Niken menikmati masa-masa kehamilan dengan segala kemewahan. Niken tidak pernah memasak, mengurus keperluan Naufal ataupun dirinya. Semua dilakukan oleh Aruna. Setiap kali Niken menginginkan sesuatu, ia akan meminta Naufal untuk mencarinya.
Seperti ketika kandungan Niken sudah menginjak empat bulan, perempuan itu menginginkan jalan-jalan ke luar negeri, tepatnya ke negara kincir angin bersama Naufal. Selama seminggu lebih mereka pergi tanpa berniat mengajak Aruna. Membiarkan Aruna sendirian di rumah.Usia kandungan Niken semakin membesar dari bulan ke bulan. Selama mengandung, Aruna sudah tiga kali mengantarkan madunya itu ke dokter spesialis kandungan. Kerap kali Aruna terdiam, menunduk lesu ketika duduk di ruangan tunggu di antara para ibu hamil. Sebagai perempuan, tentu ia menginginkan itu juga. Namun, sayang rasanya akan sulit karena hasil serangkaian tes kesuburan menunjukkan Aruna tidak bisa memiliki keturunan.Kandungan Niken sekarang sudah berada di ujung persalinan. Hanya menunggu satu minggu dari hari perkiraan lahir. Niken sudah mulai merasakan kontraksi palsu akhir-akhir ini, bahkan perempuan itu mulai kesulitan berjalan karena rasa nyeri di bagian intim.Aruna selalu siap siaga untuk membantu madunya dalam segala hal. Selain karena kasihan, Aruna pun ikut menantikan sosok bayi yang akan meramaikan rumah megah ini. Tidak masalah tak memiliki kasih sayang Naufal sepenuhnya, setidaknya ia akan ikut merasakan mendapatkan seorang bayi mungil di rumah penuh kesepian ini."Kak, aku mau makan rujak buah." Siang itu Niken sedang duduk di sopa ruang tamu dengan Aruna yang juga sedang sibuk membalas pesan dari sahabatnya.Aruna menoleh ke samping kanan. Semua pekerjaan sudah terselesaikan. Persiapan bayi pun telah dimasukan ke tas besar. Jaga-jaga Niken tiba-tiba harus pergi ke rumah sakit. "Cuacanya mendung, Dek. Kamu yakin mau makan rujak buah?" Rintik-rintik hujan masih saja turun dari langit. Rasa dingin pun tidak bisa dipungkiri. "Aku takut kamu sakit."Niken diam. Mendadak kurang bersemangat, terlihat dengan menekuk wajahnya. Mood orang hamil memang rawan mengalami naik turun. Hal ini dikarenakan hormon progesteron dan estrogen yang mempengaruhi.Aruna terdiam. Melihat jelas perubahan itu dan berusaha sabar. Jika bukan karena calon bayi di dalam perut Niken, ia tidak terlalu peduli. "Selain itu, aku tidak mau Kak Naufal marah juga. Kamu ingat saat memintaku membelikan bakso dan kamu tanpa perhitungan langsung menambahkan lima sendok sambal dan akhirnya sakit. Aku justru yang menjadi sasaran Kakak."Niken merasa bersalah. Ia mendekati Aruna, meraih tangan istri pertama suaminya itu seraya berkata, "Aku minta maaf, Kak. Tapi, Kakak tidak bisa merasakan bagaimana jadi Ibu hamil itu seperti apa. Kadang aku ingin makan pedas juga."Kedua bola mata Anindi terbelalak. Kalimat itu menusuk jantung, walaupun tidak disertai dengan ekspresi wajah yang sinis.Niken mengurai senyum manis. "Aku tidak akan meminta Kakak membelinya."Kening Aruna mengerut kencang. "Maksudmu?" Mereka memang berada di sopa panjang. Berbagi tempat seperti halnya dengan suami. "Kamu mau menghubungi Kak Naufal yang sedang bekerja?"Niken menggelengkan kepala cepat. "Temanku ada yang menjual rujak buah. Aku melihat postingannya barusan. Lebih baik aku beli dari dia saja." Buah-buahan yang dilihat Niken tadi terlihat menggiurkan. Terlebih, bumbu rujaknya pun tampak menggoda.Aruna terdiam sejenak. Lalu, berkata, "Terserah kamu. Yang penting, aku sudah memperingatimu."Niken masih mempertahankan senyuman. Keinginannya tidak bisa ditunda. Dengan cepat mengetik pesan untuk dikirimkan pada salah satu temannya yang dimaksud. "Selesai. Aku jadi tidak sabar menunggunya." Rasa rujak yang pedas dipadukan dengan buah bengkoang, jambu air, pepaya muda, nanas serta mangga muda terbayang-bayang, menggoda lidah Niken untuk segera menikmati.Mereka masih berada di ruangan tamu ketika pesanan Niken datang sekitar dua puluh lima menit. Rupanya, jarak rumah temannya Niken itu tidaklah jauh. Rujak segar di cuaca dingin sedikit terdengar aneh. Mengingat biasanya orang akan mencari penghangat badan. Aruna tidak banyak berkomentar, meninggalkan Niken ke kamar. Membiarkan istri kedua suaminya itu menikmati apa yang diinginkan.Aruna masuk kamar, menunggu waktu salat Asar yang akan datang sekitar dua jam lagi. Namun, cuaca masih terasa dingin dan sejuk. Mentari saja enggan datang, memang hari penuh kedinginan.Anindi merebahkan badan di atas ranjang. Setelah sang suami menikah lagi, ia sudah terbiasa dengan kesepian. Hanya sesekali lelaki itu datang. Dalam sebulan pun, bisa dihitung jari. Mungkin ada dua kali, selebihnya Naufal menghabiskan waktu dengan Niken. Aruna memejamkan mata, tertidur sekitar setengah jam saja. Namun, terbangun ketika suara hujan bukannya mereda, justru semakin besar."Aku lebih baik membaca buku dulu sebelum salat." Aruna bangun kembali, bergerak ke arah tumpukan buku di dalam rak. Tersusun rapi dan masih ada yang bersegel. Buku novel karangan penulis wanita terkenal di kotanya menjadi memenuhi rak buku yang hanya tiga tingkat itu. "Aku masih belum selesai membaca yang ini." Pilihan Aruna jatuh pada buku berjudul 'Wanita Yang Dicintai Allah' sebuah buku yang memiliki banyak inspirasi untuk kaum muslimin.Buku itu baru saja sampai di tangan ketika suara erangan Niken terdengar dari lantai bawah. Aruna terkejut, melepaskan buku dan langsung keluar kamar. "Niken!" Memanggil nama madunya, kemudian berjalan setengah lari menuruni anak tangga. Takut terjadi sesuatu pada perempuan yang sangat dicintai suaminya tersebut."Kak Aruna!" teriak Niken sambil merasakan hantaman mulas yang awalnya terasa pelan, tetapi kini semakin kencang.Aruna panik. Menghampiri Niken yang kini tertidur miring ke kanan dengan tangan memegang perut. "Astagfirullah, Dek. Kamu kenapa?" Aruna meraih tubuh Niken, membangunkannya. Memeluk erat. "Kenapa, Dek?"Keringat bercucuran di pipi Niken sebagai tanda betapa sakitnya yang dialami. "Kak, perutku sakit. Mulas."Aruna semakin panik. Memegang perut Niken. Melirik rujak buah di meja yang habis tidak tersisa. Mungkinkah itu penyebabnya. "Kita ke rumah sakit sekarang!" Aruna menyandarkan tubuh Niken ke kursi bagian bawah. Hendak berdiri untuk mengambil ponsel dan tas darurat di kamar utama. Akan tetapi, belum sempat bergerak ke atas. Suara Naufal langsung menerpa telinga Aruna dan Niken. Kedatangan pria itu tidak terendus karena kedua wanita tersebut sedang panik. Deru mesin mobil pun tidak terdengar, begitulah orang yang sedang panik."Ada apa ini?" tanya Naufal tegas.Niken mengangkat kepala, binar matanya dipenuhi dengan kebahagiaan. "Kak, perutku sakit!" Niken merengek dengan wajah menahan sakit.Aruna masih berjongkok. Melihat sendiri ekspresi terkejut sekaligus khawatir suaminya sendiri. Naufal berjalan cepat, berjongkok di depan Niken dan berkata. "Apa yang terjadi, Sayang?" Sorot mata Naufal begitu cemas. Langsung memboyong tubuh Niken."Perutku sakit, Kak." Niken menangis."Kita ke rumah sakit sekarang!" Naufal berdiri dengan membopong tubuh Niken. Berbalik badan dan segera berjalan cepat untuk pergi ke rumah sakit.Aruna di sana, melihat bagaimana cemasnya Naufal pada Niken. Hal yang tidak pernah lagi Aruna dapatkan, bahkan sekali pun belakangan ini. Tidak terasa air mata Aruna keluar, sesak di dada begitu terasa. Begitu hinakah perempuan yang tak bisa mempersembahkan anak pada seorang suami?Aruna tersadar, bukan waktunya meratapi nasib sekarang. Ada hal penting yang perlu dilakukan. Dengan cepat Aruna mengambil tas di lantai atas, tepatnya kamar Naufal dan Niken. Tidak berpikir panjang dan langsung turun ke bawah, menyusul Naufal yang sudah di luar."Cepat masuk!" Naufal berteriak ketika melihat Aruna hendak mengunci pintu. "Jangan pikirkan yang lain!" Aruna tersentak, sesegera mungkin mengunci pintu dan masuk mobil yang sudah terparkir di depan. "Kamu terlalu lama!" Naufal menyentak Aruna. Hanya saja, perempuan itu tidak hanya bicara.Aruna duduk di bangku belakang bersama Niken yang kala itu sedang memegangi perut."Kak, cepat ke rumah sakit, aku tidak kuat." Niken benar-benar kesakitan."Sabar, Sayang." Naufal mulai menjalankan kendaraan setelah melihat Aruna memakai sabuk pengaman. Sedikit gugup dan berpikiran negatif. Takut terjadi sesuatu pada kehamilan Niken.Aruna menyampingkan perasaan marah dan kesal terhadap Naufal, ia memeluk Niken dan berkata, "Istighfar, Dek. Astagfirullah." Menuntun istri kedua suaminya itu untuk beristighfar.Niken bukannya mengikuti, perempuan itu terus berteriak kesakitan. "Sakit, Kak!" Hanya itu yang dikeluarkan Niken.Aruna berusaha menenangkan, mengusap punggung Niken sambil sesekali melirik Naufal yang berkendara dengan kecepatan lumayan cepat.Niken langsung ditangani oleh dokter spesial kandungan yang bertugas. Rupanya Niken mengalami pecah ketuban ketika perjalanan berangkat ke rumah sakit. Mulas itu bukan karena rujak, melainkan proses menuju melahirkan.Naufal terus memegangi tangan Niken dari pertama masuk rumah sampai ke kamar bersalin. Tak lupa juga Aruna yang ikut panik dan tegang sambil memegangi tas besar berisi keperluan bayi.Mengingat Niken ini sama seperti Aruna, sudah tidak memiliki lagi orang tua ataupun saudara. Tidak ada pihak keluarga dari Niken yang hadir."Kak, sakit." Niken memegangi tangan kanan Naufal selama di kamar bersalin."Ditahan, ya, Sayang. Sebentar lagi kita akan bertemu buah hati kita." Naufal berusaha menguatkan Niken.Sementara itu, Aruna hanya bisa menunggu keadaan Niken dari luar. Mulut perempuan itu terus berkomat-kamit mengucapkan istighfar dan berdoa. Berharap madu dan juga calon anaknya bisa selamat dan sehat juga. "Ya Allah, aku meminta pertolonganmu, selamatkanlah ibu dan bayinya.
Tak ada angin ataupun hujan, Naufal datang dengan mengatakan hal paling menyakitkan setelah perjuangan Aruna selama ini. "Kak, maksudnya apa ini?" Jelas saja Aruna harus mempertanyakan maksud dari ucapan suaminya. "Ada apa sebenarnya, Kak?" Aruna merasa setahun belakangan ini hubungan mereka baik-baik saja, walaupun memang Naufal belum sepenuhnya menerima kepergian Niken."Aku sudah mengatakannya tadi, kita akan bercerai!" tegas Naufal.Dada Aruna naik turun, daun telinganya tidak salah dengar lagi. Kata keramat itu keluar."Aku lelah. Kamu bisa pergi sekarang atau mungkin besok pagi, tapi tolong jangan ganggu aku!" Naufal melangkah kembali ke depan hendak beristirahat.Aruna menyusul cepat, mengekor di belakang Naufal. "Kak, harusnya kamu memberikan alasan untuk ini. Jadi, apa yang membuat kamu menceraikanku?" Langkah Naufal terhenti, begitu pun dengan Aruna. "Aku ini istrimu yang sudah menemani selama enam tahun. Aku menerima semua keputusanmu, aku bahkan menerima putusan poligami d
Aruna membuka toko kuenya yang berada di jantung kota. Di antara deretan ruko kecil yang ada dan hanya berlantai satu, Aruna berusaha untuk mencari nafkah sendiri.Toko cemara, sebuah nama yang diambil untuk toko yang didirikan setelah sebulan bercerai dari Naufal. Merintis dari nol, sekali pun belum banyak yang mengetahui. Aruna menyajikan beberapa ragam kue dan roti yang dibuatnya sendiri. Memang cukup melelahkan, berperan menjadi pembuat sekaligus kasir. Namun, semua ini dilakukan agar bisa tetap bertahan hidup."Bismillah." Aruna sudah memakai celemek. Bersiap bertempur dengan bahan kue hari ini. "Hari ini harus tetap semangat seperti biasa."Aruna mulai melakukan aktivitas semana mestinya. Membuat kue menjadi salah satu hobi sejak lajang, tetapi tidak terlalu tersalurkan dengan baik setelah menikah. Mengingat Naufal tak suka makanan manis."Aku harus buat bolu gulung hari ini dan dipotong seperti kemarin." Aruna membuat adonan kue gulung rasa stroberi yang beberapa waktu lalu ba
Aruna mungkin kehilangan dua pelanggan hanya karena berdebat dengan mereka tentang sebuah pendapat. Namun, tidak masalah. Sebab, menurutnya perkataan pelanggan tadi lumayan memukul rata semua toko kecil itu sama.Aruna kembali ke dapur, menyelesaikan adonan yang sempat tertunda. Di tengah kesibukan itu, ia mulai merasakan rindu terhadap Abizar. Ingin bertemu tak bisa terbendung, bahkan sudah sulit diungkapkan dengan kata-kata. "Aku harus fokus. Kalau tidak, semuanya akan berjalan buruk." Perempuan itu menyadari jika sesuatu yang sedang bergulir saat ini bukanlah keinginan dirinya, melainkan karena takdir Yang Maha Kuasa.Waktu terus berjalan sampai tibalah saatnya salat. Aruna mengganti kata open dengan istirahat agar bisa memberitahu pelanggan. Dengan itu, ia pun bisa menikmati ibadah, menghadap Sang Khalik dengan khusuk tanpa takut diganggu manusia. Ada ruangan kecil untuk beribadah dan beristirahat. Aruna mengambil wudu dan menghamparkan sajadah. Bersiap menghadap Sang Ilahi Rabbi
"Assalamualaikum." Rupanya yang datang adalah Dzaki. Lelaki itu ikut tertegun, tidak menyangka bertemu dengan mantan kakak iparnya di sini. "Kamu." Sejak dari Aruna menikahi Naufal, Dzaki tidak pernah memanggil perempuan itu dengan sebutan 'Kakak' ataupun menyebut nama Aruna. Aruna mencoba tenang. Melangkah sekali ke depan. Berdiri di depan etalase yang penuh dengan pajangan kue, berhadapan langsung di depan Dzaki. "Wa'alaikum salam. Selamat datang di toko kueku." Aruna menyambut baik kedatangan Dzaki seperti halnya pada pelanggan lain.Dzaki menatap Aruna, memperhatikan perempuan yang sudah hampir empat tahun tidak bertemu. Dzaki tidak pernah pulang kampung dari pernikahan Naufal dan Aruna satu tahun. "Apa kabar? Aku dengar kamu dan Kakak bercerai?" Dzaki jelas tahu apa yang terjadi pada keluarga kakaknya. Namun, ia tidak memiliki hak untuk berkomentar. Aruna tersenyum tipis. "Ya. Aku yakin kamu juga sudah tau tentang ini dari dulu."Dzaki tak bisa menghindari. Kenyataannya seperti
"Aku cuma bercanda. Jangan terlalu memikirkannya." Dzaki menarik ucapannya. Ia tertarik pada jenis kue ini. "Bisa bantu bungkuskan aku dua puluh kue ini? Aku ingin membagikannya pada keluarga."Aruna menelan ludah. Mencoba untuk tetap tenang setelah di gebrak oleh pernyataan Dzaki. "Bisa. Sebentar." Perempuan itu membantu pesanan Dzaki. Atmosfer di ruangan ini terasa sulit didapat, mungkin karena pertanyaan Dzaki tadi.Pesanan Dzaki siap. Aruna memberikannya dan lelaki itu membayar sesuai harga. "Aku harap semua keluarga suka," kata Dzaki dengan menenteng plastik putih berisikan kotak kue.Aruna berharap yang sama pula. "Insya Allah." Ada keinginan di hati untuk menanyakan tentang Abizar. Pastinya Dzaki bertemu anak itu. Namun, ia tak punya keberanian untuk itu. "Kalau memang kuenya tidak enak, kamu bisa datang untuk ganti rugi."Dzaki tersenyum kecil. "Tidak perlu. Seseorang yang membuka toko kue, pastinya sudah memastikan kue yang dijual ini layak dimakan dan enak."Anindi diam. Be
Naufal tersentak. "Maksudmu apa?" Dzaki menyimpan kotak box kue yang baru saja dibelinya di tempat Aruna. "Sayang, ini ada kue. Kamu mau makan sama Oma?" Tangan kanan Dzaki melambai ke arah Abizar. Tentu saja anak lelaki berusia satu tahun tiga bulan itu bergerak ke arahnya. Abizar memang sudah berjalan, walaupun masih tertatih-tatih. Hanya saja belum bisa berbicara, dalam konteks begitu jelas. Abizar mendekati Dzaki, meminta dipeluk. Jelas saja Dzaki melayani keponakan tercintanya dulu, membawa tubuh mungil Abizar ke pangkuan setelah dirinya berjongkok. "Kamu makan sama Oma dulu, ya. Om mau bicara sama Ayah."Abizar seolah paham, ia melepaskan diri dari Dzaki. Kini bergantian menarik lengan kanan omanya."Bu, aku boleh berbicara berdua saja dengan Kakak?" Dzaki meminta izin.Bu Nani awalnya ragu, takut ada perselisihan di antara kedua putranya. Akan tetapi, lirikan mata Naufal seolah meminta permohonan yang sama juga. "Baiklah." Dengan meraih tangan Abizar, Bu Nani pergi membawa ku
Dzaki diam sebentar, memikirkan jawaban terbaik untuk kakaknya. "Kakak rasa, kamu juga akan berpikir ulang." Naufal sudah bisa menebak jawaban adiknya. Semua pria setelah menikah tentunya sangat mengidamkan bisa menjadi seorang Ayah, begitu pun dengan dirinya. "Jangan terlalu munafik jadi orang karena ikhlas itu sulit. Intinya, jangan dipaksa."Dzaki menemukan jawaban untuk menyerang balik sang kakak. "Kalimat terakhir Kakak itu memang pas untuk Aruna. Ikhlas itu sulit, benar. Tapi, dia justru dipaksa ikhlas untuk menerima semua sakit dari Kakak." Dzaki berdiri. Menatap lekat kedua bola mata kakaknya. "Tujuan pernikahan itu bukan sekadar ingin punya anak saja. Anak itu bonus dan kebahagian kedua belah pihak adalah goals yang harusnya dikejar. Allah kasih anak itu bersyukur, tapi kalau Allah uji dengan tanpa anak, seharusnya tidak menjadikan salah satu pihak berpikiran dangkal."Atmosfer di sekitar mereka terasa panas. Dzaki merasakan aura kemarahan yang terpancar dari tubuh kakaknya.
"Cepat! Bus harus segera berangkat," jawab si sopir.Aruna segera berbalik badan dan mengambil tempat duduk, sedangkan pria itu juga ikut naik. Entah mengapa perasaan Aruna sedikit tak karuan melihat sosok lelaki yang terakhir naik, seperti sebuah gerbang sedang terbuka untuk menuju satu jalan. "Astagfirullah, aku harus fokus ke diri sendiri." Aruna meluruskan pandangan ke depan dan memantapkan hati untuk tidak terlalu mengikuti hati.***Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa Dzaki sudah ada di depan sebuah ruangan operasi menunggu sang istri melahirkan.Ya, Aruna harus melakukan operasi sesar karena ketuban lebih cepat dahulu pecah dan si bayi belum ada tanda-tanda siap keluar karena baru berusia tiga puluh tujuh minggu. Sebuah keputusan terbaik diambil untuk keselamatan keduanya.Bu Nani dan Pak Arya pun berada di sana, menenangkan Dzaki dengan terus mengingatkan anak bungsunya untuk pasrah pada Yang Maha Kuasa."Istigfar, Nak. Insya Allah, Istri dan anakmu baik-baik saja," ka
Amira pergi ke toko kue dengan diantar sopir. Ia menyuruh lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya tersebut untuk pulang lebih dahulu. Sebab, Aruna berniat seharian berada di sini.Bi Mirna senang bisa melihat Aruna lagi. "Alhamdulillah, Neng sudah membaik," katanya dengan penuh rasa bahagia. Aruna sendiri merasa disambut oleh seorang Ibu. Hangat dan penuh rasa cinta."Maaf, ya, Bi, aku sudah lama tidak datang," imbuh Aruna.Bi Mirna mengelus perut Aruna pelan. "Tidak apa-apa, Neng. Jangan khawatirkan soal toko karena Bibi akan selalu berusaha menjaganya.""Terima kasih, Bi." Aruna memperhatikan sekitar. Semuanya masih sama seperti empat bulan yang lalu. Namun, sekarang ditambah dengan dua karyawan baru yang membantu. Menurut penuturan Bi Mirna, penjualan meningkat drastis di empat bulan terakhir. Aruna yang menerima laporan itu pun cukup senang. Selama ini Bi Mirna hanya melaporkan hasil keuangan ke kantor Dzaki karena tidak berani datang ke rumah Aruna."Bi, aku rindu s
"Makanlah." Dzaki tampak lelah karena berkeliling mencari ramen di tengah malam. Namun, perasaan itu seketika hilang dengan melihat istrinya tersenyum bahagia.Aruna duduk di kursi makan yang berhadapan dengan Dzaki. Menelan ludah ketika melihat kentalnya kuah ramen yang bercampur dengan rasa pedas. "Masya Allah, pasti enak." Mengangkat kepala dan menatap Dzaki. "Terima kasih, Mas."Dzaki ikut tersenyum sambil mengulurkan tangan ke depan dan mengelus pucuk kepala istrinya. "Jangan ragu untuk katakan apa pun keinginanmu selama aku bisa. Ingat, kamu adalah istriku."Aruna mengangguk pelan. Benar-benar definisi diratukan oleh satu raja itu luar biasa bahagianya. "Tapi aku merasa bersalah karena Mas harus keliling untuk dapatkan ini."Tangan Dzaki masih berada di pucuk kepala Aruna. "Apa kamu tidak menganggapku suami?" Kedua pupil mata sontak membesar, lalu diikuti dengan gelengan kepala. "Kalau memang masih menganggap, biarkan aku membahagiakanmu dengan banyak cara. Kamu ratu di sini."H
"Sakitnya seorang Ibu itu nikmat, Sayang. Karena rasa bahagia ada adik bayi lebih besar dibandingkan rasa sakit," jawab Amira. Ia belum sanggup mengungkapkan identitas Abizar. Mungkin menunggu anak itu beranjak remaja saja.Pak Arya dan Bu Nani tidak berkat apa pun. Semua keputusan ada pada diri menantunya. Biarkan saja dahulu, Abizar pun belum tentu bisa memahami.Aruna berada di rumah sakit sekitar tiga hari. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya sendiri dengan dibantu oleh asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Aruna pun belum pergi ke toko. Mempercayakan semuanya pada Bi Marni.***Hari-hari berlalu dan akhirnya kehamilan Aruna menginjak usia enam belas Minggu. Rasa mual dan muntah berangsur membaik dan hanya dirasakan sesekali saja. Begitu pun dengan sakit kepala. Perut Aruna memang belum terlihat buncit karena usia kandungan masih kecil.Setiap harinya selalu ada saja yang diinginkan Aruna. Entah itu makanan ataupun sekadar ingin pergi ke suatu tempat. Selama itu
Aruna menjaga sekali kehamilannya. Tidak peduli rasa mual dan muntah itu semakin menyerang diri, ia terus berusaha untuk melakukan yang terbaik. Seminggu setelah vonis hamil dinyatakan, Aruna sama sekali tidak bisa bangun. Ia bahkan dilarikan ke rumah sakit karena terus menerus muntah yang mengharuskannya mendapatkan perawatan medis. Dzaki setia di samping. Bahkan saat Aruna merasakan mual di pagi hari, lelaki itu sigap untuk membawa sang istri ke kamar mandi."Aku ambilkan minum hangat, ya." Dzaki mendudukan Aruna di kasur. Mereka baru saja keluar dari kamar mandi hampir delapan kali. Wajah Aruna mulai terlihat pucat. Makanan dan minuman yang masuk akan kembali lagi. Lemas rasanya. "Iya, Mas." Aruna pasrah. Sakit ini akan berlalu dan digantikan kebahagiaan bertemu sang buah hati tercinta. Menginjak enam minggu memang masa-masa kritis, sekali pun ada ibu hamil yang memang baru merasakan mual di usia delapan minggu. Namun, ada sebagian lagi juga yang tidak merasakan morning sicknes
"Selamat, Pak. Anda akan segera menjadi ayah." Dokter lelaki menyalami Dzaki. Pemeriksaan dilakukan sekitar dua puluh menit dan hasilnya Aruna positif hamil sekitar empat minggu. "Mungkin setelah ini gejala sakit kepala, mual dan muntahnya bisa saja bertambah parah. Tapi Ibu dan Bapak tidak perlu cemas karena itu hal biasa. Selalu pastikan Ibu mencukupi gizi si janin dan terus minum vitamin yang akan saya resepkan."Dzaki masih belum bergerak sama sekali, sedangkan Aruna terharu dengan mengucap kata syukur."Pak Dzaki baik-baik saja?" Dokter lelaki itu kembali bertanya.Dzaki sadar, kemudian berkata, "Apa benar Dok, kalau istri saya hamil?" Bertanya lagi untuk memastikan."Semuanya akurat dan ini hasilnya." Dokter memberikan isyarat mata pada suster untuk menyimpan hasil tespek di meja. "Garis yang satu memang masih samar, tapi ini sudah bisa membuktikan jika istri Anda hamil. Saya minta kerjasamanya untuk menjaga kandungan Ibu sampai waktu melahirkan nanti."Dzaki masih memegang tang
"Aruna di mana, Bu?" Dzaki langsung ke dapur setelah selesai salat dan mengobrol dengan beberapa tetangga.Bu Nani seketika menoleh. "Katanya tadi perutnya sakit, jadi istrimu masuk kamar. Coba lihat dulu, Nak."Dzaki mengerti. "Baik, Bu." Dengan cepat ke luar dari dapur dan berjalan menapaki anak tangga satu per-satu menuju lantai dua. Suasana hening. Dzaki sempat tersentak ketika melihat kamar almarhum kakaknya, tetapi tidak begitu hanyut. Bergegas masuk kamar sendiri sambil berkata, "Assalamualaikum." Pandangan mata lelaki itu langsung tertuju pada sosok Aruna yang sedang terbaring. "Sayang, kamu baik-baik saja?"Aruna tidak menjawab. Secepat mungkin Dzaki semakin masuk ke kamar. Memeriksa keadaan sang istri. "Sayang, kamu kenapa?" Duduk di tepi ranjang bagian kanan. Barulah Aruna membuka mata. "Kata Ibu, kamu sakit perut. Kita ke dokter saja, ya?" Aruna tersenyum paksa. "Tidak perlu, Mas. Perutku kram, mungkin mau datang bulan."Dzaki diam. Tangan kanannya memegang perut Aruna.
Kepergian Naufal tentu menoreh luka hati untuk semua keluarga. Dzaki dan Aruna pun semakin sering mengunjungi rumah Bu Nani dan Pak Arya untuk sekadar menghibur mereka. Hubungan Aruna dengan keluarga suaminya pun semakin membaik. Bahkan Bu Nani sekarang menganggap Aruna seperti anak perempuan sendiri.Dzaki pun tetap meneruskan penuntutan pada Vanesha dan penulis yang bersangkutan, tetapi tidak melihatnya almarhum kakaknya. Bukan karena tidak bersalah, tetapi Naufal sudah tidak seharusnya dihukum ketika wujudnya saja sudah tidak ada di muka bumi.Aruna setia mendampingi Dzaki selama proses hukum. Vanesha sempat mengelak dan menyudutkan Naufal. Namun, penulis itu justru memberikan bukti rekaman suara di mana Vanesha mengaku jika semua rencana disusun tanpa sepengetahuan Naufal. Proses hukum masih berjalan. Sudah tiga kali Dzaki dipanggil ke kantor polisi dan persidangan pun berlangsung baru dua kali. Mereka akan segera mendapatkan hasil setelah satu kali sidang lagi. Dzaki tenang. Sem
Setelah mendapatkan kabar buruk tersebut, Dzaki sama sekali belum bisa menerima. Tiga hari setelahnya, Dzaki pun dipersilakan pulang oleh dokter. Hanya diwajibkan check up rutin per-dua minggu sekali.Sesuai keinginan Dzaki, setelah keluar dari rumah sakit lelaki itu langsung mengunjungi makam kakaknya dengan ditemani Aruna. Pakaian serba hitam serta kacamata hitam pun menjadi lambang kesedihan pada kedua orang tersebut.Aruna menemani dengan setia. Memayungi Dzaki sejak turun dari mobil sampai berada di depan makam Naufal. Mereka langsung berjongkok. Tak lupa Aruna melipat payung agar tidak memakan tempat.Dzaki menghela napas lelah. Bukan karena harus berjalan untuk sampai sini, melainkan sulit mengontrol diri sedari kemarin. Setelah dirasa sanggup, ia pun mulai berbicara. "Assalamualaikum, Kak. Maaf, baru bisa datang." Aruna melirik Dzaki. Kemudian, mereka membaca doa bersama. Semuanya sudah dilewati, Dzaki pun kembali terdiam. Jelas Aruna juga sama. Suasana pemakaman hening dan s