Share

Aku Jatuhkan Talak

Niken langsung ditangani oleh dokter spesial kandungan yang bertugas. Rupanya Niken mengalami pecah ketuban ketika perjalanan berangkat ke rumah sakit. Mulas itu bukan karena rujak, melainkan proses menuju melahirkan.

Naufal terus memegangi tangan Niken dari pertama masuk rumah sampai ke kamar bersalin. Tak lupa juga Aruna yang ikut panik dan tegang sambil memegangi tas besar berisi keperluan bayi.

Mengingat Niken ini sama seperti Aruna, sudah tidak memiliki lagi orang tua ataupun saudara. Tidak ada pihak keluarga dari Niken yang hadir.

"Kak, sakit." Niken memegangi tangan kanan Naufal selama di kamar bersalin.

"Ditahan, ya, Sayang. Sebentar lagi kita akan bertemu buah hati kita." Naufal berusaha menguatkan Niken.

Sementara itu, Aruna hanya bisa menunggu keadaan Niken dari luar. Mulut perempuan itu terus berkomat-kamit mengucapkan istighfar dan berdoa. Berharap madu dan juga calon anaknya bisa selamat dan sehat juga. "Ya Allah, aku meminta pertolonganmu, selamatkanlah ibu dan bayinya. Aamin." Hati Aruna cemas juga. Ia mungkin tidak bisa merasakan semua kesakitan Niken, tetapi ia hanya bisa membayangkan saja. Bagi seorang Ibu, melahirkan mungkin bukan sesuatu yang menakutkan selama itu bisa membuat buah hati mereka lahir ke dunia. Sesakit apa pun akan tetap ditahan agar bisa melihat sosok anak tercinta dengan kedua mata langsung.

Dua perawat juga seorang dokter perempuan berusaha membantu Niken agar segera melahirkan. Raungan kesakitan pun terdengar ketika Niken berusaha sebisa mungkin mengeluarkan kepala bayi. Sakitnya hampir setara seluruh tulang rusuk manusia patah, tidak bisa terbayangkan.

Naufal sendiri mencoba memberikan semangat, begitu pun perawat dan dokter. Niken mengejan. Terdengar sekali. Satu, dua, tiga kali akhirnya bayi keluar dengan selamat. Naufal dan juga orang yang di ruangan sana, begitu pun dengan Aruna mendengar jelas jerit tangis bayi lelaki.

Semua bersyukur. Bayi lelaki itu langsung dibersihkan oleh perawat, sedangkan dokter menangani lagi Niken untuk mengeluarkan ari-ari. Darah yang dikeluarkan Niken lumayan banyak, sehingga Niken jatuh pingsan sehabis melahirkan. Sontak rasa bahagia bercampur dengan khawatir. Naufal mencoba memanggil nama Niken beberapa kali, tetapi istri keduanya itu pun tidak menjawab.

Ruangan bersalin berubah semakin tegang, dokter dan perawat meminta Naufal untuk menunggu di luar. Keadaan genting. Dengan sangat terpaksa, Naufal pun menurut. Begitu keluar pintu, Naufal langsung disuguhkan pertanyaan dari Aruna yang berdiri di depan pintu masuk.

"Kak, bagaimana keadaan Niken?" tanya Aruna dengan wajah cemas.

Naufal tidak menjawab, hanya melewati Aruna dan duduk di kursi tunggu. Hal ini membuat Aruna penasaran. Ia segera mendekati suaminya, duduk di samping lelaki itu. "Kak, apa Niken dan bayinya baik-baik saja?"

"Sebaiknya kamu diam!" Naufal marah.

Aruna tertegun. Membaca situasi, mungkin sang suami tidak kalah panik dengan dirinya. Harus lebih memahami. Pada akhirnya, baik itu Naufal ataupun Aruna tidak mengeluarkan satu patah kata pun sampai akhirnya pintu ruangan bersalin itu terbuka, dokter perempuan keluar dengan wajah menunduk.

Naufal sontak berdiri, menghampiri dokter tersebut dan berkata, "Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" Melihat ke depan. Barangkali ada jawaban di sana.

Helaan napas dari dokter perempuan menandakan sesuatu yang buruk terjadi. Aruna pun ikut menghampiri wanita yang berpakaian putih tersebut, berdiri di belakang sang suami. Hatinya tidak bisa berbohong, cemas luar biasa.

"Sebelumnya, saya ucapkan selamat atas kelahiran anak bapak." Perempuan bergelar dokter spesialis kandungan itu menjeda sebentar kalimatnya. Kemudian berkata lagi, "Tapi, maaf, ibu dari bayi bapak tidak bisa diselamatkan karena mengalami pendarahan hebat."

Bagaikan disambar petir di siang bolong. Tepat pukul tiga sore Niken berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Lima menit sebelum azan Ashar berkumandang. Sebuah kabar buruk yang bisa membuat Naufal seketika berlarian ke dalam, berteriak memanggil nama istri keduanya. Lelaki itu gila, tidak percaya kabar buruk itu datang di hari yang sama ketika dirinya mendapatkan seorang anak.

"Innalillahi wainnailaihi rojiun." Aruna terdiam. Badannya gemetaran. Sosok yang sering berada di rumah bersamanya kini sudah pergi lebih dahulu.

"Saya turut berduka cita atas berpulangnya Bu Niken, Bu," kata sang dokter tersebut dengan wajah bersalah. Tidak ada yang bisa memprediksi untuk hal sekecil apa pun.

"Terima kasih, Dok." Aruna berlinangan air mata. Mungkin kehadiran Niken memang luka baginya, tetapi kepergian perempuan itu pun juga menyakitkan. Itulah takdir.

Aruna tidak bisa masuk karena yang boleh masuk hanya petugas dan satu pendamping dari pasien saja. Kematian itu pasti datang pada siapa pun, tidak bisa terhalang kalau memang sudah waktunya.

Terdengar raungan tangis dari Naufal yang tidak bisa menerima takdir pahit ini, bahkan lelaki itu seolah setengah gila dengan berteriak meminta Niken bangun. "Sayang, bangun!' jeritnya sampai terasa ke ulu hati yang mendengar.

Pada akhirnya jenazah Niken dipindahkan ke ruangan mayat, sekali pun Naufal belum bisa menerima. Aruna sendiri pergi ke ruangan bayi, ingin melihat anak dari Niken yang sudah diazani oleh Naufal sebelum pergi ke kamar mayat.

Aruna mengintip dari kaca saja, tidak berani masuk. Sesak dalam dada akan kehilangan Niken terasa sampai jantung. Rupanya Niken sudah seperti adik, walaupun memang menghadirkan luka.

Di ruangan bayi, puluhan mahluk kecil yang baru lahir itu tinggal. Mereka memiliki tempat masing-masing dengan pengurusan yang baik sebelum akhirnya diserahkan pada sang ibu.

Tangan Aruna menyentuh kaca, melihat ke tempat tidur bayi lelaki yang ada di pojok urutan kedua. Anak kecil mungil itu lahir harus menghadapi kenyataan menyakitkan, datang ke dunai dengan ditinggalkan Ibu. "Nak, jangan sedih, ya. Aku ibumu sekarang." Aruna bertekad akan mengurus dan menganggap bayi lelaki itu semana anak kandung sendiri, itu pun jika Naufal mengizinkan. "Ibu, pasti menjagamu, Nak. Jangan takut." Air mata Aruna beranak pinak. Tidak sadar dilihat orang dua orang suster yang ada di dalam. Kehilangan ini seharusnya menjadi kebahagiaan karena Naufal menjadi miliknya seorang, tetapi hari kecil Aruna tidak demikian. Tetap saja sakit karena Niken menghadap Yang Maha Kuasa.

***

Satu tahun berlalu, anak lelaki yang dilahirkan Niken sekarang diasuh oleh Aruna atas persetujuan Naufal. Ia pun menjadi ibu untuk anak lelaki yang dinamai Abizar Arsya, nama yang diambil oleh Naufal sendiri. Kehadiran Abizar menjadi penyembuh luka bagi Aruna, sehari-hari Aruna menikmati perannya sebagai ibu sambung yang kasih sayangnya tidak jauh berbeda dengan ibu kandung. Bahkan, lebih banyak dan begitu berlimpah ruah.

"Sayang, Ibu, mau masak dulu, ya. Kamu duduk di sini." Aruna membiarkan Abizar duduk di karpet dengan motif lucu, tak lupa juga diberikan beberapa mainan agar anteng. "Ayahmu nanti pulang, pasti harus makan malam."

Aruna yang baru selesai salat Asar pun langsung pergi ke dapur setelah memastikan Abizar mandi. Aruna hendak memasak sop ayam untuk makan malam. Mengingat Abizar sudah satu tahun dan bisa menyantap makan keluarga karena memiliki empat gigi. Aruna tidak terlalu kerepotan dengan menu makanan anak lelaki itu. Setidaknya Abizar sudah bisa makan makanan keluarga.

Selama memasak Aruna sesekali melirik ke belakang, mengawasi Abizar yang ternyata begitu senang dengan mainan robot pemberian Dzaki–adik kandung Naufal–mainan itu dikirim langsung dari luar negeri. Memang paman paling menyayangi keponakannya.

Aruna fokus masak sambil terus bersholawat. Tujuannya, semoga saja rumah ini bisa tentram dan damai tanpa keributan dan juga kedua daun telinga Abizar bisa mendengar. Sebab, dengan seperti itu, Abizar bisa hafal, walaupun belum pintar berbicara.

Dari luar, terdengar deru mesin mobil berhenti. Aruna bergegas menyelesaikan masakan. Sop ayam memang tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa dihidangkan, sekitar lima belas menit saja.

Setelah dirasa enak dan pas, Aruna mematikan kompor. Berbalik badan dan menggendong Abizar hendak menyambut kedatangan sang suami. Dengan setelan gamis berwarna biru muda juga jilbab putih, perempuan itu terus membawa Abizar ke area ruang tamu, bersiap membukakan pintu untuk Naufal.

"Ayah datang, Sayang." Aruna mencubit pelan hidung Abizar. Anak lelaki itu tidak kesakitan, melainkan tertawa. Senang.

Aruna berdiri di depan pintu, membukakan penghalang antara luar dan dalam rumah tersebut. Mengurai senyum manis agar sang suami bahagia. "Selamat datang, Kak."

Naufal sudah berdiri. Masuk ke dalam tanpa salam ataupun menjawab sambutan Aruna. Lelaki itu berjalan lima langkah ke depan. Berhenti, sehingga membuat Aruna terdiam. "Aruna." Sekian tahun tidak pernah memanggil nama sang istri, Naufal melakukannya kali ini.

Aruna menelan ludah. Berdiri memandangi punggung suaminya dengan suara Abizar yang memanggil ayahnya. "Iya, Kak." Jantung perempuan itu berdebar. Naufal tampak lebih serius dan menyeramkan kali ini.

"Aku akan menceraikanmu!" ujar Naufal dengan jelas dan tegas.

Kedua pupil mata Aruna membesar, pegangan pada tubuh Abizar pun hampir terlepas, jika saja perempuan itu tidak sadar.

"Kali ini kita akan berpisah, aku menjatuhkan talak pertama dan akan menggugat cerai kamu, Aruma. Silakan kemasi barang-barangmu dan tinggalkan Abizar denganku!" Naufal mempertegas kalimatnya supaya Aruna paham.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status