Share

BAGIAN 6. SEBUAH ALASAN

Chat WA Mantan Istri Suamiku 6

"Angkat atau tidak ya?" Aku menimang-nimang untuk mengangkatnya atau tidak.

Aku sedikit ragu untuk mengangkat teleponnya. Dia sangat jarang menelponku, jangankan itu sekedar chat saja bisa dihitung jumlahnya. Meskipun begitu hubungan kami tetap baik jika sedang bertemu.

"Assalamualaikum, Yas." ucapnya begitu panggilan itu ku angkat.

"Waalaikumussalam, Mbak Dinda. Ada apa ya Mbak?" tanyaku hati-hati, namun langsung to the point.

"Apa kabar, Yas? Kamu baik-baik saja kan?" Bukannya menjawab pertanyaanku Mbak Dinda malah menanyakan kabar. Tidak biasanya!

"B-baik, Mbak."

"Alhamdulillah kalau begitu, Mbak sekeluarga juga baik."

Kenapa Mbak Dinda seperti mengulur-ulur waktu ya? Sebenarnya apa yang akan dia sampaikan?

Aku hanya mengiyakan ucapannya, tanpa berminat untuk bertanya lebih jauh. Sebaliknya dengan Mbak Dinda yang terus bertanya ini itu dan semuanya hanya sekedar basa-basi, sepertinya bukan inti dari apa yang akan dia sampaikan.

"Maaf Mbak, ada apa ya Mbak Dinda menelpon malam-malam?" tanyaku,

"Sebenarnya tidak apa-apa, Yas. Mbak hanya ingin bertukar kabar denganmu, sudah lama kita tidak berjumpa."

Aneh. Bertukar kabar tengah malam begini? Rasanya tidak mungkin menelepon malam-malam jika hanya ingin bertukar kabar, aku yakin pasti ada sesuatu yang akan dia katakan.

"Iya Mbak," balasku tak tahu mau berkata apa lagi.

"Em, Mbak ingin bertemu denganmu Yas. Kamu bisa kan besok, sekitar pukul sepuluh pagi? Mbak tunggu di Cafe Strawberry ya, Assalamualaikum." Akhirnya Mbak Dinda mengutarakan maksudnya.

Tut. Sambungan telepon itu sudah terputus meskipun aku belum sempat untuk menjawabnya.

"Waalaikumussalam." ucapku pelan, walau Mbak Dinda tidak akan mendengarnya.

Aku merasa sedikit heran padanya, Mbak Dinda jelas bertanya padaku tapi sebelum aku menjawab pertanyaannya, dia malah telah memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Dan ini semakin membuat aku bingung.

Kuletakkan handphone diatas nakas, sudah cukup untuk hari ini. Lebih baik aku merebahkan diri di atas kasur, mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang penat dan berharap mata ini segera terlelap.

Semoga saja hari esok jauh lebih baik daripada hari ini....

āˆž

"Kamu jadi bertemu dengan Kakak sepupu suamimu, Yas?" tanya Ibu pagi ini. Aku sudah mengatakan hal ini pada Ibu ketika kami sarapan tadi pagi.

"Jadi, Bu. Sebentar lagi juga Yas berangkat," jawabku sambil merapikan jilbab,

Aku memang akan menemui Mbak Dinda hari ini, lagipula tidak enak jika tidak datang. Padahal dia sendiri yang memintaku, meskipun telepon itu sudah dia matikan sebelum aku menjawabnya semalam. Aku masih berpikir positif, mungkin saja sinyalnya yang membuat sambungan telepon itu terputus.

"Sudah selesai, Yasmin pergi dulu ya Bu."

"Baiklah kalau begitu, hati-hati dijalan ya Nak." tutur Ibu lembut, kemudian aku mencium tangan serta pipinya. Setelah berpamitan padanya aku segera beranjak untuk pergi, dengan membawa mobil aku mulai melajukan kendaraan roda empat ini.

Jarak Cafe itu cukup jauh dari sini, butuh waktu sekitar tiga puluh menitan untuk sampai di sana.

Hanya keheningan yang terasa, aku enggan untuk menghidupkan musik di dalam mobil. Aku terus bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya ada apa hingga Mbak Dinda ingin bertemu langsung seperti ini. Sepertinya tidak mungkin jika tidak ada hal penting yang akan dia sampaikan.

Beberapa waktu kemudian.

"Sampai juga," gumamku, lalu turun dari dalam mobil dan langsung mencari keberadaan Mbak Dinda.

Perlahan kakiku mulai melangkah, mataku juga menatap ke sekeliling tempat, namun tidak kutemukan keberadaan Mbak Dinda di sini. Apa dia belum datang ya?

[Mbak Dinda ada di mana sekarang?] Kirim. Chat WA itu aku kirimkan padanya, sedangkan aku kini sudah duduk disebuah meja dan memesan segelas es jeruk sambil menunggu kedatangannya.

Lima belas menit telah berlalu.

Jam sepuluh sudah lewat, namun Mbak Dinda tidak kunjung datang. Dia yang meminta aku untuk datang jam sepuluh pagi, tapi dia pula yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya di tempat ini. Pesan yang aku kirim pun tak mendapatkan balasan darinya, jangankan dibalas dibaca saja belum padahal jelas-jelas dia sedang online sekarang.

Ting. Aku buru-buru melihat handphoneku, mungkinkah itu Mbak Dinda yang membalas pesanku?

[Kenapa kamu tidak membalas pesanku, Yasmin? Semua yang aku bilang itu benar kan, kalau kamu itu memang Perempuan tidak benar, yang sukanya membuat keributan dengan aku! Aku ini Ibunya Nia, Orang yang telah melahirkan anaknya Mas Haris! Jadi sudah seharusnya Mas Haris juga membahagiakan aku sebagai Ibu dari anaknya, lalu kenapa kamu yang tidak terima Hah?! Kamu saja belum bisa memberikan anak untuk Mas Haris sampai sekarang, dasar perempuan MANDUL!!!]

Sesak sekali rasanya membaca pesan itu, pesan menohok yang dikirim oleh mantan istri suamiku, Mbak Hani!

[Kamu jangan pernah membandingkan dirimu dengan aku, karena jelas aku ini wanita sempurna. Bukan seperti kamu, dua tahun menikah tidak kunjung punya anak! Dasarnya mandul ya tetap MANDUL!!]

[Jaga bicaramu Mbak, jangan berkata sembarangan kamu! Jelas aku tidak setuju dengan keinginanmu yang ingin memiliki mobil itu, karena uangnya punyaku bukan punya Mas Haris! Jadi, kamu tidak berhak sedikitpun!!! Dan satu lagi, aku tidak mandul!] Cepat kukirim pesan balasan padanya.

[Itu memang kenyataannya! Tunggu saja beberapa waktu lagi, hidupmu akan hancur sehancur-hancurnya!!] Aku memilih untuk mengabaikannya. Kemudian, langsung mematikan handphone dan meletakkannya di atas meja.

Moodku makin hancur sekarang, belum lagi Mbak Dinda yang tak kunjung tiba.

Tak terasa waktu berlalu dengan begitu cepat, saat ini sudah pukul sebelas tepat. Dan itu artinya aku sudah menunggu selama satu jam, apa sebaiknya aku pulang saja ya? Aku merasa dibohongi oleh Mbak Dinda kalau begini.

"Yasmin!" 

Seketika aku langsung menoleh, mencari dari mana asal suara yang memanggil namaku tersebut.

Kulihat di depan pintu Cafe sudah ada Mbak Dinda, dia melambaikan tangannya sambil tersenyum. Aku yang awalnya berdiri pun kembali duduk ditempat semula, menunggu Mbak Dinda yang kini kian mendekat.

"Duh maaf ya Yasmin, Mbak pasti sudah membuatmu menunggu lama." ujarnya tidak enak,

"Tidak apa-apa kok, Mbak." jawabku. Tidak mungkin aku mencak-mencak tidak jelas di sini hanya karena Mbak Dinda terlambat datang, itu bukan sifatku.

"Sekali lagi maaf ya Yas, kamu tahu sendiri kan kalau Ibu-ibu yang punya balita itu sangat repot. Belum lagi Mika yang tidak bisa lepas dari Mbak, saat Mbak pergi pun dia masih tetap sesenggukan. Untung saja ada Ayahnya di rumah," ungkap Mbak Dinda panjang lebar, menjelaskan kenapa dia sampai terlambat dan itu karena anaknya.

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Jauh di lubuk hatiku sebenarnya perih, ketika orang-orang bercerita tentang anaknya dan aku hanya mampu terdiam. Aku juga ingin merasakan kerepotan itu, namun apalah dayaku yang hingga saat ini belum dipercayai oleh yang kuasa.

"Sebenarnya apa yang ingin Mbak sampaikan?" tanyaku memberanikan diri.

"Apa benar kamu ingin bercerai dengan Haris? Apa semuanya tidak bisa lagi diperbaiki, Yas?" Mbak Dinda malah balik bertanya.

Aku terdiam. Bingung hendak mengatakan kata-kata apa yang tepat untuk menanggapinya.

"Mbak tidak akan marah atau menyalahkan kamu, Yas. Hanya saja Mbak ingin tahu apa masalah yang sebenarnya terjadi pada kalian berdua, Hani yang mengatakan semua ini pada Mbak kalau kamu dan Haris akan bercerai." papar Mbak Dinda, suaranya pun tak kalah lembut dari wajahnya.

"Mbak Hani? Justru semua masalah ini terjadi karena dia Mbak, dia memaksa Mas Haris untuk membelikannya mobil seharga tiga ratus lima puluh juta. Dan semua itu dengan dalih sebagai kebutuhan Nia." jelasku mulai tersulut,

"APA?! Ternyata aku sudah dibohongi oleh Hani! Kurang ajar sekali dia! Dia bilang kamu tidak pernah mengirimkan uang untuk Nia, dan sekarang kamu menggugat cerai Haris karena tidak ingin ada Nia di antara kalian berdua! Katanya kamu yang selalu melarang-larang Haris untuk memberi uang." geram Mbak Dinda, wajahnya seketika memerah menahan emosi.

Ternyata semua ini ulah Mbak Hani! Dia yang mendatangkan masalah dan dia pula yang menuduh aku sebagai dalangnya, kurang ajar sekali memang!

"Mas Haris dan Ibu juga bersikukuh untuk membelikannya, Mbak. Mereka sangat mendukung permintaan Mbak Hani, bahkan sampai ingin menggadaikan sertifikat rumah." tambahku lagi, biar saja Mbak Dinda tahu semua borok mereka.

"Kamu jangan heran dengan sikap mereka yang seperti itu, Yas. Semua itu karena Haris dan Bibi mengalami hal serupa dengan apa yang terjadi pada Nia."

"Maksudnya bagaimana mana, Mbak? Yasmin masih belum paham." tuturku karena jujur tidak paham.

"Ketika Ibunya Haris masih kecil kedua orangtuanya berpisah, hal itu juga terjadi pada Haris. Ibu dan Ayahnya bercerai ketika Haris baru saja memasuki sekolah menengah pertama, semenjak itupula Ayahnya lepas tangan dengan semua kebutuhan Haris. Mungkin karena itulah yang membuat Haris berusaha untuk tetap mencukupi kebutuhan Nia walaupun dia dan Hani sudah bercerai." jelas Mbak Dinda, jujur aku baru tahu tentang semua ini. Jadi ini alasan kenapa Ibu dan Mas Haris selalu mendukung keinginan Mbak Hani, selama itu berkaitan dengan Nia!

Rupanya Ibu mertuaku dan juga Mas Haris bernasib sama dengan Nia, mereka berdua menjadi korban dari perceraian kedua orangtuanya. Tapi, tetap saja perbuatannya tidak bisa dibenarkan bukan? Dan rasanya bukan pula alasan yang tepat untukku memilih bertahan!

Bantu support ini ya Kak šŸŒ»

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status