Niken langsung ditangani oleh dokter spesial kandungan yang bertugas. Rupanya Niken mengalami pecah ketuban ketika perjalanan berangkat ke rumah sakit. Mulas itu bukan karena rujak, melainkan proses menuju melahirkan.
Naufal terus memegangi tangan Niken dari pertama masuk rumah sampai ke kamar bersalin. Tak lupa juga Aruna yang ikut panik dan tegang sambil memegangi tas besar berisi keperluan bayi.Mengingat Niken ini sama seperti Aruna, sudah tidak memiliki lagi orang tua ataupun saudara. Tidak ada pihak keluarga dari Niken yang hadir."Kak, sakit." Niken memegangi tangan kanan Naufal selama di kamar bersalin."Ditahan, ya, Sayang. Sebentar lagi kita akan bertemu buah hati kita." Naufal berusaha menguatkan Niken.Sementara itu, Aruna hanya bisa menunggu keadaan Niken dari luar. Mulut perempuan itu terus berkomat-kamit mengucapkan istighfar dan berdoa. Berharap madu dan juga calon anaknya bisa selamat dan sehat juga. "Ya Allah, aku meminta pertolonganmu, selamatkanlah ibu dan bayinya. Aamin." Hati Aruna cemas juga. Ia mungkin tidak bisa merasakan semua kesakitan Niken, tetapi ia hanya bisa membayangkan saja. Bagi seorang Ibu, melahirkan mungkin bukan sesuatu yang menakutkan selama itu bisa membuat buah hati mereka lahir ke dunia. Sesakit apa pun akan tetap ditahan agar bisa melihat sosok anak tercinta dengan kedua mata langsung.Dua perawat juga seorang dokter perempuan berusaha membantu Niken agar segera melahirkan. Raungan kesakitan pun terdengar ketika Niken berusaha sebisa mungkin mengeluarkan kepala bayi. Sakitnya hampir setara seluruh tulang rusuk manusia patah, tidak bisa terbayangkan.Naufal sendiri mencoba memberikan semangat, begitu pun perawat dan dokter. Niken mengejan. Terdengar sekali. Satu, dua, tiga kali akhirnya bayi keluar dengan selamat. Naufal dan juga orang yang di ruangan sana, begitu pun dengan Aruna mendengar jelas jerit tangis bayi lelaki.Semua bersyukur. Bayi lelaki itu langsung dibersihkan oleh perawat, sedangkan dokter menangani lagi Niken untuk mengeluarkan ari-ari. Darah yang dikeluarkan Niken lumayan banyak, sehingga Niken jatuh pingsan sehabis melahirkan. Sontak rasa bahagia bercampur dengan khawatir. Naufal mencoba memanggil nama Niken beberapa kali, tetapi istri keduanya itu pun tidak menjawab.Ruangan bersalin berubah semakin tegang, dokter dan perawat meminta Naufal untuk menunggu di luar. Keadaan genting. Dengan sangat terpaksa, Naufal pun menurut. Begitu keluar pintu, Naufal langsung disuguhkan pertanyaan dari Aruna yang berdiri di depan pintu masuk."Kak, bagaimana keadaan Niken?" tanya Aruna dengan wajah cemas.Naufal tidak menjawab, hanya melewati Aruna dan duduk di kursi tunggu. Hal ini membuat Aruna penasaran. Ia segera mendekati suaminya, duduk di samping lelaki itu. "Kak, apa Niken dan bayinya baik-baik saja?""Sebaiknya kamu diam!" Naufal marah.Aruna tertegun. Membaca situasi, mungkin sang suami tidak kalah panik dengan dirinya. Harus lebih memahami. Pada akhirnya, baik itu Naufal ataupun Aruna tidak mengeluarkan satu patah kata pun sampai akhirnya pintu ruangan bersalin itu terbuka, dokter perempuan keluar dengan wajah menunduk.Naufal sontak berdiri, menghampiri dokter tersebut dan berkata, "Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" Melihat ke depan. Barangkali ada jawaban di sana.Helaan napas dari dokter perempuan menandakan sesuatu yang buruk terjadi. Aruna pun ikut menghampiri wanita yang berpakaian putih tersebut, berdiri di belakang sang suami. Hatinya tidak bisa berbohong, cemas luar biasa."Sebelumnya, saya ucapkan selamat atas kelahiran anak bapak." Perempuan bergelar dokter spesialis kandungan itu menjeda sebentar kalimatnya. Kemudian berkata lagi, "Tapi, maaf, ibu dari bayi bapak tidak bisa diselamatkan karena mengalami pendarahan hebat."Bagaikan disambar petir di siang bolong. Tepat pukul tiga sore Niken berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Lima menit sebelum azan Ashar berkumandang. Sebuah kabar buruk yang bisa membuat Naufal seketika berlarian ke dalam, berteriak memanggil nama istri keduanya. Lelaki itu gila, tidak percaya kabar buruk itu datang di hari yang sama ketika dirinya mendapatkan seorang anak."Innalillahi wainnailaihi rojiun." Aruna terdiam. Badannya gemetaran. Sosok yang sering berada di rumah bersamanya kini sudah pergi lebih dahulu."Saya turut berduka cita atas berpulangnya Bu Niken, Bu," kata sang dokter tersebut dengan wajah bersalah. Tidak ada yang bisa memprediksi untuk hal sekecil apa pun."Terima kasih, Dok." Aruna berlinangan air mata. Mungkin kehadiran Niken memang luka baginya, tetapi kepergian perempuan itu pun juga menyakitkan. Itulah takdir.Aruna tidak bisa masuk karena yang boleh masuk hanya petugas dan satu pendamping dari pasien saja. Kematian itu pasti datang pada siapa pun, tidak bisa terhalang kalau memang sudah waktunya.Terdengar raungan tangis dari Naufal yang tidak bisa menerima takdir pahit ini, bahkan lelaki itu seolah setengah gila dengan berteriak meminta Niken bangun. "Sayang, bangun!' jeritnya sampai terasa ke ulu hati yang mendengar.Pada akhirnya jenazah Niken dipindahkan ke ruangan mayat, sekali pun Naufal belum bisa menerima. Aruna sendiri pergi ke ruangan bayi, ingin melihat anak dari Niken yang sudah diazani oleh Naufal sebelum pergi ke kamar mayat.Aruna mengintip dari kaca saja, tidak berani masuk. Sesak dalam dada akan kehilangan Niken terasa sampai jantung. Rupanya Niken sudah seperti adik, walaupun memang menghadirkan luka.Di ruangan bayi, puluhan mahluk kecil yang baru lahir itu tinggal. Mereka memiliki tempat masing-masing dengan pengurusan yang baik sebelum akhirnya diserahkan pada sang ibu.Tangan Aruna menyentuh kaca, melihat ke tempat tidur bayi lelaki yang ada di pojok urutan kedua. Anak kecil mungil itu lahir harus menghadapi kenyataan menyakitkan, datang ke dunai dengan ditinggalkan Ibu. "Nak, jangan sedih, ya. Aku ibumu sekarang." Aruna bertekad akan mengurus dan menganggap bayi lelaki itu semana anak kandung sendiri, itu pun jika Naufal mengizinkan. "Ibu, pasti menjagamu, Nak. Jangan takut." Air mata Aruna beranak pinak. Tidak sadar dilihat orang dua orang suster yang ada di dalam. Kehilangan ini seharusnya menjadi kebahagiaan karena Naufal menjadi miliknya seorang, tetapi hari kecil Aruna tidak demikian. Tetap saja sakit karena Niken menghadap Yang Maha Kuasa.***Satu tahun berlalu, anak lelaki yang dilahirkan Niken sekarang diasuh oleh Aruna atas persetujuan Naufal. Ia pun menjadi ibu untuk anak lelaki yang dinamai Abizar Arsya, nama yang diambil oleh Naufal sendiri. Kehadiran Abizar menjadi penyembuh luka bagi Aruna, sehari-hari Aruna menikmati perannya sebagai ibu sambung yang kasih sayangnya tidak jauh berbeda dengan ibu kandung. Bahkan, lebih banyak dan begitu berlimpah ruah."Sayang, Ibu, mau masak dulu, ya. Kamu duduk di sini." Aruna membiarkan Abizar duduk di karpet dengan motif lucu, tak lupa juga diberikan beberapa mainan agar anteng. "Ayahmu nanti pulang, pasti harus makan malam."Aruna yang baru selesai salat Asar pun langsung pergi ke dapur setelah memastikan Abizar mandi. Aruna hendak memasak sop ayam untuk makan malam. Mengingat Abizar sudah satu tahun dan bisa menyantap makan keluarga karena memiliki empat gigi. Aruna tidak terlalu kerepotan dengan menu makanan anak lelaki itu. Setidaknya Abizar sudah bisa makan makanan keluarga.Selama memasak Aruna sesekali melirik ke belakang, mengawasi Abizar yang ternyata begitu senang dengan mainan robot pemberian Dzaki–adik kandung Naufal–mainan itu dikirim langsung dari luar negeri. Memang paman paling menyayangi keponakannya.Aruna fokus masak sambil terus bersholawat. Tujuannya, semoga saja rumah ini bisa tentram dan damai tanpa keributan dan juga kedua daun telinga Abizar bisa mendengar. Sebab, dengan seperti itu, Abizar bisa hafal, walaupun belum pintar berbicara.Dari luar, terdengar deru mesin mobil berhenti. Aruna bergegas menyelesaikan masakan. Sop ayam memang tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa dihidangkan, sekitar lima belas menit saja.Setelah dirasa enak dan pas, Aruna mematikan kompor. Berbalik badan dan menggendong Abizar hendak menyambut kedatangan sang suami. Dengan setelan gamis berwarna biru muda juga jilbab putih, perempuan itu terus membawa Abizar ke area ruang tamu, bersiap membukakan pintu untuk Naufal."Ayah datang, Sayang." Aruna mencubit pelan hidung Abizar. Anak lelaki itu tidak kesakitan, melainkan tertawa. Senang.Aruna berdiri di depan pintu, membukakan penghalang antara luar dan dalam rumah tersebut. Mengurai senyum manis agar sang suami bahagia. "Selamat datang, Kak."Naufal sudah berdiri. Masuk ke dalam tanpa salam ataupun menjawab sambutan Aruna. Lelaki itu berjalan lima langkah ke depan. Berhenti, sehingga membuat Aruna terdiam. "Aruna." Sekian tahun tidak pernah memanggil nama sang istri, Naufal melakukannya kali ini.Aruna menelan ludah. Berdiri memandangi punggung suaminya dengan suara Abizar yang memanggil ayahnya. "Iya, Kak." Jantung perempuan itu berdebar. Naufal tampak lebih serius dan menyeramkan kali ini."Aku akan menceraikanmu!" ujar Naufal dengan jelas dan tegas.Kedua pupil mata Aruna membesar, pegangan pada tubuh Abizar pun hampir terlepas, jika saja perempuan itu tidak sadar."Kali ini kita akan berpisah, aku menjatuhkan talak pertama dan akan menggugat cerai kamu, Aruma. Silakan kemasi barang-barangmu dan tinggalkan Abizar denganku!" Naufal mempertegas kalimatnya supaya Aruna paham.Tak ada angin ataupun hujan, Naufal datang dengan mengatakan hal paling menyakitkan setelah perjuangan Aruna selama ini. "Kak, maksudnya apa ini?" Jelas saja Aruna harus mempertanyakan maksud dari ucapan suaminya. "Ada apa sebenarnya, Kak?" Aruna merasa setahun belakangan ini hubungan mereka baik-baik saja, walaupun memang Naufal belum sepenuhnya menerima kepergian Niken."Aku sudah mengatakannya tadi, kita akan bercerai!" tegas Naufal.Dada Aruna naik turun, daun telinganya tidak salah dengar lagi. Kata keramat itu keluar."Aku lelah. Kamu bisa pergi sekarang atau mungkin besok pagi, tapi tolong jangan ganggu aku!" Naufal melangkah kembali ke depan hendak beristirahat.Aruna menyusul cepat, mengekor di belakang Naufal. "Kak, harusnya kamu memberikan alasan untuk ini. Jadi, apa yang membuat kamu menceraikanku?" Langkah Naufal terhenti, begitu pun dengan Aruna. "Aku ini istrimu yang sudah menemani selama enam tahun. Aku menerima semua keputusanmu, aku bahkan menerima putusan poligami d
Aruna membuka toko kuenya yang berada di jantung kota. Di antara deretan ruko kecil yang ada dan hanya berlantai satu, Aruna berusaha untuk mencari nafkah sendiri.Toko cemara, sebuah nama yang diambil untuk toko yang didirikan setelah sebulan bercerai dari Naufal. Merintis dari nol, sekali pun belum banyak yang mengetahui. Aruna menyajikan beberapa ragam kue dan roti yang dibuatnya sendiri. Memang cukup melelahkan, berperan menjadi pembuat sekaligus kasir. Namun, semua ini dilakukan agar bisa tetap bertahan hidup."Bismillah." Aruna sudah memakai celemek. Bersiap bertempur dengan bahan kue hari ini. "Hari ini harus tetap semangat seperti biasa."Aruna mulai melakukan aktivitas semana mestinya. Membuat kue menjadi salah satu hobi sejak lajang, tetapi tidak terlalu tersalurkan dengan baik setelah menikah. Mengingat Naufal tak suka makanan manis."Aku harus buat bolu gulung hari ini dan dipotong seperti kemarin." Aruna membuat adonan kue gulung rasa stroberi yang beberapa waktu lalu ba
Aruna mungkin kehilangan dua pelanggan hanya karena berdebat dengan mereka tentang sebuah pendapat. Namun, tidak masalah. Sebab, menurutnya perkataan pelanggan tadi lumayan memukul rata semua toko kecil itu sama.Aruna kembali ke dapur, menyelesaikan adonan yang sempat tertunda. Di tengah kesibukan itu, ia mulai merasakan rindu terhadap Abizar. Ingin bertemu tak bisa terbendung, bahkan sudah sulit diungkapkan dengan kata-kata. "Aku harus fokus. Kalau tidak, semuanya akan berjalan buruk." Perempuan itu menyadari jika sesuatu yang sedang bergulir saat ini bukanlah keinginan dirinya, melainkan karena takdir Yang Maha Kuasa.Waktu terus berjalan sampai tibalah saatnya salat. Aruna mengganti kata open dengan istirahat agar bisa memberitahu pelanggan. Dengan itu, ia pun bisa menikmati ibadah, menghadap Sang Khalik dengan khusuk tanpa takut diganggu manusia. Ada ruangan kecil untuk beribadah dan beristirahat. Aruna mengambil wudu dan menghamparkan sajadah. Bersiap menghadap Sang Ilahi Rabbi
"Assalamualaikum." Rupanya yang datang adalah Dzaki. Lelaki itu ikut tertegun, tidak menyangka bertemu dengan mantan kakak iparnya di sini. "Kamu." Sejak dari Aruna menikahi Naufal, Dzaki tidak pernah memanggil perempuan itu dengan sebutan 'Kakak' ataupun menyebut nama Aruna. Aruna mencoba tenang. Melangkah sekali ke depan. Berdiri di depan etalase yang penuh dengan pajangan kue, berhadapan langsung di depan Dzaki. "Wa'alaikum salam. Selamat datang di toko kueku." Aruna menyambut baik kedatangan Dzaki seperti halnya pada pelanggan lain.Dzaki menatap Aruna, memperhatikan perempuan yang sudah hampir empat tahun tidak bertemu. Dzaki tidak pernah pulang kampung dari pernikahan Naufal dan Aruna satu tahun. "Apa kabar? Aku dengar kamu dan Kakak bercerai?" Dzaki jelas tahu apa yang terjadi pada keluarga kakaknya. Namun, ia tidak memiliki hak untuk berkomentar. Aruna tersenyum tipis. "Ya. Aku yakin kamu juga sudah tau tentang ini dari dulu."Dzaki tak bisa menghindari. Kenyataannya seperti
"Aku cuma bercanda. Jangan terlalu memikirkannya." Dzaki menarik ucapannya. Ia tertarik pada jenis kue ini. "Bisa bantu bungkuskan aku dua puluh kue ini? Aku ingin membagikannya pada keluarga."Aruna menelan ludah. Mencoba untuk tetap tenang setelah di gebrak oleh pernyataan Dzaki. "Bisa. Sebentar." Perempuan itu membantu pesanan Dzaki. Atmosfer di ruangan ini terasa sulit didapat, mungkin karena pertanyaan Dzaki tadi.Pesanan Dzaki siap. Aruna memberikannya dan lelaki itu membayar sesuai harga. "Aku harap semua keluarga suka," kata Dzaki dengan menenteng plastik putih berisikan kotak kue.Aruna berharap yang sama pula. "Insya Allah." Ada keinginan di hati untuk menanyakan tentang Abizar. Pastinya Dzaki bertemu anak itu. Namun, ia tak punya keberanian untuk itu. "Kalau memang kuenya tidak enak, kamu bisa datang untuk ganti rugi."Dzaki tersenyum kecil. "Tidak perlu. Seseorang yang membuka toko kue, pastinya sudah memastikan kue yang dijual ini layak dimakan dan enak."Anindi diam. Be
Naufal tersentak. "Maksudmu apa?" Dzaki menyimpan kotak box kue yang baru saja dibelinya di tempat Aruna. "Sayang, ini ada kue. Kamu mau makan sama Oma?" Tangan kanan Dzaki melambai ke arah Abizar. Tentu saja anak lelaki berusia satu tahun tiga bulan itu bergerak ke arahnya. Abizar memang sudah berjalan, walaupun masih tertatih-tatih. Hanya saja belum bisa berbicara, dalam konteks begitu jelas. Abizar mendekati Dzaki, meminta dipeluk. Jelas saja Dzaki melayani keponakan tercintanya dulu, membawa tubuh mungil Abizar ke pangkuan setelah dirinya berjongkok. "Kamu makan sama Oma dulu, ya. Om mau bicara sama Ayah."Abizar seolah paham, ia melepaskan diri dari Dzaki. Kini bergantian menarik lengan kanan omanya."Bu, aku boleh berbicara berdua saja dengan Kakak?" Dzaki meminta izin.Bu Nani awalnya ragu, takut ada perselisihan di antara kedua putranya. Akan tetapi, lirikan mata Naufal seolah meminta permohonan yang sama juga. "Baiklah." Dengan meraih tangan Abizar, Bu Nani pergi membawa ku
Dzaki diam sebentar, memikirkan jawaban terbaik untuk kakaknya. "Kakak rasa, kamu juga akan berpikir ulang." Naufal sudah bisa menebak jawaban adiknya. Semua pria setelah menikah tentunya sangat mengidamkan bisa menjadi seorang Ayah, begitu pun dengan dirinya. "Jangan terlalu munafik jadi orang karena ikhlas itu sulit. Intinya, jangan dipaksa."Dzaki menemukan jawaban untuk menyerang balik sang kakak. "Kalimat terakhir Kakak itu memang pas untuk Aruna. Ikhlas itu sulit, benar. Tapi, dia justru dipaksa ikhlas untuk menerima semua sakit dari Kakak." Dzaki berdiri. Menatap lekat kedua bola mata kakaknya. "Tujuan pernikahan itu bukan sekadar ingin punya anak saja. Anak itu bonus dan kebahagian kedua belah pihak adalah goals yang harusnya dikejar. Allah kasih anak itu bersyukur, tapi kalau Allah uji dengan tanpa anak, seharusnya tidak menjadikan salah satu pihak berpikiran dangkal."Atmosfer di sekitar mereka terasa panas. Dzaki merasakan aura kemarahan yang terpancar dari tubuh kakaknya.
Setelah bertemu dengan Dzaki, Aruna terus memikirkan sosok Abizar. Semakin ingin bertemu, setidaknya menanyakan kabar anak lelaki itu pada Dzaki mungkin sedikit mengobati rasa rindu.Kondisi ini pun diketahui oleh Cantika, tentu tahu dari mulut Aruna ketika mereka pulang ke rumah."Kamu yakin mau menanyakannya ke dia?" Cantika seolah ragu. Bukan suudzon, tetapi ia juga tidak begitu mengenal sosok Dzaki. Hanya saja, terkadang Kakak dan Adik itu sering memiliki sifat yang sama. Aruna dan Cantika sedang duduk di kursi meja makan, menyantap makan malam berupa mie instan dengan sebutir telur. Rasa mie instan yang pedas karena ditambah saus sambal juga cabai rawit bisa menghangatkan badan di cuaca malam yang dingin. "Aku nggak terlalu yakin, tapi kalau nggak coba. Tentu kita nggak tau apa yang terjadi," jawab Aruna dengan tangan memegang sendok. Mie kuah rasa soto dengan ditambah pula jeruk nipis memang cukup nendang. Terlebih, keadaannya masih panas. Cantika diam, mempertimbangkan niat
"Cepat! Bus harus segera berangkat," jawab si sopir.Aruna segera berbalik badan dan mengambil tempat duduk, sedangkan pria itu juga ikut naik. Entah mengapa perasaan Aruna sedikit tak karuan melihat sosok lelaki yang terakhir naik, seperti sebuah gerbang sedang terbuka untuk menuju satu jalan. "Astagfirullah, aku harus fokus ke diri sendiri." Aruna meluruskan pandangan ke depan dan memantapkan hati untuk tidak terlalu mengikuti hati.***Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa Dzaki sudah ada di depan sebuah ruangan operasi menunggu sang istri melahirkan.Ya, Aruna harus melakukan operasi sesar karena ketuban lebih cepat dahulu pecah dan si bayi belum ada tanda-tanda siap keluar karena baru berusia tiga puluh tujuh minggu. Sebuah keputusan terbaik diambil untuk keselamatan keduanya.Bu Nani dan Pak Arya pun berada di sana, menenangkan Dzaki dengan terus mengingatkan anak bungsunya untuk pasrah pada Yang Maha Kuasa."Istigfar, Nak. Insya Allah, Istri dan anakmu baik-baik saja," ka
Amira pergi ke toko kue dengan diantar sopir. Ia menyuruh lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya tersebut untuk pulang lebih dahulu. Sebab, Aruna berniat seharian berada di sini.Bi Mirna senang bisa melihat Aruna lagi. "Alhamdulillah, Neng sudah membaik," katanya dengan penuh rasa bahagia. Aruna sendiri merasa disambut oleh seorang Ibu. Hangat dan penuh rasa cinta."Maaf, ya, Bi, aku sudah lama tidak datang," imbuh Aruna.Bi Mirna mengelus perut Aruna pelan. "Tidak apa-apa, Neng. Jangan khawatirkan soal toko karena Bibi akan selalu berusaha menjaganya.""Terima kasih, Bi." Aruna memperhatikan sekitar. Semuanya masih sama seperti empat bulan yang lalu. Namun, sekarang ditambah dengan dua karyawan baru yang membantu. Menurut penuturan Bi Mirna, penjualan meningkat drastis di empat bulan terakhir. Aruna yang menerima laporan itu pun cukup senang. Selama ini Bi Mirna hanya melaporkan hasil keuangan ke kantor Dzaki karena tidak berani datang ke rumah Aruna."Bi, aku rindu s
"Makanlah." Dzaki tampak lelah karena berkeliling mencari ramen di tengah malam. Namun, perasaan itu seketika hilang dengan melihat istrinya tersenyum bahagia.Aruna duduk di kursi makan yang berhadapan dengan Dzaki. Menelan ludah ketika melihat kentalnya kuah ramen yang bercampur dengan rasa pedas. "Masya Allah, pasti enak." Mengangkat kepala dan menatap Dzaki. "Terima kasih, Mas."Dzaki ikut tersenyum sambil mengulurkan tangan ke depan dan mengelus pucuk kepala istrinya. "Jangan ragu untuk katakan apa pun keinginanmu selama aku bisa. Ingat, kamu adalah istriku."Aruna mengangguk pelan. Benar-benar definisi diratukan oleh satu raja itu luar biasa bahagianya. "Tapi aku merasa bersalah karena Mas harus keliling untuk dapatkan ini."Tangan Dzaki masih berada di pucuk kepala Aruna. "Apa kamu tidak menganggapku suami?" Kedua pupil mata sontak membesar, lalu diikuti dengan gelengan kepala. "Kalau memang masih menganggap, biarkan aku membahagiakanmu dengan banyak cara. Kamu ratu di sini."H
"Sakitnya seorang Ibu itu nikmat, Sayang. Karena rasa bahagia ada adik bayi lebih besar dibandingkan rasa sakit," jawab Amira. Ia belum sanggup mengungkapkan identitas Abizar. Mungkin menunggu anak itu beranjak remaja saja.Pak Arya dan Bu Nani tidak berkat apa pun. Semua keputusan ada pada diri menantunya. Biarkan saja dahulu, Abizar pun belum tentu bisa memahami.Aruna berada di rumah sakit sekitar tiga hari. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya sendiri dengan dibantu oleh asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Aruna pun belum pergi ke toko. Mempercayakan semuanya pada Bi Marni.***Hari-hari berlalu dan akhirnya kehamilan Aruna menginjak usia enam belas Minggu. Rasa mual dan muntah berangsur membaik dan hanya dirasakan sesekali saja. Begitu pun dengan sakit kepala. Perut Aruna memang belum terlihat buncit karena usia kandungan masih kecil.Setiap harinya selalu ada saja yang diinginkan Aruna. Entah itu makanan ataupun sekadar ingin pergi ke suatu tempat. Selama itu
Aruna menjaga sekali kehamilannya. Tidak peduli rasa mual dan muntah itu semakin menyerang diri, ia terus berusaha untuk melakukan yang terbaik. Seminggu setelah vonis hamil dinyatakan, Aruna sama sekali tidak bisa bangun. Ia bahkan dilarikan ke rumah sakit karena terus menerus muntah yang mengharuskannya mendapatkan perawatan medis. Dzaki setia di samping. Bahkan saat Aruna merasakan mual di pagi hari, lelaki itu sigap untuk membawa sang istri ke kamar mandi."Aku ambilkan minum hangat, ya." Dzaki mendudukan Aruna di kasur. Mereka baru saja keluar dari kamar mandi hampir delapan kali. Wajah Aruna mulai terlihat pucat. Makanan dan minuman yang masuk akan kembali lagi. Lemas rasanya. "Iya, Mas." Aruna pasrah. Sakit ini akan berlalu dan digantikan kebahagiaan bertemu sang buah hati tercinta. Menginjak enam minggu memang masa-masa kritis, sekali pun ada ibu hamil yang memang baru merasakan mual di usia delapan minggu. Namun, ada sebagian lagi juga yang tidak merasakan morning sicknes
"Selamat, Pak. Anda akan segera menjadi ayah." Dokter lelaki menyalami Dzaki. Pemeriksaan dilakukan sekitar dua puluh menit dan hasilnya Aruna positif hamil sekitar empat minggu. "Mungkin setelah ini gejala sakit kepala, mual dan muntahnya bisa saja bertambah parah. Tapi Ibu dan Bapak tidak perlu cemas karena itu hal biasa. Selalu pastikan Ibu mencukupi gizi si janin dan terus minum vitamin yang akan saya resepkan."Dzaki masih belum bergerak sama sekali, sedangkan Aruna terharu dengan mengucap kata syukur."Pak Dzaki baik-baik saja?" Dokter lelaki itu kembali bertanya.Dzaki sadar, kemudian berkata, "Apa benar Dok, kalau istri saya hamil?" Bertanya lagi untuk memastikan."Semuanya akurat dan ini hasilnya." Dokter memberikan isyarat mata pada suster untuk menyimpan hasil tespek di meja. "Garis yang satu memang masih samar, tapi ini sudah bisa membuktikan jika istri Anda hamil. Saya minta kerjasamanya untuk menjaga kandungan Ibu sampai waktu melahirkan nanti."Dzaki masih memegang tang
"Aruna di mana, Bu?" Dzaki langsung ke dapur setelah selesai salat dan mengobrol dengan beberapa tetangga.Bu Nani seketika menoleh. "Katanya tadi perutnya sakit, jadi istrimu masuk kamar. Coba lihat dulu, Nak."Dzaki mengerti. "Baik, Bu." Dengan cepat ke luar dari dapur dan berjalan menapaki anak tangga satu per-satu menuju lantai dua. Suasana hening. Dzaki sempat tersentak ketika melihat kamar almarhum kakaknya, tetapi tidak begitu hanyut. Bergegas masuk kamar sendiri sambil berkata, "Assalamualaikum." Pandangan mata lelaki itu langsung tertuju pada sosok Aruna yang sedang terbaring. "Sayang, kamu baik-baik saja?"Aruna tidak menjawab. Secepat mungkin Dzaki semakin masuk ke kamar. Memeriksa keadaan sang istri. "Sayang, kamu kenapa?" Duduk di tepi ranjang bagian kanan. Barulah Aruna membuka mata. "Kata Ibu, kamu sakit perut. Kita ke dokter saja, ya?" Aruna tersenyum paksa. "Tidak perlu, Mas. Perutku kram, mungkin mau datang bulan."Dzaki diam. Tangan kanannya memegang perut Aruna.
Kepergian Naufal tentu menoreh luka hati untuk semua keluarga. Dzaki dan Aruna pun semakin sering mengunjungi rumah Bu Nani dan Pak Arya untuk sekadar menghibur mereka. Hubungan Aruna dengan keluarga suaminya pun semakin membaik. Bahkan Bu Nani sekarang menganggap Aruna seperti anak perempuan sendiri.Dzaki pun tetap meneruskan penuntutan pada Vanesha dan penulis yang bersangkutan, tetapi tidak melihatnya almarhum kakaknya. Bukan karena tidak bersalah, tetapi Naufal sudah tidak seharusnya dihukum ketika wujudnya saja sudah tidak ada di muka bumi.Aruna setia mendampingi Dzaki selama proses hukum. Vanesha sempat mengelak dan menyudutkan Naufal. Namun, penulis itu justru memberikan bukti rekaman suara di mana Vanesha mengaku jika semua rencana disusun tanpa sepengetahuan Naufal. Proses hukum masih berjalan. Sudah tiga kali Dzaki dipanggil ke kantor polisi dan persidangan pun berlangsung baru dua kali. Mereka akan segera mendapatkan hasil setelah satu kali sidang lagi. Dzaki tenang. Sem
Setelah mendapatkan kabar buruk tersebut, Dzaki sama sekali belum bisa menerima. Tiga hari setelahnya, Dzaki pun dipersilakan pulang oleh dokter. Hanya diwajibkan check up rutin per-dua minggu sekali.Sesuai keinginan Dzaki, setelah keluar dari rumah sakit lelaki itu langsung mengunjungi makam kakaknya dengan ditemani Aruna. Pakaian serba hitam serta kacamata hitam pun menjadi lambang kesedihan pada kedua orang tersebut.Aruna menemani dengan setia. Memayungi Dzaki sejak turun dari mobil sampai berada di depan makam Naufal. Mereka langsung berjongkok. Tak lupa Aruna melipat payung agar tidak memakan tempat.Dzaki menghela napas lelah. Bukan karena harus berjalan untuk sampai sini, melainkan sulit mengontrol diri sedari kemarin. Setelah dirasa sanggup, ia pun mulai berbicara. "Assalamualaikum, Kak. Maaf, baru bisa datang." Aruna melirik Dzaki. Kemudian, mereka membaca doa bersama. Semuanya sudah dilewati, Dzaki pun kembali terdiam. Jelas Aruna juga sama. Suasana pemakaman hening dan s