"Karena sekarang kita bukan lagi keluarga. Aku bukan lagi adik iparmu dan tentunya kamu bukan lagi kakak iparku," jawab Dzaki dengan cepat.Ada keheranan di otak Aruna. Rasanya janggal, tetapi itu juga kenyataan. Memang tidak ada lagi ikatan di antara mereka, terlebih dahulu pun mereka hanya terhubung karena Aruna menikahi Naufal.Aruna kembali sadar, menarik diri ke dunia nyata. Terlalu jauh dirinya terbang sampai rasanya lupa pulang. Perempuan itu menyodorkan barang bawaannya ke arah Dzaki, tujuan utama. "Ini adalah pesananmu. Semuanya sesuai dengan apa yang kamu inginkan."Dzaki lantas tidak langsung mengambil, melihat bagaimana Aruna berusaha keras untuk bisa terus tetap tenang."Aku menepati janjiku. Dan, sebelumnya terima kasih karena kamu begitu antusias dengan kue buatanku. Aku harap tidak mengecewakan kamu dalam bentuk apa pun," lanjut Aruna.Sekitar dua menit, Aruna mengulurkan tangannya agar Dzaki bisa mengambil alih barang bawaan. Namun, pria itu justru terdiam seolah tida
"Karena dia anakku juga!" Aruna menjawab dengan tegas. Tidak peduli bagaimana silsilah Abizar, ia akan tetap menganggap anak lelaki itu buah hatinya. "Aku ingin bertemu dengannya, sekali saja. Tapi, kakakmu tidak pernah mengizinkan."Dzaki bergeming. Mendengarkan keluh kesah Aruna dengan baik, tanpa berniat menyela.Aruna berusaha menetralisir perasaan yang campur aduk serta mengelolanya agar tetap baik-baik saja. Perempuan manis itu menghela napas kasar, terlalu banyak aura negatif yang bisa saja merasuki jiwanya. "Sepertinya aku salah orang untuk menanyakan tentang Abizar, maaf." Aruna menarik kedua sudut bibir supaya membentuk senyuman kecil. Kembali berbalik badan, merasa sudah seharusnya pergi dari sana."Dia baik." Dzaki membuka mulut. Melihat sorot mata Aruna yang penuh kerinduaan membuat lelaki itu merasa iba. Cinta kasih seorang Ibu itu nyata dan tidak bisa diragukan lagi. "Kakak akan segera menikah lagi dan tentunya Abizar pun akan mendapatkan ibu sambung."Kabar itu mengeju
Dzaki, Aruna dan Abizar duduk di bangku yang disediakan. Aruna menyuapi Abizar dengan bolu gulung sambil memangku anak itu."Kamu sepertinya kurus, Nak." Aruna memperhatikan Abizar. Dzaki melirik. "Dia sedang kurang makan akhir-akhir ini. Kemarin pun cuma makan dua cupcake buatanmu saja.""Pantas saja." Aruna dengan telaten menyuapi kembali Abizar. Mimpinya bisa terwujud, kerinduannya tersalurkan dengan baik. Ini semua berkat izin Yang Maha Kuasa serta bantuan Dzaki.Semana anak yang masih sangat kecil, Abizar makan dengan blepotan. Namun, Aruna tidak pernah merasa risih. Aruna mengambil tisu, mengelap bibir Abizar. "Nanti gantengnya hilang kalau makannya belepotan." Dzaki memperhatikan, melihat bagaimana interaksi itu terjadi tanpa adanya ikatan darah. Sungguh … hal yang sukar terjadi. Terkadang yang satu darah pun tidak seperti ini. Memang tak semuanya, tetapi ada kejadian demikian."Pernikahan ayahnya Abizar akan segera dilakukan. Kami sekeluarga saja tidak tau kalau Kakak memili
"Tidak bisa aku pungkiri kalau semua mimpiku untuk bisa memeluk bayi mungil itu berkat Niken. Aku bisa menikmati peran menjadi ibu." Aruna tersenyum manis. "Aku selalu berdoa semoga Almarhum Niken diampuni dosanya dan ditempatkan di tempat paling baik. Aamiin.""Aamiin." Dzaki tak bisa berkata-kata lagi setelah itu. Tak berapa lama lima pelanggan datang, Aruna berdiri dan melepaskan Abizar. Menyambut pelanggan lain.Sejak saat itu, Aruna sering bertemu Abizar. Minimal seminggu sekali anak manis itu dibawa Dzaki untuk makan kue langsung. Abizar tampak senang, tak ada satu pun yang tahu. Termasuk Naufal dan orang tuanya. Tentu hal ini membuat hari-hari Aruna lebih berwarna. Hanya saja, demi menghindari tuduhan pemaksaan, Aruna tidak berani membawa Abizar keluar toko. Bertemu di sana pun, sudah mengobati rasa rindunya.***Dua tahun berlalu, Aruna sendiri masih sendiri. Menikmati berbagai hari dengan kehadiran Abizar yang sudah semakin tumbuh besar. Usia anak lelaki itu kini tiga tahun s
"Ada apa ini?" tanya Dzaki sambil berjalan mendekati Naufal. Abizar mengikutinya, anak itu terdiam. Naufal menoleh ke belakang, menatap Dzaki lekat. "Seperti yang kamu lihat, kita akan bercerai!" Nada bicara Naufal penuh ketegasan.Dzaki terbayang akan Aruna, mungkinkah hal ini pun terjadi di masa lalu perempuan itu? Melihat perangai kakaknya yang keras dan selalu tidak ingin mengalah, bisa saja.Istrinya Naufal meninggalkan mereka, keputusannya sudah bulat. Abizar yang melihat itu menangis, tidak tahu apa pun.Dzaki dengan sigap menggendong Abizar, menatap tajam Naufal. "Selesaikan urusan pribadi dengan kepala dingin. Kalau Kakak tetap seperti ini, aku rasa tidak perlu mengasuh Abizar lagi!" Dzaki segera angkat kaki dari sana. Tidak peduli bagaimana tanggapan Naufal, yang terpenting bisa menyelamatkan Abizar saja.Dzaki kembali masuk mobil. Menenangkan Abizar yang menangis karena takut juga. "Jangan nangis, Sayang. Ayah sama Bunda pasti baik-baik juga." Mendudukan Abizar di kursi d
Naufal terpancing emosi. Bisa-bisanya sang adik berpikiran ke arah sana. "Kamu menuduh Kakak yang mandul?" Tatapan Naufal tajam.Dzaki menghadapinya dengan tenang. "Aku bukan menuduh, tapi alangkah baiknya Kakak melakukan pemeriksaan juga." Menjelaskan dari sisi lain. "Kalaupun seandainya bukan Kakak yang mandul, Kakak bisa sedikit membela diri dengan keputusan menceraikan Aruna dan juga istri yang sekarang. Masalahnya, kalau Kakak ternyata yang bermasalah, apa itu sama saja menyakiti mereka?" "Dzaki, mana mungkin kakakmu itu mandul." Bu Nani membela anak sulungnya. Tidak ada keturunan demikian dari keluarga besarnya, tentu Bu Nani tidak akan percaya begitu saja. "Jangan mengada-ngada, Nak. Ibu yakin kalau kakakmu itu baik-baik saja."Pak Arya bergeming, saran dari Dzaki memang tidak ada salahnya. Mungkin bisa saja Naufal yang bermasalah. Jika demikian, lantas Abizar ini anak siapa? "Dia terlalu berpikir jauh, Bu. Aku ini baik-baik saja, mereka saja yang mandul. Lihat Niken, dia jel
Keesokan harinya Naufal benar-benar mengikuti arahan Dzaki. Mungkin dengan cara ini, hati lelaki yang akan menginjak kepala tiga itu lebih tenang. Semoga saja tidak sampai menghasilkan hal di luar dugaan.Naufal pergi ke rumah sakit yang sama yang sama saya bersama Aruna. Bahkan suster dan dokter perempuannya pun, sama. Mungkin sudah takdir.Selama pemerikasaan, suster perempuan itu seperti gugup. Sorot matanya saja mengisyaratkan seolah memiliki salah. Namun, tidak dengan dokter perempuan yang menangani Naufal."Saya ingin hasil testnya seakurat mungkin dan tidak boleh ada kesalahan sedikit pun!" Naufal menekankan hal itu pada kedua wanita yang bekerja di bidang kesehatan.Suster perempuan menelan ludah, masih mengingat betul kemarahan Naufal saat membawa istrinya empat tahun lalu. Menakutkan juga.Dokter perempuan itu tersenyum tipis. "Baik, akan saya pastikan hasilnya sekitar tiga hari. Pak Naufal bisa menunggu dengan baik di rumah."Naufal menyetujui sambil berdiri. "Hubungi saya
Setelah hari itu, Dzaki belum datang lagi ke toko. Aruna cemas, meyakinkan diri untuk menghubungi pria yang dikenalnya sebagai mantan adik ipar dulu. Kerinduan terhadap Abizar menumpuk di jiwa, sudah ingin memeluk anak manis itu. Aruna beristirahat setelah membuat dua jenis kue serta melayani empat pelanggan. Duduk di kursi kasir sambil memegang ponsel. Ragu, tetapi penasaran. Ke manakah Dzaki pergi? Bukan Dzakinya yang ditunggu, melainkan Abizar. Namun, perantaranya tentu Dzaki."Apa aku hubungi saja, ya." Aruna bimbang. Beberapa kali menimbang hal ini agar tidak menyesal di lain hari.Satu, dua, tiga, sampai lima menit Aruna terus berpikir keras. Mencari jalan terbaik dan sama sekali tidak menemukan apa pun, kecuali menghubungi Dzaki. Perempuan itu menghela napas kasar, membulatkan tekad. Pandangan Aruna fokus pada layar ponsel, mencari nomor kontak Dzaki yang memang sudah disimpannya dari pertemuan kedua dengan Abizar. Cukup memudahkan dalam memberitahu keadaan anak lelaki itu.A