Melihat kesedihan di wajah Tuan Hunt, mata Mia ikut berkaca-kaca. Wanita itu mampu merasakan apa yang mengaduk-aduk hati sang kakek. Menyadari hal itu, Julian spontan mengelus punggung istrinya. Dengan senyum minim, ia menyatakan dukungan untuk menyimak perbincangan.
“Aku sungguh menyesal atas apa yang sudah dilakukan oleh putraku,” tutur Tuan Hunt dengan suara serak yang tidak lagi ceria. Penyesalan telah mempersempit kerongkongannya. “James tidak seharusnya merebut istrimu. Aku sangat-sangat malu atas kelakuannya itu.”
Tak menduga akan mendapat pengakuan semacam itu, Herbert pun mematung. Selang satu kedipan lambat, ia mencoba memecah ketegangan lewat lengkung bibir yang kaku.
“Anda tidak perlu merasa bersalah, Tuan Hunt. Hal itu telah berlalu. Saya sudah melupakan sakitnya dan bahkan, memaafkan mereka.”
Tanpa terduga, pria berambut putih mengibaskan tangan dan menggelengkan kepala. “Tidak mungkin ada manusia yang mampu melupakan pengkhianatan sebes
“Mia ... Mia ... Mia ....” Orang-orang terus menyorakkan nama sang mempelai wanita. Tak ingin membuat tamu undangan kecewa, Julian pun menarik istrinya ke lantai dansa. “Tidak, Julian. Aku tidak bisa berdansa,” tolak Mia dengan alis tersangga keraguan. “Tidak apa-apa. Aku akan memandumu. Ikuti saja langkahku,” timpal sang pria tanpa beban. Sembari meringis, wanita bergaun putih itu berbisik, “Tapi, bagaimana dengan Putri Kecil kita?” “Putri Kecil akan senang diajak berdansa. Mungkin saja, dia akan terlahir sebagai seorang penari,” gurau Julian seraya mulai memosisikan diri di hadapan sang istri. “Apakah tidak apa-apa?” tanya Mia hampir tak terdengar. Keningnya kini ikut melukiskan kekhawatiran. Sembari menempatkan sebelah tangan di balik punggung sang wanita, Julian mendekatkan bibir ke telinga. “Tenang saja. Kita hanya akan bergerak pelan. Putri Kecil akan tetap aman.” “Bagaimana kalau aku tersandung lalu terjatuh?” de
Tiga menit sebelumnya, Herbert menyambut tangan sang menantu dengan senyum semringah. Sorot matanya tidak lagi tegas, melainkan hangat. “Terima kasih, Mia. Kau berhasil membuatku merasa muda lagi,” gumam pria tua itu, sontak mengundang tawa kecil dari sang pengantin. “Papa memang masih muda. Lihatlah! Gerakan dansa Papa bahkan lebih luwes dariku,” timpal wanita bergaun putih itu sembari menyelipkan keyakinan di bawah alis. “Lebih muda dari Tuan Hunt, maksudmu?” gurau sang mertua, lagi-lagi memancing keceriaan dari mulut menantunya. Selang satu embusan napas ringan, Herbert menggeleng samar. “Kau tidak perlu menghiburku, Mia. Aku sadar bahwa umurku sudah tidak lagi muda. Cucuku saja ... sebentar lagi bertambah menjadi dua.” Belum sempat sang menantu menimpali, pria tua itu telah menghela napas berat. “Aku semakin tidak sabar ingin berjumpa dengannya. Akhir-akhir ini, aku sering menerka-nerka seperti apa wajahnya. Apakah dia mirip denganmu ... atau Juli
Seketika, suasana mendadak hening. Hanya tangisan Cayden yang menggetarkan udara. Meski matanya menghadap sang ibu dan telinganya dijepit oleh pundak dan telapak tangan sang ayah, bayi mungil itu mampu merasakan ketakutan yang begitu kental. Menyadari kesunyian itu, Sharp Knife pun merapatkan kembali jubahnya yang baru saja kehilangan satu senjata. Dengan tampang tanpa dosa, ia memperhatikan wajah orang-orang yang terbelalak menatapnya, termasuk wanita kurus bergaun hitam yang tak menyangka bosnya akan berakhir mengenaskan. “Kenapa? Aku sudah memberinya kesempatan untuk tetap hidup, tapi dia menolak. No Name sendiri yang memilih mati,” ujarnya ringan. “Kau membunuhnya,” timpal seorang polisi yang merasa pistolnya tidak berguna. “Karena aku tahu kalian tidak akan berani melakukannya,” celetuk Sharp Knife sembari menunjuk pria yang terbaring dengan sebilah pisau menancap di matanya. “Kalau bukan No Name, maka Mia yang akan berada di posisinya. Kalian le
Setibanya di rumah Herbert, seorang bayi berjas hitam langsung berlari masuk. Begitu melewati pintu, ia mengangkat kedua tangan dan berseru, “Boo!” Sedetik kemudian, Cayden hanya mendapati ruang kosong. Namun, bukannya menampakkan kesedihan, ia malah tertawa kecil dan mempercepat langkah. Pangeran Kecil mengira bahwa sang kakek sedang menunggu di ruang tengah. Bayi lugu itu tidak mengerti bahwa Herbert tidak akan bisa menyambutnya lagi. Dengan penuh semangat, ia melaju dan mengulangi kejutan. “Boo!” Menyadari sang kakek juga tidak berada di sana, alis Pangeran Kecil sontak terangkat. Kebingungan mulai menggeser semangatnya. Sambil berkedip lambat, Cayden berputar menghadap orang tuanya. “Em ... pa?” Mendengar pertanyaan yang penuh kerinduan, Max dan Gabriella sontak saling menatap. Setelah membaca kesedihan yang sama, sang wanita pun mendesah samar. Sambil menahan duka di balik kerut alis, ia berlutut menghadap putranya. “Grandpa sudah tidak b
Sambil berusaha menaklukkan gemuruh dalam dada, Julian meraih kotak yang bertuliskan namanya. Sebuah kartu ucapan tergantung pada pita merah. Setelah menyingkirkan air mata agar tidak menghalangi pandangan, ia membuka lipatan kertas itu dan mengamati goresan tinta yang memperdalam kerinduan. “Musim dingin akan segera tiba. Pastikan diri kalian tetap hangat. Setiap mengenakan ini, anggap aku sedang mendekap kalian dengan penuh cinta.” Usai membaca pesan singkat itu, kesedihan semakin membanjiri mata Julian. Sambil terisak dan terpejam, ia merengkuh kotak itu seerat keinginannya untuk tetap bersama dengan sang ayah. Malangnya, sekuat apa pun ia memanggil, Herbert tidak akan pernah menjawab. “Julian, berhentilah .... Kau bisa membuat Cayden ikut menangis,” bujuk Mia sembari mengusap wajah pria yang telah kehilangan akal sehat. Alih-alih mereda, tangisan Julian malah bertambah kencang. Pria itu masih tidak percaya bahwa sang ayah telah pergi. Ia mengira,
“Surat wasiat?” desah Julian dengan alis terangkat penuh tanya. “Apakah ini tidak terlalu cepat? Ayah kami baru saja meninggal,” ujar Max, menjelaskan keterkejutan sang kakak. Sambil tersenyum bijak, sang notaris menggeleng lambat. “Daripada bersedih mengenang kepergiannya, kalian lebih baik berbahagia memikirkan hartanya yang jatuh ke tangan kalian.” “Tapi kami tidak seperti itu,” desah Gabriella dengan alis tak senang. Nyawa mertuanya tentu jauh lebih berharga dibandingkan warisan. Alih-alih merasa bersalah, pria berdasi biru itu malah menaikkan sudut bibirnya. “Maaf, Nyonya. Itu adalah baris pertama dalam surat wasiatnya.” Seketika, mata dan mulut sang wanita membulat. “Oh, maaf,” gumamnya disertai ringisan. “Tidak masalah,” sahut pria berbadan gempal itu sebelum berbalik menghadap pelayan. Sedetik kemudian, ia mengeluarkan sekeping CD dari balik jas dan menyodorkannya. “Bisakah kalian membantu saya memutar video ini?” Dalam
Usai melihat anggukan polos dari suaminya, Mia menelan ludah. “Apa yang harus kulakukan dengan emas sebanyak itu? Haruskah kusumbangkan sebagian?” Tanpa sadar, Julian mengulum senyum mendengar gumaman sang istri. “Kau boleh melakukan apa saja yang kau inginkan, Mia. Emas itu sudah menjadi milikmu.” Sambil meringis kecil, sang wanita menyembunyikan ketidaknyamanan. Ia merasa bahwa dirinya tidak pantas mendapat warisan sebanyak itu. “Untuk Max yang selalu menolak apa pun yang kuberikan ...” ucap Herbert tiba-tiba bersemangat, sukses menyita perhatian dari orang-orang yang mendengar rekamannya. “Kau tahu kalau Quebracha bukanlah satu-satunya perusahaan tempat aku berinvestasi, bukan? Karena itu, uruslah saham-sahamku yang lain.” Helaan napas tak percaya sontak terlepas dari mulut Max. “Padahal, aku menolak Quebracha karena ingin fokus dengan usahaku. Sekarang, bagaimana caranya aku fokus jika menjadi pemegang saham terbesar di 19 perusahaan?” “Se
“Kau salah, Julian. Aku sangat gembira bisa tinggal bersamamu dan juga sangat bahagia masuk ke rumah ini sebagai istrimu. Ini seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan. Tapi ...,” ucap Mia sebelum mengubah senyumnya menjadi kecut, “kita tidak mungkin tertawa dan menari-nari, bukan?” “Itulah maksudku. Aku sudah gagal memastikan keamanan pernikahan kita. Jika saja Papa masih hidup, kebahagiaan kita pasti akan sempurna,” sesal Julian dengan raut kusut. Tak ingin sang suami terus memikul beban, sang wanita pun menyentak ringan tangan yang menggenggamnya. “Sadarlah, Julian. Ini bukan kesalahanmu,” ujarnya lembut. “Kita tidak bisa melawan takdir. Jadi, singkirkan penyesalanmu. Jangan membuat Papa tidak tenang di atas sana.” Dari bawah kerut alisnya, sang pria melukiskan kekecewaan. “Tapi, aku sangat ingin membuat istriku bahagia,” tuturnya lirih. “Aku bahagia,” tegas Mia diiringi anggukan meyakinkan. Sedetik kemudian, wanita itu tertunduk menatap jemari me