Naufal tersentak. "Maksudmu apa?" Dzaki menyimpan kotak box kue yang baru saja dibelinya di tempat Aruna. "Sayang, ini ada kue. Kamu mau makan sama Oma?" Tangan kanan Dzaki melambai ke arah Abizar. Tentu saja anak lelaki berusia satu tahun tiga bulan itu bergerak ke arahnya. Abizar memang sudah berjalan, walaupun masih tertatih-tatih. Hanya saja belum bisa berbicara, dalam konteks begitu jelas. Abizar mendekati Dzaki, meminta dipeluk. Jelas saja Dzaki melayani keponakan tercintanya dulu, membawa tubuh mungil Abizar ke pangkuan setelah dirinya berjongkok. "Kamu makan sama Oma dulu, ya. Om mau bicara sama Ayah."Abizar seolah paham, ia melepaskan diri dari Dzaki. Kini bergantian menarik lengan kanan omanya."Bu, aku boleh berbicara berdua saja dengan Kakak?" Dzaki meminta izin.Bu Nani awalnya ragu, takut ada perselisihan di antara kedua putranya. Akan tetapi, lirikan mata Naufal seolah meminta permohonan yang sama juga. "Baiklah." Dengan meraih tangan Abizar, Bu Nani pergi membawa ku
Dzaki diam sebentar, memikirkan jawaban terbaik untuk kakaknya. "Kakak rasa, kamu juga akan berpikir ulang." Naufal sudah bisa menebak jawaban adiknya. Semua pria setelah menikah tentunya sangat mengidamkan bisa menjadi seorang Ayah, begitu pun dengan dirinya. "Jangan terlalu munafik jadi orang karena ikhlas itu sulit. Intinya, jangan dipaksa."Dzaki menemukan jawaban untuk menyerang balik sang kakak. "Kalimat terakhir Kakak itu memang pas untuk Aruna. Ikhlas itu sulit, benar. Tapi, dia justru dipaksa ikhlas untuk menerima semua sakit dari Kakak." Dzaki berdiri. Menatap lekat kedua bola mata kakaknya. "Tujuan pernikahan itu bukan sekadar ingin punya anak saja. Anak itu bonus dan kebahagian kedua belah pihak adalah goals yang harusnya dikejar. Allah kasih anak itu bersyukur, tapi kalau Allah uji dengan tanpa anak, seharusnya tidak menjadikan salah satu pihak berpikiran dangkal."Atmosfer di sekitar mereka terasa panas. Dzaki merasakan aura kemarahan yang terpancar dari tubuh kakaknya.
Setelah bertemu dengan Dzaki, Aruna terus memikirkan sosok Abizar. Semakin ingin bertemu, setidaknya menanyakan kabar anak lelaki itu pada Dzaki mungkin sedikit mengobati rasa rindu.Kondisi ini pun diketahui oleh Cantika, tentu tahu dari mulut Aruna ketika mereka pulang ke rumah."Kamu yakin mau menanyakannya ke dia?" Cantika seolah ragu. Bukan suudzon, tetapi ia juga tidak begitu mengenal sosok Dzaki. Hanya saja, terkadang Kakak dan Adik itu sering memiliki sifat yang sama. Aruna dan Cantika sedang duduk di kursi meja makan, menyantap makan malam berupa mie instan dengan sebutir telur. Rasa mie instan yang pedas karena ditambah saus sambal juga cabai rawit bisa menghangatkan badan di cuaca malam yang dingin. "Aku nggak terlalu yakin, tapi kalau nggak coba. Tentu kita nggak tau apa yang terjadi," jawab Aruna dengan tangan memegang sendok. Mie kuah rasa soto dengan ditambah pula jeruk nipis memang cukup nendang. Terlebih, keadaannya masih panas. Cantika diam, mempertimbangkan niat
Aruna terbangun di tengah malam, sekitar pukul dua dini hari. Perempuan itu bergerak ke kamar mandi, mengambil wudu dan bersiap salat malam. Menikmati bertemu Yang Maha Kuasa di keadaan sunyi adalah hal paling menyenangkan. Orang yang melakukannya jelas akan mendapatkan ketenangan.Di atas hamparan sajadah, Aruna melakukan salat dua rakaat. Kemudian, mengangkat kedua tangan, berdoa dengan perasaan khusuk. Tak terasa air mata mengalir tanpa henti ketika Aruna memutuskan bercerita pada Sang Pemilik Kehidupan. "Ya Rabbi, izinkan aku bertemu Abizar satu kali saja." Hanya itu doa yang selalu dipanjatkan Aruna selama tiga bulan ini. Menginginkan hal yang dianggap sepele untuk orang lain, tetapi berharga bagi dirinya.Setelah salat, Aruna sendiri tidak langsung tidur. Memilih untuk berdzikir sampai masuk salat Subuh. Cantika terbangun, bergabung dengan Aruna untuk salat Subuh dan mereka pun bersiap mengawali hari ini.Cantika masuk kerja pagi hari, sedangkan Aruna sendiri juga harus membuka
"Terima kasih kuenya, Mbak. Saya pamit." Wanita muda itu keluar menuntun anak lelakinya. Melewati Dzaki yang masih diam di tempat. Tak ada pelanggan lain, hanya tinggal Dzaki di sana.Aruna terdiam, kemudian berkata, "Selamat datang. Apa ada yang bisa aku bantu?" Seperti halnya pada pelanggan yang lain, Aruna pun menyambut Dzaki.Dzaki masih bergeming. Beberapa detik kemudian barulah melangkah ke depan, mendekati Aruna dengan pandangan mata yang tak bisa lenyap dari sosok itu. "Sebaiknya kamu hapus air matamu sebelum pelanggan lain melihatnya. Bukankah menyambut pelanggan itu harus dengan wajah bahagia?"Aruna tersentak. Tangan kanan langsung menghapus jejak air mata di kedua pipi. Ah, ternyata sesulit itu menahan cairan bening ini untuk tidak keluar. Dzaki melirik etalase, kue incarannya sudah habis. Padahal Abizar dan keluarganya sangat menyukai itu. "Apa aku kehabisan cupcake strawberry hari ini?" Melirik Aruna lagi.Aruna tersadar, menoleh ke belakang. Benar juga, kue jenis itu s
Aruna kembali membuat cupcake agar bisa mengantarkannya pada Dzaki. Alamat yang diberikan mantan adik iparnya itu lumayan dekat dengan kantor milik Naufal, tak masalah. Sesuai pesanan sebelumnya, Aruna membuat cupcake dengan jumlah yang sudah disetujui. Untung saja Aruna sanggup melakukannya sendiri. Namun, perempuan itu tidak bisa membuat kue yang lain hari ini. Tak apa-apa, setidaknya bisa memberikan layanan terbaik untuk satu pelanggan lebih dahulu.Cupcake siap. Aruna membungkusnya dalam empat box yang masing berisi sepuluh buah. Tak lupa perempuan itu pun menutup sementara toko, anggap saja ini juga sebagai bentuk jalan-jalan setelah lama hanya berdiam diri di toko dan rumah saja.Dengan mengenakan gamis berwarna biru muda serta pashmina coklat muda, Aruna menenteng dua plastik putih besar yang berisi masing-masing dua kotak. Demi menghemat biaya kirim, ia sendiri memilih menggunakan bus dalam kota. Aruna menunggu bus di halte, tas selempang kecil berada di depan, mempermanis pe
Dua bola mata milik seorang lelaki menatap Aruna dengan sedikit kebencian. Pertemuan pertama setelah hakim mengetuk palu dan mengabulkan permintaan cerai mereka. Naufal, benar itu dia. Kedua kakinya berjalan menghampiri Aruna yang hendak menuju lift. Lelaki itu pun berdiri di depan mantan istri pertamanya tersebut. "Ternyata aku tidak salah melihat, itu kamu."Aruna diam di tempat.Naufal melirik plastik putih di kedua tangan Aruna, benar itu brand yang sama dengan yang dibawa Dzaki kemarin. Rupanya sang adik tidak berbohong. "Apa kabar? Apa hari-harimu lebih baik setelah bercerai denganku?" Seolah menghina, Naufal langsung bertanya.Dada Aruna naik turun menahan desakan emosi yang kapan saja bisa meledak. Namun, perempuan itu memahami jika memang ada gunanya marah pada Naufal. Perceraian itu disetujui oleh dua belah pihak akhirnya. "Seperti yang Kakak lihat, aku baik. Dan, aku pastikan akan semakin baik setelah berpisah dengan Kakak."Naufal menatap semakin lekat Aruna. Jawaban manta
"Karena sekarang kita bukan lagi keluarga. Aku bukan lagi adik iparmu dan tentunya kamu bukan lagi kakak iparku," jawab Dzaki dengan cepat.Ada keheranan di otak Aruna. Rasanya janggal, tetapi itu juga kenyataan. Memang tidak ada lagi ikatan di antara mereka, terlebih dahulu pun mereka hanya terhubung karena Aruna menikahi Naufal.Aruna kembali sadar, menarik diri ke dunia nyata. Terlalu jauh dirinya terbang sampai rasanya lupa pulang. Perempuan itu menyodorkan barang bawaannya ke arah Dzaki, tujuan utama. "Ini adalah pesananmu. Semuanya sesuai dengan apa yang kamu inginkan."Dzaki lantas tidak langsung mengambil, melihat bagaimana Aruna berusaha keras untuk bisa terus tetap tenang."Aku menepati janjiku. Dan, sebelumnya terima kasih karena kamu begitu antusias dengan kue buatanku. Aku harap tidak mengecewakan kamu dalam bentuk apa pun," lanjut Aruna.Sekitar dua menit, Aruna mengulurkan tangannya agar Dzaki bisa mengambil alih barang bawaan. Namun, pria itu justru terdiam seolah tida