutuskan mengabdi di tempat itu. Nah, yayasan yang menaungi Mentari Bunda, adalah perusahaan keluarga Sudiro.Suatu hari, di panti asuhan sedang diadakan sebuah acara untuk memperigati 17 Agustus-an. Semua anak hingga yang remaja, bahkan yang dewasa mengikuti lomba. Balap
Cuaca di desa Marukangan sore ini tidak panas, juga tidak dingin. Terasa hangat. Banyak anak-anak bermain di lapangan, depan rumah Herlin. Wanita pemilik warung ayam lalapan itu duduk di emperan warungnya. Melihat anak-anak bermain layangan. Menarik ulur senar layangan. Ada juga yang berlarian mengejar layangannya yang putus.Kemudian, Herlin melihat, di tengah-tengah kerumunan anak-anak itu, ada San yang baru berhasil menaikkan layangannya ke udara. Dia begitu terampil menarik ulur layangannya yang berwarna merah. Ia tidak sendirian. Ada Faisal dan teman-teman lainnya.Semenjak Komang ditangkap, Jannah tidak lagi khawatir, dan bisa membiarkan San bebas main keluar rumah bersama anak-anak lainnya."San!" Herlin memanggilnya.Melihat Herlin, San jadi ingat, pertama kali datang ke tempat ini, terbangun di rumahnya. Anak itu sepertinya merasa takut dan trauma. Ia memilih pindah tempat bermain di dekat rumah Jannah, tempatnya tinggal sekarang.
Marukangan, Sandaran, Kutai Timur, Kalimantan TimurSejak Komang ditangkap malam itu, Jannah tidak lantas membawa anak-anak kembali ke Marukangan. Untuk meringankan beban trauma pada mereka, Jannah memutuskan untuk membiarkan keduanya menikmati liburan di pantai ini. Bermain dan bersenang-senang.Tidak hanya bermain di pantai, Andi Fachri juga mengajak mereka bertandang ke rumah-rumah saudara di sekitar sana, guna menghibur mereka, terutama San. Anak itu dipertemukan dan dikenalkan dengan anak-anak lain yang rata-rata seumuran, dan membiarkan mereka bermain bersama.Hingga suatu malam, mereka bertandang ke sebuah rumah milik sepupunya Andi Fachri. Di rumah itu, jaringan telepon lumayan bagus. Jannah menerima pesan masuk pada handponenya yang bukan android. Dari Naing. Dalam pesannya itu, ia memberikan nomor handphone yang bisa menghubungkannya dengan orang di Jakarta, polisi yang menangani pencarian San, namanya Yahya. Jannah pun t
Malam tiba. Mereka semua menginap di rumah pamannya Naing yang juga seorang Andi. Sepertinya anak-anak sudah capek bermain, sehingga mereka bisa tidur lebih cepat setelah makan malam. Jannah membantu Mamak Zainab dan putrinya Fira menyiapkan kopi dan teh untuk disuguhkan pada para pria yang sedang mengobrol di ruang tamu. "Memang, si Komang itu kapan coba mau tobatnya?" umpat Andi Fachri, pamannya Naing. "Memisahkan seorang anak dari orang tuanya, itu dosa besar. Apalagi menculik. Dia selalu kalau datang ke Marukangan, hanya untuk menghapus jejak kejahatannya." Lintang ikut kesal. "Kalau saya yang jadi orang tua anak itu, sudah saya parang kali itu Komang!" Lalu keluarlah Jannah, beserta Mamak Zainab dan Fira. Jannah menyajikan minuman. Memindahkan cangkir-cangkir dari nampan ke meja. Sedangkan Fira menyuguhkan gorengan singkong, juga secobek sambal gami sebagai cocolan. Sambal gami merupakan salah satu makanan khas masyarakat d