Vika berjalan lunglai menuju hamparan pasir putih. Ia dapat merasakan debur ombak yang menerpa kaki tanpa alas, seolah menarik sesuatu dari dalam dirinya. Gadis cantik itu kian kurus, kehilangan selera untuk makan. Apalagi menjalani hidup yang tak ada bedanya dengan neraka. Ditinggal pergi ibu sejak masih kecil, berusaha keras untuk bertahan dengan bekerja bak robot, kini kekasihnya bahkan turut direnggut.
Akan tetapi, bukan oleh gadis lain. Cinta Vika dan Xavier, mantan kekasihnya, cukup kuat untuk melawan semua godaan. Tak pernah meskipun hanya sekali, terbesit keinginan mendua. Sayangnya, Xavier merupakan putra tunggal dari pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Menjadi sekertaris biasa membuat hubungan itu diragukan dunia. Tak ada satu pun pegawai lain yang percaya bila si bos benar-benar menaruh hati padanya. Mereka sibuk bergunjing, mengaku kalau Vika menggunakan ilmu pengasihan.
Vika juga tak percaya pada cinta Xavier, tetapi tiap kali melihat binar di mata pria tampan itu, dada menjadi sesak. Seperti saat ini, ia merasakan duri menancap di tenggorokan. Sakit tak tertahankan tiap kali mengingat jika tempat yang tengah dipijak ini dulunya menjadi saksi atas cinta mereka. Ya, mereka sering datang untuk sekadar menikmati terbenamnya bagaskara. Berdua sambil bergandeng tangan, tiada hal yang lebih menenangkan dari itu semua.
Vika pun hanyut terhadap ingatan manis. Ia berjalan lurus menuju pantai. Semilir angin mulai mengurai rambutnya yang panjang. Ia tak gentar, walau air telah naik setinggi lutut. Wanita ringkih itu tetap melangkah, membiarkan pakaiannya basah hingga ke dalam. Padahal, belum lolos latihan renang, tetapi malah menantang adrenalin.
Masuk makin dalam. Dingin tak dihiraukan. Senja itu menjadi teramat tenang karena berada di tempat yang membuat ya merasa hidup. Ya, sudah lama Vika belajar menghidupkan kembali jiwa yang terasa setengah mati. Sayangnya, takdir baik enggan berpihak. Kali ini pun, ia roboh meski sebelumnya selalu tegar. Sudah habis keinginannya kala pria terakhir yang dicintai pun diambil paksa oleh waktu.
"Ada yang tenggelam! Cepat panggil penjaga pantai!" teriak pengunjung lain.
Vika masih tenang, ia terpejam saat napas sudah sulit diambil. Seluruh tubuhnya terendam air, cuma tersisa geraian rambut yang menggambang seperti gangang. Sontak orang-orang panik. Namun, justru kedamaian dirasakannya. Ia sangat damai, belum pernah mendapati sensasi demikian. Apalagi jika menengok ke belakang yang cuma tersisa semburat kenangan buruk. Mendadak hari kelam itu muncul seperti kelaidoskop.
***
Tiga tahun sebelum usaha bunuh diri ....
***
Vika bergeming di ambang pintu sambil memunggungi Aris--ayahnya--diboyong seorang polisi. Bukan hanya itu, petugas negara juga tampak menggeledah istana kumuh di mana mereka terbiasa bernaung. Tak dapat dipungkiri memang, momen langka ini menjadi tontonan para tetangga.
Rasa tak karuan muncul. Vika mengepalkan kedua tangan dengan sempurna. Bibirnya sedikit mengaga dengan napas berat yang mengganjal tenggorokan. Di antara bising perabotan yang pindahkan, terdengar cemooh dari belasan orang tak tahu apa pun, tetapi ikut berkomentar.
"Ayah," panggilnya yang tak disahut. "Jangan pergi."
Pria tengah baya itu hanya menoleh, menunjukkan lekuk indah di bibir yang menyayat kalbu. Air mata yang ditahan hingga netra berembun, kini terjun bebas membanjiri tebing pipi. Nanar pandangan itu terkumpul pada satu titik. Punggung lebar yang tanpa lelah mencari nafkah, harus membungkuk untuk memasuki mobil.
Setelah para polisi memungut barang yang entah apa, mereka pergi, meninggalkan Vika yang masih bergeming. Lantunan sirinai menggema bersama perginya ayah yang telah merengkuhnya selama delapan belas tahun.
"Kira-kira sebanyak apa?"
"Puluhan juta kali."
"Aku berani taruhan, rumahnya pasti bakal disita."
Ibu muda yang senang bergosip, mengeluarkan opini tanpa melihat situasi. Andai ketua RT tak membubarkan barisan manusia itu, pasti ramai menghiasi malam paling dingin yang pernah gadis berambut hitam itu jumpai.
Sejenak pikirnya melayang, kembali pada masa kecil yang terputar kembali seperti kaset rusak. Makin tajam tatapan tetangga membakar keberanian. Vika memilih masuk ketika Mira yang baru pulang bekerja, menepuk gadis itu lalu memintanya untuk masuk.
Perlahan cemooh berhenti, pintu menjadi pelampiasan tepat, sontak dibanting. Kaki jenjang itu menapaki lantai dan merangkak naik ke ranjang. Direbahkan pundak yang menanggung beban.
"Ayah," panggilnya lagi. Bulir asin tumpah dan merembes ke pepi. Dirinya yang masih tak berani tidur sendiri, mendadak terlelap saking sakitnya hati. Seharian ini, Vika terus tertekan. Belum lagi memikirkan lanjutan cemooh esok hari.
***
Kicau murai yang dipelihara rumah sebelah, membangkitkan gadis berpiyama putih. Belum lagi membasuh muka, ingatan akan tragedi semalam melintas hingga menghilangkan gairahnya untuk beraktivitas. Manik hitam sayu meneliti langit kamar.
Namun, mulai sekarang, dunia tak akan memberi waktu untuk sekadar merenung. Kentukan pintu berulang mengharuskan turun dari ranjang.
"Nak Vika, kebetulan Ibu masak banyak hari ini. Kamu pasti belum sarapan 'kan? Nggak usah beli, makan ini aja." Mira menyodorkan sepiring nasi goreng.
"Terima kasih, Bu."
"Kalau butuh apa-apa, bilang, ya. Vika juga harus sabar, semua musibah pasti menyimpan pelajaran."
Lembut kalimat itu membasahi jiwa Vika yang mulai runtuh. Diterima piring tersebut lalu kembali menutup pintu saat bayang Mira tak lagi tampak. Memang benar, di antara tetangga tak berperasaan, masih tertinggal satu sosok wanita beranak dua yang peduli padanya.
Senyuman kini tersungging. Kaki jenjangnya masuk ke dapur. Teko berisi air dan bubuk teh di letakkan pada kompor. Sambil menunggu, ia menyantap nasi goreng beserta ayam yang didapati.
"Kalau mau bertahan hidup, harus makan," tuturnya tanpa lawan bicara.
Pertemuaan singkat dengan Mira memberi cukup semangat untuk mengarungi hari. Sejak lama Vika mendambakan sosok ibu. Malaikat pelindungnya meninggal saat melahirkan sang Adik. Setelah itu pun, nenek mengambil alih perawatan putri bungsu karena dianggap duda dengan segudang kesibukan tak mampu mengurus dua anak sekaligus. Oleh karena itu, kasih sayang hanya didapati dari ayah yang tak lagi di sampingnya.
Selepas upacara pengisian perut, gadis itu mandi, lalu bersih-bersih. Polos pikirnya tak mau sang ayah murung mendapati rumah berserakan. Butuh waktu satu jam untuk berbenah. Aparat penegak keamanan telah membuat istana Vika berubah menjadi kapal pecah. Dipungutnya buku yang tergeletak dan menyusun kembali pada rak kayu. Hobi keluarga kecil itu adalah membaca, jadi tak heran jika perpustakaan mini mengambil alih seperempat luas rumah.
Sebuah foto terselip dalam novel fantasi. Jemari lentiknya mengangkat foto tersebut. Dipandangi secara teliti, hampir tak berkedip. Potret wanita dengan rambut terikat tengah mendekap bayi. Tanpa disadari, tawa riang muncul. Sudah sejak lama Aris mengobrak-abrik ruangan demi selembar kertas yang sarat akan makna. Satu-satunya kenangan bersama almarhum ibunya.
Diembuskannya napas perlahan. Foto tersebut dibaringkan pada meja bundar. Masih banyak hal yang harus dibenahi. Lagipula, foto bisa dilihat nanti dan tak mungkin bergerak begitu saja.
"Capeknya."
Tubuh sintalnya menindih dinding bercat kuning. Tangan kanan masih memegangi kemoceng yang tadi digunakan. Vika mulai menyeka keringat yang menumpuk di dahi lalu mereguk teh sisa sarapan. Masih di posisi itu, getar ponsel menarik perhatian. Dengan sigap bangkit, ia berlari kecil menyambut penelepon. Namun, kecewa didapati, yang dikira panggilan dari Aris, tenyata bukan.
[Halo, Vivi, ayahmu masuk penjara? Kok bisa gitu sih? Sekarang kamu di mana? Kalau bisa, jangan terlalu sedih, ya.]
Telinga serasa berdengung. Hujan pertanyaan yang diucap sekeras mungkin, membuat si penerima sejenak menutup alat pendengaran.
[Vi, dengar tidak?]
[Ah, iya, Tante. Aku di rumah sendiri.]
[Duduk yang manis, aku ke sana. Ini sudah naik taksi, bentar lagi sampai sampai.]
Kalimat tersebut menjadi akhir dari obrolan jarak jauh. Memang begitulah Risa--adik Aris--menunjukkan simpati. Saat Vika kecil, Risalah yang mengurus. Hampir tiap hari, wanita bujang itu membuatkan susu hangat. Bahkan setelah beranjak dewasa pun, tantenya menjadi orang yang paling bisa diandalkan.
Pernah suatu hari, anak sulung Aris terlibat pertengkaran dengan teman antarkelas hingga wali murid dipanggil. Risa yang dikira akan murka, justru menunjukkan reaksi yang tak pernah terbayang.
"Nah, gitu dong. Kalau kamu nggak terlibat masalah, nanti gedenya nyesel. Pengalaman harus didapat saat masih muda. Masa pengen hidup datar terus?" Begitulah kira-kira pesan Risa yang diingatnya.
Lucu memang, tiap hari Vika bersyukur atas anugerah tersebut. Biarpun tanpa Risa, gadis berlesung pipi itu pasti tetap bahagia bersama Aris. Sayangnya, di antara kebahagiaan yang melintas, dirinya bertanya, "Apa Ayah sudah makan? Apa yang sedang Ayah lakukan saat ini?"
Meski tak ada lawan bicara yang mampu menjawab, ia tahu betul. Mungkin di jam begini, Aris tengah diintrogasi. Dingin jeruji besi pasti dirasakan. Mungkinkah orang-orang bertubuh tegap itu akan mengizinkan untuk menemui sang ayah tercinta atau justru mendapat pengusiran keras? Semua itu hanya terperangkap dalam kepala tanpa bisa dicari tahu kebenarannya. Biarlah dulu. Ayahnya adalah orang yang perkasa, pasti kuat melewati cobaan.
Kali ini, Vika hanya mampu menunggu kedatangan Risa yang setengah jam lalu berkata akan segera sampai. Nyatanya, dua jam menunggu, tak ada siapa pun yang bertamu. Lelah menanti hal yang tak pasti, ia teringat jika hari ini adalah waktu untuk mengantar pakaian kotor ke penatu.
Masih dalam duka, Vika menapaki jalan beraspal hingga sampai di penatu langganan. Senyum dipaksa terbit, sekalipun enggan menipu diri sendiri. Sesak masih dirasakan. Namun, bukan berarti harus ditunjukkan pada dunia.Ruang seluas sepuluh meter dimasuki. Beberapa mesin cuci berbaris rapi, keranjang biru berisi tumpukan baju terlihat di mana-mana, juga setrika yang bertengger di atas meja. Maklumlah, ini adalah tempat paling diminati daripada yang lain. Pemandangan ini akan selalu dijumpainya dua kali dalam seminggu."Kak." Diulurkannya plastik ungu yang langsung disambut oleh pemilik penatu."Laundry lagi? Yang kemarin aja belum bayar loh." Ketus jawaban wanita perempat abad itu."Iya, nanti aku bayar semua."Tampak wanita tersebut manyun, tetapi Vika bersikap seolah tak melihat apa pun. Sebenarnya, ia memang tak bisa berbuat banyak. Sejak usaha kuningan Aris ban
💓Sudah sampai bab 3!? tambahkan ke pustaka. Terima kasih dan selamat Membaca💓"Tolong!" teriak Vikka.Dirinya tengah berlari menyusuri jalanan yang asing. Mendadak nabastala berubah segelap arang, kilat beradu hingga membuat dunia berkedip. Malam itu, ia tersesat di antara beberapa pohon besar yang daunnya melambai dihempas angin. Gemuruh petir kembali, kali ini memercikkan api yang menyambar salah satu pohon hingga tumbang.Vika kembali berlari. Pikirnya bimbang, ke mana jalan yang harus ditempuh? Dirinya teramat takut. Bagaimana jika nasibnya senaas pohon tadi?Mendadak kabut memunuhi ruang penglihatan. Terkepung sudah. Berjongkok pun menjadi pilihan. Tangis mulai pecah, isakan beradu dengan guntur yang kunjung berhenti. Saat itulah, hangat sentuhan merangkulnya. Gadis itu menoleh, terlihat sosok pria berdiri di belakang.Vika langsung bang
Masih di hari yang sama, Vika dan Risa beranjak dari tempat tingga untuk menemui sang tahanan. Selama di taksi, gadis yang rambutnya dikepang itu gundah. Kekhawatiran muncul tanpa ada alasan yang jelas. Berulang kali ia menyelentik kuku sendiri hingga ujung jarinya terasa perih.“Udah … santai aja, Vi,” tukas Risa yang memperhatikan.“Kalau Ayah tidak suka, bagaimana?”“Kenapa mesti tidak suka? Aku berani jamin jika Kakak akan merasa takjub dan puas ketika mencicipi masakanmu itu.”Setiap pikiran berkecambuk, Risa selalu dapat mengusirnya dan membawa ketenangan buat Vika. Terkadang beberapa orang menyayangkan keputusan Risa yang tidak kunjung berkeluarga. Padahal, figure keibuan telah melekat kuat.Kendaraan beroda empat berhenti di depan lapas. Suasana mencekam terasa lagi sekalipun adik Aris pernah datang ke san
Butuh waktu lama untuk menawarkan rumah yang terkesan biasa juga tanpa keunikan. Kondisi ini membuat gelisah makin menyelimuti perasaan wanita itu, belum lagi bicara pada anggota keluarga, entah bagaimana cara menjelaskan situasi saat ini? Diam-diam Vika mengamati. Bukannya tidak curiga dengan gerik sang tante yang selalu bepergian hingga larut malam dan menggenggam gawai tiap saat, banyak pertanyaan yang mengganjal benak gadis yang akan berulang tahun dua bulan lagi itu. Namun, ia memilih diam, berharap Risa angkat suara secara sukarela.Hari terus berganti, rembulan yang pemalu kembali menyembunyikan diri, sayang mereka masih saling menutupi gundah. Hingga sampai pada suatu titik, anak sulung Aris tidak lagi kuasa memendam penasaran. Dihentikannya Risa tepat ketika hendak melangkah ke luar."Sepagi ini Tante mau ke mana?""Ka--kamu udah bangun?" Terkejut mendengar suara, sontak berba
Risa akhirnya bertemu dengan calon pembeli. Pria berambut putih di hadapannya telah menyetujui tawaran. Sebuah tanda tangan dicoretkan pada materai surat jual-beli. Cek bernominal ratusan juta juga disodorkan. Sontak tangan riang wanita berambut hitam pun meraih lalu menjabat pemilik baru dari hunian Aris."Berarti sudah deal?" tanya pria berjas silver. Ia memastikan tidak ada kekurangan sebelum meninggalkan tempat."Tentu, Pak. Rumah itu milik Anda sekarang, tapi tolong berikan kami sedikit waktu untuk mengemasi barang.""Tentu saja. Tidak perlu buru-buru, silakan pindah kapan pun." Ramah ia menjawab.Senyum mengakhiri pertemuan singkat di salah satu restoran ternama yang menyajikan masakan khas negeri tirai bambu. Pria itu mengambil tas yang diletakkan pada kursi lalu beranjak, diikuti sekertaris yang sedari tadi sibuk membaca jadwal atasannya.Usai menunggu rekan