Setibanya di rumah Herbert, seorang bayi berjas hitam langsung berlari masuk. Begitu melewati pintu, ia mengangkat kedua tangan dan berseru, “Boo!”
Sedetik kemudian, Cayden hanya mendapati ruang kosong. Namun, bukannya menampakkan kesedihan, ia malah tertawa kecil dan mempercepat langkah. Pangeran Kecil mengira bahwa sang kakek sedang menunggu di ruang tengah. Bayi lugu itu tidak mengerti bahwa Herbert tidak akan bisa menyambutnya lagi. Dengan penuh semangat, ia melaju dan mengulangi kejutan.
“Boo!”
Menyadari sang kakek juga tidak berada di sana, alis Pangeran Kecil sontak terangkat. Kebingungan mulai menggeser semangatnya. Sambil berkedip lambat, Cayden berputar menghadap orang tuanya. “Em ... pa?”
Mendengar pertanyaan yang penuh kerinduan, Max dan Gabriella sontak saling menatap. Setelah membaca kesedihan yang sama, sang wanita pun mendesah samar. Sambil menahan duka di balik kerut alis, ia berlutut menghadap putranya.
“Grandpa sudah tidak b
Sambil berusaha menaklukkan gemuruh dalam dada, Julian meraih kotak yang bertuliskan namanya. Sebuah kartu ucapan tergantung pada pita merah. Setelah menyingkirkan air mata agar tidak menghalangi pandangan, ia membuka lipatan kertas itu dan mengamati goresan tinta yang memperdalam kerinduan. “Musim dingin akan segera tiba. Pastikan diri kalian tetap hangat. Setiap mengenakan ini, anggap aku sedang mendekap kalian dengan penuh cinta.” Usai membaca pesan singkat itu, kesedihan semakin membanjiri mata Julian. Sambil terisak dan terpejam, ia merengkuh kotak itu seerat keinginannya untuk tetap bersama dengan sang ayah. Malangnya, sekuat apa pun ia memanggil, Herbert tidak akan pernah menjawab. “Julian, berhentilah .... Kau bisa membuat Cayden ikut menangis,” bujuk Mia sembari mengusap wajah pria yang telah kehilangan akal sehat. Alih-alih mereda, tangisan Julian malah bertambah kencang. Pria itu masih tidak percaya bahwa sang ayah telah pergi. Ia mengira,
“Surat wasiat?” desah Julian dengan alis terangkat penuh tanya. “Apakah ini tidak terlalu cepat? Ayah kami baru saja meninggal,” ujar Max, menjelaskan keterkejutan sang kakak. Sambil tersenyum bijak, sang notaris menggeleng lambat. “Daripada bersedih mengenang kepergiannya, kalian lebih baik berbahagia memikirkan hartanya yang jatuh ke tangan kalian.” “Tapi kami tidak seperti itu,” desah Gabriella dengan alis tak senang. Nyawa mertuanya tentu jauh lebih berharga dibandingkan warisan. Alih-alih merasa bersalah, pria berdasi biru itu malah menaikkan sudut bibirnya. “Maaf, Nyonya. Itu adalah baris pertama dalam surat wasiatnya.” Seketika, mata dan mulut sang wanita membulat. “Oh, maaf,” gumamnya disertai ringisan. “Tidak masalah,” sahut pria berbadan gempal itu sebelum berbalik menghadap pelayan. Sedetik kemudian, ia mengeluarkan sekeping CD dari balik jas dan menyodorkannya. “Bisakah kalian membantu saya memutar video ini?” Dalam
Usai melihat anggukan polos dari suaminya, Mia menelan ludah. “Apa yang harus kulakukan dengan emas sebanyak itu? Haruskah kusumbangkan sebagian?” Tanpa sadar, Julian mengulum senyum mendengar gumaman sang istri. “Kau boleh melakukan apa saja yang kau inginkan, Mia. Emas itu sudah menjadi milikmu.” Sambil meringis kecil, sang wanita menyembunyikan ketidaknyamanan. Ia merasa bahwa dirinya tidak pantas mendapat warisan sebanyak itu. “Untuk Max yang selalu menolak apa pun yang kuberikan ...” ucap Herbert tiba-tiba bersemangat, sukses menyita perhatian dari orang-orang yang mendengar rekamannya. “Kau tahu kalau Quebracha bukanlah satu-satunya perusahaan tempat aku berinvestasi, bukan? Karena itu, uruslah saham-sahamku yang lain.” Helaan napas tak percaya sontak terlepas dari mulut Max. “Padahal, aku menolak Quebracha karena ingin fokus dengan usahaku. Sekarang, bagaimana caranya aku fokus jika menjadi pemegang saham terbesar di 19 perusahaan?” “Se
“Kau salah, Julian. Aku sangat gembira bisa tinggal bersamamu dan juga sangat bahagia masuk ke rumah ini sebagai istrimu. Ini seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan. Tapi ...,” ucap Mia sebelum mengubah senyumnya menjadi kecut, “kita tidak mungkin tertawa dan menari-nari, bukan?” “Itulah maksudku. Aku sudah gagal memastikan keamanan pernikahan kita. Jika saja Papa masih hidup, kebahagiaan kita pasti akan sempurna,” sesal Julian dengan raut kusut. Tak ingin sang suami terus memikul beban, sang wanita pun menyentak ringan tangan yang menggenggamnya. “Sadarlah, Julian. Ini bukan kesalahanmu,” ujarnya lembut. “Kita tidak bisa melawan takdir. Jadi, singkirkan penyesalanmu. Jangan membuat Papa tidak tenang di atas sana.” Dari bawah kerut alisnya, sang pria melukiskan kekecewaan. “Tapi, aku sangat ingin membuat istriku bahagia,” tuturnya lirih. “Aku bahagia,” tegas Mia diiringi anggukan meyakinkan. Sedetik kemudian, wanita itu tertunduk menatap jemari me
“Ya, dua orang inilah yang dulu menghinaku,” sahut Mia, membuat lutut karyawan yang pernah menghinanya bergetar hebat. “Gawat! Bagaimana ini? Aku tidak mau dipecat dari Quebracha,” pikir si wanita berbibir tipis sambil meringis. “Ck, apa yang kulakukan untuk menyelamatkan karierku? Haruskah aku meminta maaf?” pikir karyawan lain yang berambut lebih panjang. Mengetahui kecurigaannya benar, Lena sontak menatap karyawan yang berdiri di pojok lift dengan tatapan sinis. “Jahat sekali!” gumam pelayan muda itu dengan kerut alis tak senang. “Apakah mereka pikir, diri mereka sudah sempurna? Mereka bahkan tidak lebih cantik dariku.” Mendengar gumaman Lena, Mia hampir tertawa. Namun, demi menjaga citranya, ia mempertahankan tampang datar. “Lalu, apa yang akan Anda lakukan terhadap mereka, Nyonya? Apakah Tuan Julian sudah tahu tentang hal ini?” tanya pelayan muda yang tidak lagi berbisik. “Entahlah ...” sahut sang sekretaris dengan nada ragu. “Aku
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” tanya Mia dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Apakah kau meragukan kesetiaanku?” Mendengar suara yang digetarkan oleh kesedihan, Julian pun tersentak. Ia baru sadar bahwa bibirnya baru saja melontarkan sesuatu yang tidak pantas. Namun, belum sempat ia memperbaiki kesalahan, sang istri sudah lebih dulu beranjak dari kursi. “Mia ... tunggu dulu.” Secepat kilat, sang pria menahan lengan istrinya. “Maaf ..., aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu.” “Kau baru saja mempertanyakan kesetiaanku, Julian,” tegas wanita hampir menumpahkan air mata. Dada dan kerongkongannya kini panas oleh kekecewaan. “Kita baru menikah selama dua bulan, tapi kau sudah tidak lagi percaya padaku.” Sambil melukiskan penyesalan lewat guratan dahi, sang pria menggeleng cepat. “Bukan begitu maksudku,” erangnya lirih. “Tapi itulah yang kutangkap dengan kedua telingaku!” Khawatir akan kehilangan cinta Mia, Julian pun mendekap wanit
“Apa kau gugup?” bisik Julian sebelum mengecup kepala wanita yang berjalan di sisinya. Meski jantungnya berdebar, sebisa mungkin pria itu memasang raut santai. Sambil tersenyum tipis, Mia menggeleng. “Tidak. Usia kehamilanku baru 14 minggu, Julian. Dokter mengatakan kalau jenis kelamin bayi memang sudah bisa dilihat, tapi belum jelas. Kemungkinan salahnya masih besar.” “Tapi, kau pasti berharap kalau ini adalah Putri Kecil, bukan?” tanya sang pria sembari mengelus perut sang istri. Malu dilihat oleh pengunjung rumah sakit yang lain, Mia sontak mendesah samar dan tertunduk. Lewat sudut mata yang terbatas, ia membalas tatapan suaminya. “Kau tahu? Ibu berulang kali menasihatiku agar tidak terlalu berharap.” “Tapi, kau tetap berharap?” terka Julian sambil menaikkan sebelah alis. Seraya mengerutkan senyum, si wanita hamil mengangguk. “Aku tidak ingin nama dan hadiah pemberian Papa sia-sia,” terangnya pelan. Memahami perasaan sang istri, Jul
“Lalu, kalau anak kita ini laki-laki, nama apa yang cocok untuknya?” tanya Mia seraya mengusap perut, mencoba untuk mengobati rasa bersalah pada si Kecil. Ia merasa tidak adil karena telah memaksakan keadaan. Harapan untuk mendapat bayi perempuan harus segera diruntuhkan.Mendapat pertanyaan yang tak terduga itu, bola mata Julian otomatis berputar ke atas. Selang keheningan sejenak, ia bergumam. “Bagaimana kalau kita mengadopsi ide dari Papa? Grace ... Gracedo? Gracello? Grazello?”Tawa yang lebih lepas spontan mengudara dari mulut Mia. “Itu terdengar unik, Julian. Kau memang kreatif dalam membuat nama,” ledek wanita itu.“Itu memang bukan perkara mudah, Mia. Kau saja masih belum menemukan panggilan sayang untukku,” gerutu sang pria sambil memasang tampang cemberut.Setelah meredakan suara keceriaan, sang wanita mendesah samar. “Tentang hal itu .... Sepertinya, aku sudah nyaman memanggilmu Julian saja.
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb