Jam kerja telah berakhir, tetapi Julian masih belum kembali. Perasaan yang berusaha Mia ingkari pun tak bisa lagi dihindari. Semakin lama menunggu, semakin dalam kepala gadis itu tertunduk.
“Kenapa Julian tidak mengabari sama sekali? Apakah mungkin, dia sudah melupakanku dan langsung pulang?” pikir Mia sembari menggenggam ponsel lebih erat. Ia sangat berharap layar hitam itu menyala dan memunculkan nama Julian.
Malangnya, satu menit berlalu, penantian gadis itu tetap sia-sia. Udara di sekitarnya terasa semakin berat dan sesak.
“Haruskah aku menghubunginya?”
Selang perenungan sesaat, sang sekretaris akhirnya menarik napas panjang. Sembari menegakkan wajah, ia menanti suara seseorang muncul dari speaker ponsel yang ditempelkan ke telinganya.
“Ada apa, Mia?” tanya Julian begitu menjawab telepon dari sang kekasih.
Dengan ekspresi kaku, sang gadis balas bertanya, “Anda sedang berada di mana, Tuan? Kenapa
Dengan tatapan yang mulai kabur, otak Mia merekam bagaimana perempuan lain menautkan tangan pada lengan kekar yang selalu ingin ia dekap. Dengan kedipan lambat, gadis itu memperhatikan betapa lebar senyum yang terlukis di wajah kekasihnya.“Kenapa Julian membiarkan Katniss begitu dekat dengannya?” pikir Mia, berusaha mencari alasan yang masuk akal.Namun malang, benak gadis itu telah terselimuti kepedihan yang bersumber dari hati. Segala sesuatu tentang sang pria kini tampak salah di matanya.“Teganya Julian membohongiku,” batin sang sekretaris sebelum menelan ludah yang amat pahit.Sembari menghapus butir kekecewaan yang meluncur di pipi, gadis itu menggigit bibir. Ditemani denyut jantung yang memelintir hati, ia mengamati gerak-gerik dua orang yang sesekali tertawa kecil. Tidak ada rasa bersalah yang terlukis pada wajah ceria itu. Mata mereka bahkan tampak berbinar-binar menyimak ucapan wanita modis, yang sepertinya pemilik butik
“Ada apa, Mia?” tanya Minnie, memaksa kaki-kaki rentanya untuk bergerak lebih cepat memasuki kamar.Begitu melihat sang putri sedang duduk di tepi ranjang dengan senyum terpaksa, helaan napas pun berembus cepat dari mulut keriputnya.“Astaga .... Lena membuatku panik saja,” gumam wanita tua itu sembari duduk di samping putrinya. Setelah mengamati air mata yang mengintip, ia pun mengambil tangan sang gadis dan menggosok-gosoknya agar hangat. “Ada apa, Mia?”“Apakah Ibu masih ingat tentang perkataan Nona Amber dulu?” tanya gadis itu dengan suara yang tak stabil.Dalam sekejap, alis Minnie berkerut memeras ingatan. “Perkataan yang mana?”“Tentang bagaimana nenek moyang dari ibunya percaya bahwa kepribadian manusia sesuai dengan unsur hidupnya—air, kayu, api, tanah, dan logam,” sahut Mia sembari mendongak, menahan jatuhnya air mata. Setelah menarik napas berat, barulah ia lan
Setelah memberi jeda untuk sang putri berpikir, Minnie kembali bertanya, “Bagaimana, Mia? Apakah kau mau dipertemukan?”Selang tiga detik, bibir sang gadis hanya bergetar tanpa kata. Mengetahui keraguan putrinya, si wanita tua pun mendesah samar. “Apakah kau tahu? Nasibnya hampir sama denganmu.”“Hampir sama?” gumam Mia, mulai mengubah kerut alisnya.“Ya. Namanya Liam. Dia juga anak seorang pelayan yang disekolahkan oleh pengusaha yang baik hati. Sekarang, Liam bekerja sebagai asisten pribadi pengusaha tersebut,” terang Minnie, sukses mendapatkan perhatian dari putrinya.Dengan wajah yang agak tertunduk, Mia merenung. “Begitukah?”“Ya. Kehidupan kalian sangat mirip, meskipun dia tidak seberuntung dirimu. Karena itulah, Ibu yakin, dia pasti bisa memahamimu.”Dari bawah alis yang terganjal heran, sang gadis memeriksa ekspresi ibunya. “Mengapa dia tidak seberunt
Sadar bahwa sang CEO tidak akan mudah menyerah, Mia pun terpaksa menampakkan ketegasan lewat tatapan redupnya. “Kita lihat nanti saja. Sekarang sudah jam kerja, mohon segera ke ruangan Anda. Hari ini, kita memiliki pertemuan penting dengan Carter Care Company.”Mendapati ekspresi yang belum pernah ia lihat sebelumnya, Julian pun terdiam. Sambil berkedip kebingungan, pria itu kembali menegakkan badan. “Baiklah. Kita bicarakan lagi Jumat nanti,” ucapnya datar.Setelah mengelus pundak Mia, pria itu berbalik menuju pintu ruangannya. Sembari mengerutkan alis, ia menerka-nerka arti dari raut wajah sang kekasih.“Kenapa Mia terlihat seperti menyimpan dendam? Apakah sesuatu yang buruk baru saja terjadi padanya? Atau, dia merasa kesal karena aku terlalu sibuk kemarin?”Setibanya di ruangan yang berbeda, Julian akhirnya mendesah. “Aku harus meminta maaf nanti.” Setelah mengangguk membenarkan keputusan dalam benaknya,
Mendengar suara bernada rendah yang begitu memanjakan telinga, Mia sontak bergidik. Telinganya sama sekali tidak salah. Pria muda yang sedang menggenggam tangannya itu memang bernama Liam.“Ada apa, Nona? Apakah ada sesuatu yang salah dengan nama saya?” tanya si asisten pribadi seraya menaikkan sebelah alis. Pesonanya sontak menyentak gadis di hadapannya kembali sadar.“Maaf,” desah Mia seraya menurunkan tangan dan sedikit melangkah mundur. Dengan lengkung bibir kaku yang dihiasi ringisan, ia mengarang alasan. “Nama Anda terdengar tidak asing.”Sambil mengangguk kecil, Liam menerbitkan senyum yang lebih lebar. Pria itu seolah menyembunyikan di balik binar matanya yang misterius.Tak ingin terhipnotis lagi, Mia segera menggerakkan telapak tangan ke arah pintu. Namun, belum sempat ia bicara, suara lain sudah lebih dulu menyela.“Paman Howard? Kenapa kau kemari? Astaga, seharusnya akulah yang menghampirimu. Se
“Seperti saudara kandung?” tanya Mia menguji.“Ya. Dulu, setiap Julian bertengkar dengan Max, dia selalu kabur ke rumah Tuan Carter. Di sana, kami menghabiskan banyak waktu bersama. Tapi, sejak Julian patah hati dan kabur ke kota lain, kami tidak pernah bertemu lagi. Hubungan kami terputus begitu saja, sampai akhirnya, Anda mengirimkan proposal kerja sama ke surel kami,” jelas Liam sembari mengitari meja dan berakhir di hadapan sang sekretaris.Setelah memiringkan kepala dan menghangatkan pandangan, pria itu menyunggingkan senyum terbaiknya. “Terima kasih karena telah membuat pertemuan hari ini terjadi, Nona.”Tanpa sadar, Mia menelan ludah. Tatapan Liam terlalu intens baginya.“Kenapa Anda berterima kasih kepada saya, Tuan? Saya hanya bertugas mengirimkan proposal. Idenya datang dari Tuan Julian. Jadi, Anda seharusnya berterima kasih kepadanya,” timpal sang gadis seraya berkedip-kedip ke arah lain.&
Selang keheningan sesaat, Julian kembali meninggikan suara. “Dia memang kekasihku. Lalu, kau mau apa?”Dalam sekejap, jantung Mia berdetak cepat. Ia tidak menduga bahwa sang CEO mau mengakui statusnya di hadapan Liam. Namun, belum sempat sang gadis memikirkan respon yang harus ditunjukkan, pria di sampingnya sudah lebih dulu mendengus.“Kau kira aku percaya? Wanita semanis Nona Sanders tidak mungkin jatuh hati pada laki-laki seemosional dirimu, Julian. Dia pasti menginginkan pria yang bisa memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang.”Mendengar ejekan tersebut, kuping sang CEO mendadak memanas. “Beraninya kau meremehkanku,” gerutunya sebelum menatap sang sekretaris lurus-lurus. “Mia, cepat katakan kepada Liam tentang hubungan kita. Laki-laki ini perlu diberi penjelasan.”Tanpa sadar, tangan sang gadis mengepal erat. Bayang-bayang Julian bersama Katniss telah menggelapkan akal sehatnya. Sambil memak
“Ada apa, Nona Sanders? Kenapa Anda berdiri di sini?” bisik Liam, sontak membuat sang sekretaris menarik napas cepat dan menegakkan kepala. Sembari berkedip-kedip, gadis itu mencari alasan.“Saya ...” desah Mia sembari menunggu otak mengirimkan hasil karangan. Tepat pada saat itu pula, mata sang gadis tertuju pada baki yang sedang dibawanya. “Saya lupa apakah teh ini sudah diberikan gula atau belum,” lanjutnya seraya mengangguk-angguk.Setelah memutar memori sejenak, pria yang juga memegang baki pun berkata, “Sudah. Saya melihat Anda memasukkan satu sendok ke dalamnya.”“Apakah Anda yakin?” tanya Mia berpura-pura bodoh. Padahal, ia hanya mengulur waktu agar kesedihan tenggelam dari bola matanya.“Ya,” sahut Liam sebelum mengirim kode lewat arah pandangan. “Ayo kita masuk. Para CEO pasti sudah menunggu.”“Ya,” jawab sang gadis sebelum menelan ludah. Sambi