TK Bunda Pertiwi.
Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak tahun, semenjak lulus dari sini. Bangunannya saja sudah banyak berubah. Guru-gurunya pasti sudah banyak yang ganti. Syahlana turun dari mobilnya. Ia sudah membuka bagasi mobil. Lalu mengeluarkan buku-buku yang berjumlah sepuluh eksemplar yang dikemas dalam kardus. Ia menutup bagasi. Membawa buku-buku itu masuk ke area sekolahan. Syahlana berjalan menuju ruang kepala sekolah. bagian bawah gamisnya menuai angin, berkibar gemulai. Sesekali ujung pashmina jatuh ke dada, dan ia s***k kembali ke belakang.
"Assalaamu 'alaikum," ucap Syahlana, di depan pintu ruang kepala sekolah. Bangunannya memang banyak berubah, tetapi posisi kantor dan ruang kepala sekolahnya tidak pindah.
"W* 'alaikumsalaam," jawab seorang wanita berjilbab dan berseragam guru motif batik. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Perkenalkan, nama saya Syahlana Latief, saya ingin bertemu dengan kepala sekolah," jawab Syahlana.
"Kebetulan, Ibu Kepala Sekolah masih ada tamu. Jika tidak keberatan, silakan menunggu, mari silakan masuk."
Syahlana menurut. Ia mengikuti wanita itu masuk ke dalam ruangan dengan ada satu set sofa. Rupanya ruangan ini sudah diperluas. Jadi satu dengan ruang guru dan ruang tamu. Ruangan kepala sekolah berada di ujung ruangan, dikelilingi tembok dan berpintu.
Tidak lama kemudian, tamu di ruang kepala sekolah keluar. Seorang pria muda bersetelan jas. Ibu Kepala Sekolah dan pria itu tampak akrab. Mereka berbicara ramah dan saling tersenyum. Dari obrolannya yang bisa didengar oleh semua orang di dalam ruangan itu, sepertinya si tamu baru mendonasikan sesuatu. Ibu Kepala Sekolah berulang kali mengucapkan terima kasih. Jika diperhatikan dari bagusnya bangunan sekolah, tempat pendidikan ini tidak miskin-miskin amat sehingga membutuhkan sumbangan donasi. Masih termasuk sekolah elit.
Pria itu berpamitan, tanpa sedikit pun menoleh kanan-kiri, langsung keluar dari ruangan. Seperti ada kaca mata kuda di kepalanya.
Selanjutnya, giliran Syahlana yang menghaturkan tujuannya datang ke sekolah ini.
Rupanya, Ibu Kepala Sekolah itu dulunya adalah guru ajar, sebelum diangkat jadi kepala sekolah, sepuluh tahun lalu. Ia ingat pada Syahlana, sebagai alumni sekolah ini kala itu. "Kamu satu-satunya anak murid yang keturunan campuran. Wajah kamu juga beda, jadi lebih identik diingat."
"Begitu ya, Bu?" Syahlana tidak berhenti tersenyum. Ia mensyukuri wajahnya mudah diingat. Kemudian, ia menyerahkan buku Cooking For Kids kepada Ibu Kepala Sekolah.
Juga dengan senang hati, Ibu Kepala Sekolah menerimanya dan mengucapkan terima kasih. "Oh ya, tamu saya tadi, juga alumni sekolah ini," ujar Ibu Kepala Sekolah.
"Oh ya? Angkatan tahun berapa, Bu?" tanya Syahlana.
"Kalau tidak salah dengar, dia bilang tahun 2000," jawab Ibu Kepala Sekolah. "Berarti seangkatan dengan kamu, Nak Lana."
"Wah, iya. Tadi saya lihat mukanya, tapi gak ingat. Saya pikir mungkin tamu apa." Syahlana juga ingat, tadi wajah tamu Ibu Kepala Sekolah sama sekali tidak tersenyum dan benar-benar seperti pakai kaca mata kuda.
Selesai melakukan urusan donasi ini, Syahlana akhirnya pamit pulang. Dirinya masih harus ke restoran untuk mengurus pekerjaannya.
Setibanya di restoran, Syahlana tidak menyangka, Akasma akan datang. Sang mama sudah di sana sejak setengah jam lalu, tetapi tidak sendiri. Ia bersama seorang wanita, temannya.
"Lana, kamu ingat gak, sama Tante Rosana?" tanya Akasma.
Syahlana memperhatikan teman mamanya. "Seperti pernah bertemu, tetapi di mana, ya?"
"Tante Rosana ini dulu anaknya satu sekolah sama kamu waktu masih TK," jelas Akasma. "Kami baru bertemu kembali beberapa hari lalu. Gak sengaja di pasaraya waktu belanja."
"Satu TK dengan aku?" Syahlana memastikan tidak salah dengar.
"Bener, Lana. Kamu ingat Adrian?" Rosana tidak membuang-buang waktu membiarkan Syahlana mengingat-ingatnya sendiri.
"Adrian?" Syahlana mulai ingat.
Sesaat, sekelebat ingatan masa kecil bermunculan. Seorang anak lelaki berseragam TK, yang awalnya sangat nakal dan suka mengganggu Syahlana kecil. Nama anak itu. Ya. Adrian Sudiro.
"Lana jelek!" ganggu Adrian kecil.
"Biarin! Ian kalau nakal nanti gak Lana kasih permen! Weeekk!!" balas Syahlana kecil.
Suatu kali, Adrian menangis. Baju seragamnya kotor semua.
Syahlana melihat itu. "Kamu kenapa, Ian Nakal?"
Adrian tidak menjawab.
Lalu muncul beberapa anak di belakang Adrian. Rupanya, Adrian diganggu sampai jatuh ke parit sekolah dan menangis. Syahlana menemani Adrian ke UKS untuk diobati lukanya.
Ketika anak-anak itu hendak mengganggu Adrian lagi, Syahlana yang muncul dan menolongnya. "Kalau kalian berani ganggu Ian nakal dan nangisan ini, Lana bilang ke Bu Guru!"
Semenjak itu, Syahlana dan Adrian berteman baik. Kedua ibu mereka juga wali murid yang paling akrab kala itu.
Syahlana menatap Rosana. "Iya, Tante. Tadi Lana sempet lupa. Terima kasih sudah mengingatkan kembali."
Rosana tersenyum. Ia menatap Syahlana dari ujung kaki hingga ke ujung kepala, lalu mengulanginya berkali-kali. "Ya Tuhan, kamu tumbuh jadi wanita yang sangat cantik. Tante juga dengar dari mama kamu, bahwa kamu yang punya restoran terkenal ini. Sebenernya Tante sering loh pesen makanan di sini lewat GoFood."
"Oh ya? Kalo gitu, lain kali sering-sering dine in di sini, Tan. Lana akan melayani dengan baik."
"Pasti. Dan, kapan-kapan Tante juga mau mengundang kamu makan di rumah kami. Ian pasti seneng bertemu kamu lagi. Waktu kecil dulu, kalian itu sangat akrab. Gak bisa dipisahin. Tahu gak, beberapa hari pertama kami di Amerika dulu, Ian sempet jatuh sakit karena gak mau berpisah dari kamu. Beruntung segera mendapatkan penanganan yang baik dari psikiater anak di sana."
"Sebenernya, Lana belum pernah melupakan Adrian. Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Syahlana.
Rosana agak enggan menceritakan situasi di rumahnya. Mengingat menantu mandulnya juga hanya membuat sakit hati. "Mending, kapan-kapan kalau kalian bertemu, tanyakan langsung aja."
"Baik, Tante."
Siang itu, ketiga wanita itu asyik bercengkrama di dalam ruang VIP milik CDM. Beberapa kali, Syahlana menyajikan menu andalan restorannya. Perpaduan menu nusantara dan Perancis. Dan, semenjak saat itu, sambil mencari waktu yang pas, Rosana sering datang ke restoran Syahlana. Alasannya malas masak di rumah, jadi makan di sini.
Di restoran Syahlana, ada karyawan bagian persediaan bahan makanan, namanya Juki. Ia melaporkan kepada atasannya, bahwa persediaan bahan makanan sudah mulai habis. Syahlana menghubungi beberapa supplier yang dibutuhkan. Tetapi, salah satu bahan sayuran ternyata supplier juga kehabisan. Yaitu sayur kol. Maka, Syahlana pun berinisiatif untuk belanja sendiri di pasar tradisional.
Syahlana tidak pernah mempermasalahkan dari mana datangnya bahan makanan di restorannya. Asal bersih dan segar, tidak mengandung bahan berbahaya. Belanja di pasar tradisional pun bukan pilihan yang buruk. Asal dicuci bersih, dan pengolahan yang tepat, tetap akan menjadi makanan yang sehat dan aman untuk dikonsumsi.
Dalam beberapa menit, Syahlana sudah mendapatkan sepuluh kilo sayur kol dari beberapa kios berbeda. Agak berat membawanya. Kemudian, datang seorang porter menawarkan bantuan. Syahlana mengizinkannya. Lalu porter itu membawakan belanjaannya ke mobil. Syahlana memberikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan sebagai upahnya.
"Terima kasih, Neng," ucap si porter.
"Sama-sama," kata Syahlana.
Baru saja pintu bagasi ditutup, terjadi keributan, tidak jauh dari tempat mobilnya diparkir. Rupanya baru ada seorang pencopet yang tertangkap, dan hampir jadi keroyokan massa. Syahlana mendatanginya.
"Berhenti!" teriak Syahlana. "Main hakim sendiri tidak akan menyelesaikan masalah! Kalo dia buntung dan cacat bisa bikin otak kriminalnya makin pinter. Mati pun, kalian gak akan dapat untung."
"Jangan dibelain, Mbak!" teriak warga lainnya. "Dia udah sering tuh, nyopet di pasar ini. Sudah bolak-balik ditangkap polisi, masuk dan keluar penjara udah langganan, tapi gak kapok juga."
Syahlana melihat kondisi si pencopet yang merupakan seorang pemuda berusia belasan tahun. Badannya kotor. Luka lecet di mana-mana. Ia memeluk sebuah dompet tebal. "Biar saya yang urus dia. Kalian bubar!"
"Wah, Mbak itu bego! Masa nyopet dibiarin?" sindir warga lainnya.
"Saya bukan bego, Mas!" sahut Syahlana. "Tapi punya hati nurani."
Setelah massa bubar, datang seorang wanita, dia pemilik dompet itu. Syahlana terkejut, karena ia adalah Aisha. Apalagi Aisha sendiri. "Lana?"
"Kita urus dulu dia," kata Syahlana.
Dengan berbaik hati, Syahlana meminta si pencopet itu duduk dengan baik. "Kenapa kamu mencopet? Hobi atau butuh?"
"S-saya butuh, Mbak," jawab si pencopet.
"Nama kamu siapa?" tanya Syahlana. Di sampingnya, Aisha memperhatikan caranya bicara kepada kriminal ini.
"N-nama s-saya Gala." Pemuda itu menundukkan kepala.
"Saya Syahlana. Dan pemilik dompet itu, dia. Namanya Aisha."
Gala menatap kedua wanita cantik di depannya. Lalu kembali menundukkan kepala.
"Sekarang, ceritakan, kenapa kamu harus mencopet?" pinta Syahlana.
"Ibu saya sakit keras. Adik saya masih kecil. Ayah saya sudah lama meninggal dunia. Tinggal saya yang masih kuat mencari nafkah buat mereka. Bukannya saya gak berusaha cari pekerjaan. Tetapi, gak ada yang mau mempekerjakan saya. Yang sering masuk keluar penjara bukan saya, Kak. Saya juga baru kali ini nyopet. Sumpah."
Syahlana menoleh pada Aisha. "Aku mau membantu dia. Menurut kamu gimana?"
"Aku juga bermaksud demikian, Lana," kata Aisha.
Sejurus kemudian, Gala mengajak kedua wanita itu ke rumahnya. Pemuda itu tinggal di sebuah pemukiman kumuh. Jauh dari sentuhan pembangunan kota semegah Jakarta ini. Di rumah itu, tinggal seorang wanita yang usianya kira-kira sudah kepala tiga, dan seorang anak perempuan berusia lima tahun. Kondisi rumah, lebih dari sekedar melarat.
"Bu, perkenalkan, ini Kak Syahlana dan Kak Aisha," kata Gala kepada ibunya yang berbaring di ranjang. Wanita itu hanya bisa tersenyum lemah.
Syahlana memegang tangan ibu bernama Wati itu. "Mbak, saya Lana. Mbak sakit apa?"
Sepertinya Wati kesusahan bicara. Gala menjelaskan. "Kata Kakak yang kuliah kedokteran, Ibu saya kemungkinan terkena stroke, sehingga tidak bisa bicara dan mengggerakkan anggota badannya."
"Sudah pernah dibawa ke dokter?" tanya Aisha.
Gala hanya menggeleng. Melihat kondisi hidup Gala, jangankan ke dokter, buat makan saja susah. Tiba-tiba, Gala menangis. Ia berlutut di samping ranjang. "Bu, hari ini Gala melakukan kesalahan besar. Karena kita sudah gak makan tiga hari, tadi Gala mencopet dompet Kak Aisha. Ampuni Gala, Bu. Gala menyesal...."
Setitik air mata mengalir dari kedua mata Wati. Membasahi pelipisnya.
"Bu, ampuni Gala...."
Aisha langsung membantu Gala berdiri. "Gala, tenangin diri kamu. Aku dan Lana tahu, kamu bukan pencopet seperti yang lain. Kalau kamu terbiasa mencopet, gak akan ketahuan secepat tadi, kan?"
Lalu, Syahlana mengambil ponsel dari tasnya. "Halo, Susan?" Rupanya ia menelepon seorang temannya yang berprofesi sebagai dokter.
Tidak lama kemudian, ambulans datang. Membawa Wati ke rumah sakit. Sementara Syahlana mengurus Wati, Aisha bertugas mengurus Gala dan adiknya, Nala. Kebetulan, keluarga Aisha katanya punya yayasan, yang sementara bisa menampung kedua anak itu untuk tinggal sementara ini. Selesai mengurus mereka, Aisha menyusul Syahlana ke rumah sakit.
Betapa tidak disangka, ternyata, Dokter Susan teman Syahlana itu adalah dokter yang dulu menangani Aisha saat operasi pengangkatan rahim. Dari Dokter Susan, Wati dirujuk ke poli penyakit dalam.
Dari Dokter Susan inilah, Syahlana baru tahu, kalau Aisha pernah melakukan histerektomi. Sebagai sesama wanita, Susan merasa iba. Tetapi histerektomi harus dilakukan untuk menyelamatkan pasien. Syahlana dan Aisha duduk saling berhadapan di sebuah kafe dekat rumah sakit. "Dunia ini sempit, ya," kata Aisha. "Begitulah. Tetapi terkadang waktu membuatnya seolah tidak terjangkau." Syahlana menyeruput teh hangatnya. "Beberapa waktu lalu aku ketemu sama temen mamaku. Dia ibu dari temen masa kecilku. Sekian puluh tahun berlalu." "Kamu bener." Aisha tersenyum. "Ujian hidupku datang terlalu berat. Aku beruntung, suamiku begitu menyayangiku. Tetapi aku juga tahu, di mana letak kebahagiaannya. Hidup berdua saja sampai tua akan menyiksa pikirannya. Meski gak dia katakan, aku tahu." "Sabar ya, Sha...." Syahlana memegang tangan Aisha. "Semua ujian pasti ada jalan keluarnya." Inilah saatnya Aisha menanyakan lebih soal kehidupan Syahlana. "Kamu sendiri
Bukan hanya sekali ini Aisha mengajak Adrian makan di restoran Syahlana. Hampir setiap beberapa hari sekali. Makan siang atau makan malam. Setiap kali itu juga, Aisha selalu menyertakan Syahlana dalam obrolan mereka. Lama-lama, Adrian bisa membaca niat Aisha."Sha, jujur sama aku. Apa tujuan kamu?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar pada istrinya."Tujuan apa sih, Mas?" Aisha balik bertanya demi menghindari prasangka. Demi mengamankan niat sesungguhnya. "Kan makanan di sana lezat. Aku sendiri gak pandai masak. Jadi, gak ada salahnya dong, aku ngajakin kamu makan di sana.""Tapi ini keseringan loh. Seminggu, kita bisa tiga kali makan di sana. Pernah gak, sekali aja kamu ngajak ke restoran lain, kalau emang tujuannya buat makan aja?" Rupanya Adrian begitu teliti mengamati gerak-gerik Aisha.Aisha mendesah. Belum saatnya ia mengungkapkan yang sebenarnya. "Ah, kamu nih, kebanyakan mikir ke mana, sih? Menu di restorannya Syahlana itu banyak. Banyak juga yang be
Dahulu, hubungan persahabatan Adrian dan Syahlana saat kecil sangat dekat dan erat. Walau sering berantem dan rebutan sesuatu, keduanya tetaplah sahabat baik yang tidak bisa dipisahkan. Ketika keluarga Sudiro membawa putra mereka pindah ke Amerika, Adrian sempat jatuh sakit karena tidak bisa lagi bertemu dengan sahabat baiknya. Saat itu komunikasi tidak semudah sekarang. Belum ada WhatsApp, apalagi melakukan panggilan video.Kala itu, Adrian kecil sampai mengalami tantrum. Tantrum biasanya disebabkan oleh terbatasnya kemampuan anak untuk mengekspresikan perasaannya. Karena itu, mereka hanya bisa meluapkan emosinya dengan cara menangis, berteriak-teriak dan menjerit. Tidak hanya anak-anak yang masih kecil, anak yang lebih besar pun juga bisa mengalami tantrum. Begitulah yang terjadi kepada Adrian. Setiap hari tidak pernah absen mencari sahabatnya.Dengan bantuan psikolog anak di Amerika tempat mereka tinggal, yaitu di Los Angeles, Rosana dan Ramadhan mengatasinya.
Pagi itu. Adrian sengaja berangkat ke kantor agak siang. Katanya ada pekerjaan yang mesti segera ia selesaikan menggunakan laptop. Aisha tidak banyak menanyainya. Melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh, barulah Adrian mengungkapkan pada Aisha alasannya berangkat siang.Begitu mengetahui rencana Adrian, Aisha agak sebal. "Kok kamu gak bilang dari tadi sih, Mas? Tahu gitu aku kan bisa ikutan.""Biar kamu juga ikut merasakan kejutan ini," kata Adrian. "Yuk, kita mulai!" Ia mengajak Aisha menemui Rosana di teras belakang, sambil membawa sesuatu yang sejak kemarin Adrian simpan di dalam kulkas pribadinya di ruang kerja.Rosana sibuk merangkai bunga untuk hiasan baru di ruang tamu. Karena yang lama sudah pada layu. Sebenarnya ia sudah tahu ini hari apa, tetapi tidak satu pun orang di rumah mengingatnya. Dirinya merasa dilupakan. "Andai aku punya cucu, gak akan sebegini nelangsanya."Tiba-tiba..."Happy Birthda
Di kediaman Keluarga Sudiro malam itu, juga terjadi pembicaraan yang hampir sama. Bedanya, ini keluar dari mulut Aisha."Aku mengizinkan kamu menikah lagi, hanya dengan Syahlana. Aku gak akan rela jika posisi itu diberikan ke orang lain.""Engga, Sha. Jangan paksa aku menikah lagi hanya karena ingin punya anak. Aku gak bisa menyakiti hati kamu." Adrian masih menolak."Mas, demi aku, demi Mama, demi masa depan keluarga ini, gak ada yang tersakiti. Aku gak akan sakit hati. Sebenarnya udah lama aku menyiapkan hatiku. Menyiapkan Lana buat kamu. Aku mohon.""Gak bisa, aku gak bisa, Sayang..." Adrian terus menolak."Ayolah, Mas... Jangan menolak dulu. Kamu pikirin baik-baik. Kamu melakukannya bukan cuma buat aku."Adrian menggeleng."Kalau kamu cinta dan sayang sama aku, tolong lakukan. Nikahi Syahlana." Aisha terpaksa mengucapkan kalimat seperti ini. Agar Adrian berhenti menolak.Adrian mendekapnya. "Kalau kamu bilang Syahlana itu b
Persiapan pernikahan kedua Adrian dengan Syahlana dimulai. Aisha mendamping kedua calon mempelai ke pengadilan agama, guna mengurus pendaftaran pernikahan kedua ini. Tidak ada obrolan khusus antara Adrian dan Syahlana.Ketika ditanya mengenai kesiapan Adrian menjadi suami yang adil, dirinya terdiam sejenak, lalu berkata, "Saya akan berusaha seadil-adilnya."Kemudian, Aisha menandatangani persetujuan atas pernikahan kedua suaminya.Usai dari pengadilan agama, mereka mengantar Syahlana ke restoran, karena masih harus bekerja hari itu.Rupanya, setelah mengantar Aisha pulang, Adrian kembali mampir ke restoran Syahlana. Tadinya, Adrian mau mengajaknya bicara berdua di dalam ruang kerjanya. Tetapi Syahlana menolak."Kita belum sah menjadi suami-istri," katanya. Lantas ia memanggil Lia untuk mendampingi.Tetapi Adrian memintanya memakain headset agar tidak mendengar obrolan mereka dengan jelas."Tenang aja, Mas," kata Lia. "Li
Susai sholat subuh, Syahlana tidak lantas kembali tidur. Ia coba melakukan apa yang biasa mamanya lakukan saat pagi hari. Mengaji sebentar, lalu membuat sarapan. Ia memeriksa apa saja isi lemari es dan bahan makanan di dapur. Sumi melihat nyonya muda baru itu begitu sibuk di dapur. "Non, biar saya aja yang kerjakan." "Gak papa, Mbak. Kamu kerjakan yang lain aja," kata Syahlana. "Biasanya mereka sarapan jam berapa?" "Biasanya jam tujuh sudah pada siap, Non," jawab Sumi. "Karena Den Adrian berangkat ke kantro jam delapan." "Oh, oke." Karena tidak terlalu banyak bahan makanan yang bisa Syahlana temukan, ia berinisiatif memasak nasi goreng untuk sarapan keluarga ini. Dibantu Sumi. Aroma lezat makanan sampai ke indera penciuman setiap orang di rumah ini. Rosana, Adrian, juga Aisha. Saat bangun, Adrian tidak melihat istri barunya di sisi. Sepertinya, seusai sholat subuh tadi, Syahlana tidak kembali ke kamar. Ia segera
Setelah menikah ini, memang, Syahlana masih aktif di restoran, seperti saat belum menikah. Ia baru menyadari hal ini, ketika mengobrol dengan Akasma lewat video call."Meskipun istri muda, bakti dan tugasnya sebagai istri tetep sama, Lana," kata Akasma."Iya, Ma. Lana akan atur, supaya dua-duanya berjalan dengan baik," jawab Syahlana."Gimana dengan program kehamilan?" tanya Akasma."Baik, Ma. Lancar."Seusai bicara di telepon, Syahlana berinisiatif menghubungi Zivara. Menyuruhnya datang ke restoran. Sang adik baru bisa datang setelah jam kuliahnya selesai."Ada apa sih, Kak?" tanya Zivara. "Gak biasanya nyuruh dateng.""Kakak mau minta bantuan kamu," jawab Zivara. "Ini penting.""Bantuan apa, Kak?" tanya Zivara lagi. "Kakak mulai ditindas?" Ia malah asal menebak."Duh, asal ngejeplak!" omel Syahlana. "Makanya dengerin dulu.""Iya, iya, kenapa sih emangnya?"Syahlana mulai menjelaskan
Beberapa bulan kemudian Syahlana melahirkan seorang bayi perempuan. Ia dan Adrian pun sepakat menamai bayi baru mereka Rosana Aisha Ramadan. Sebagai bentuk sayang dan rasa terima kasih kepada kedua wanita yang telah menghadap Sang Kuasa terlebih dulu. Pagi itu, Syahlana menggendong bayinya yang berusia satu bulan, di balkon. Berjemur matahari pagi, menuai vitamin dari kehangatannya. Lalu San masuk ke dalam kamar. Anak itu sudah mengenakan seragam sekolah pramukanya. Membuat Syahlana lantas ingat, ini sudah akhir pekan. "Maman, hari ini waktunya San dan Rara terima raport semester pertama," kata San. "Nanti Maman atau Pere yang ambil?" Syahlana tersenyum. "Pere yang ambil ya, San. Soalnya ini, Maman gak bisa tinggalin adek Ocha." San tampak manyun. "Nanti itu, kan San tampil baca puisi. Maman dan Pere datang, ya?" Astaga, Syahlana hampir lupa, kalau San menganggap hari ini sangatlah penting
Bagaikan mendengar guntur terbesar dalam sejarah hidupnya. Adrian menolak keinginan Syahlana. "Aku pernah mengalami situasi seperti ini, dan tidak, Sayang. Tidak lagi. Apalagi, sekarang ini, seluruh perasaanku hanya buat kamu. Aku gak sanggup membaginya.""Mas, coba pakai hati nurani kamu. Aisha itu sebatang kara. Dia tidak punya orang tua, saudara, apalagi anak. Suami yang dia cintai meninggalkannya. Betapa hidupnya sangat menyedihkan sekarang ini." Syahlana ingin Adrian rujuk dengan Aisha. Menikahi kembali wanita itu. "Aku tahu, di dalam lubuk hati kamu yang paling dalam, perasaan kamu pada Aisha masih ada.""Gak ada, Sayang! Aku hanya mencintai kamu. Semenjak apa yang sudah diperbuat Aisha pada keluarga ini, perasaanku sama dia luntur begitu saja. Lenyap. Sudah gak ada lagi." Adrian bersikukuh menolak."Mas, tolong kamu pertimbangkan baik-baik. Pikirkan dengan matang. Tetapi, kalau memang pada akhirnya keputusan kamu tetap sama, aku akan berhenti memohon. Han
Sidang putusan atas kasus yang menjerat Aisha digelar. Kasus yang menyeretnya berhadapan dengan hukum, antara lain adalah penculikan terhadap anak usia enam tahun Muhammad Hassan Ramadan, juga pembeli arsenik ilegal, dan pembunuhan berencana terhadap ibu mertuanya, Rosana Ramadan.Syahlana dan Adrian hadir dalam persidangan itu.Aisha mengenakan kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam. Kepalanya terus tertunduk. Ia didampingi oleh seorang pengacara yang disediakan oleh lembaga hukum. Berita acaranya dibacakan hakim dan rekan-rekannya secara bergantian."Semua bukti telah diperiksa dan valid. Sedangkan saksi telah memberikan kesaksiannya. Kesemuanya itu telah membuktikan dengan akurat, bahwa terdakwa melakukan semuanya dengan sengaja. Oleh karena itu, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kami menuntut hukuman penjara seumur hidup untuk terdakwa," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU).Hakim membaca kembali garis besar dalam berita acara. Be
Rumah Keluarga SudiroDi sana sudah ada Zivara, David, Gala, Lia, dan Juki, beserta beberapa guru sekolah dari TK Bunda Pertiwi, seperti Bu Zoya dan Bu Tia. Mereka sedang bersiap, hendak menyambut kepulangan San. Hari itu, David memasak menu yang spesial untuk sang jagoan cilik."Mereka udah sampai mana, Beb?" tanya David."Kak Lana tadi ngabarin, mereka sudah di jalan tol," jawab Zivara, yang sedang memeriksa ulang dekorasi di ruang tamu, bersama Zoya dan Tia.Lia dan Gala menata makanan di meja makan, dibantu Sumi. Sedangkan Juki ditugaskan mengupas kelapa, karena San sangat suka air kelapa muda.Zoya memasang balon-balon di dinding, dengan diikatkan pada sebuah kawat. Tia memasang gambar-gambar di dinding. Ada tokoh Captain America kesukaan San, juga Snow White kesukaan Aurora."Saya kangen lihat Rara dan San main bareng di sekolah," ungkap Tia."Ya. Aku juga," sambut Zoya. "Rasanya suda
Setahun lalu, ketika prosesi Mammanu'-manu', yaitu ketika calon mempelai laki-laki akan mendatangi orang tua mempelai perempuan dan meminta izin untuk mempersunting gadis pujaannya. Dan ketika momen ini juga dimanfaatkan untuk membahas besaran nilai uang panaidan mahar, jika memang keluarga mempelai perempuan menerima pinangan sang laki-laki.Kedua orang tua Jannah yang merupakan orang asli Jawa Timur, kurang paham dengan adat mereka. Maka, mereka meminta Pak RT yang juga keturunan Bugis, mewakili keluarga ini untuk mendampingi mereka menjalani prosesi tersebut. Acaranya cukup meriah. Dihadiri banyak tetangga mereka, kala itu.Pada acara ini pula, selain menentukan uang panai, kedua mempelai juga menjalani proses pertunangan. Nah, untuk pertunangannya ini, Ibunya Jannah meminta adat Jawa. Namun, karena terbatasnya pengetahuan orang Bugis mengenai lamaran atau pertunangan adat Jawa ini, maka dilaksanakan secara informal.Kala itu, Naing menyatakan
Lagi, Aisha harus merasakan dinginnya di balik jeruji besi. Akibat perbuatannya yang tidak termaafkan. Sendirian, duduk di sudut ruangan. Menunggu keputusan hukum. Seberapa lama hendak mendekam di tempat ini.Kenangan lama kembali menari di ingatannya. Ketika dahulu Adrian masih hanya jadi suaminya seorang. Setiap hari mengucapkan kata cinta. Lebih jauh lagi, Aisha teringat saat dulu pertama kali kenal Adrian, lalu saling jatuh cinta, dan memutuskan pacaran, pada akhirnya menikah.Saat itu, Aisha masih tinggal di Bandung, di sebuah panti asuhan Mentari Bunda. Sebagai salah satu orang dewasa yang tinggal di panti asuhan sejak kecil, dan belum pernah diadopsi, Aisha memutuskan mengabdi di tempat itu. Nah, yayasan yang menaungi Mentari Bunda, adalah perusahaan keluarga Sudiro.Suatu hari, di panti asuhan sedang diadakan sebuah acara untuk memperigati 17 Agustus-an. Semua anak hingga yang remaja, bahkan yang dewasa mengikuti lomba. Balap
Cuaca di desa Marukangan sore ini tidak panas, juga tidak dingin. Terasa hangat. Banyak anak-anak bermain di lapangan, depan rumah Herlin. Wanita pemilik warung ayam lalapan itu duduk di emperan warungnya. Melihat anak-anak bermain layangan. Menarik ulur senar layangan. Ada juga yang berlarian mengejar layangannya yang putus.Kemudian, Herlin melihat, di tengah-tengah kerumunan anak-anak itu, ada San yang baru berhasil menaikkan layangannya ke udara. Dia begitu terampil menarik ulur layangannya yang berwarna merah. Ia tidak sendirian. Ada Faisal dan teman-teman lainnya.Semenjak Komang ditangkap, Jannah tidak lagi khawatir, dan bisa membiarkan San bebas main keluar rumah bersama anak-anak lainnya."San!" Herlin memanggilnya.Melihat Herlin, San jadi ingat, pertama kali datang ke tempat ini, terbangun di rumahnya. Anak itu sepertinya merasa takut dan trauma. Ia memilih pindah tempat bermain di dekat rumah Jannah, tempatnya tinggal sekarang.
Marukangan, Sandaran, Kutai Timur, Kalimantan TimurSejak Komang ditangkap malam itu, Jannah tidak lantas membawa anak-anak kembali ke Marukangan. Untuk meringankan beban trauma pada mereka, Jannah memutuskan untuk membiarkan keduanya menikmati liburan di pantai ini. Bermain dan bersenang-senang.Tidak hanya bermain di pantai, Andi Fachri juga mengajak mereka bertandang ke rumah-rumah saudara di sekitar sana, guna menghibur mereka, terutama San. Anak itu dipertemukan dan dikenalkan dengan anak-anak lain yang rata-rata seumuran, dan membiarkan mereka bermain bersama.Hingga suatu malam, mereka bertandang ke sebuah rumah milik sepupunya Andi Fachri. Di rumah itu, jaringan telepon lumayan bagus. Jannah menerima pesan masuk pada handponenya yang bukan android. Dari Naing. Dalam pesannya itu, ia memberikan nomor handphone yang bisa menghubungkannya dengan orang di Jakarta, polisi yang menangani pencarian San, namanya Yahya. Jannah pun t
Malam tiba. Mereka semua menginap di rumah pamannya Naing yang juga seorang Andi. Sepertinya anak-anak sudah capek bermain, sehingga mereka bisa tidur lebih cepat setelah makan malam. Jannah membantu Mamak Zainab dan putrinya Fira menyiapkan kopi dan teh untuk disuguhkan pada para pria yang sedang mengobrol di ruang tamu. "Memang, si Komang itu kapan coba mau tobatnya?" umpat Andi Fachri, pamannya Naing. "Memisahkan seorang anak dari orang tuanya, itu dosa besar. Apalagi menculik. Dia selalu kalau datang ke Marukangan, hanya untuk menghapus jejak kejahatannya." Lintang ikut kesal. "Kalau saya yang jadi orang tua anak itu, sudah saya parang kali itu Komang!" Lalu keluarlah Jannah, beserta Mamak Zainab dan Fira. Jannah menyajikan minuman. Memindahkan cangkir-cangkir dari nampan ke meja. Sedangkan Fira menyuguhkan gorengan singkong, juga secobek sambal gami sebagai cocolan. Sambal gami merupakan salah satu makanan khas masyarakat d