Masih dalam duka, Vika menapaki jalan beraspal hingga sampai di penatu langganan. Senyum dipaksa terbit, sekalipun enggan menipu diri sendiri. Sesak masih dirasakan. Namun, bukan berarti harus ditunjukkan pada dunia.
Ruang seluas sepuluh meter dimasuki. Beberapa mesin cuci berbaris rapi, keranjang biru berisi tumpukan baju terlihat di mana-mana, juga setrika yang bertengger di atas meja. Maklumlah, ini adalah tempat paling diminati daripada yang lain. Pemandangan ini akan selalu dijumpainya dua kali dalam seminggu.
"Kak." Diulurkannya plastik ungu yang langsung disambut oleh pemilik penatu.
"Laundry lagi? Yang kemarin aja belum bayar loh." Ketus jawaban wanita perempat abad itu.
"Iya, nanti aku bayar semua."
Tampak wanita tersebut manyun, tetapi Vika bersikap seolah tak melihat apa pun. Sebenarnya, ia memang tak bisa berbuat banyak. Sejak usaha kuningan Aris bangkrut, tak terkira hutang yang diambil. Dengan waktu pinjam yang terlalu lama, bunga merekah hingga ayah dua anak itu kewalahan. Alhasil, uang diputar, meminta pinjaman baru untuk melunasi yang lama. Kemalangan itulah yang membuatnya harus mendekap dalam bui dan menjadi obrolan orang sekitar.
Sore ini, gadis bermata bulat itu menatap langit berawan dari teras rumah. Buku setebal 230 halaman melekat kuat dalam menggaman. Ia masih menunggu kedatangan Risa. Walaupun gelisah sempat mampir, ia memilih diam, tak menelepon tantenya karena takut mengganggu.
"So-bakso!" teriak penjual keliling yang berdagang dengan gerobak.
Awalnya, Vika coba menahan diri. Namun, teriakan itu makin keras terdengar hingga beradu dengan perut yang sedari tadi bawel minta diisi. Ia pun masuk ke rumah dan mengambil uang yang tersimpan di laci. Setelah itu, sang Gadis Cantik berjalan melewati tiga rumah, hingga sampai pada tukang bakso.
"Mang, bungkus campur. Dua, ya."
"Oke, Neng." Dengan terampil, penjual tersebut menarik plastik dan mengisinya dengan mi, kol, dan sedikit penguat rasa, sebelum memasukkan bulatan daging.
Di saat bersamaan, tiga orang ibu rumah tangga, asyik bersantap sembari duduk pada kursi atom. Sesekali mulut mereka menuturkan aksara.
"Hem ... nggak tahu malu. Ayahnya sampai masuk penjara, masih berani Keluyuran."
"Iya, kira-kira dapat duit buat beli bakso dari mana?"
"Ngutil kali," sahut wanita berdaster.
Napas coba ditahan Vika. Istigfar dilantunkan dalam hati. Kalimat yang lebih pedas dari tiga sendok sambal itu amat menyayat rasa. Setelah pesanan terbungkus, ia memberikan selembar alat tukar bewarna hijau.
"Buruan pergi, hilang deh nafsu makan kalau kamu masih di sini," cerca salah satu.
Perlakuan yang tak pantas ini tak pernah didapat. Sebelumnya, semua orang sangat ramah. Bahkan, tak jarang beberapa tetangga mengirimkan makanan. Akan tetapi, semua keindahan itu telah sirna. Perlakuan mereka membuat Vika sadar jika kebaikan bersyarat hanya berlaku ketika panah roda berada di atas. Sudahlah. Dirinya selalu optimis, jika bukan hari ini, mereka pasti akan bersikap baik suatu hari nanti.
"Vika permisi dulu, ya, Ibu-ibu." Tak lupa, ia meninggalkan senyum dan membuat mereka berdeham.
Kembali dunia dipandangnya dengan nanar. Semburat orange nabastala yang biasanya menenteramkan hati, kini tak memperi pengaruh apa pun. Gelak tawa komunitas rumpi yang terdengar hingga rumahnya, membuat Vika kehilangan selera untuk makan. Bungkusan hanya disobek dan dipindahkan ke mangkuk. Kemudian, tudung saji ia pasang. Ia memilih untuk menyandarkan kepala pada meja. Jarinya sesekali mengetuk-ngetuk perabot kayu tanpa tahu maksud perbuatan sendiri.
Di waktu bersamaan, Risa turun dari taksi dan menapak pada altar, tempat kakaknya di tahan. Entah atas dasar apa, para polisi berhak mengurungnya bersama narapidana. Padahal, Aris tak melakukan kejahatan berat. Harusnya pria malang itu hanya diboyong ke kantor polisi tanpa harus berbaur dengan sampah masyarakat.
Heels yang tergesek, memberi suara ketuk yang memecah heningnya penjara. Usai mendapat izin besuk, ia duduk memandangi satu-satunya saudara sedarah melalui kaca. Pouch diletakkannya, tangan berganti meraih telepon berkabel lalu didekatkan pada telinga.
[Kakak, apa kondisimu baik?]
[Jangan khawatir, aku baik, tapi kenapa kau di sini? Lebih baik temani Vika. Anak itu takut jika sendirian di malam hari.]
Senyum ditunjukkan Risa, prihatin amat dalam muncul untuk pria berbaju garis di hadapan. [Aku akan ke sana setelah ini.]
[Apa harus kupanggilkan pengacara? Aku bisa menjual beberapa properti untuk melunasi hutang Kakak,] sambungnya.
[Jangan!] Pandangan Aris turun, rasa malu tak terkira ketika sang Adik mengatakan hal tersebut. [Seharusnya aku yang menawarkan bantuan. Namun, untuk saat ini, jaga saja putriku.]
Tentu saja akan ditolak, begitulah watak mandiri Aris. Sebelum ini pun, ia terbiasa bekerja keras. Tak ada kalimat 'menyusahkan orang lain' dalam kamus hidupnya. Setelah perbincangan tersebut, wanita dengan riasan wajah sedikit tebal itu berpamitan. Pesan agar menjaga kesehatan terlontar, sebelum telepon di letakkan kembali. Langsung saja petugas yang mengawasi, menggiring Aris kembali ke kamar tahanan.
***
"Tante?" Riang keponakan menyambut Risa yang berdiri di depan pintu.
"Kenapa belum tidur?"
Adik Aris masuk dan melirik jam dinding. Tampak jarum terpendek menunjuk angka sebelas.
"Belum bisa tidur, Tante."
Risa pun tersenyum. Dielusnya rambut Vika dengan lembut. Ia pun segera mengajak sang Keponakan duduk di sampingnya. Mereka berbincang secara langsung setelah dua bulan lamanya. Rutinitas Risa sebagai wanita karir membuatnya tak bisa sering berkunjung. Mungkin jika insiden tak terjadi, ia masih ada di luar kota.
"Oh, iya, Tante. Aku tadi beli bakso. Makan, yuk."
Gadis manis itu menarik tangan Risa dan menuntun menuju dapur. Di sana, mereka melanjutkan perbincangan sambil menyantap bakso dingin dengan mi yang terlalu lembek.
"Apa ada yang bicara aneh-aneh?"
"Hah, apa?" tanya Vika kaget.
"Apa ada orang yang menggosipkanmu?"
"Ti-tidak, Tante. Semua orang di sini sangat baik, itulah yang membuatku betah." Sambil tertunduk, ia tersenyum.
"Baguslah. Bilang saja kalau ada yang menganggu. Kamu hanya harus belajar agar bisa sukses, tak perlu memperdulikan orang-orang yang bergosip."
Anak yang dipanggil Vivi oleh pengganti ibunya, kembali tersenyum cerah. Ia mengangguk dengan cepat lalu menyebarkan suasana riang yang memenuhi rumah kecil itu. Risa sendiri tahu benar, menahan perasaan adalah kebiasaan gadis itu. Hampir tak pernah air mata ditunjukkan, hanya ada senyum yang diajak mengarungi suka duka hari.
'Anak yang malang,' gumamnya dalam hati.
Sampailah pada suapan bakso terakhir. Ia bergegas mengajak Vika ke kamar. Selimut tebal dibalutkan pada tubuh gempal anak sulung Aris. Kemudian, ia ikut merebahkan diri. Setelah yakin jika gadis itu terlelap dalam buai mimpi, Risa melangkah ke luar. Ia duduk di teras sambil menatap gawai yang memantulkan cahaya. Digulirnya terus layar tipis itu hingga menampilkan halaman pelelangan properti.
💓Sudah sampai bab 3!? tambahkan ke pustaka. Terima kasih dan selamat Membaca💓"Tolong!" teriak Vikka.Dirinya tengah berlari menyusuri jalanan yang asing. Mendadak nabastala berubah segelap arang, kilat beradu hingga membuat dunia berkedip. Malam itu, ia tersesat di antara beberapa pohon besar yang daunnya melambai dihempas angin. Gemuruh petir kembali, kali ini memercikkan api yang menyambar salah satu pohon hingga tumbang.Vika kembali berlari. Pikirnya bimbang, ke mana jalan yang harus ditempuh? Dirinya teramat takut. Bagaimana jika nasibnya senaas pohon tadi?Mendadak kabut memunuhi ruang penglihatan. Terkepung sudah. Berjongkok pun menjadi pilihan. Tangis mulai pecah, isakan beradu dengan guntur yang kunjung berhenti. Saat itulah, hangat sentuhan merangkulnya. Gadis itu menoleh, terlihat sosok pria berdiri di belakang.Vika langsung bang
Masih di hari yang sama, Vika dan Risa beranjak dari tempat tingga untuk menemui sang tahanan. Selama di taksi, gadis yang rambutnya dikepang itu gundah. Kekhawatiran muncul tanpa ada alasan yang jelas. Berulang kali ia menyelentik kuku sendiri hingga ujung jarinya terasa perih.“Udah … santai aja, Vi,” tukas Risa yang memperhatikan.“Kalau Ayah tidak suka, bagaimana?”“Kenapa mesti tidak suka? Aku berani jamin jika Kakak akan merasa takjub dan puas ketika mencicipi masakanmu itu.”Setiap pikiran berkecambuk, Risa selalu dapat mengusirnya dan membawa ketenangan buat Vika. Terkadang beberapa orang menyayangkan keputusan Risa yang tidak kunjung berkeluarga. Padahal, figure keibuan telah melekat kuat.Kendaraan beroda empat berhenti di depan lapas. Suasana mencekam terasa lagi sekalipun adik Aris pernah datang ke san
Butuh waktu lama untuk menawarkan rumah yang terkesan biasa juga tanpa keunikan. Kondisi ini membuat gelisah makin menyelimuti perasaan wanita itu, belum lagi bicara pada anggota keluarga, entah bagaimana cara menjelaskan situasi saat ini? Diam-diam Vika mengamati. Bukannya tidak curiga dengan gerik sang tante yang selalu bepergian hingga larut malam dan menggenggam gawai tiap saat, banyak pertanyaan yang mengganjal benak gadis yang akan berulang tahun dua bulan lagi itu. Namun, ia memilih diam, berharap Risa angkat suara secara sukarela.Hari terus berganti, rembulan yang pemalu kembali menyembunyikan diri, sayang mereka masih saling menutupi gundah. Hingga sampai pada suatu titik, anak sulung Aris tidak lagi kuasa memendam penasaran. Dihentikannya Risa tepat ketika hendak melangkah ke luar."Sepagi ini Tante mau ke mana?""Ka--kamu udah bangun?" Terkejut mendengar suara, sontak berba
Risa akhirnya bertemu dengan calon pembeli. Pria berambut putih di hadapannya telah menyetujui tawaran. Sebuah tanda tangan dicoretkan pada materai surat jual-beli. Cek bernominal ratusan juta juga disodorkan. Sontak tangan riang wanita berambut hitam pun meraih lalu menjabat pemilik baru dari hunian Aris."Berarti sudah deal?" tanya pria berjas silver. Ia memastikan tidak ada kekurangan sebelum meninggalkan tempat."Tentu, Pak. Rumah itu milik Anda sekarang, tapi tolong berikan kami sedikit waktu untuk mengemasi barang.""Tentu saja. Tidak perlu buru-buru, silakan pindah kapan pun." Ramah ia menjawab.Senyum mengakhiri pertemuan singkat di salah satu restoran ternama yang menyajikan masakan khas negeri tirai bambu. Pria itu mengambil tas yang diletakkan pada kursi lalu beranjak, diikuti sekertaris yang sedari tadi sibuk membaca jadwal atasannya.Usai menunggu rekan
Vika berjalan lunglai menuju hamparan pasir putih. Ia dapat merasakan debur ombak yang menerpa kaki tanpa alas, seolah menarik sesuatu dari dalam dirinya. Gadis cantik itu kian kurus, kehilangan selera untuk makan. Apalagi menjalani hidup yang tak ada bedanya dengan neraka. Ditinggal pergi ibu sejak masih kecil, berusaha keras untuk bertahan dengan bekerja bak robot, kini kekasihnya bahkan turut direnggut.Akan tetapi, bukan oleh gadis lain. Cinta Vika dan Xavier, mantan kekasihnya, cukup kuat untuk melawan semua godaan. Tak pernah meskipun hanya sekali, terbesit keinginan mendua. Sayangnya, Xavier merupakan putra tunggal dari pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Menjadi sekertaris biasa membuat hubungan itu diragukan dunia. Tak ada satu pun pegawai lain yang percaya bila si bos benar-benar menaruh hati padanya. Mereka sibuk bergunjing, mengaku kalau Vika menggunakan ilmu pengasihan.Vika juga tak per