“Halo? Mia? Apakah kau baik-baik saja?” tanya Minnie yang heran karena tidak terdengar suara.
“Bu, nanti aku hubungi lagi. Ada tugas mendesak yang harus kukerjakan sekarang,” sahut sang sekretaris sembari menahan getar suara semampunya.
“Mia—“
Tanpa menunggu kelanjutan dari perkataan sang ibu, gadis itu menutup telepon. Sambil mengusap leher yang terasa membara, ia memasukkan ponsel ke dalam tas.
“Aku tidak sanggup lagi. Sungguh-sungguh tidak sanggup.”
Sedetik kemudian, Mia meninggalkan meja kerjanya, berjalan menuju lift. Gadis itu tidak peduli jika masih ada pekerjaan yang belum terselesaikan. Ia tidak ingin bertatapan dengan pria yang telah memorakporandakan hatinya.
Di dalam ruang sempit itu, sang sekretaris bersembunyi di balik kelopak mata yang terasa sangat panas. Air mata terus mendesak keluar. Sebisa mungkin, Mia mengurungnya bersama kepedihan.
“Berhentilah menangis! Apa kau tidak malu jika karyawan lain melih
Setelah menandatangani surat pernyataan dan melengkapinya dengan cap, Julian menyerahkan selembar kertas itu kepada Katniss. “Apakah kau yakin ini sudah cukup untuk membantah berita miring tentang kita?” tanya sang pria dengan alis tertarik oleh keresahan. “Setidaknya, kita tidak diam saja dan membiarkan orang-orang menganggap berita itu benar,” sahut Katniss sembari menyimpan kertas ke dalam map yang berisi surat pernyataannya. Setelah mengangguk-angguk, Julian memiringkan kepala dan menyipitkan pandangan. “Apakah rumor ini dapat memengaruhi reputasimu?” Tanpa berpikir panjang, sang wanita mengibaskan tangan. “Tentu saja berpengaruh. Aku menjadi semakin terkenal.” “Lalu, setelah surat pernyataan itu diperluas, apakah kau akan menerima dampak buruk?” “Tidak. Orang-orang malah akan memujiku karena sudah berbaik hati membantumu di sela jadwalku yang sangat padat,” jawab Katniss seraya memasukkan map ke dalam tas besarnya dan beranjak dar
“Maafkan Papa, Julian. Maaf,” ucap Herbert sembari tertunduk semakin dalam. “Aku ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anakku. Tapi kenapa ... semua yang kulakukan selalu berujung pada kesalahan fatal?” desah pria itu, terdengar seperti sebuah renungan. Dengan darah yang sudah mencapai ubun-ubun, Julian ingin sekali meluapkan kemarahan. Telunjuknya gatal, hendak melimpahkan kesalahan kepada sang ayah, sementara bibirnya berkedut, hampir memuntahkan sesal. Namun, sebelum ia meledakkan emosi, bayangan Mia kembali terlintas dalam pikiran. Seketika, pria itu ingat bahwa dirinya sudah berjanji untuk menjadi pria yang bisa diandalkan oleh sang gadis. Sambil mendongak, Julian menghirup napas dalam-dalam. Perlahan-lahan, rasa panas dalam dada mereda. Jemari yang semula terkepal erat, kini mulai merenggang. Sedetik kemudian, tangannya terangkat dan mendarat ringan di kedua lengan sang ayah. “Ini bukan salah Papa,” ujar pria itu dengan nada rendah yang b
“Mia!” panggil Julian di depan pintu apartemen sang kekasih. Sudah beberapa kali ia mengeluarkan suara lantang. Akan tetapi, gadis yang selalu mengisi pikirannya belum juga terlihat. “Mia, tolong bukakan pintu! Kita harus bicara!” Dua detik, tiga detik, suasana tetap hening. Hanya gemuruh napas Julian yang menggetarkan udara. Tak ingin putus asa, pria itu kembali menggedor pintu. Tepat pada saat itulah, akal sehatnya terketuk. Ia baru ingat dengan bel yang bisa digunakan di dekat pintu. Tanpa membuang waktu, pria itu memencet tombol sebanyak hatinya menjeritkan nama sang gadis. “Mia, kita benar-benar harus bicara. Apa yang dikabarkan oleh media itu tidak benar,” seru Julian tanpa memedulikan jika suaranya sampai ke balik ruangan atau tidak. “Mia ....” Tak sabar lagi menunggu, sang pria akhirnya mulai menekan kode sandi. Namun, begitu ia mendorong pintu, kunci digital itu memancarkan cahaya merah dan kembali meminta angka. Dalam sekejap, k
Sembari menelan ludah, Julian mengepalkan tangan di atas kedua lututnya. Setelah menarik napas dalam-dalam, pria itu menjawab, “Tolong jangan memercayai kabar itu, Bi. Semua yang diberitakan itu tidak benar.” “Apa yang tidak benar? Bukankah sudah jelas kalau model cantik itu terlihat sangat bahagia menggandeng lengan Anda? Anda bahkan tersenyum saat menempatkan cincin di atas telapak tangannya,” balas Minnie dengan ekspresi sekeras batu. “Tapi itu bukan seperti yang terlihat. Media sudah melebih-lebihkan,” ringis sang pria. “Saya dan model itu—“ “Itulah yang dilihat oleh Mia dengan mata kepalanya sendiri,” sela si wanita tua sembari melihat ke arah lain. Air mata bisa jatuh jika ia tetap membalas tatapan pria yang masih berlutut itu. Mendengar pernyataan tersebut, Julian mendadak bungkam. Bola matanya bergetar membayangkan bahwa sang kekasih telah memendam sakit lebih lama dari yang ia kira. “Mia ada di sana?” desah pria itu, sulit menerima ke
“Jadi, selama ini, Paman dan Bibi tidak menentang hubungan kami?” seru Julian, mempertegas pertanyaannya barusan. Sambil menarik napas panjang, Minnie berkedip-kedip mengulas memori. “Awalnya, kami memang keberatan.” “Apakah benar karena ketidakbecusanku?” terka sang pria dengan mata bulat. Dengan senyum miring, sang wanita tua menggeleng lambat. “Bukan. Perkataan saya yang Anda dengar waktu itu sama sekali tidak benar, Tuan. Saya mengatakannya karena Mia yang meminta. Dia ingin mencoba untuk membenci Anda. Tapi ternyata, dia tidak bisa.” Mendengar penjelasan itu, hati Julian menjadi semakin lega. Namun, selang satu embusan napas, kebingungan kembali menciutkan senyumnya. “Kalau bukan karena itu, lalu apa? Apakah karena pandangan orang-orang? Paman dan Bibi takut jika Mia mendapat cemoohan?” Setelah mendesah samar, sang wanita tua mengangguk. “Ya, kami takut jika orang-orang tidak senang pada Mia dan berusaha menjatuhkannya.” “Bibi tid
Sembari mengacak rambut, Julian menghela napas cepat. Wajahnya telah kembali suram. Harapan yang sempat mewarnai matanya, kini telah lenyap ditelan resah. “Mia, kau di mana?” erangnya sambil mendongak dengan tangan di pinggang. Sembari menatap langit-langit yang tak mampu memberikan jawaban, pria itu mendesah. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” Sadar bahwa pikirannya telah buntu, Julian akhirnya mengambil ponsel. Tanpa mengulur waktu, ia menghubungi seseorang yang bisa memberinya solusi. “Halo?” sapa seorang pria dari seberang telepon. “Max, di mana Gabriella?” tanya Julian secepat angin. “Istriku sedang memandikan Pangeran Kecil. Ada apa?” Sambil memijat pelipis, si penelepon membalas, “Bolehkah aku bicara dengannya?” “Tentu saja,” sahut sang adik agak pelan. Selang beberapa saat, suara pria itu kembali terdengar. “Gaby, Julian mencarimu.” “Ada apa?” Tanpa sempat menyapa, sang CEO melantangkan jawaban. “Mia m
Cayden berhenti menggoyangkan kaki ketika sang ayah membawanya memasuki apartemen Mia. Kondisi ruang yang tertangkap oleh mata bulatnya merupakan pemandangan yang belum pernah ia lihat. Tidak satu pun benda tertata pada tempatnya. “Mi ... ya ... jajajaja!” seru bayi itu sembari meruncingkan telunjuk ke depan. Setelah menghela napas samar, wanita yang berdiri di samping suaminya pun mengangguk. “Benar. Mia akan marah besar jika dia tahu rumahnya telah diubah menjadi kapal pecah.” “Tidak akan ada seorang pun yang percaya jika Julian sedang mencari paspor,” gumam Max seraya lanjut berjalan, melangkahi bantal-bantal sofa yang berserakan di lantai. “Sepertinya, kakakmu mulai kehilangan akal sehat,” timpal Gabriella sembari mengangkat bantal yang baru dilangkahi oleh suaminya dan memindahkan benda itu ke tempat yang seharusnya. Tepat pada saat itu pula, seorang pria dengan rambut acak-acakan melintasi ruang. Begitu melihat kehadiran para tamu, langk
Sejauh apa pun mata melihat, seindah apa pun pemandangan yang ditangkap, bayangan Mia terus menguasai pikiran Julian. Pria itu sama sekali tidak menikmati perjalanan. Selama ia belum menggenggam tangan sang kekasih, jantungnya akan terus berdegup tak karuan. Ketenangan tidak akan terbit dalam rongga dadanya yang sesak oleh keresahan. Setibanya di hotel, Julian langsung menghampiri meja resepsionis dengan semangat membara. Namun, alih-alih mengajukan booking, ia malah mempersiapkan ponselnya. “Selamat pagi,” sapa pria berwajah lusuh dengan kantong mata yang sangat tebal itu. “Maaf sebelumnya. Apakah seorang wanita dengan nama Mia Sanders memesan kamar di hotel ini?” Dengan senyum ramah yang terancam lepas, gadis di balik meja resepsionis meringis. “Mohon maaf, Tuan. Kami tidak bisa menyerahkan data pengunjung hotel kepada sembarang orang,” tolaknya halus. Tampak jelas bahwa sang resepsionis mencurigai tampang pria yang semrawut itu. “Tolong ja
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb