Hari demi hari terasa sangat cepat berlalu. Dua bulan sudah sejak pernikahan Celline dan Nathan. Begitu pula dengan malam yang penuh gairah antara Nathan dan Rachel di villa saat itu.
Kini perut Celline sudah mulai membesar. Tentu saja, saat ini sudah enam bulan usia kehamilannya. Tapi dia masih sangat suka memakai pakaian yang sangat ketat, memperlihatkan dengan sangat jelas perutnya yang membuncit. Walau pun sebenarnya itu sudah di larang oleh Dokter, karena bisa menghambat gerak janin. Tapi Celline tak pernah mendengarkannya.
Siang itu Celline melakukan USG di Rumah Sakit milik Ayahnya. Tentu saja saat ini Nathan harus bersedia menemaninya. Selain dia tidak ingin Celline membuat drama pada Ayahnya, Nathan juga harus menanyakan sesuatu pada Arnold.
Saat proses USG sedang berlangsung, Celline terlihat pura-pura bahagia di depan Nathan. Memamerkan janin di dalam perutnya yang terlihat pada layar datar itu. Namun Nathan hanya memasang wajah datar dan dingin. D
"Kau memang sangat memahamiku, aku beruntung setidaknya masih ada kau yang menemaniku di saat aku kehilangan seluruh duniaku yang lama." "Itu lah arti sebuah persahabatan. Yang akan selalu bersama meski salah satu di antarnya sedang terluka, meski kita harus mengorbankan sesuatu demi sahabat. Sahabat bukan orang yang akan meninggalkanmu di saat kau jatuh dan terpuruk, bukan juga orang yanga akan mentertawai kesialanmu. Sahabat orang yang akan merangkulmu dalam suka mau pun duka." "Kau benar. Aku tak akan bisa membalas semua kebaikanmu." "Dalam persahabatan tidak ada ucapan terima kasih, dan tidak ada hutang budi." "Haha, aku menyerah. Kau jauh lebih bijak dari yang kukira." "Aku pun tak menyangka bisa berkata seperti itu, hahaha.." Tawa bahagia dua sahabat yang baru saja saling melepaskan rindu. Tentu saja, ini hanya permulaan sekaligus trik untuk mengelabui orang suruhan Celline. Yang diam-diam menguping pembicaraan mereka sejak tadi.
Sudah tiga bulan Celline berstatus sebagai isteri Nathan. Tapi Nathan tidak pernah menyentuhnya. Jangankan nenyentuh, menatapnya saja Nathan tidak pernah. Dia selalu lebih banyak berbicara tanpa melihat ke arah Celline. Tapi, bukan Celline namanya jika menyerah begitu saja. Seperti malam ini, Nathan sedang bekerja di ruang kerjanya. Celline berjalan ke arah ruangan itu dengan membawa secangkir teh hangat. Celline terlihat sexy mengenakan lingre bewarna hitam dengan perut yang membuncit. Tentu saja dia sengaja. Ia berniat menggoda Nathan lagi malam ini. "Sayang, aku masuk." Ucapnya sambil mendorong pintu dan melangkah masuk. Lalu menuju ke meja dimana terihat tumpukan dokumen yang sedang di pelajari Nathan isinya. Nathan hanya diam dan terus fokus membaca isi tiap-tiap dokumen. "Sayang, ini aku bawakan teh." Celline meletakkan secangkir teh di atas meja kerja Nathan. Namun yang di ajak bicara masih saja diam. Seolah-olah Cel
Terdengar suara Key berbincang dengan Jihan. "Kak, ayo antar Key. Hari ini Momy tidak bisa mengantarkan Key. Momy sedang sakit." Ucap Key pada Jihan yang sedang membersihkan meja sisa sarapan Rachel tadi. "Oh ya? Apakah Momy sangat parah? Apa perlu kita membawanya ke rumah sakit?" Jihan sangat panik mendengar bahwa Rachel sakit. Karena sejak mereka tinggal bersama, Rachel lah orang yang paling jarang sakit. "Em... Sepertinya tidak begitu parah. Momy bilang hanya masuk angin. Sekarang Momy sedang istirahat. Biarkan saja dulu, nanti setelah kita pulang, kita akan menjaga Momy." Saran Key yang tentu saja di setujui oleh Jihan dengan tersenyum, karena Key sangat lucu saat berbicara serius seperti tadi. "Dan sekarang, mari kita beraaangkaaattt." Jihan berkata sambil berlari tertawa meninggalkan Key di belakangnya dan dengan cepat juga berlari mengejarnya dengan suara tawa yang renyah. Tidak terasa, Rachel tertidur sangat lama. Sekitar dua jam ia ti
Di dalam kamar sebuah rumah sakit. Nathan terlihat sangat khawatir, tak henti-henti dia memandang Rachel yang sedang terbaring tak sadarkan diri. Awalnya Nathan ingin berkunjung ke rumah Rachel, namum sebelum sampai di depan pagar rumahnya, Nathan melihat Rachel dengan tergesa-gesa memasuki sebuah taxi. Jadi dia langsung mengikuti kemana arah taxi itu pergi. Dan ternyata kejadian seperti di caffe itu lah yang terjadi. Nathan sengaja tidak datang membantu Rachel saat di permalukan oleh Celline, karena ia takut Rachel akan merasa tersinggung dan lebih malu lagi. Dia juga tidak ingin Celline melakukan dan mengatakan hal yang nantinya akan memojokkan posisi Rachel. Tapi setelah melihat Rachel jatuh pingsan, tentu Nathan tidak bisa tinggal diam lagi. Disini lah mereka sekarang. Seorang Dokter wanita sedang memeriksa keadaan Rachel dengan sangat serius. "Tuan, saya harus bicara dengan anda mengenai keadaan Nona ini." Ucap Dokter itu ketika selesai memeriksa
Nathan menatap wajah lemah Rachel. Ia membelainya dengan pilu. "Sabar lah, sedikit lagi kita akan bersama. Aku akan segera menyingkirkan wanita licik itu dari hidupku." Ucapnya nyaris tak terdengar. Nathan mengambil ponsel dan segera menghubungi Roy. "Bagaimana Roy? Apakah bajingan itu sudah mau mengakui segalanya? Bagus. Aku akan segera kesana." Lalu panggilan itu di matikan. "Honey, istirahat lah. Sebentar lagi Jihan dan Key akan datang. Aku harus pergi saat ini, aku akan mengurus semua hal yang mengganggu ketenanganmu." Dengan sedikit belaian pada kepala Rachel, tak lupa ia mengecup kening wanita itu dengan lembut. Nathan segera keluar dari ruangan tempat Rachel di rawat, namun ia berpapasan dengan putrinya dan Jihan. "Papii.." sapa Key bahagia dan menghambur ke dalam pelukan Nathan. "Putriku yang cantik. Apa kabarmu sayang?" Nathan memeluk dan berjongkok di depan putrinya. "Heemm, sepertinya aku sedang tidak enak hati."
Setelah tiga hari di rawat, akhirnya Rachel di izinkan untuk pulang. Namun, dokter memperingatkan agar tetap menjaga kesehatannya. Awalnya Rachel hanya ingin mengambil cuti, tapi setelah perdebatan dengan Nathan, akhirnya Rachel setuju untuk berhenti bekerja. Sepertinya itu memang jalan terbaik untuk saat ini. Rachel juga tidak ingin hari-harinya bekerja kemudian hari menjadi tidak nyaman karena rekan-rekan kerjanya pasti akan bertanya tentang kehamilannya. Tentu perutnya semakin hari akan semakin membesar. "Kau sudah mengambil keputusan yang benar. Sekarang dia akan menjaga dan menanggung semua biaya hidupmu. Untuk apa lagi kau bekerja banting tulang di perusahaan ayahku. Aku juga akan bebas mulai sekarang." Ucap Bella pada Rachel sambil membantu mengemasi barang-barang Rachel yang akan di bawa pulang. "Apakah itu berarti, selama ini Momy adalah beban bagi Aunty?" Key yang mendengar kata-kata Bella, langsung menimpalinya. "Owh no, Baby!" Bantah Bella
Saat semuanya sudah bersiap untuk meninggalkan kamar rawat inap ini, Arnold datang mengagetkan Nathan. "Arnold? Bagaimana kau bisa ada disini? Bukan kah kau bekerja untuk ayah Celline?" Nathan tentu saja merasa heran. "Itu dulu. Sekarang aku tidak mau lagi berurusan dengan keluarga itu. Aku bertugas disini sekarang. Dan ini, hasil pemeriksaan akhirmu, Rachel!" Ucapnya menyodorkan berkas dalam map coklat. "Terima kasih, Arnold. Ops, apa aku harus memanggilmu Dokter Arnold mulai sekarang?" Tanya Rachel bercanda. "Haha... jangan terlalu formal padaku. Atau nanti aku yang akan menanggung akibatnya. Kau tau sendiri bagaimana kepribadian Tuan Muda kita ini." Arnold melirik pada Nathan, yang langsung saja mendapat tatapan tajam dari Nathan. "Kau benar! Dia hanya akan melunak dan menjadi seperti pria idiot jika bersama Rachel. Saat dengan orang lain, dia akan memasang wajah mematikannya itu." Timpal Bella tak mau kalah. Roy yang mendengar perk
"Benarkah? Jangan main-main denganku. Aku bisa memotong lidahmu itu." Teriak Celline pada seorang wanita yang bekerja di Rumah Sakit tempat dimana Arnold kini bekerja. "Be-Benar, Nona. Aku berani bersumpah. Ini copy-an hasil pemeriksaannya." Jawab wanita itu sambil menyerahkan dua lembar kertas putih pada Celline. Jelas terlihat perawat itu gemetar karena takut. Sejujurnya Celline sangat penasaran apa yang terjadi pada Rachel hari itu. Kenapa ia keluar dari Rumah Sakit dengan wajah pucat dan di kawal oleh beberapa orang. Jadi di sini lah Celline sekarang berada. Di sebuah ruangan Rumah Sakit itu dan dia menyuap seorang perawat untuk dapat membocorkan beberapa informasi pribadi dan rahasia milik pasien. Yang harusnya dia jaga kerahasiaannya, apapun keadaan dan situasinya. "Baik lah, kau boleh pergi sekarang." Perintahnya pada perawat itu. Celline membaca setiap informasi yang tertulis di kertas putih itu. Banyak kejutan yang dia dapatkan dari secarik k