Saran Aruna diterima baik. Lelaki itu membeli apa yang sudah direkomendasi. Tentunya hal ini menjadikan rasa percaya diri Aruna meningkat dua kali lipat bersamaan dengan rasa bahagianya juga. Semoga kue buatannya bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain.Mengingat sudah masuk waktu makan siang, Aruna memesan makanan dari online. Sebuah menu dari olahan ayam yang sangat diinginkannya siang ini.Sambil menunggu, tentu Aruna melayani pelanggan yang datang. Caranya yang sopan dan juga penuh cinta, membuat beberapa pelanggan sangat senang berbelanja di tokonya.Sesekali Aruna mengecek ponsel, barang kali ada pesan dari Dzaki. Namun, nihil. lelaki itu sama sekali tidak membacanya. Timbul perasaan cemas, mungkinkah Dzaki sakit? Jika benar, semoga saja cepat sembuh.Aruna berdiri di dekat etalase dengan memegang ponsel. Absennya Dzaki belakangan ini tidak dipungkiri mengusik pikiran Aruna. Mengantarkan Aruna pada perkataan Cantika beberapa hari lalu. Tidak mungkin! Ia hanya menganggap Dzak
Tak boleh ada yang berubah. Siapa pun berhak datang ke toko kue ini, termasuk mantan suaminya. Aruna mengembangkan senyum kecil, semana biasanya. "Silakan dilihat-lihat dulu, Mas. Mungkin ada yang disuka." Aruna berjalan lagi ke depan, niatnya tidak boleh hilang karena kue di oven bisa saja gosong.Cantika menegakkan kepala, melirik ke pintu masuk dan berdiri. "Untuk apa kamu ke sini?" Langsung bertanya dengan nada penuh kekesalan pada Naufal. Aruna mendengar dari dapur. Namun, perempuan itu sedang melakukan tugasnya.Naufal datang ke tempat ini setelah menelusuri jejak Aruna. Ia sengaja, tetapi punya tujuan pula. Membeli kue yang sering dimakan anaknya dari dua tahun lalu. "Apa toko ini memilah-milih pelanggan yang datang?" Naufal bergerak ke depan, tepatnya ke arah etalase. Tangan kanan Cantika mengepal, menahan amarah yang bisa saja meledak. "Aku rasa, semua pemilik toko akan menolak orang yang sudah menyakitinya."Naufal berhenti di depan etalase yang dipenuhi oleh cupcake. Rupa
"Karena jelas saja itu membuat kesalahan dua kali. Kecuali, memang orang itu terlalu bodoh!" Aruna sengaja memberikan penekanan di kalimatnya yang sekarang.Cantika mengacungi jempol pada Aruna. Memang seharusnya demikian dalam menghadapi pembuat rasa sakit. Sesekali perlu dilawan dengan benar.Naufal tersentak. Akan tetapi, lelaki itu bersikap sebisa mungkin tenang. "Bungkuskan lima cupcake strawberry dengan kue telang coklat itu. Saya diburu waktu." Saat ini Naufal merasa terpojok dengan kalimat Aruna. Merasa tersisihkan sebelum berperang."Baik, tunggu sebentar." Aruna bersikap biasa saja. Baginya Naufal adalah masa lalu yang sudah seharusnya dikubur dan jangan diungkit lagi. Kemudian, sudah sepantasnya menganggap Naufal adalah orang lain karena hubungan mereka sudah berakhir dua tahun silam.***Dzaki merasakan seluruh tubuhnya terasa panas tinggi setelah sebuah kenyataan menyapa kedua telinga beberapa hari yang lalu. Hasil tes yang mengejutkan dan akhirnya menimbulkan banyak kega
"Tolong, jangan mengalihkan topik pembicaraan, Bu." Dzaki mengelus rambut Abizar. Menaikkannya ke pangkuan. "Aku harap, Ibu tidak terlalu kejam ke Abizar. Bagaimanapun anak ini sudah memberikan kebahagiaan untuk keluarga kita. Nyatanya anak Ibu yang paling gagah itu ternyata adalah luka bagi wanita yang pernah dinikahinya."Niat Dzaki untuk mengambil air hilang. Gelas itu juga dibiarkan kosong dan pergi membawa Abizar ke lantai atas. Bukan Dzaki tidak berani membawa Abizar keluar dari rumah ini, hanya saja ia masih menghormati sosok kakaknya yang terlihat lebih waras dari orang tuanya. Masih mau membawakan makanan kesukaan anak itu, walaupun tidak sudi melihat wajah Abizar.Dzaki masuk kamar Abizar. Mendudukkan anak itu di tepi ranjang dan berkata, "Tunggu Om sembuh, kita pergi ke toko Ibu, ya. Kamu mau makan kue, kan?" Abizar mengangguk pelan. "Nenek jahat, Om." Suara tangis Abizar masih terdengar, sekali pun tidak sekuat tadi. Pandangan anak itu tidak seceria biasa, kasihan memang.
Aruna selesai membungkus pesanan seorang pembeli ketika ponselnya berbunyi. Perempuan itu sesegera mungkin melihat benda pipih nan canggih tersebut yang ada di meja kasir. Rupanya dari Dzaki. Cukup melegakan karena pria itu membalas.Aruna terdiam. Naufal tidak berbohong, mantan adik iparnya itu memang sakit. Cantika menghampiri, memperhatikan Aruna dan berkata, "Kamu masih kepikiran soal Naufal tadi?" Aruna terkejut, menoleh ke samping. Kembali menyimpan ponsel di tempat semula. Menarik laci kecil, tempat di mana uang berada. Sudah waktunya menghitung laba sampai menjelang magrib. "Tidak. Aku cuma sedikit lelah saja."Cantika tidak percaya. Wanita yang berdiri di samping kanan Aruna itu mencondongkan badan ke arah Aruna dan berbisik, "Apa kamu kepikiran soal Dzaki yang sakit?"Kedua pupil mata Aruna membesar. Pertanyaan macam apa ini? Terlalu merembet ke hal privasi. "Aku tidak memikirkannya. Itu, kan, wajar. Manusia memang bukan terbuat dari robot, jadi pasti ada masa sakitnya."Ca
Suasana jalanan mendadak hening, tidak banyak kendaraan melewati. Seolah memberikan waktu untuk dua orang itu agar bisa saling diam satu sama lain."Maaf, kamu baik-baik saja?" Aruna merasakan kejanggalan di diri Dzaki. Takutnya terjadi sesuatu. Dzaki terdiam, kemudian sadar. "Astagfirullah, maaf." Rasanya malu, tetapi pria itu memang datang dengan keadaan diri tidak baik-baik saja. Tempat pertama yang muncul di otak beberapa menit yang lalu adalah toko Aruna, seharusnya tidak seperti ini. Jelas saja salah. "Aku mau membeli cupcake kesukaan Abizar. Apa masih ada?" Dzaki mencoba mengalihkan topik pembicaraan karena merasa malu. Aruna hanyalah mantan kakak ipar yang seharusnya tidak diseret ke masalah pribadi.Aruna masih merasa janggal. Diam beberapa menit, lalu berkata, "Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku tidak tau apa yang sudah terjadi, tapi kamu mungkin bisa mulai terbuka dengan seseorang."Keadaan kembali ramai di jalanan. Tentu saja akan terdengar sampai ke dalam toko. Jam dind
Setelah mendapatkan kepastian jika dirinya mandul, Naufal sering bersikap acuh pada Abizar. Tak sering juga, lelaki itu membiarkan Abizar sampai menangis karena merengek meminta digendong.Sudah hampir setahun, setelah kenyataan itu diterima dan Naufal benar-benar kacau. Lelaki itu terkadang tidak pulang ke rumah dan hanya bermukim di kantor. Merasa sepi dan menyadari satu hal bahwa dari ketiga istri yang sudah pernah dinikahi, hanya Aruna yang paling memahami tentang dirinya. Bahkan Aruna begitu perhatian dengan terus memasakkan makanan kesukaan Naufal. Penyesalan selalu datang di akhir, tetapi bagi pelakunya tidak jarang hal ini tak dianggap sebagai teguran. Berlaku untuk Naufal juga, merasa bahwa semua yang terjadi memang sudah seharusnya.Tahun pertama sejak divonis mandul, Naufal jarang menemui Abizar. Bahkan orang tuanya mengusulkan agar anak itu dipindahkan ke panti asuhan saja. Namun, hal ini ditentang Dzaki. Lelaki yang lebih muda dari Naufal tersebut akan menjamin semua keb
"Kenapa kamu tidak masuk saja?" Naufal menghampiri Aruna dan langsung bertanya. Sontak Aruna kaget, menoleh ke samping kanan. "Bukankah setiap orderan itu harus bisa dipastikan sampai ke tangan konsumen dengan baik? Jadi, sangat disarankan kamu untuk memberikannya langsung." Naufal berdiri dengan tegak. Menatap Aruna penuh bahagia. Sorot matanya berbinar, kerinduan itu terwujud tanpa harus lelah menyetir lebih dahulu.Satpam itu diam. Ia tahu siapa Aruna. Bahkan, semua orang juga tahu tentang hubungan mereka. Lima tahun bersama bukanlah waktu yang sebentar. Jelas saja Aruna sering datang ke sini. Tanpa diminta pun, satpam lelaki itu meninggalkan mereka. Tidak ingin terlibat juga.Aruna memalingkan wajah ke sembarang arah, tak ingin menatap Naufal. "Itu memang benar, tapi keadaanya sekarang berbeda." Membela diri.Jantung Naufal berdebar. Cintakah ini? Mantan istrinya semakin hari, semakin berubah manis dan cantik. Ah ... ini terlalu indah untuk dipandang oleh mata orang lain, selain d