Naufal terpancing emosi. Bisa-bisanya sang adik berpikiran ke arah sana. "Kamu menuduh Kakak yang mandul?" Tatapan Naufal tajam.Dzaki menghadapinya dengan tenang. "Aku bukan menuduh, tapi alangkah baiknya Kakak melakukan pemeriksaan juga." Menjelaskan dari sisi lain. "Kalaupun seandainya bukan Kakak yang mandul, Kakak bisa sedikit membela diri dengan keputusan menceraikan Aruna dan juga istri yang sekarang. Masalahnya, kalau Kakak ternyata yang bermasalah, apa itu sama saja menyakiti mereka?" "Dzaki, mana mungkin kakakmu itu mandul." Bu Nani membela anak sulungnya. Tidak ada keturunan demikian dari keluarga besarnya, tentu Bu Nani tidak akan percaya begitu saja. "Jangan mengada-ngada, Nak. Ibu yakin kalau kakakmu itu baik-baik saja."Pak Arya bergeming, saran dari Dzaki memang tidak ada salahnya. Mungkin bisa saja Naufal yang bermasalah. Jika demikian, lantas Abizar ini anak siapa? "Dia terlalu berpikir jauh, Bu. Aku ini baik-baik saja, mereka saja yang mandul. Lihat Niken, dia jel
Keesokan harinya Naufal benar-benar mengikuti arahan Dzaki. Mungkin dengan cara ini, hati lelaki yang akan menginjak kepala tiga itu lebih tenang. Semoga saja tidak sampai menghasilkan hal di luar dugaan.Naufal pergi ke rumah sakit yang sama yang sama saya bersama Aruna. Bahkan suster dan dokter perempuannya pun, sama. Mungkin sudah takdir.Selama pemerikasaan, suster perempuan itu seperti gugup. Sorot matanya saja mengisyaratkan seolah memiliki salah. Namun, tidak dengan dokter perempuan yang menangani Naufal."Saya ingin hasil testnya seakurat mungkin dan tidak boleh ada kesalahan sedikit pun!" Naufal menekankan hal itu pada kedua wanita yang bekerja di bidang kesehatan.Suster perempuan menelan ludah, masih mengingat betul kemarahan Naufal saat membawa istrinya empat tahun lalu. Menakutkan juga.Dokter perempuan itu tersenyum tipis. "Baik, akan saya pastikan hasilnya sekitar tiga hari. Pak Naufal bisa menunggu dengan baik di rumah."Naufal menyetujui sambil berdiri. "Hubungi saya
Setelah hari itu, Dzaki belum datang lagi ke toko. Aruna cemas, meyakinkan diri untuk menghubungi pria yang dikenalnya sebagai mantan adik ipar dulu. Kerinduan terhadap Abizar menumpuk di jiwa, sudah ingin memeluk anak manis itu. Aruna beristirahat setelah membuat dua jenis kue serta melayani empat pelanggan. Duduk di kursi kasir sambil memegang ponsel. Ragu, tetapi penasaran. Ke manakah Dzaki pergi? Bukan Dzakinya yang ditunggu, melainkan Abizar. Namun, perantaranya tentu Dzaki."Apa aku hubungi saja, ya." Aruna bimbang. Beberapa kali menimbang hal ini agar tidak menyesal di lain hari.Satu, dua, tiga, sampai lima menit Aruna terus berpikir keras. Mencari jalan terbaik dan sama sekali tidak menemukan apa pun, kecuali menghubungi Dzaki. Perempuan itu menghela napas kasar, membulatkan tekad. Pandangan Aruna fokus pada layar ponsel, mencari nomor kontak Dzaki yang memang sudah disimpannya dari pertemuan kedua dengan Abizar. Cukup memudahkan dalam memberitahu keadaan anak lelaki itu.A
Saran Aruna diterima baik. Lelaki itu membeli apa yang sudah direkomendasi. Tentunya hal ini menjadikan rasa percaya diri Aruna meningkat dua kali lipat bersamaan dengan rasa bahagianya juga. Semoga kue buatannya bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain.Mengingat sudah masuk waktu makan siang, Aruna memesan makanan dari online. Sebuah menu dari olahan ayam yang sangat diinginkannya siang ini.Sambil menunggu, tentu Aruna melayani pelanggan yang datang. Caranya yang sopan dan juga penuh cinta, membuat beberapa pelanggan sangat senang berbelanja di tokonya.Sesekali Aruna mengecek ponsel, barang kali ada pesan dari Dzaki. Namun, nihil. lelaki itu sama sekali tidak membacanya. Timbul perasaan cemas, mungkinkah Dzaki sakit? Jika benar, semoga saja cepat sembuh.Aruna berdiri di dekat etalase dengan memegang ponsel. Absennya Dzaki belakangan ini tidak dipungkiri mengusik pikiran Aruna. Mengantarkan Aruna pada perkataan Cantika beberapa hari lalu. Tidak mungkin! Ia hanya menganggap Dzak
Tak boleh ada yang berubah. Siapa pun berhak datang ke toko kue ini, termasuk mantan suaminya. Aruna mengembangkan senyum kecil, semana biasanya. "Silakan dilihat-lihat dulu, Mas. Mungkin ada yang disuka." Aruna berjalan lagi ke depan, niatnya tidak boleh hilang karena kue di oven bisa saja gosong.Cantika menegakkan kepala, melirik ke pintu masuk dan berdiri. "Untuk apa kamu ke sini?" Langsung bertanya dengan nada penuh kekesalan pada Naufal. Aruna mendengar dari dapur. Namun, perempuan itu sedang melakukan tugasnya.Naufal datang ke tempat ini setelah menelusuri jejak Aruna. Ia sengaja, tetapi punya tujuan pula. Membeli kue yang sering dimakan anaknya dari dua tahun lalu. "Apa toko ini memilah-milih pelanggan yang datang?" Naufal bergerak ke depan, tepatnya ke arah etalase. Tangan kanan Cantika mengepal, menahan amarah yang bisa saja meledak. "Aku rasa, semua pemilik toko akan menolak orang yang sudah menyakitinya."Naufal berhenti di depan etalase yang dipenuhi oleh cupcake. Rupa
"Karena jelas saja itu membuat kesalahan dua kali. Kecuali, memang orang itu terlalu bodoh!" Aruna sengaja memberikan penekanan di kalimatnya yang sekarang.Cantika mengacungi jempol pada Aruna. Memang seharusnya demikian dalam menghadapi pembuat rasa sakit. Sesekali perlu dilawan dengan benar.Naufal tersentak. Akan tetapi, lelaki itu bersikap sebisa mungkin tenang. "Bungkuskan lima cupcake strawberry dengan kue telang coklat itu. Saya diburu waktu." Saat ini Naufal merasa terpojok dengan kalimat Aruna. Merasa tersisihkan sebelum berperang."Baik, tunggu sebentar." Aruna bersikap biasa saja. Baginya Naufal adalah masa lalu yang sudah seharusnya dikubur dan jangan diungkit lagi. Kemudian, sudah sepantasnya menganggap Naufal adalah orang lain karena hubungan mereka sudah berakhir dua tahun silam.***Dzaki merasakan seluruh tubuhnya terasa panas tinggi setelah sebuah kenyataan menyapa kedua telinga beberapa hari yang lalu. Hasil tes yang mengejutkan dan akhirnya menimbulkan banyak kega
"Tolong, jangan mengalihkan topik pembicaraan, Bu." Dzaki mengelus rambut Abizar. Menaikkannya ke pangkuan. "Aku harap, Ibu tidak terlalu kejam ke Abizar. Bagaimanapun anak ini sudah memberikan kebahagiaan untuk keluarga kita. Nyatanya anak Ibu yang paling gagah itu ternyata adalah luka bagi wanita yang pernah dinikahinya."Niat Dzaki untuk mengambil air hilang. Gelas itu juga dibiarkan kosong dan pergi membawa Abizar ke lantai atas. Bukan Dzaki tidak berani membawa Abizar keluar dari rumah ini, hanya saja ia masih menghormati sosok kakaknya yang terlihat lebih waras dari orang tuanya. Masih mau membawakan makanan kesukaan anak itu, walaupun tidak sudi melihat wajah Abizar.Dzaki masuk kamar Abizar. Mendudukkan anak itu di tepi ranjang dan berkata, "Tunggu Om sembuh, kita pergi ke toko Ibu, ya. Kamu mau makan kue, kan?" Abizar mengangguk pelan. "Nenek jahat, Om." Suara tangis Abizar masih terdengar, sekali pun tidak sekuat tadi. Pandangan anak itu tidak seceria biasa, kasihan memang.
Aruna selesai membungkus pesanan seorang pembeli ketika ponselnya berbunyi. Perempuan itu sesegera mungkin melihat benda pipih nan canggih tersebut yang ada di meja kasir. Rupanya dari Dzaki. Cukup melegakan karena pria itu membalas.Aruna terdiam. Naufal tidak berbohong, mantan adik iparnya itu memang sakit. Cantika menghampiri, memperhatikan Aruna dan berkata, "Kamu masih kepikiran soal Naufal tadi?" Aruna terkejut, menoleh ke samping. Kembali menyimpan ponsel di tempat semula. Menarik laci kecil, tempat di mana uang berada. Sudah waktunya menghitung laba sampai menjelang magrib. "Tidak. Aku cuma sedikit lelah saja."Cantika tidak percaya. Wanita yang berdiri di samping kanan Aruna itu mencondongkan badan ke arah Aruna dan berbisik, "Apa kamu kepikiran soal Dzaki yang sakit?"Kedua pupil mata Aruna membesar. Pertanyaan macam apa ini? Terlalu merembet ke hal privasi. "Aku tidak memikirkannya. Itu, kan, wajar. Manusia memang bukan terbuat dari robot, jadi pasti ada masa sakitnya."Ca