Sadar bahwa sang CEO tidak akan mudah menyerah, Mia pun terpaksa menampakkan ketegasan lewat tatapan redupnya. “Kita lihat nanti saja. Sekarang sudah jam kerja, mohon segera ke ruangan Anda. Hari ini, kita memiliki pertemuan penting dengan Carter Care Company.”
Mendapati ekspresi yang belum pernah ia lihat sebelumnya, Julian pun terdiam. Sambil berkedip kebingungan, pria itu kembali menegakkan badan. “Baiklah. Kita bicarakan lagi Jumat nanti,” ucapnya datar.
Setelah mengelus pundak Mia, pria itu berbalik menuju pintu ruangannya. Sembari mengerutkan alis, ia menerka-nerka arti dari raut wajah sang kekasih.
“Kenapa Mia terlihat seperti menyimpan dendam? Apakah sesuatu yang buruk baru saja terjadi padanya? Atau, dia merasa kesal karena aku terlalu sibuk kemarin?”
Setibanya di ruangan yang berbeda, Julian akhirnya mendesah. “Aku harus meminta maaf nanti.” Setelah mengangguk membenarkan keputusan dalam benaknya,
Mendengar suara bernada rendah yang begitu memanjakan telinga, Mia sontak bergidik. Telinganya sama sekali tidak salah. Pria muda yang sedang menggenggam tangannya itu memang bernama Liam.“Ada apa, Nona? Apakah ada sesuatu yang salah dengan nama saya?” tanya si asisten pribadi seraya menaikkan sebelah alis. Pesonanya sontak menyentak gadis di hadapannya kembali sadar.“Maaf,” desah Mia seraya menurunkan tangan dan sedikit melangkah mundur. Dengan lengkung bibir kaku yang dihiasi ringisan, ia mengarang alasan. “Nama Anda terdengar tidak asing.”Sambil mengangguk kecil, Liam menerbitkan senyum yang lebih lebar. Pria itu seolah menyembunyikan di balik binar matanya yang misterius.Tak ingin terhipnotis lagi, Mia segera menggerakkan telapak tangan ke arah pintu. Namun, belum sempat ia bicara, suara lain sudah lebih dulu menyela.“Paman Howard? Kenapa kau kemari? Astaga, seharusnya akulah yang menghampirimu. Se
“Seperti saudara kandung?” tanya Mia menguji.“Ya. Dulu, setiap Julian bertengkar dengan Max, dia selalu kabur ke rumah Tuan Carter. Di sana, kami menghabiskan banyak waktu bersama. Tapi, sejak Julian patah hati dan kabur ke kota lain, kami tidak pernah bertemu lagi. Hubungan kami terputus begitu saja, sampai akhirnya, Anda mengirimkan proposal kerja sama ke surel kami,” jelas Liam sembari mengitari meja dan berakhir di hadapan sang sekretaris.Setelah memiringkan kepala dan menghangatkan pandangan, pria itu menyunggingkan senyum terbaiknya. “Terima kasih karena telah membuat pertemuan hari ini terjadi, Nona.”Tanpa sadar, Mia menelan ludah. Tatapan Liam terlalu intens baginya.“Kenapa Anda berterima kasih kepada saya, Tuan? Saya hanya bertugas mengirimkan proposal. Idenya datang dari Tuan Julian. Jadi, Anda seharusnya berterima kasih kepadanya,” timpal sang gadis seraya berkedip-kedip ke arah lain.&
Selang keheningan sesaat, Julian kembali meninggikan suara. “Dia memang kekasihku. Lalu, kau mau apa?”Dalam sekejap, jantung Mia berdetak cepat. Ia tidak menduga bahwa sang CEO mau mengakui statusnya di hadapan Liam. Namun, belum sempat sang gadis memikirkan respon yang harus ditunjukkan, pria di sampingnya sudah lebih dulu mendengus.“Kau kira aku percaya? Wanita semanis Nona Sanders tidak mungkin jatuh hati pada laki-laki seemosional dirimu, Julian. Dia pasti menginginkan pria yang bisa memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang.”Mendengar ejekan tersebut, kuping sang CEO mendadak memanas. “Beraninya kau meremehkanku,” gerutunya sebelum menatap sang sekretaris lurus-lurus. “Mia, cepat katakan kepada Liam tentang hubungan kita. Laki-laki ini perlu diberi penjelasan.”Tanpa sadar, tangan sang gadis mengepal erat. Bayang-bayang Julian bersama Katniss telah menggelapkan akal sehatnya. Sambil memak
“Ada apa, Nona Sanders? Kenapa Anda berdiri di sini?” bisik Liam, sontak membuat sang sekretaris menarik napas cepat dan menegakkan kepala. Sembari berkedip-kedip, gadis itu mencari alasan.“Saya ...” desah Mia sembari menunggu otak mengirimkan hasil karangan. Tepat pada saat itu pula, mata sang gadis tertuju pada baki yang sedang dibawanya. “Saya lupa apakah teh ini sudah diberikan gula atau belum,” lanjutnya seraya mengangguk-angguk.Setelah memutar memori sejenak, pria yang juga memegang baki pun berkata, “Sudah. Saya melihat Anda memasukkan satu sendok ke dalamnya.”“Apakah Anda yakin?” tanya Mia berpura-pura bodoh. Padahal, ia hanya mengulur waktu agar kesedihan tenggelam dari bola matanya.“Ya,” sahut Liam sebelum mengirim kode lewat arah pandangan. “Ayo kita masuk. Para CEO pasti sudah menunggu.”“Ya,” jawab sang gadis sebelum menelan ludah. Sambi
“Mia, bolehkah aku meminjam Julian sebentar?” tanya Katniss di sela napas yang terengah-engah. Ia sama sekali tidak mengindahkan ekspresi pada wajah yang menghindar dari hadapannya.“Ada apa, Katniss?” selidik sang pria dengan alis berkerut.Tanpa menunggu jawaban dari sang sekretaris, tamu yang tak diundang itu menarik lengan Julian untuk mengikutinya.“Tunggu dulu, Katniss. Kau tidak bisa seenaknya menyeretku seperti ini,” protes pria itu, berusaha meloloskan diri dari cengkeraman sang model. “Aku sedang berbicara serius dengan Mia.”“Tapi ini lebih genting, Julian,” bisik Katniss seraya menempelkan ibu jari sang CEO pada sensor.Begitu pintu terbuka, kedua orang itu langsung menghilang dari pandangan Mia. Dalam sekejap, air mata mengalir lebih deras.“Bukankah itu sudah sangat jelas? Apa lagi yang mau Anda bicarakan, Tuan?” desah sang sekretaris penuh dengan penekanan
“Halo? Mia? Apakah kau baik-baik saja?” tanya Minnie yang heran karena tidak terdengar suara. “Bu, nanti aku hubungi lagi. Ada tugas mendesak yang harus kukerjakan sekarang,” sahut sang sekretaris sembari menahan getar suara semampunya. “Mia—“ Tanpa menunggu kelanjutan dari perkataan sang ibu, gadis itu menutup telepon. Sambil mengusap leher yang terasa membara, ia memasukkan ponsel ke dalam tas. “Aku tidak sanggup lagi. Sungguh-sungguh tidak sanggup.” Sedetik kemudian, Mia meninggalkan meja kerjanya, berjalan menuju lift. Gadis itu tidak peduli jika masih ada pekerjaan yang belum terselesaikan. Ia tidak ingin bertatapan dengan pria yang telah memorakporandakan hatinya. Di dalam ruang sempit itu, sang sekretaris bersembunyi di balik kelopak mata yang terasa sangat panas. Air mata terus mendesak keluar. Sebisa mungkin, Mia mengurungnya bersama kepedihan. “Berhentilah menangis! Apa kau tidak malu jika karyawan lain melih
Setelah menandatangani surat pernyataan dan melengkapinya dengan cap, Julian menyerahkan selembar kertas itu kepada Katniss. “Apakah kau yakin ini sudah cukup untuk membantah berita miring tentang kita?” tanya sang pria dengan alis tertarik oleh keresahan. “Setidaknya, kita tidak diam saja dan membiarkan orang-orang menganggap berita itu benar,” sahut Katniss sembari menyimpan kertas ke dalam map yang berisi surat pernyataannya. Setelah mengangguk-angguk, Julian memiringkan kepala dan menyipitkan pandangan. “Apakah rumor ini dapat memengaruhi reputasimu?” Tanpa berpikir panjang, sang wanita mengibaskan tangan. “Tentu saja berpengaruh. Aku menjadi semakin terkenal.” “Lalu, setelah surat pernyataan itu diperluas, apakah kau akan menerima dampak buruk?” “Tidak. Orang-orang malah akan memujiku karena sudah berbaik hati membantumu di sela jadwalku yang sangat padat,” jawab Katniss seraya memasukkan map ke dalam tas besarnya dan beranjak dar
“Maafkan Papa, Julian. Maaf,” ucap Herbert sembari tertunduk semakin dalam. “Aku ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anakku. Tapi kenapa ... semua yang kulakukan selalu berujung pada kesalahan fatal?” desah pria itu, terdengar seperti sebuah renungan. Dengan darah yang sudah mencapai ubun-ubun, Julian ingin sekali meluapkan kemarahan. Telunjuknya gatal, hendak melimpahkan kesalahan kepada sang ayah, sementara bibirnya berkedut, hampir memuntahkan sesal. Namun, sebelum ia meledakkan emosi, bayangan Mia kembali terlintas dalam pikiran. Seketika, pria itu ingat bahwa dirinya sudah berjanji untuk menjadi pria yang bisa diandalkan oleh sang gadis. Sambil mendongak, Julian menghirup napas dalam-dalam. Perlahan-lahan, rasa panas dalam dada mereda. Jemari yang semula terkepal erat, kini mulai merenggang. Sedetik kemudian, tangannya terangkat dan mendarat ringan di kedua lengan sang ayah. “Ini bukan salah Papa,” ujar pria itu dengan nada rendah yang b
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb