Aruna membuka toko kuenya yang berada di jantung kota. Di antara deretan ruko kecil yang ada dan hanya berlantai satu, Aruna berusaha untuk mencari nafkah sendiri.
Toko cemara, sebuah nama yang diambil untuk toko yang didirikan setelah sebulan bercerai dari Naufal. Merintis dari nol, sekali pun belum banyak yang mengetahui.Aruna menyajikan beberapa ragam kue dan roti yang dibuatnya sendiri. Memang cukup melelahkan, berperan menjadi pembuat sekaligus kasir. Namun, semua ini dilakukan agar bisa tetap bertahan hidup."Bismillah." Aruna sudah memakai celemek. Bersiap bertempur dengan bahan kue hari ini. "Hari ini harus tetap semangat seperti biasa."Aruna mulai melakukan aktivitas semana mestinya. Membuat kue menjadi salah satu hobi sejak lajang, tetapi tidak terlalu tersalurkan dengan baik setelah menikah. Mengingat Naufal tak suka makanan manis."Aku harus buat bolu gulung hari ini dan dipotong seperti kemarin." Aruna membuat adonan kue gulung rasa stroberi yang beberapa waktu lalu banyak yang membeli. Memang tidak langsung habis jika dijual dengan utuh, tetapi Aruna menjual dalam ukuran potongan kecil untuk satu kali makan. Setidaknya banyak yang ingin mencoba.Tidak berapa lama dua orang wanita muda datang ke toko. Aruna bergegas melayani, menemani mereka untuk memilih kue."Suamiku itu suka sekali kue, tapi aku malas buat. Lebih baik beli, tidak repot dan bikin kukuku manisku ini ternodai," kata perempuan berambut panjang sebahu dengan tas bermerknya.Aruna diam, mendengarkan saja."Padahal suami itu suka sama masakan istri, lho." Ibu satu lagi yang mengenakan tunik merah muda dengan celana legging hitam serta kacamata besar melirik temannya. "Nanti suamimu malah kecantol sama perempuan suka masak, lho, Jeng!"Perempuan berambut panjang tertawa kencang, tetapi elegan. "Tenang aja, suamiku itu paling setia.""Yakin, Jeng?""Jelas dong!"Mereka terus berbincang-bincang sambil memperhatikan deretan kue yang ada di etalase, seolah tak menganggap kehadiran Aruna."Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Aruna menyela pembicaraan mereka agar tidak terlalu lama.Kedua wanita itu masih saja memperhatikan setiap isi etalase, semuanya terlihat enak."Saya mau cupcake strawberry seperti kemarin. Apa ada?" tanya perempuan berambut panjang sebahu. Menatap lekat Aruna. "Kamu yang membuatnya bukan?"Aruna merasakan tatapan sinis seolah memandang remeh dari salah satu pelanggannya itu. Akan tetapi, Aruna berusaha untuk tetap tenang."Ya, pasti buatan dia dong, Jeng!" Temannya yang menjawab. Tatapan perempuan ini lebih baik. "Suamimu suka sama cupcake?""Katanya enak, jadi aku harus beli lagi, Jeng." Perempuan berambut sebahu mengakui. Bahkan, kedatangannya saja ke sini karena keinginan sang suami. "Sebenarnya aku malas beli kue di toko kecil. Kadang mereka tidak terlalu memperhatikan kualitas."Kedua bola mata Aruna membesar. Diremehkan begitu saja. Bukan sekadar harga dirinya, tetapi juga sebuah makanan yang Aruna anggap sangat perlu dihormati."Jeng!" Temannya mengedipkan mata kanan, tak enak pada Aruna. Terkadang ia pun sedikit malu ketika berbelanja karena sifat perempuan berambut sebahu tersebut selalu merendahkan orang lain."Maaf, Mbak, saya rasa besar atau kecilnya toko tidak menjamin tentang kualitas satu produk yang dijualnya. Terkadang ada yang terlihat meragukan justru pemiliknya mementingkan kualitas. Tapi, ada juga yang tempatnya megah dan terlihat mewah, berbanding terbalik. Itu tergantung pemiliknya sendiri, apa dia bisa konsisten dari awal atau berbelok ketika merasa sudah dikenal." Aruna tersenyum kecil. Mencoba untuk tidak terpancing emosi. "Apa saya salah, Mbak?"Aruna mungkin kehilangan dua pelanggan hanya karena berdebat dengan mereka tentang sebuah pendapat. Namun, tidak masalah. Sebab, menurutnya perkataan pelanggan tadi lumayan memukul rata semua toko kecil itu sama.Aruna kembali ke dapur, menyelesaikan adonan yang sempat tertunda. Di tengah kesibukan itu, ia mulai merasakan rindu terhadap Abizar. Ingin bertemu tak bisa terbendung, bahkan sudah sulit diungkapkan dengan kata-kata. "Aku harus fokus. Kalau tidak, semuanya akan berjalan buruk." Perempuan itu menyadari jika sesuatu yang sedang bergulir saat ini bukanlah keinginan dirinya, melainkan karena takdir Yang Maha Kuasa.Waktu terus berjalan sampai tibalah saatnya salat. Aruna mengganti kata open dengan istirahat agar bisa memberitahu pelanggan. Dengan itu, ia pun bisa menikmati ibadah, menghadap Sang Khalik dengan khusuk tanpa takut diganggu manusia. Ada ruangan kecil untuk beribadah dan beristirahat. Aruna mengambil wudu dan menghamparkan sajadah. Bersiap menghadap Sang Ilahi Rabbi
"Assalamualaikum." Rupanya yang datang adalah Dzaki. Lelaki itu ikut tertegun, tidak menyangka bertemu dengan mantan kakak iparnya di sini. "Kamu." Sejak dari Aruna menikahi Naufal, Dzaki tidak pernah memanggil perempuan itu dengan sebutan 'Kakak' ataupun menyebut nama Aruna. Aruna mencoba tenang. Melangkah sekali ke depan. Berdiri di depan etalase yang penuh dengan pajangan kue, berhadapan langsung di depan Dzaki. "Wa'alaikum salam. Selamat datang di toko kueku." Aruna menyambut baik kedatangan Dzaki seperti halnya pada pelanggan lain.Dzaki menatap Aruna, memperhatikan perempuan yang sudah hampir empat tahun tidak bertemu. Dzaki tidak pernah pulang kampung dari pernikahan Naufal dan Aruna satu tahun. "Apa kabar? Aku dengar kamu dan Kakak bercerai?" Dzaki jelas tahu apa yang terjadi pada keluarga kakaknya. Namun, ia tidak memiliki hak untuk berkomentar. Aruna tersenyum tipis. "Ya. Aku yakin kamu juga sudah tau tentang ini dari dulu."Dzaki tak bisa menghindari. Kenyataannya seperti
"Aku cuma bercanda. Jangan terlalu memikirkannya." Dzaki menarik ucapannya. Ia tertarik pada jenis kue ini. "Bisa bantu bungkuskan aku dua puluh kue ini? Aku ingin membagikannya pada keluarga."Aruna menelan ludah. Mencoba untuk tetap tenang setelah di gebrak oleh pernyataan Dzaki. "Bisa. Sebentar." Perempuan itu membantu pesanan Dzaki. Atmosfer di ruangan ini terasa sulit didapat, mungkin karena pertanyaan Dzaki tadi.Pesanan Dzaki siap. Aruna memberikannya dan lelaki itu membayar sesuai harga. "Aku harap semua keluarga suka," kata Dzaki dengan menenteng plastik putih berisikan kotak kue.Aruna berharap yang sama pula. "Insya Allah." Ada keinginan di hati untuk menanyakan tentang Abizar. Pastinya Dzaki bertemu anak itu. Namun, ia tak punya keberanian untuk itu. "Kalau memang kuenya tidak enak, kamu bisa datang untuk ganti rugi."Dzaki tersenyum kecil. "Tidak perlu. Seseorang yang membuka toko kue, pastinya sudah memastikan kue yang dijual ini layak dimakan dan enak."Anindi diam. Be
Naufal tersentak. "Maksudmu apa?" Dzaki menyimpan kotak box kue yang baru saja dibelinya di tempat Aruna. "Sayang, ini ada kue. Kamu mau makan sama Oma?" Tangan kanan Dzaki melambai ke arah Abizar. Tentu saja anak lelaki berusia satu tahun tiga bulan itu bergerak ke arahnya. Abizar memang sudah berjalan, walaupun masih tertatih-tatih. Hanya saja belum bisa berbicara, dalam konteks begitu jelas. Abizar mendekati Dzaki, meminta dipeluk. Jelas saja Dzaki melayani keponakan tercintanya dulu, membawa tubuh mungil Abizar ke pangkuan setelah dirinya berjongkok. "Kamu makan sama Oma dulu, ya. Om mau bicara sama Ayah."Abizar seolah paham, ia melepaskan diri dari Dzaki. Kini bergantian menarik lengan kanan omanya."Bu, aku boleh berbicara berdua saja dengan Kakak?" Dzaki meminta izin.Bu Nani awalnya ragu, takut ada perselisihan di antara kedua putranya. Akan tetapi, lirikan mata Naufal seolah meminta permohonan yang sama juga. "Baiklah." Dengan meraih tangan Abizar, Bu Nani pergi membawa ku
Dzaki diam sebentar, memikirkan jawaban terbaik untuk kakaknya. "Kakak rasa, kamu juga akan berpikir ulang." Naufal sudah bisa menebak jawaban adiknya. Semua pria setelah menikah tentunya sangat mengidamkan bisa menjadi seorang Ayah, begitu pun dengan dirinya. "Jangan terlalu munafik jadi orang karena ikhlas itu sulit. Intinya, jangan dipaksa."Dzaki menemukan jawaban untuk menyerang balik sang kakak. "Kalimat terakhir Kakak itu memang pas untuk Aruna. Ikhlas itu sulit, benar. Tapi, dia justru dipaksa ikhlas untuk menerima semua sakit dari Kakak." Dzaki berdiri. Menatap lekat kedua bola mata kakaknya. "Tujuan pernikahan itu bukan sekadar ingin punya anak saja. Anak itu bonus dan kebahagian kedua belah pihak adalah goals yang harusnya dikejar. Allah kasih anak itu bersyukur, tapi kalau Allah uji dengan tanpa anak, seharusnya tidak menjadikan salah satu pihak berpikiran dangkal."Atmosfer di sekitar mereka terasa panas. Dzaki merasakan aura kemarahan yang terpancar dari tubuh kakaknya.
Setelah bertemu dengan Dzaki, Aruna terus memikirkan sosok Abizar. Semakin ingin bertemu, setidaknya menanyakan kabar anak lelaki itu pada Dzaki mungkin sedikit mengobati rasa rindu.Kondisi ini pun diketahui oleh Cantika, tentu tahu dari mulut Aruna ketika mereka pulang ke rumah."Kamu yakin mau menanyakannya ke dia?" Cantika seolah ragu. Bukan suudzon, tetapi ia juga tidak begitu mengenal sosok Dzaki. Hanya saja, terkadang Kakak dan Adik itu sering memiliki sifat yang sama. Aruna dan Cantika sedang duduk di kursi meja makan, menyantap makan malam berupa mie instan dengan sebutir telur. Rasa mie instan yang pedas karena ditambah saus sambal juga cabai rawit bisa menghangatkan badan di cuaca malam yang dingin. "Aku nggak terlalu yakin, tapi kalau nggak coba. Tentu kita nggak tau apa yang terjadi," jawab Aruna dengan tangan memegang sendok. Mie kuah rasa soto dengan ditambah pula jeruk nipis memang cukup nendang. Terlebih, keadaannya masih panas. Cantika diam, mempertimbangkan niat
Aruna terbangun di tengah malam, sekitar pukul dua dini hari. Perempuan itu bergerak ke kamar mandi, mengambil wudu dan bersiap salat malam. Menikmati bertemu Yang Maha Kuasa di keadaan sunyi adalah hal paling menyenangkan. Orang yang melakukannya jelas akan mendapatkan ketenangan.Di atas hamparan sajadah, Aruna melakukan salat dua rakaat. Kemudian, mengangkat kedua tangan, berdoa dengan perasaan khusuk. Tak terasa air mata mengalir tanpa henti ketika Aruna memutuskan bercerita pada Sang Pemilik Kehidupan. "Ya Rabbi, izinkan aku bertemu Abizar satu kali saja." Hanya itu doa yang selalu dipanjatkan Aruna selama tiga bulan ini. Menginginkan hal yang dianggap sepele untuk orang lain, tetapi berharga bagi dirinya.Setelah salat, Aruna sendiri tidak langsung tidur. Memilih untuk berdzikir sampai masuk salat Subuh. Cantika terbangun, bergabung dengan Aruna untuk salat Subuh dan mereka pun bersiap mengawali hari ini.Cantika masuk kerja pagi hari, sedangkan Aruna sendiri juga harus membuka
"Terima kasih kuenya, Mbak. Saya pamit." Wanita muda itu keluar menuntun anak lelakinya. Melewati Dzaki yang masih diam di tempat. Tak ada pelanggan lain, hanya tinggal Dzaki di sana.Aruna terdiam, kemudian berkata, "Selamat datang. Apa ada yang bisa aku bantu?" Seperti halnya pada pelanggan yang lain, Aruna pun menyambut Dzaki.Dzaki masih bergeming. Beberapa detik kemudian barulah melangkah ke depan, mendekati Aruna dengan pandangan mata yang tak bisa lenyap dari sosok itu. "Sebaiknya kamu hapus air matamu sebelum pelanggan lain melihatnya. Bukankah menyambut pelanggan itu harus dengan wajah bahagia?"Aruna tersentak. Tangan kanan langsung menghapus jejak air mata di kedua pipi. Ah, ternyata sesulit itu menahan cairan bening ini untuk tidak keluar. Dzaki melirik etalase, kue incarannya sudah habis. Padahal Abizar dan keluarganya sangat menyukai itu. "Apa aku kehabisan cupcake strawberry hari ini?" Melirik Aruna lagi.Aruna tersadar, menoleh ke belakang. Benar juga, kue jenis itu s