“Ada apa, Nona Sanders? Kenapa Anda berdiri di sini?” bisik Liam, sontak membuat sang sekretaris menarik napas cepat dan menegakkan kepala. Sembari berkedip-kedip, gadis itu mencari alasan.
“Saya ...” desah Mia sembari menunggu otak mengirimkan hasil karangan. Tepat pada saat itu pula, mata sang gadis tertuju pada baki yang sedang dibawanya. “Saya lupa apakah teh ini sudah diberikan gula atau belum,” lanjutnya seraya mengangguk-angguk.
Setelah memutar memori sejenak, pria yang juga memegang baki pun berkata, “Sudah. Saya melihat Anda memasukkan satu sendok ke dalamnya.”
“Apakah Anda yakin?” tanya Mia berpura-pura bodoh. Padahal, ia hanya mengulur waktu agar kesedihan tenggelam dari bola matanya.
“Ya,” sahut Liam sebelum mengirim kode lewat arah pandangan. “Ayo kita masuk. Para CEO pasti sudah menunggu.”
“Ya,” jawab sang gadis sebelum menelan ludah. Sambi
“Mia, bolehkah aku meminjam Julian sebentar?” tanya Katniss di sela napas yang terengah-engah. Ia sama sekali tidak mengindahkan ekspresi pada wajah yang menghindar dari hadapannya.“Ada apa, Katniss?” selidik sang pria dengan alis berkerut.Tanpa menunggu jawaban dari sang sekretaris, tamu yang tak diundang itu menarik lengan Julian untuk mengikutinya.“Tunggu dulu, Katniss. Kau tidak bisa seenaknya menyeretku seperti ini,” protes pria itu, berusaha meloloskan diri dari cengkeraman sang model. “Aku sedang berbicara serius dengan Mia.”“Tapi ini lebih genting, Julian,” bisik Katniss seraya menempelkan ibu jari sang CEO pada sensor.Begitu pintu terbuka, kedua orang itu langsung menghilang dari pandangan Mia. Dalam sekejap, air mata mengalir lebih deras.“Bukankah itu sudah sangat jelas? Apa lagi yang mau Anda bicarakan, Tuan?” desah sang sekretaris penuh dengan penekanan
“Halo? Mia? Apakah kau baik-baik saja?” tanya Minnie yang heran karena tidak terdengar suara. “Bu, nanti aku hubungi lagi. Ada tugas mendesak yang harus kukerjakan sekarang,” sahut sang sekretaris sembari menahan getar suara semampunya. “Mia—“ Tanpa menunggu kelanjutan dari perkataan sang ibu, gadis itu menutup telepon. Sambil mengusap leher yang terasa membara, ia memasukkan ponsel ke dalam tas. “Aku tidak sanggup lagi. Sungguh-sungguh tidak sanggup.” Sedetik kemudian, Mia meninggalkan meja kerjanya, berjalan menuju lift. Gadis itu tidak peduli jika masih ada pekerjaan yang belum terselesaikan. Ia tidak ingin bertatapan dengan pria yang telah memorakporandakan hatinya. Di dalam ruang sempit itu, sang sekretaris bersembunyi di balik kelopak mata yang terasa sangat panas. Air mata terus mendesak keluar. Sebisa mungkin, Mia mengurungnya bersama kepedihan. “Berhentilah menangis! Apa kau tidak malu jika karyawan lain melih
Setelah menandatangani surat pernyataan dan melengkapinya dengan cap, Julian menyerahkan selembar kertas itu kepada Katniss. “Apakah kau yakin ini sudah cukup untuk membantah berita miring tentang kita?” tanya sang pria dengan alis tertarik oleh keresahan. “Setidaknya, kita tidak diam saja dan membiarkan orang-orang menganggap berita itu benar,” sahut Katniss sembari menyimpan kertas ke dalam map yang berisi surat pernyataannya. Setelah mengangguk-angguk, Julian memiringkan kepala dan menyipitkan pandangan. “Apakah rumor ini dapat memengaruhi reputasimu?” Tanpa berpikir panjang, sang wanita mengibaskan tangan. “Tentu saja berpengaruh. Aku menjadi semakin terkenal.” “Lalu, setelah surat pernyataan itu diperluas, apakah kau akan menerima dampak buruk?” “Tidak. Orang-orang malah akan memujiku karena sudah berbaik hati membantumu di sela jadwalku yang sangat padat,” jawab Katniss seraya memasukkan map ke dalam tas besarnya dan beranjak dar
“Maafkan Papa, Julian. Maaf,” ucap Herbert sembari tertunduk semakin dalam. “Aku ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anakku. Tapi kenapa ... semua yang kulakukan selalu berujung pada kesalahan fatal?” desah pria itu, terdengar seperti sebuah renungan. Dengan darah yang sudah mencapai ubun-ubun, Julian ingin sekali meluapkan kemarahan. Telunjuknya gatal, hendak melimpahkan kesalahan kepada sang ayah, sementara bibirnya berkedut, hampir memuntahkan sesal. Namun, sebelum ia meledakkan emosi, bayangan Mia kembali terlintas dalam pikiran. Seketika, pria itu ingat bahwa dirinya sudah berjanji untuk menjadi pria yang bisa diandalkan oleh sang gadis. Sambil mendongak, Julian menghirup napas dalam-dalam. Perlahan-lahan, rasa panas dalam dada mereda. Jemari yang semula terkepal erat, kini mulai merenggang. Sedetik kemudian, tangannya terangkat dan mendarat ringan di kedua lengan sang ayah. “Ini bukan salah Papa,” ujar pria itu dengan nada rendah yang b
“Mia!” panggil Julian di depan pintu apartemen sang kekasih. Sudah beberapa kali ia mengeluarkan suara lantang. Akan tetapi, gadis yang selalu mengisi pikirannya belum juga terlihat. “Mia, tolong bukakan pintu! Kita harus bicara!” Dua detik, tiga detik, suasana tetap hening. Hanya gemuruh napas Julian yang menggetarkan udara. Tak ingin putus asa, pria itu kembali menggedor pintu. Tepat pada saat itulah, akal sehatnya terketuk. Ia baru ingat dengan bel yang bisa digunakan di dekat pintu. Tanpa membuang waktu, pria itu memencet tombol sebanyak hatinya menjeritkan nama sang gadis. “Mia, kita benar-benar harus bicara. Apa yang dikabarkan oleh media itu tidak benar,” seru Julian tanpa memedulikan jika suaranya sampai ke balik ruangan atau tidak. “Mia ....” Tak sabar lagi menunggu, sang pria akhirnya mulai menekan kode sandi. Namun, begitu ia mendorong pintu, kunci digital itu memancarkan cahaya merah dan kembali meminta angka. Dalam sekejap, k
Sembari menelan ludah, Julian mengepalkan tangan di atas kedua lututnya. Setelah menarik napas dalam-dalam, pria itu menjawab, “Tolong jangan memercayai kabar itu, Bi. Semua yang diberitakan itu tidak benar.” “Apa yang tidak benar? Bukankah sudah jelas kalau model cantik itu terlihat sangat bahagia menggandeng lengan Anda? Anda bahkan tersenyum saat menempatkan cincin di atas telapak tangannya,” balas Minnie dengan ekspresi sekeras batu. “Tapi itu bukan seperti yang terlihat. Media sudah melebih-lebihkan,” ringis sang pria. “Saya dan model itu—“ “Itulah yang dilihat oleh Mia dengan mata kepalanya sendiri,” sela si wanita tua sembari melihat ke arah lain. Air mata bisa jatuh jika ia tetap membalas tatapan pria yang masih berlutut itu. Mendengar pernyataan tersebut, Julian mendadak bungkam. Bola matanya bergetar membayangkan bahwa sang kekasih telah memendam sakit lebih lama dari yang ia kira. “Mia ada di sana?” desah pria itu, sulit menerima ke
“Jadi, selama ini, Paman dan Bibi tidak menentang hubungan kami?” seru Julian, mempertegas pertanyaannya barusan. Sambil menarik napas panjang, Minnie berkedip-kedip mengulas memori. “Awalnya, kami memang keberatan.” “Apakah benar karena ketidakbecusanku?” terka sang pria dengan mata bulat. Dengan senyum miring, sang wanita tua menggeleng lambat. “Bukan. Perkataan saya yang Anda dengar waktu itu sama sekali tidak benar, Tuan. Saya mengatakannya karena Mia yang meminta. Dia ingin mencoba untuk membenci Anda. Tapi ternyata, dia tidak bisa.” Mendengar penjelasan itu, hati Julian menjadi semakin lega. Namun, selang satu embusan napas, kebingungan kembali menciutkan senyumnya. “Kalau bukan karena itu, lalu apa? Apakah karena pandangan orang-orang? Paman dan Bibi takut jika Mia mendapat cemoohan?” Setelah mendesah samar, sang wanita tua mengangguk. “Ya, kami takut jika orang-orang tidak senang pada Mia dan berusaha menjatuhkannya.” “Bibi tid
Sembari mengacak rambut, Julian menghela napas cepat. Wajahnya telah kembali suram. Harapan yang sempat mewarnai matanya, kini telah lenyap ditelan resah. “Mia, kau di mana?” erangnya sambil mendongak dengan tangan di pinggang. Sembari menatap langit-langit yang tak mampu memberikan jawaban, pria itu mendesah. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” Sadar bahwa pikirannya telah buntu, Julian akhirnya mengambil ponsel. Tanpa mengulur waktu, ia menghubungi seseorang yang bisa memberinya solusi. “Halo?” sapa seorang pria dari seberang telepon. “Max, di mana Gabriella?” tanya Julian secepat angin. “Istriku sedang memandikan Pangeran Kecil. Ada apa?” Sambil memijat pelipis, si penelepon membalas, “Bolehkah aku bicara dengannya?” “Tentu saja,” sahut sang adik agak pelan. Selang beberapa saat, suara pria itu kembali terdengar. “Gaby, Julian mencarimu.” “Ada apa?” Tanpa sempat menyapa, sang CEO melantangkan jawaban. “Mia m