“Kau tidak marah lagi kepadaku, bukan?” tanya Julian sembari memiringkan kepala.
Secepat kilat, Mia melambaikan tangan dan menggeleng. “Tentu saja tidak,” sangkal gadis itu canggung. “Kenapa saya harus marah? Itu hanya makan siang bersama, apalagi, Tuan Herbert ikut bersama kalian,” lanjutnya sebelum memaksakan senyum.
Sedetik kemudian, sang pria membelai rambut kekasihnya. “Terima kasih, Mia. Kau memang wanita yang paling baik hati dan pengertian.”
Mendapat pujian semacam itu, rasa bersalah sang gadis semakin tebal. Tak ingin beban itu bertambah, ia segera mengetuk-ngetuk jam tangannya. “Kita sudah terlalu banyak mengulur waktu, Tuan. Ayo mulai bekerja!”
“Tunggu dulu, Mia,” sela Julian seraya menahan lengan gadisnya. “Ada satu hal lagi yang perlu kutanyakan.”
“Tak bisakah menunggu waktu istirahat?” tanya Mia dengan alis tertarik ke atas.
Sambil m
Mia melirik ke arah jam dinding, lalu beralih ke pintu. Jam istirahat sudah berakhir lima menit yang lalu, tetapi Herbert dan Katniss belum juga meninggalkan ruangan.“Apa yang sedang mereka bahas? Apakah seseru itu sampai Julian melupakan rapat siang ini?” gerutu sang sekretaris sebelum tertunduk lesu. Ia merasa tidak berdaya jika dihadapkan pada kebimbangan yang menyangkut perasaan.Selagi menyangga dagu dengan sebelah tangan, Mia mengetuk-ngetuk jari pada sisi tablet. Alisnya berkerut, mengekspresikan seberapa sulit pertimbangan yang sedang ia lakukan dalam otaknya. Selang beberapa kedipan, gadis itu akhirnya beranjak dari kursi dan mengambil tablet. Tepat ketika ia hendak melangkah, pintu yang dituju tiba-tiba terbuka.“Kau mau ke mana?” tanya Julian yang tergesa-gesa menghampiri.“Saya baru saja mau mengingatkan tentang rapat siang ini, Tuan,” sahut Mia dengan tampang datar. Hatinya tidak dapat memutuskan ekspresi
Jam kerja telah berakhir, tetapi Julian masih belum kembali. Perasaan yang berusaha Mia ingkari pun tak bisa lagi dihindari. Semakin lama menunggu, semakin dalam kepala gadis itu tertunduk.“Kenapa Julian tidak mengabari sama sekali? Apakah mungkin, dia sudah melupakanku dan langsung pulang?” pikir Mia sembari menggenggam ponsel lebih erat. Ia sangat berharap layar hitam itu menyala dan memunculkan nama Julian.Malangnya, satu menit berlalu, penantian gadis itu tetap sia-sia. Udara di sekitarnya terasa semakin berat dan sesak.“Haruskah aku menghubunginya?”Selang perenungan sesaat, sang sekretaris akhirnya menarik napas panjang. Sembari menegakkan wajah, ia menanti suara seseorang muncul dari speaker ponsel yang ditempelkan ke telinganya.“Ada apa, Mia?” tanya Julian begitu menjawab telepon dari sang kekasih.Dengan ekspresi kaku, sang gadis balas bertanya, “Anda sedang berada di mana, Tuan? Kenapa
Dengan tatapan yang mulai kabur, otak Mia merekam bagaimana perempuan lain menautkan tangan pada lengan kekar yang selalu ingin ia dekap. Dengan kedipan lambat, gadis itu memperhatikan betapa lebar senyum yang terlukis di wajah kekasihnya.“Kenapa Julian membiarkan Katniss begitu dekat dengannya?” pikir Mia, berusaha mencari alasan yang masuk akal.Namun malang, benak gadis itu telah terselimuti kepedihan yang bersumber dari hati. Segala sesuatu tentang sang pria kini tampak salah di matanya.“Teganya Julian membohongiku,” batin sang sekretaris sebelum menelan ludah yang amat pahit.Sembari menghapus butir kekecewaan yang meluncur di pipi, gadis itu menggigit bibir. Ditemani denyut jantung yang memelintir hati, ia mengamati gerak-gerik dua orang yang sesekali tertawa kecil. Tidak ada rasa bersalah yang terlukis pada wajah ceria itu. Mata mereka bahkan tampak berbinar-binar menyimak ucapan wanita modis, yang sepertinya pemilik butik
“Ada apa, Mia?” tanya Minnie, memaksa kaki-kaki rentanya untuk bergerak lebih cepat memasuki kamar.Begitu melihat sang putri sedang duduk di tepi ranjang dengan senyum terpaksa, helaan napas pun berembus cepat dari mulut keriputnya.“Astaga .... Lena membuatku panik saja,” gumam wanita tua itu sembari duduk di samping putrinya. Setelah mengamati air mata yang mengintip, ia pun mengambil tangan sang gadis dan menggosok-gosoknya agar hangat. “Ada apa, Mia?”“Apakah Ibu masih ingat tentang perkataan Nona Amber dulu?” tanya gadis itu dengan suara yang tak stabil.Dalam sekejap, alis Minnie berkerut memeras ingatan. “Perkataan yang mana?”“Tentang bagaimana nenek moyang dari ibunya percaya bahwa kepribadian manusia sesuai dengan unsur hidupnya—air, kayu, api, tanah, dan logam,” sahut Mia sembari mendongak, menahan jatuhnya air mata. Setelah menarik napas berat, barulah ia lan
Setelah memberi jeda untuk sang putri berpikir, Minnie kembali bertanya, “Bagaimana, Mia? Apakah kau mau dipertemukan?”Selang tiga detik, bibir sang gadis hanya bergetar tanpa kata. Mengetahui keraguan putrinya, si wanita tua pun mendesah samar. “Apakah kau tahu? Nasibnya hampir sama denganmu.”“Hampir sama?” gumam Mia, mulai mengubah kerut alisnya.“Ya. Namanya Liam. Dia juga anak seorang pelayan yang disekolahkan oleh pengusaha yang baik hati. Sekarang, Liam bekerja sebagai asisten pribadi pengusaha tersebut,” terang Minnie, sukses mendapatkan perhatian dari putrinya.Dengan wajah yang agak tertunduk, Mia merenung. “Begitukah?”“Ya. Kehidupan kalian sangat mirip, meskipun dia tidak seberuntung dirimu. Karena itulah, Ibu yakin, dia pasti bisa memahamimu.”Dari bawah alis yang terganjal heran, sang gadis memeriksa ekspresi ibunya. “Mengapa dia tidak seberunt
Sadar bahwa sang CEO tidak akan mudah menyerah, Mia pun terpaksa menampakkan ketegasan lewat tatapan redupnya. “Kita lihat nanti saja. Sekarang sudah jam kerja, mohon segera ke ruangan Anda. Hari ini, kita memiliki pertemuan penting dengan Carter Care Company.”Mendapati ekspresi yang belum pernah ia lihat sebelumnya, Julian pun terdiam. Sambil berkedip kebingungan, pria itu kembali menegakkan badan. “Baiklah. Kita bicarakan lagi Jumat nanti,” ucapnya datar.Setelah mengelus pundak Mia, pria itu berbalik menuju pintu ruangannya. Sembari mengerutkan alis, ia menerka-nerka arti dari raut wajah sang kekasih.“Kenapa Mia terlihat seperti menyimpan dendam? Apakah sesuatu yang buruk baru saja terjadi padanya? Atau, dia merasa kesal karena aku terlalu sibuk kemarin?”Setibanya di ruangan yang berbeda, Julian akhirnya mendesah. “Aku harus meminta maaf nanti.” Setelah mengangguk membenarkan keputusan dalam benaknya,
Mendengar suara bernada rendah yang begitu memanjakan telinga, Mia sontak bergidik. Telinganya sama sekali tidak salah. Pria muda yang sedang menggenggam tangannya itu memang bernama Liam.“Ada apa, Nona? Apakah ada sesuatu yang salah dengan nama saya?” tanya si asisten pribadi seraya menaikkan sebelah alis. Pesonanya sontak menyentak gadis di hadapannya kembali sadar.“Maaf,” desah Mia seraya menurunkan tangan dan sedikit melangkah mundur. Dengan lengkung bibir kaku yang dihiasi ringisan, ia mengarang alasan. “Nama Anda terdengar tidak asing.”Sambil mengangguk kecil, Liam menerbitkan senyum yang lebih lebar. Pria itu seolah menyembunyikan di balik binar matanya yang misterius.Tak ingin terhipnotis lagi, Mia segera menggerakkan telapak tangan ke arah pintu. Namun, belum sempat ia bicara, suara lain sudah lebih dulu menyela.“Paman Howard? Kenapa kau kemari? Astaga, seharusnya akulah yang menghampirimu. Se
“Seperti saudara kandung?” tanya Mia menguji.“Ya. Dulu, setiap Julian bertengkar dengan Max, dia selalu kabur ke rumah Tuan Carter. Di sana, kami menghabiskan banyak waktu bersama. Tapi, sejak Julian patah hati dan kabur ke kota lain, kami tidak pernah bertemu lagi. Hubungan kami terputus begitu saja, sampai akhirnya, Anda mengirimkan proposal kerja sama ke surel kami,” jelas Liam sembari mengitari meja dan berakhir di hadapan sang sekretaris.Setelah memiringkan kepala dan menghangatkan pandangan, pria itu menyunggingkan senyum terbaiknya. “Terima kasih karena telah membuat pertemuan hari ini terjadi, Nona.”Tanpa sadar, Mia menelan ludah. Tatapan Liam terlalu intens baginya.“Kenapa Anda berterima kasih kepada saya, Tuan? Saya hanya bertugas mengirimkan proposal. Idenya datang dari Tuan Julian. Jadi, Anda seharusnya berterima kasih kepadanya,” timpal sang gadis seraya berkedip-kedip ke arah lain.&
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb