Share

S2| 122. Penyusup

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-27 10:45:47

Begitu menuruni tangga, Gabriella langsung tersenyum semringah. Pelayan termuda mereka tampak sangat rajin membersihkan rak dengan lapnya.

“Selamat pagi, Lena,” sapa wanita itu ringan sambil terus berjalan menuju dapur.

Akan tetapi, selang beberapa langkah, tidak ada jawaban yang terdengar. Gabriella pun terpaksa membekukan kaki untuk mempertajam pendengaran.

“Selamat pagi, Lena,” ulangnya dengan volume suara yang lebih besar.

Alih-alih menyahut, gadis berseragam yang sedang membelakanginya itu malah menyentuh telinga. Dalam sekejap, mulut sang nyonya membulat.

“Oh, dia pasti sedang mendengar musik lewat earphone,” gumam Gabriella sembari mengangguk kecil. Sedetik kemudian, ia melanjutkan langkah menuju dapur.

Tepat sebelum wanita itu tiba di ambang pintu, suara Minnie mengudara. “Apakah kalian melihat Mia?”

Lagi-lagi, kaki sang nyonya berhenti bergerak. Dengan mata bulat dan kedipan kaku, ia menyimak obrolan para pela

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 123. Melumpuhkan Lawan

    Selang beberapa saat, Max akhirnya berhasil merampas senjata. Setelah memasang tuas pengaman dan mengantongi pistol, ia membantu Mia menahan tangan yang terus memberontak. “Lepaskan! Dasar pengecut!” bentak wanita bengis itu. Meski sudah tak berdaya, sorot matanya tampak siap mencabik-cabik siapa pun yang menghalanginya. “Gaby, cepat telepon polisi dan ambulance!” seru sang pria, menyadarkan istrinya dari keterkejutan. Setelah mengerjap, Gabriella pun meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Dengan tangan yang gemetar, ia menghubungi nomor darurat. Selagi wanita itu menjalankan tugas, Sharp Knife menyerbu masuk bersama anak buahnya. Setelah mendesah berat, ia mengayunkan telunjuk. Tanpa membutuhkan perintah suara, dua orang bergegas mengambil alih posisi Mia dan Max. “Lihatlah! Betapa pengecutnya kalian! Melawan satu orang secara keroyokan,” seru wanita yang mulai pucat dan berkeringat itu. Alih-alih terpancing emosi, Sharp Knife ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-27
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 124. Merayakan Keselamatan

    “Maafkan aku, Mia,” desah Julian kepada gadis bergaun merah yang berjalan di sisinya. Alih-alih tersenyum, sang sekretaris malah mendengus ringan. “Berhentilah meminta maaf, Julian. Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa,” balas gadis itu sambil menggosok-gosok punggung tangan yang membungkus jemarinya. “Aku merasa jahat telah membiarkanmu sendirian menghadapi penjahat itu,” gumam sang pria, masih belum mengurai kekusutan alisnya. “Kau belum bangun saat penjahat itu menyerang. Jadi, berhentilah menyalahkan diri sendiri. Lagipula, aku yakin, kalau kau bersamaku, kau pasti melindungiku,” tutur sang gadis sembari menaikkan sudut bibir. Melihat senyum semanis itu, hati Julian menjadi sedikit lebih lapang. “Kau tahu? Aku sangat bangga padamu.” “Ya. Aku sudah mendengar kalimat itu belasan kali hari ini,” timpal Mia sambil menaikkan alis singkat. “Sekarang, mari kita bergegas! Orang-orang pasti sudah mempertanyakan keberadaan kita,” desak gadis itu se

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-27
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 125. Membaca Masa Depan

    “Apakah kau sedih karena diabaikan oleh Pangeran Kecil?” ledek Julian sebelum menempelkan telapak tangannya di balik punggung sang kekasih, mengisyaratkan gadis itu untuk berjalan mengikutinya. “Sedikit. Dia lebih memilih kue dibandingkan diriku,” gurau Mia sebelum berhenti di hadapan pria yang baru saja beranjak dari sofa. “Apakah kalian akan tetap berpesta meskipun aku belum kembali?” tanya Sebastian dengan senyum miringnya yang khas. Sambil mendenguskan tawa, Julian mengulurkan tangan. “Anggap saja ini pesta penyambutan untukmu juga,” jawabnya sembari menyentak tangan yang mencengkeramnya erat. “Oh, pesta ini multifungsi rupanya,” timpal sang sepupu seraya mengalihkan pandangan menuju keramaian di sekeliling kue. Keponakannya masih menjadi pusat perhatian di sana. “Ya,” sahut Julian sebelum menyurutkan keceriaan dan menggantinya dengan keseriusan. “Jadi, bagaimana lukamu? Apakah sudah membaik?” Seraya melirik ke lengan kirinya, Seba

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-28
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 126. Peringatan sang Peramal

    Selagi sang peramal mengasapi bola kristal, Mia melirik ke arah pria yang duduk di sampingnya. Begitu tatapan mereka bertemu, ia dan Julian kompak mengerutkan alis. Mereka seolah berbincang lewat telepati. Selang keheningan sesaat, pria itu akhirnya meraih jemari sang gadis. Sembari mengelus punggung tangan yang dingin itu, ia mengangguk-angguk. “Tidak apa-apa,” ucapnya hanya dengan gerak mulut, tanpa suara. Setelah membuat satu gerakan yang sama, Mia kembali menatap meja bertaplak hitam di hadapannya. Lilin yang menyala di setiap sudut, menambah kesan mistis dalam ruangan itu. “Bola kristal sudah siap, Nona,” ujar sang peramal, membuat Mia tersentak. Dengan alis terangkat maksimal, gadis itu menahan napas. “Sekarang, gosok tangan Anda lalu letakkan di sisi kanan dan kiri bola ini.” Dengan gerak kaku, sang sekretaris menuruti arahan. Tanpa bertanya, ia menempatkan tangannya datar dengan meja. “Bukan begitu, Nona, tapi seperti ini,” tutur sang

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-28
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 127. Daftar Keinginan

    “Julian, apakah ada sesuatu yang sangat ingin kau lakukan bersamaku?” tanya Mia ketika sang kekasih mengantarnya menuju kamar. “Aku ...?” balas sang pria seraya melirik dengan tatapan penuh tanya. “Aku ingin melakukan semuanya denganmu, Mia. Setiap momen dalam hidup hanya akan terasa menyenangkan jika dilewati bersamamu.” Mendapat jawaban yang tak diharapkan, sang gadis pun mendenguskan senyum. “Bukan itu, Julian. Maksudku, sesuatu yang paling ingin kau lakukan. Hal yang berada di daftar teratas dari semua itu.” Dari bawah alis yang berkerut, Julian mengamati gerak kakinya. “Saat ini, aku paling ingin melihatmu berjalan ke arahku dengan mengenakan gaun pengantin. Kita akan mengucapkan sumpah yang sesungguhnya, lalu saling memakaikan cincin di jari pasangan masing-masing. Itulah yang kuinginkan saat ini.” Alih-alih merasa puas, Mia kembali menggeleng. “Pasti ada hal selain itu. Bagaimana dengan setelah menikah? Apa yang paling kau inginkan dariku?”

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-29
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 128. Album Kenangan

    “Apa ini, Mia?” tanya Julian seraya memungut selembar kertas foto sang kekasih bersama keponakannya. “Apakah ini benar hadiah untukku? Bukan untuk Cayden? Ini terlihat seperti kumpulan memori kalian. Apa yang sebenarnya sedang kau rencanakan?” Mendengar suara sang kekasih mulai terseret emosi, Mia spontan menelan ludah. Sambil mengepalkan jari, ia mencoba untuk mempertahankan kebohongan. “Itu memang hadiah untukmu. Bukankah kami berdua adalah orang yang paling kau sayang?” “Apakah kau diam-diam mempersiapkan diri untuk perpisahan?” selidik Julian dengan tatapan meruncing. Matanya yang berkaca-kaca mulai dilapisi oleh guratan merah. Mengetahui kemarahan sang pria, bibir Mia mulai bergetar. Ia ingin menyangkal, tetapi tidak sanggup mengucap kebohongan. Lidahnya terlalu kaku untuk memecah ketegangan. “Jawab dengan jujur, Mia! Apakah yang kau berikan kepada mereka itu adalah kado perpisahan?” Belum sempat sang gadis menyatakan kejujuran, helaan na

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-29
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 129. Hadapi dengan Berani

    “Apakah kalian melihat Julian?” tanya Max yang baru kembali dari kamar sang kakak. Sembari menarik kursi dan duduk menghadap meja makan, ia menambahkan keterangan. “Dia tidak ada di kamarnya.” Tanpa aba-aba, para pelayan yang sedang sibuk menata piring-piring dan gelas, menggeleng secara bersamaan. “Tidak biasanya Julian bangun pagi di akhir pekan,” gumam wanita yang sedang memakaikan celemek di leher putranya. “Entahlah .... Yang jelas, dia tidak ada di kamarnya,” sahut Max seraya mengangkat pundak sekilas. “Mungkin, Tuan Julian tertidur di kamar Nona Mia. Mereka mengerjakan sesuatu sepanjang malam,” celetuk pelayan termuda yang bertetangga dengan sang sekretaris. Pengakuan gadis itu sukses membelalakkan mata semua orang dan bahkan, menghentikan langkah kaki si kepala pelayan. Selang satu embusan napas samar, wanita tua itu menghampiri punggung Lena dan menyentuhnya. “Apa katamu? Tuan Julian tidur di kamar Mia?” Dalam sekejap, suasana

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-30
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 130. Sepertinya Kau Hamil

    Sejak pagi itu, Julian dan Mia terus sibuk mewujudkan keinginan. Mereka piknik, mengajak Cayden bermain gelembung sabun, dan mengadakan pesta barbeku dengan yang lain. Malangnya, semua itu dilakukan di taman belakang rumah Max. Keadaan di luar masih belum aman. Sang pria tidak ingin mengambil risiko jika mereka bepergian jauh demi melaksanakan keinginan lain. Kenyataan itu diam-diam membuatnya frustrasi. “Apakah No Name sudah tertangkap?” tanya Julian dengan nada rendah. Matanya terpejam menanti jawaban yang diharapkan dari speaker ponsel. “Maaf, Tuan. Kami belum berhasil melacaknya. Jejak penjahat itu selalu hilang tanpa bekas.” Tiba-tiba, Julian mendengus. Sambil menautkan alis, pria itu menggertakkan geraham. “Kalian bilang sanggup menangkap No Name dalam waktu satu minggu. Tapi kenapa sampai sekarang, dia masih bebas? Ini sudah dua minggu! Tujuh hari lagi, aku akan menikah. Apakah kalian ingin bertanggung jawab jika sampai penjahat itu tiba-tiba muncul di

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01

Bab terbaru

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 20. Bahagia Selama-lamanya

    “Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 19. Ayo Kita Pulang

    “Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 18. Aku Lebih Baik Menghilang

    “Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 17. Kau Seharusnya Bersyukur

    “Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 16. Aku Akan Meminta Maaf

    Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 15. Sudah Keterlaluan

    “Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 14. Penyesalan Tuan Hunt

    “Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 13. Keputusasaan Seorang Ayah

    Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 12. Grace dan sang Kakek

    Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb

DMCA.com Protection Status