"Terima kasih kuenya, Mbak. Saya pamit." Wanita muda itu keluar menuntun anak lelakinya. Melewati Dzaki yang masih diam di tempat. Tak ada pelanggan lain, hanya tinggal Dzaki di sana.Aruna terdiam, kemudian berkata, "Selamat datang. Apa ada yang bisa aku bantu?" Seperti halnya pada pelanggan yang lain, Aruna pun menyambut Dzaki.Dzaki masih bergeming. Beberapa detik kemudian barulah melangkah ke depan, mendekati Aruna dengan pandangan mata yang tak bisa lenyap dari sosok itu. "Sebaiknya kamu hapus air matamu sebelum pelanggan lain melihatnya. Bukankah menyambut pelanggan itu harus dengan wajah bahagia?"Aruna tersentak. Tangan kanan langsung menghapus jejak air mata di kedua pipi. Ah, ternyata sesulit itu menahan cairan bening ini untuk tidak keluar. Dzaki melirik etalase, kue incarannya sudah habis. Padahal Abizar dan keluarganya sangat menyukai itu. "Apa aku kehabisan cupcake strawberry hari ini?" Melirik Aruna lagi.Aruna tersadar, menoleh ke belakang. Benar juga, kue jenis itu s
Aruna kembali membuat cupcake agar bisa mengantarkannya pada Dzaki. Alamat yang diberikan mantan adik iparnya itu lumayan dekat dengan kantor milik Naufal, tak masalah. Sesuai pesanan sebelumnya, Aruna membuat cupcake dengan jumlah yang sudah disetujui. Untung saja Aruna sanggup melakukannya sendiri. Namun, perempuan itu tidak bisa membuat kue yang lain hari ini. Tak apa-apa, setidaknya bisa memberikan layanan terbaik untuk satu pelanggan lebih dahulu.Cupcake siap. Aruna membungkusnya dalam empat box yang masing berisi sepuluh buah. Tak lupa perempuan itu pun menutup sementara toko, anggap saja ini juga sebagai bentuk jalan-jalan setelah lama hanya berdiam diri di toko dan rumah saja.Dengan mengenakan gamis berwarna biru muda serta pashmina coklat muda, Aruna menenteng dua plastik putih besar yang berisi masing-masing dua kotak. Demi menghemat biaya kirim, ia sendiri memilih menggunakan bus dalam kota. Aruna menunggu bus di halte, tas selempang kecil berada di depan, mempermanis pe
Dua bola mata milik seorang lelaki menatap Aruna dengan sedikit kebencian. Pertemuan pertama setelah hakim mengetuk palu dan mengabulkan permintaan cerai mereka. Naufal, benar itu dia. Kedua kakinya berjalan menghampiri Aruna yang hendak menuju lift. Lelaki itu pun berdiri di depan mantan istri pertamanya tersebut. "Ternyata aku tidak salah melihat, itu kamu."Aruna diam di tempat.Naufal melirik plastik putih di kedua tangan Aruna, benar itu brand yang sama dengan yang dibawa Dzaki kemarin. Rupanya sang adik tidak berbohong. "Apa kabar? Apa hari-harimu lebih baik setelah bercerai denganku?" Seolah menghina, Naufal langsung bertanya.Dada Aruna naik turun menahan desakan emosi yang kapan saja bisa meledak. Namun, perempuan itu memahami jika memang ada gunanya marah pada Naufal. Perceraian itu disetujui oleh dua belah pihak akhirnya. "Seperti yang Kakak lihat, aku baik. Dan, aku pastikan akan semakin baik setelah berpisah dengan Kakak."Naufal menatap semakin lekat Aruna. Jawaban manta
"Karena sekarang kita bukan lagi keluarga. Aku bukan lagi adik iparmu dan tentunya kamu bukan lagi kakak iparku," jawab Dzaki dengan cepat.Ada keheranan di otak Aruna. Rasanya janggal, tetapi itu juga kenyataan. Memang tidak ada lagi ikatan di antara mereka, terlebih dahulu pun mereka hanya terhubung karena Aruna menikahi Naufal.Aruna kembali sadar, menarik diri ke dunia nyata. Terlalu jauh dirinya terbang sampai rasanya lupa pulang. Perempuan itu menyodorkan barang bawaannya ke arah Dzaki, tujuan utama. "Ini adalah pesananmu. Semuanya sesuai dengan apa yang kamu inginkan."Dzaki lantas tidak langsung mengambil, melihat bagaimana Aruna berusaha keras untuk bisa terus tetap tenang."Aku menepati janjiku. Dan, sebelumnya terima kasih karena kamu begitu antusias dengan kue buatanku. Aku harap tidak mengecewakan kamu dalam bentuk apa pun," lanjut Aruna.Sekitar dua menit, Aruna mengulurkan tangannya agar Dzaki bisa mengambil alih barang bawaan. Namun, pria itu justru terdiam seolah tida
"Karena dia anakku juga!" Aruna menjawab dengan tegas. Tidak peduli bagaimana silsilah Abizar, ia akan tetap menganggap anak lelaki itu buah hatinya. "Aku ingin bertemu dengannya, sekali saja. Tapi, kakakmu tidak pernah mengizinkan."Dzaki bergeming. Mendengarkan keluh kesah Aruna dengan baik, tanpa berniat menyela.Aruna berusaha menetralisir perasaan yang campur aduk serta mengelolanya agar tetap baik-baik saja. Perempuan manis itu menghela napas kasar, terlalu banyak aura negatif yang bisa saja merasuki jiwanya. "Sepertinya aku salah orang untuk menanyakan tentang Abizar, maaf." Aruna menarik kedua sudut bibir supaya membentuk senyuman kecil. Kembali berbalik badan, merasa sudah seharusnya pergi dari sana."Dia baik." Dzaki membuka mulut. Melihat sorot mata Aruna yang penuh kerinduaan membuat lelaki itu merasa iba. Cinta kasih seorang Ibu itu nyata dan tidak bisa diragukan lagi. "Kakak akan segera menikah lagi dan tentunya Abizar pun akan mendapatkan ibu sambung."Kabar itu mengeju
Dzaki, Aruna dan Abizar duduk di bangku yang disediakan. Aruna menyuapi Abizar dengan bolu gulung sambil memangku anak itu."Kamu sepertinya kurus, Nak." Aruna memperhatikan Abizar. Dzaki melirik. "Dia sedang kurang makan akhir-akhir ini. Kemarin pun cuma makan dua cupcake buatanmu saja.""Pantas saja." Aruna dengan telaten menyuapi kembali Abizar. Mimpinya bisa terwujud, kerinduannya tersalurkan dengan baik. Ini semua berkat izin Yang Maha Kuasa serta bantuan Dzaki.Semana anak yang masih sangat kecil, Abizar makan dengan blepotan. Namun, Aruna tidak pernah merasa risih. Aruna mengambil tisu, mengelap bibir Abizar. "Nanti gantengnya hilang kalau makannya belepotan." Dzaki memperhatikan, melihat bagaimana interaksi itu terjadi tanpa adanya ikatan darah. Sungguh … hal yang sukar terjadi. Terkadang yang satu darah pun tidak seperti ini. Memang tak semuanya, tetapi ada kejadian demikian."Pernikahan ayahnya Abizar akan segera dilakukan. Kami sekeluarga saja tidak tau kalau Kakak memili
"Tidak bisa aku pungkiri kalau semua mimpiku untuk bisa memeluk bayi mungil itu berkat Niken. Aku bisa menikmati peran menjadi ibu." Aruna tersenyum manis. "Aku selalu berdoa semoga Almarhum Niken diampuni dosanya dan ditempatkan di tempat paling baik. Aamiin.""Aamiin." Dzaki tak bisa berkata-kata lagi setelah itu. Tak berapa lama lima pelanggan datang, Aruna berdiri dan melepaskan Abizar. Menyambut pelanggan lain.Sejak saat itu, Aruna sering bertemu Abizar. Minimal seminggu sekali anak manis itu dibawa Dzaki untuk makan kue langsung. Abizar tampak senang, tak ada satu pun yang tahu. Termasuk Naufal dan orang tuanya. Tentu hal ini membuat hari-hari Aruna lebih berwarna. Hanya saja, demi menghindari tuduhan pemaksaan, Aruna tidak berani membawa Abizar keluar toko. Bertemu di sana pun, sudah mengobati rasa rindunya.***Dua tahun berlalu, Aruna sendiri masih sendiri. Menikmati berbagai hari dengan kehadiran Abizar yang sudah semakin tumbuh besar. Usia anak lelaki itu kini tiga tahun s
"Ada apa ini?" tanya Dzaki sambil berjalan mendekati Naufal. Abizar mengikutinya, anak itu terdiam. Naufal menoleh ke belakang, menatap Dzaki lekat. "Seperti yang kamu lihat, kita akan bercerai!" Nada bicara Naufal penuh ketegasan.Dzaki terbayang akan Aruna, mungkinkah hal ini pun terjadi di masa lalu perempuan itu? Melihat perangai kakaknya yang keras dan selalu tidak ingin mengalah, bisa saja.Istrinya Naufal meninggalkan mereka, keputusannya sudah bulat. Abizar yang melihat itu menangis, tidak tahu apa pun.Dzaki dengan sigap menggendong Abizar, menatap tajam Naufal. "Selesaikan urusan pribadi dengan kepala dingin. Kalau Kakak tetap seperti ini, aku rasa tidak perlu mengasuh Abizar lagi!" Dzaki segera angkat kaki dari sana. Tidak peduli bagaimana tanggapan Naufal, yang terpenting bisa menyelamatkan Abizar saja.Dzaki kembali masuk mobil. Menenangkan Abizar yang menangis karena takut juga. "Jangan nangis, Sayang. Ayah sama Bunda pasti baik-baik juga." Mendudukan Abizar di kursi d