Share

BAGIAN 5. SEMAKIN MENJADI-JADI

Chat WA Mantan Istri Suamiku 5

"Aku harus membawa ATM ini." gumamku, meraih sebuah tas skincare yang menjadi tempat penyimpanan ATM baru ini.

Sekarang aku sudah berada di rumah, tentu hanya ingin mengambil ATM baru ini. Setelahnya aku akan pergi ke suatu tempat, dimana aku bisa menenangkan diri. Aku tidak ingin mengambil keputusan jika sedang emosi seperti saat ini, setidaknya semua hal perlu dipikirkan baik-baik agar tidak ada penyesalan yang menghinggapi di kemudian hari.

ATM baru sudah berada di tanganku, dompet dan juga beberapa perhiasan milikku juga sudah aku bawa, begitupula dengan beberapa surat-surat berharga lainnya. Aku hanya takut jika Mas Haris mengambilnya, lalu menjualnya demi menuruti permintaan Mbak Hani. Permintaan yang kadang sudah diluar akal sehat manusia!

"Bismillah." imbuhku sebelum melajukan mobil,

Aku memang buru-buru untuk pergi meninggalkan rumah, kalau lambat bisa-bisa Mas Haris pulang ke rumah dan akan menghambat jalanku.

Entah apa yang terjadi dengan mereka sekarang, mungkinkah masalahnya sudah kelar atau masih beradu argumen? Hanya saja aku kasihan pada Nia, dia anak manis yang tidak tahu apa-apa. Namun, dipaksa oleh Ibunya untuk mengerti semua hal.

"Assalamualaikum." ucapku beberapa kali, sambil mengetuk pintunya.

Hingga tidak berapa lama, munculnya seorang wanita paruh baya. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan Mak Jijah, dia pembantu rumah tangga yang sudah dianggap seperti saudara sendiri.

Aku tersenyum hangat.

"Mbak Yasmin, ayo masuk-masuk. Kenapa sudah lama tidak kemari, Mbak?"

"Tidak apa-apa, Mak. Semuanya sehat kan Mak?" tanyaku menatap sekeliling, tapi hanya kesunyian yang terasa.

"Iya Mbak, Alhamdulillah."

Ingatanku kembali melayang ke belasan tahun silam, dimana aku selalu bermanja-manja dengan Ayah ketika dia sedang berada di rumah. Aku anak semata wayang mereka, sudah barang tentu jadi yang tersayang.

Rindu rasanya kala menatap foto yang terpajang di dinding, aku, Ayah dan juga Ibu tengah tersenyum lebar. Kebahagiaan benar-benar terpancar dari raut wajah kami bertiga.

Seandainya ayah masih ada, ingin aku berbagi segala keluh kesah padanya. Tapi, semua itu hanya semu belaka.

"Kamu datang Yas, Ibu merindukan mu Nak." tiba-tiba Ibu sudah memeluk diriku, entah kapan dirinya muncul hingga kini ada di hadapanku.

"Yasmin pun tak kalah rindu."

Mungkin sudah hampir satu bulan ini aku tidak berkunjung kemari, kehilangan Ayah beberapa waktu yang lalu masih meninggalkan bekas luka di hatiku. Dan jika aku kembali ke rumah ini semua kenangan lama akan kembali menguat, itulah alasan kenapa aku jarang mengunjungi Ibu. Walaupun begitu kami tetap sering menelpon ataupun video call untuk melepas rindu secara virtual.

Sekarang kami berdua duduk di sofa ruang tamu. Sementara Mak Jijah sudah berpamitan ke belakang, untunglah ada dirinya yang selama ini menemani Ibu di rumah.

"Dimana suamimu, Yas? Apakah dia tidak ikut datang? Ibu juga sudah lama tidak melihatnya, terakhir kali sekitar dua bulanan yang lalu." Mata Ibu menelisik ke setiap sudut ruangan,

Ingin kukatakan pada Ibu tentang semua hal ini, tapi semua itu masih aku pertimbangkan. Bukan tanpa alasan, Ibu sudah lama mengidap penyakit vertigo dan dirinya tidak boleh sampai banyak pikiran. Kalau tidak penyakitnya akan kambuh kembali.

"Ya Mas Haris tidak ikut, Bu. D-dia sedang sibuk dengan pekerjaannya,"

"Ada apa ini Yas, kenapa wajahmu sendu Nak? Apakah kalian sedang bertengkar?"

Aku menggeleng cepat.

"Tidak, tidak ada apa-apa Bu. Hubungan kami baik-baik saja seperti biasanya," jawabku dengan senyum palsu yang menghiasi wajah.

"Benar?" Ibu terlihat ragu dan tidak percaya dengan ucapanku.

Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya kalau kami memang sedang ada masalah? Dan masalah itu tercipta karena ulah Mbak Hani!

"Ibu harus percaya pada Yasmin ya, Ibu tenang saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan,"

"Yasmin ingin menginap malam ini, bolehkan Bu?" Aku mengalihkan pembicaraan agar Ibu tidak membahas tentang Mas Haris lagi.

"Tentu saja boleh, sayang. Tapi kamu sudah izin pada suamimu kan?"

"S-sudah." jawabku. Satu kebohongan lagi yang tercipta, terucap dari bibi ini. Maafkan aku yang telah membohongimu, Bu.

Kini malam sudah menyapa, Ibu dan Mak Jijah juga sudah terlelap di dalam kamarnya masing-masing, sementara aku masih terjaga di sini. Di dalam kamar yang belasan tahun telah aku tempati!

Tanganku terulur untuk mengambil handphone yang dari tadi siang aku matikan, handphone punya Ibu pun juga ada di atas nakas. Aku meminjamnya dari siang tadi, karena takut kalau Mas Haris sampai menelpon Ibu.

Drrttt.

Berbagai notifikasi sudah muncul di layar benda pipih tersebut.

[Tolonglah aku, Dek. Tolong bayarkan uang pelunasan mobil ini, aku janji akan menggantinya nanti. Kasian Nia kalau sampai mobil itu tidak jadi dibeli.] Tepat pukul sebelas siang tadi, Mas Haris mengirim pesan itu. Pesan berisi rayuan dan janji manis, semanis gulali!

Tak hanya satu pesan itu yang dia kirim, ada banyak malah dan semuanya berisi untuk membujuk aku agar mau membayarkan mobil itu. Panggilan tak terjawab pun tak kalah banyaknya, baik dari Mas Haris maupun dari Mbak Hani.

Uh, untung saja aku mematikan handphone tadi, kalau tidak notifikasi-notifikasi itu pasti akan sangat rame seperti pasar!

[Yasmin, kali ini saja aku memohon padamu Dek. Kamu perlu tahu kalau semua ini aku lakukan semata-mata hanya untuk Nia anakku, bukan yang lainnya. Bukan untuk Hani, kamu hanya salah paham Yasmin. Semua ini tidak seperti yang ada di pikiranmu. Kamu tahu kan kalau aku mencintaimu dengan setulus hati, jiwa dan ragaku.]

Bullshit!

[Yasmin,]

[Tolonglah, Dek. Kalau pun kamu tidak punya uangnya tolong carikan uang pinjaman untuk melunasi ini semua, kamu bisa menggadaikan sertifikat rumah kita ke Bank.] Mataku seketika terbelalak membaca pesan WA itu.

Ternyata dia bukan hanya mengiba padaku, Mas Haris bahkan menyuruh aku untuk menggadaikan sertifikat rumah. Enak sekali dia bisa memerintah seperti seorang raja, memangnya dia pikir aku ini jongosnya apa?!

Kuhentikan membaca pesan-pesan yang dikirim oleh Mas Haris, rasanya percuma juga membacanya. Selain menghabiskan waktu, chat WA itu membuat darahku mendidih!

Tujuh puluh dua chat WA yang belum dibaca, rupanya Mbak Hani ikut menyepam di WA. Apa yang dia tulis hingga sebanyak itu?

Rasa penasaranku mengalahkan semuanya, perlahan tanganku mulai men-scroll pesan-pesan itu, pesan berisi makian dan juga sumpah serapah. Dia bahkan juga merekam beberapa voice note.

"Cepat bayarkan mobil itu, YASMIN!!! Sudah seharusnya seorang istri membantu suaminya, bukan pergi seenak udelnya seperti kamu. DASAR PEREMPUAN TIDAK PUNYA HATI!!!" Itu bunyi voice note pertama yang dia kirim, membuat aku tersentak kaget karena volume handphoneku telah disetting full. Hingga suara bentakan keras itu benar-benar menggema di ruangan ini, untung saja semua orang sudah tidur sekarang.

Beberapa kali aku dengarkan rekaman voice note-nya, isinya sama saja yaitu suara bentakan dan teriakan yang disertai dengan umpatan kasar. Aku memilih untuk berhenti mendengarnya, karena emosiku sudah berada diubun-ubun. Jika dia ada di hadapanku saat ini, bibirnya itu pasti sudah aku tepuk!

Tanganku kembali tak sengaja menggeser layar ponsel, sehingga terlihatlah kalau Mbak Hani telah membuat status di W******p beberapa jam yang lalu.

|Aku baru tahu kalau ada manusia yang berhati batu, tidak punya belas kasihan pada anak kecil. Padahal Papanya ingin membahagiakan anak kandungnya sendiri, eh malah dicegat sama istri barunya. Benar-benar sifatnya kayak setan, sukanya menghasut dan mengajak ke lembah kesesatan. DASAR IBLIS!!!| Status itu juga dilengkapi dengan emoticon marah, menyiratkan perasaan Mbak Hani kini.

Kasar sekali tulisannya, apalagi status itu dia tulis dengan begitu gamblang. Pasti semua orang yang melihatnya akan berburuk sangka padaku.

Aku tidak terima!

Baru beberapa kata yang aku tulis untuk membalas status itu, tapi satu nama sudah tertera di layar handphone ku.

"Mbak Dinda?" imbuhku, ketika melihat nama sang penelepon yang tertera dilayar handphone. Dia kakak sepupunya Mas Haris, kenapa dia menelpon aku malam-malam begini?

Tumben.

Apa jangan-jangan Mas Haris sudah mengadu padanya? Bagaimana reaksi Mbak Dinda dan apa yang akan dia katakan padaku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status