Mendengar suara bernada rendah yang begitu memanjakan telinga, Mia sontak bergidik. Telinganya sama sekali tidak salah. Pria muda yang sedang menggenggam tangannya itu memang bernama Liam.
“Ada apa, Nona? Apakah ada sesuatu yang salah dengan nama saya?” tanya si asisten pribadi seraya menaikkan sebelah alis. Pesonanya sontak menyentak gadis di hadapannya kembali sadar.
“Maaf,” desah Mia seraya menurunkan tangan dan sedikit melangkah mundur. Dengan lengkung bibir kaku yang dihiasi ringisan, ia mengarang alasan. “Nama Anda terdengar tidak asing.”
Sambil mengangguk kecil, Liam menerbitkan senyum yang lebih lebar. Pria itu seolah menyembunyikan di balik binar matanya yang misterius.
Tak ingin terhipnotis lagi, Mia segera menggerakkan telapak tangan ke arah pintu. Namun, belum sempat ia bicara, suara lain sudah lebih dulu menyela.
“Paman Howard? Kenapa kau kemari? Astaga, seharusnya akulah yang menghampirimu. Se
“Seperti saudara kandung?” tanya Mia menguji.“Ya. Dulu, setiap Julian bertengkar dengan Max, dia selalu kabur ke rumah Tuan Carter. Di sana, kami menghabiskan banyak waktu bersama. Tapi, sejak Julian patah hati dan kabur ke kota lain, kami tidak pernah bertemu lagi. Hubungan kami terputus begitu saja, sampai akhirnya, Anda mengirimkan proposal kerja sama ke surel kami,” jelas Liam sembari mengitari meja dan berakhir di hadapan sang sekretaris.Setelah memiringkan kepala dan menghangatkan pandangan, pria itu menyunggingkan senyum terbaiknya. “Terima kasih karena telah membuat pertemuan hari ini terjadi, Nona.”Tanpa sadar, Mia menelan ludah. Tatapan Liam terlalu intens baginya.“Kenapa Anda berterima kasih kepada saya, Tuan? Saya hanya bertugas mengirimkan proposal. Idenya datang dari Tuan Julian. Jadi, Anda seharusnya berterima kasih kepadanya,” timpal sang gadis seraya berkedip-kedip ke arah lain.&
Selang keheningan sesaat, Julian kembali meninggikan suara. “Dia memang kekasihku. Lalu, kau mau apa?”Dalam sekejap, jantung Mia berdetak cepat. Ia tidak menduga bahwa sang CEO mau mengakui statusnya di hadapan Liam. Namun, belum sempat sang gadis memikirkan respon yang harus ditunjukkan, pria di sampingnya sudah lebih dulu mendengus.“Kau kira aku percaya? Wanita semanis Nona Sanders tidak mungkin jatuh hati pada laki-laki seemosional dirimu, Julian. Dia pasti menginginkan pria yang bisa memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang.”Mendengar ejekan tersebut, kuping sang CEO mendadak memanas. “Beraninya kau meremehkanku,” gerutunya sebelum menatap sang sekretaris lurus-lurus. “Mia, cepat katakan kepada Liam tentang hubungan kita. Laki-laki ini perlu diberi penjelasan.”Tanpa sadar, tangan sang gadis mengepal erat. Bayang-bayang Julian bersama Katniss telah menggelapkan akal sehatnya. Sambil memak
“Ada apa, Nona Sanders? Kenapa Anda berdiri di sini?” bisik Liam, sontak membuat sang sekretaris menarik napas cepat dan menegakkan kepala. Sembari berkedip-kedip, gadis itu mencari alasan.“Saya ...” desah Mia sembari menunggu otak mengirimkan hasil karangan. Tepat pada saat itu pula, mata sang gadis tertuju pada baki yang sedang dibawanya. “Saya lupa apakah teh ini sudah diberikan gula atau belum,” lanjutnya seraya mengangguk-angguk.Setelah memutar memori sejenak, pria yang juga memegang baki pun berkata, “Sudah. Saya melihat Anda memasukkan satu sendok ke dalamnya.”“Apakah Anda yakin?” tanya Mia berpura-pura bodoh. Padahal, ia hanya mengulur waktu agar kesedihan tenggelam dari bola matanya.“Ya,” sahut Liam sebelum mengirim kode lewat arah pandangan. “Ayo kita masuk. Para CEO pasti sudah menunggu.”“Ya,” jawab sang gadis sebelum menelan ludah. Sambi
“Mia, bolehkah aku meminjam Julian sebentar?” tanya Katniss di sela napas yang terengah-engah. Ia sama sekali tidak mengindahkan ekspresi pada wajah yang menghindar dari hadapannya.“Ada apa, Katniss?” selidik sang pria dengan alis berkerut.Tanpa menunggu jawaban dari sang sekretaris, tamu yang tak diundang itu menarik lengan Julian untuk mengikutinya.“Tunggu dulu, Katniss. Kau tidak bisa seenaknya menyeretku seperti ini,” protes pria itu, berusaha meloloskan diri dari cengkeraman sang model. “Aku sedang berbicara serius dengan Mia.”“Tapi ini lebih genting, Julian,” bisik Katniss seraya menempelkan ibu jari sang CEO pada sensor.Begitu pintu terbuka, kedua orang itu langsung menghilang dari pandangan Mia. Dalam sekejap, air mata mengalir lebih deras.“Bukankah itu sudah sangat jelas? Apa lagi yang mau Anda bicarakan, Tuan?” desah sang sekretaris penuh dengan penekanan
“Halo? Mia? Apakah kau baik-baik saja?” tanya Minnie yang heran karena tidak terdengar suara. “Bu, nanti aku hubungi lagi. Ada tugas mendesak yang harus kukerjakan sekarang,” sahut sang sekretaris sembari menahan getar suara semampunya. “Mia—“ Tanpa menunggu kelanjutan dari perkataan sang ibu, gadis itu menutup telepon. Sambil mengusap leher yang terasa membara, ia memasukkan ponsel ke dalam tas. “Aku tidak sanggup lagi. Sungguh-sungguh tidak sanggup.” Sedetik kemudian, Mia meninggalkan meja kerjanya, berjalan menuju lift. Gadis itu tidak peduli jika masih ada pekerjaan yang belum terselesaikan. Ia tidak ingin bertatapan dengan pria yang telah memorakporandakan hatinya. Di dalam ruang sempit itu, sang sekretaris bersembunyi di balik kelopak mata yang terasa sangat panas. Air mata terus mendesak keluar. Sebisa mungkin, Mia mengurungnya bersama kepedihan. “Berhentilah menangis! Apa kau tidak malu jika karyawan lain melih
Setelah menandatangani surat pernyataan dan melengkapinya dengan cap, Julian menyerahkan selembar kertas itu kepada Katniss. “Apakah kau yakin ini sudah cukup untuk membantah berita miring tentang kita?” tanya sang pria dengan alis tertarik oleh keresahan. “Setidaknya, kita tidak diam saja dan membiarkan orang-orang menganggap berita itu benar,” sahut Katniss sembari menyimpan kertas ke dalam map yang berisi surat pernyataannya. Setelah mengangguk-angguk, Julian memiringkan kepala dan menyipitkan pandangan. “Apakah rumor ini dapat memengaruhi reputasimu?” Tanpa berpikir panjang, sang wanita mengibaskan tangan. “Tentu saja berpengaruh. Aku menjadi semakin terkenal.” “Lalu, setelah surat pernyataan itu diperluas, apakah kau akan menerima dampak buruk?” “Tidak. Orang-orang malah akan memujiku karena sudah berbaik hati membantumu di sela jadwalku yang sangat padat,” jawab Katniss seraya memasukkan map ke dalam tas besarnya dan beranjak dar
“Maafkan Papa, Julian. Maaf,” ucap Herbert sembari tertunduk semakin dalam. “Aku ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anakku. Tapi kenapa ... semua yang kulakukan selalu berujung pada kesalahan fatal?” desah pria itu, terdengar seperti sebuah renungan. Dengan darah yang sudah mencapai ubun-ubun, Julian ingin sekali meluapkan kemarahan. Telunjuknya gatal, hendak melimpahkan kesalahan kepada sang ayah, sementara bibirnya berkedut, hampir memuntahkan sesal. Namun, sebelum ia meledakkan emosi, bayangan Mia kembali terlintas dalam pikiran. Seketika, pria itu ingat bahwa dirinya sudah berjanji untuk menjadi pria yang bisa diandalkan oleh sang gadis. Sambil mendongak, Julian menghirup napas dalam-dalam. Perlahan-lahan, rasa panas dalam dada mereda. Jemari yang semula terkepal erat, kini mulai merenggang. Sedetik kemudian, tangannya terangkat dan mendarat ringan di kedua lengan sang ayah. “Ini bukan salah Papa,” ujar pria itu dengan nada rendah yang b
“Mia!” panggil Julian di depan pintu apartemen sang kekasih. Sudah beberapa kali ia mengeluarkan suara lantang. Akan tetapi, gadis yang selalu mengisi pikirannya belum juga terlihat. “Mia, tolong bukakan pintu! Kita harus bicara!” Dua detik, tiga detik, suasana tetap hening. Hanya gemuruh napas Julian yang menggetarkan udara. Tak ingin putus asa, pria itu kembali menggedor pintu. Tepat pada saat itulah, akal sehatnya terketuk. Ia baru ingat dengan bel yang bisa digunakan di dekat pintu. Tanpa membuang waktu, pria itu memencet tombol sebanyak hatinya menjeritkan nama sang gadis. “Mia, kita benar-benar harus bicara. Apa yang dikabarkan oleh media itu tidak benar,” seru Julian tanpa memedulikan jika suaranya sampai ke balik ruangan atau tidak. “Mia ....” Tak sabar lagi menunggu, sang pria akhirnya mulai menekan kode sandi. Namun, begitu ia mendorong pintu, kunci digital itu memancarkan cahaya merah dan kembali meminta angka. Dalam sekejap, k