Begitu menuruni tangga, Gabriella langsung tersenyum semringah. Pelayan termuda mereka tampak sangat rajin membersihkan rak dengan lapnya.
“Selamat pagi, Lena,” sapa wanita itu ringan sambil terus berjalan menuju dapur.
Akan tetapi, selang beberapa langkah, tidak ada jawaban yang terdengar. Gabriella pun terpaksa membekukan kaki untuk mempertajam pendengaran.
“Selamat pagi, Lena,” ulangnya dengan volume suara yang lebih besar.
Alih-alih menyahut, gadis berseragam yang sedang membelakanginya itu malah menyentuh telinga. Dalam sekejap, mulut sang nyonya membulat.
“Oh, dia pasti sedang mendengar musik lewat earphone,” gumam Gabriella sembari mengangguk kecil. Sedetik kemudian, ia melanjutkan langkah menuju dapur.
Tepat sebelum wanita itu tiba di ambang pintu, suara Minnie mengudara. “Apakah kalian melihat Mia?”
Lagi-lagi, kaki sang nyonya berhenti bergerak. Dengan mata bulat dan kedipan kaku, ia menyimak obrolan para pela
Selang beberapa saat, Max akhirnya berhasil merampas senjata. Setelah memasang tuas pengaman dan mengantongi pistol, ia membantu Mia menahan tangan yang terus memberontak. “Lepaskan! Dasar pengecut!” bentak wanita bengis itu. Meski sudah tak berdaya, sorot matanya tampak siap mencabik-cabik siapa pun yang menghalanginya. “Gaby, cepat telepon polisi dan ambulance!” seru sang pria, menyadarkan istrinya dari keterkejutan. Setelah mengerjap, Gabriella pun meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Dengan tangan yang gemetar, ia menghubungi nomor darurat. Selagi wanita itu menjalankan tugas, Sharp Knife menyerbu masuk bersama anak buahnya. Setelah mendesah berat, ia mengayunkan telunjuk. Tanpa membutuhkan perintah suara, dua orang bergegas mengambil alih posisi Mia dan Max. “Lihatlah! Betapa pengecutnya kalian! Melawan satu orang secara keroyokan,” seru wanita yang mulai pucat dan berkeringat itu. Alih-alih terpancing emosi, Sharp Knife ma
“Maafkan aku, Mia,” desah Julian kepada gadis bergaun merah yang berjalan di sisinya. Alih-alih tersenyum, sang sekretaris malah mendengus ringan. “Berhentilah meminta maaf, Julian. Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa,” balas gadis itu sambil menggosok-gosok punggung tangan yang membungkus jemarinya. “Aku merasa jahat telah membiarkanmu sendirian menghadapi penjahat itu,” gumam sang pria, masih belum mengurai kekusutan alisnya. “Kau belum bangun saat penjahat itu menyerang. Jadi, berhentilah menyalahkan diri sendiri. Lagipula, aku yakin, kalau kau bersamaku, kau pasti melindungiku,” tutur sang gadis sembari menaikkan sudut bibir. Melihat senyum semanis itu, hati Julian menjadi sedikit lebih lapang. “Kau tahu? Aku sangat bangga padamu.” “Ya. Aku sudah mendengar kalimat itu belasan kali hari ini,” timpal Mia sambil menaikkan alis singkat. “Sekarang, mari kita bergegas! Orang-orang pasti sudah mempertanyakan keberadaan kita,” desak gadis itu se
“Apakah kau sedih karena diabaikan oleh Pangeran Kecil?” ledek Julian sebelum menempelkan telapak tangannya di balik punggung sang kekasih, mengisyaratkan gadis itu untuk berjalan mengikutinya. “Sedikit. Dia lebih memilih kue dibandingkan diriku,” gurau Mia sebelum berhenti di hadapan pria yang baru saja beranjak dari sofa. “Apakah kalian akan tetap berpesta meskipun aku belum kembali?” tanya Sebastian dengan senyum miringnya yang khas. Sambil mendenguskan tawa, Julian mengulurkan tangan. “Anggap saja ini pesta penyambutan untukmu juga,” jawabnya sembari menyentak tangan yang mencengkeramnya erat. “Oh, pesta ini multifungsi rupanya,” timpal sang sepupu seraya mengalihkan pandangan menuju keramaian di sekeliling kue. Keponakannya masih menjadi pusat perhatian di sana. “Ya,” sahut Julian sebelum menyurutkan keceriaan dan menggantinya dengan keseriusan. “Jadi, bagaimana lukamu? Apakah sudah membaik?” Seraya melirik ke lengan kirinya, Seba
Selagi sang peramal mengasapi bola kristal, Mia melirik ke arah pria yang duduk di sampingnya. Begitu tatapan mereka bertemu, ia dan Julian kompak mengerutkan alis. Mereka seolah berbincang lewat telepati. Selang keheningan sesaat, pria itu akhirnya meraih jemari sang gadis. Sembari mengelus punggung tangan yang dingin itu, ia mengangguk-angguk. “Tidak apa-apa,” ucapnya hanya dengan gerak mulut, tanpa suara. Setelah membuat satu gerakan yang sama, Mia kembali menatap meja bertaplak hitam di hadapannya. Lilin yang menyala di setiap sudut, menambah kesan mistis dalam ruangan itu. “Bola kristal sudah siap, Nona,” ujar sang peramal, membuat Mia tersentak. Dengan alis terangkat maksimal, gadis itu menahan napas. “Sekarang, gosok tangan Anda lalu letakkan di sisi kanan dan kiri bola ini.” Dengan gerak kaku, sang sekretaris menuruti arahan. Tanpa bertanya, ia menempatkan tangannya datar dengan meja. “Bukan begitu, Nona, tapi seperti ini,” tutur sang
“Julian, apakah ada sesuatu yang sangat ingin kau lakukan bersamaku?” tanya Mia ketika sang kekasih mengantarnya menuju kamar. “Aku ...?” balas sang pria seraya melirik dengan tatapan penuh tanya. “Aku ingin melakukan semuanya denganmu, Mia. Setiap momen dalam hidup hanya akan terasa menyenangkan jika dilewati bersamamu.” Mendapat jawaban yang tak diharapkan, sang gadis pun mendenguskan senyum. “Bukan itu, Julian. Maksudku, sesuatu yang paling ingin kau lakukan. Hal yang berada di daftar teratas dari semua itu.” Dari bawah alis yang berkerut, Julian mengamati gerak kakinya. “Saat ini, aku paling ingin melihatmu berjalan ke arahku dengan mengenakan gaun pengantin. Kita akan mengucapkan sumpah yang sesungguhnya, lalu saling memakaikan cincin di jari pasangan masing-masing. Itulah yang kuinginkan saat ini.” Alih-alih merasa puas, Mia kembali menggeleng. “Pasti ada hal selain itu. Bagaimana dengan setelah menikah? Apa yang paling kau inginkan dariku?”
“Apa ini, Mia?” tanya Julian seraya memungut selembar kertas foto sang kekasih bersama keponakannya. “Apakah ini benar hadiah untukku? Bukan untuk Cayden? Ini terlihat seperti kumpulan memori kalian. Apa yang sebenarnya sedang kau rencanakan?” Mendengar suara sang kekasih mulai terseret emosi, Mia spontan menelan ludah. Sambil mengepalkan jari, ia mencoba untuk mempertahankan kebohongan. “Itu memang hadiah untukmu. Bukankah kami berdua adalah orang yang paling kau sayang?” “Apakah kau diam-diam mempersiapkan diri untuk perpisahan?” selidik Julian dengan tatapan meruncing. Matanya yang berkaca-kaca mulai dilapisi oleh guratan merah. Mengetahui kemarahan sang pria, bibir Mia mulai bergetar. Ia ingin menyangkal, tetapi tidak sanggup mengucap kebohongan. Lidahnya terlalu kaku untuk memecah ketegangan. “Jawab dengan jujur, Mia! Apakah yang kau berikan kepada mereka itu adalah kado perpisahan?” Belum sempat sang gadis menyatakan kejujuran, helaan na
“Apakah kalian melihat Julian?” tanya Max yang baru kembali dari kamar sang kakak. Sembari menarik kursi dan duduk menghadap meja makan, ia menambahkan keterangan. “Dia tidak ada di kamarnya.” Tanpa aba-aba, para pelayan yang sedang sibuk menata piring-piring dan gelas, menggeleng secara bersamaan. “Tidak biasanya Julian bangun pagi di akhir pekan,” gumam wanita yang sedang memakaikan celemek di leher putranya. “Entahlah .... Yang jelas, dia tidak ada di kamarnya,” sahut Max seraya mengangkat pundak sekilas. “Mungkin, Tuan Julian tertidur di kamar Nona Mia. Mereka mengerjakan sesuatu sepanjang malam,” celetuk pelayan termuda yang bertetangga dengan sang sekretaris. Pengakuan gadis itu sukses membelalakkan mata semua orang dan bahkan, menghentikan langkah kaki si kepala pelayan. Selang satu embusan napas samar, wanita tua itu menghampiri punggung Lena dan menyentuhnya. “Apa katamu? Tuan Julian tidur di kamar Mia?” Dalam sekejap, suasana
Sejak pagi itu, Julian dan Mia terus sibuk mewujudkan keinginan. Mereka piknik, mengajak Cayden bermain gelembung sabun, dan mengadakan pesta barbeku dengan yang lain. Malangnya, semua itu dilakukan di taman belakang rumah Max. Keadaan di luar masih belum aman. Sang pria tidak ingin mengambil risiko jika mereka bepergian jauh demi melaksanakan keinginan lain. Kenyataan itu diam-diam membuatnya frustrasi. “Apakah No Name sudah tertangkap?” tanya Julian dengan nada rendah. Matanya terpejam menanti jawaban yang diharapkan dari speaker ponsel. “Maaf, Tuan. Kami belum berhasil melacaknya. Jejak penjahat itu selalu hilang tanpa bekas.” Tiba-tiba, Julian mendengus. Sambil menautkan alis, pria itu menggertakkan geraham. “Kalian bilang sanggup menangkap No Name dalam waktu satu minggu. Tapi kenapa sampai sekarang, dia masih bebas? Ini sudah dua minggu! Tujuh hari lagi, aku akan menikah. Apakah kalian ingin bertanggung jawab jika sampai penjahat itu tiba-tiba muncul di