Rain merebahkan dirinya di kasur dan mulai memejamkan mata. Ia dan keluarganya baru saja pindah rumah ke rumah yang lebih besar. Badannya pegal setelah seharian memindahkan dan menata barang-barang. Beruntung hanya sisa sedikit barang yang belum dirapikan. Jadi besok mereka tidak akan sesibuk hari ini. Karena Rain juga harus sekolah besok, ia pun tak bisa lama-lama membantu keluarganya.
Mata Rain terbuka perlahan saat menyadari ponselnya berdering. Tangan Rain berusaha meraih ponsel yang terletak di atas nakas. Dahinya berkerut saat melihat nomor tidak dikenal yang menghubunginya. Rain segera duduk dan mengangkat panggilan itu, takut ada hal yang penting yang ingin disampaikan."Halo. Selamat malam?" Rain berbicara dengan lembut."Halo."Rain sedikit terkejut mendengar suara seorang pemuda di seberang. Seingatnya, ia tak memiliki teman lelaki. "Ini siapa ya?" tanya Rain dengan penasaran."Aku Chandra, calon suamimu." Pemuda di seberang tertawa.Rain langsung mematikan sambungan teleponnya dan memblokir nomor itu. "Pasti ulah anak-anak kelas!" Kesalnya. Memang banyak dari teman kelas Rain yang menyebarkan nomornya, mereka berkata ingin membantu Rain mendapatkan pacar. Menurut mereka Rain terlalu anti pada laki- laki dan harus dibantu.Setelah memarahi anak-anak di grup kelas, Rain kembali merebahkan dirinya. Namun tiba-tiba ponsel Rain kembali berdering, membuatnya berdecak kesal. "Siapa sih?! Ganggu!" Dengan kasar, ia mengambil ponselnya.Lagi-lagi panggilan itu datang dari nomor yang belum Rain simpan. Rain terlihat ragu untuk mengangkatnya, ia takut nomor itu sama seperti panggilan sebelumnya.Setelah beberapa detik membiarkan panggil itu, Rain berusaha menepis kecurigaannnya. Ia mengangkat kembali panggilan itu. "Halo?" ucapnya."Kenapa di blok-"Belum selesai pemuda di seberang berbicara, Rain langsung mematikan panggilannya dan kembali memblokir nomor tersebut. Panggilan itu berasal dari orang yang sama. Rain benar-benar kesal dan memilih mematikan ponselnya agar tidak ada yang mengganggunya lagi. Setelahnya ia kembali melanjutkan istirahatnya yang sempat tertunda.Namun, ketenangan Rain kembali terusik saat mendengar ketikukan pintunya. "Rain, buka pintunya," ucap sang bunda yang berada di luar kamar.Rain bangun dari tidurnya, mata cokelatnya menatap ke arah pintu kamar. mau istirahat aja susah! teriak batin Rain."Sebentar Bun." Rain beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar. "Kenapa Bun?" tanya Rain setelah membuka pintunya."Itu loh, ada tamu di bawah. Katanya mau ketemu kamu."Rain mengerutkan dahinya. Tamu? Tak mungkin ada temannya yang kerumah malam-malam, kalaupun ada mereka pasti akan menghubunginya dulu. Rain terlihat penasaran. "Siapa Bun?""Tetangga depan rumah."Jawaban bundanya membuat Rain semakin bingung, pasalnya ia belum mengenal tetangga sekitar rumahnya. Hari itu memang hari pertama ia berada di sana. "Kok bisa cari aku? Kan aku belum ngenalin diri ke tetangga-tetangga?""Mana bunda tau, udah temui aja dulu. Siapa tau penting kan?"Rain akhirnya menurut dan turun kebawah. Ia melihat seorang pemuda seumurannya yang duduk sendirian. Di depan pemuda itu sudah ada secangkir teh, mungkin bunda Rain yang membuatkannya. Rain sendirian menemui tamu itu. Sang bunda entah kemana, mungkin saja ke kamar untuk beristirahat. Malam memang belum terlalu larut, tapi keluarga Rain tidur lebih cepat karena kelelahan.Rain duduk di depan pemuda itu. "Siapa? Dan ada perlu apa?" Rain langsung menanyakan keperluan pemuda itu tanpa basa-basi. Ia lelah dan ingin kembali merebahkan tubunya.Pemuda itu tersenyum ramah menyambut Rain. "Aku yang kamu blok tadi. Kenapa nomorku kamu blok?"Rain langsung teringat kejadian yang baru saja terjadi. Seingat Rain, pemuda itu bernama Chandra. "Gak penting." Rain menatap Chandra dengan malas."Eh, penting, siapa tau butuh bantuanku. Kita tetangga, jadi pasti saling butuh." Chandra masih menunjukkan senyum manisnya."Gak butuh," tekan Rain. Ia sangat kesal pada Chandra. Sudah tiga kali Rain diganggu olehnya."Manusia itu makhluk sosial, gak bisa hidup sendirian. Pasti butuh bantuan dari orang lain."Penjelasan Chandra hanya di anggap angin lalu b bagi Rain. Gadis itu menanggapinya tanpa minat. "Udah tau.""Kalo nama aku pasti kamu belum tau." Chandra menaik-turunkan alisnya.Rain rasanya ingin menghantam wajah Chandra dengan bantal sofa, ia semakin muak dengan Chandra. "Udah." Ia berharap percakapan mereka berakhir."Nama lengkapku? Tau gak?" Chandra masih berusaha mengakrabkan diri.Rain diam, berusaha menahan emosinya. Ia ingin rasanya mengusir laki-laki itu."Gak tau kan, kenalin aku Arya Chandra Sasmita." Chandra mengulurkan tangannya, Rain tak membalasnya. Ia terlihat tak berminat. Chandra pun menurunkan tangannya, tapi tetap tersenyum."Udah kan? Pintu keluarnya ada disana." Rain menunjuk ke arah pintu keluar."Bentar, tehnya belum habis. Mubadzir." Chandra tertawa kecil."Udah malem," Rain mengingatkan, ia ingin Chandra segera pergi."Emang udah malem, pas aku dateng juga udah malem." Chandra perlahan meniup uap dari teh yang masih panas sebelum akhirnya meminumnya. "Eh, ngomong-ngomong. Nomorku jangan kamu blok ya, simpan aja. Siapa tau kita bisa akrab gitu.""Asal Lo pulang!" Rain kehilangan kesabaran. Ia menaikkan nada bicaranya.Chandra seperti tidak terpengaruh dan tetap santai menikmati tehnya. "Yaudah, aku pulang. Jangan di blok, loh, ya."Rain diam dan menatapnya tajam, seolah mengusir Chandra tanpa bicara.Chandra segera meminum tehnya dengan cepat. "Udah habis, aku pulang dulu ya. Makasih minumannya. Kalo boleh jujur sih aku lebih suka jus jeruk daripada teh."Rain menghela nafas kasar. Sepertinya ia harus ekstra sabar menghadapi pemuda di depannya.Chandra berdiri dan mulai berjalan, diikuti oleh Rain yang mengikuti di belakangnya. Langkah-langkah mereka mengarah ke teras. Saat Chandra mencapai teras, Rain bersiap untuk menutup pintu. Namun, Chandra cepat berbalik dan menahannya.Chandra memberikan penjelasan terkait nomor telepon. Ia meminta Rain hanya menyimpan nomor pertama yang merupakan nomornya, sedangkan nomor kedua adalah milik adik Chandra. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pembicaraannya, Rain menyela dengan cepat, "Iya, cepet pulang!" Suara Rain terdengar tegas"Oke, thanks. Aku-" Belum selesai Chandra berbicara, Rain langsung menutup pintu.Suara kunci berputar mengisyaratkan akhir percakapan. Rain merasa lega setelah Chandra pergi, ia sungguh ingin segera beristirahat.***Rain sudah bersiap menggunakan seragam sekolahnya. Ia melihat dirinya cermin sekali lagi, memastikan tak ada yang kurang atau berlebihan. Setelah merasa siap, Rain langsung menggendong tasnya dan turun ke bawah.Rain terkejut saat Chandra tiba-tiba ada di rumahnya. Chandra terlihat akrab dengan keluarganya. Matanya menatap tak suka ke arah Chandra, apalagi saat ia teringat kejadian semalam. Dengan langkah kesal Rain berjalan ke arah meja makan.Chandra menatap Rain, ia terbius dengan penampilan Rain. Seragam yang dipakainya terlihat cocok dengan kulit Rain yang putih. Tak lupa make up natural menghiasi wajah Rain."Rain, sini duduk. Ini Chandra, tetangga kita. Kamu udah kenal kan?" jelas ayah Rain.Rain segera duduk, menuruti perkataan ayahnya. Ia terlihat penasaran dengan kehadiran Chandra di rumahnya. "Kok Chandra ada di sini?" tanya Rain."Iya. Dia katanya mau berangkat bareng kamu. Hari ini hari pertama dia pindah ke sekolah kamu Rain. Kamu seneng kan? Sekarang kamu gak perlu nunggu Abang kamu lagi. Apalagi akhir-akhir ini tugasnya tambah banyak." Kini bunda Rain yang berbicara.Rain terdiam, ia tak percaya pada penjelasan sang Bunda. Rain melirik ke arah Chandra, pemuda itu terlihat tersenyum kepadanya. Senyum yang menjengkelkan bagi Rain. Rain sudah membayangkan hari-harinya akan suram karena kedatangan Chandra."Ayo makan Ra, dari tadi diem aja,“ ujar Bunda Rain."Em, Rain makan di sekolah aja Bun. Sekarang Rain piket, jadi harus berangkat lebih pagi." Rain sebenarnya berusaha menghindari Chandra."Gitu ya. Yaudah, jangan sampe lupa makan ya," pesan Bunda Rain."Siap Bunda!" ucap Rain, tak lupa dengan senyumannya. Rain segera berpamitan kepada kedua orangtuanya, lalu pergi meninggalkan meja makan."Yaudah, Chandra juga berangkat ya Tan, Om." Chandra berdiri dan menyalami kedua orangtua Rain satu persatu. Setelah berpamitan, Chandra langsung bergegas menyusul Rain.***Rain berjalan cepat. Ia tak mau berangkat dengan Chandra, jadi ia memutuskan untuk naik angkutan umum.“Rain tunggu!” teriak Chandra.Rain semakin mempercepat langkahnya bahkan nyaris berlari saat mendengar suara Chandra, sementara Chandra berlari mengejar Rain.“Rain, tunggu!” Chandra berhasil meraih tangan Rain dan menghentikan gadis itu.“Apa sih!” Rain segera melepaskan tangan Chandra.“Kita kan mau berangkat bareng. Kenapa kamu jalan sendirian?" Chandra masih terlihat terengah karena baru saja mengejar Rain. "Mendingan naik motor aku daripada jalan kayak gini, capek.”“Gue gak mau jalan sama lo!” tolak Rain dengan cepat.“Kan gak jalan. Kita naik motor.”Rain mengatur nafasnya, agar emosinya tetap stabil. Ia lupa kalau ia berbicara dengan pemuda aneh seperti Chandra. “Maksud gue, gue gak mau berangkat bareng lo," jelas Rain.“Kenapa Rain?” tanya Chandra, terlihat raut kecewa di wajahnya saat mendengar perkataan Rain.“Karena...” Rain menghentikan kalimatnya. Ia juga bingung kenapa ia tak mau berangkat bersama Chandra. Rasa jengkel tiba-tiba saja muncul saat melihat keakraban Chandra dengan orang tuanya, apalagi mengingat sikap aneh Chandra kemarin malam.“Karena apa Rain?” tanya Chandra lagi.“Ah, udahlah. Pokoknya gue gak mau berangkat bareng lo!” Rain kembali melanjutkan langkahnya yang sempat dihentikan Chandra.Chandra berjalan menyusul Rain, ia mencoba mensejajarkan langkahnya dengan Rain.“Kenapa lo ngikutin gue!” Rain terlihat kesal, namun ia tetap melangkahkan kakinya.“Setiap manusia itu punya hak masing-masing kan. Kamu berhak gak suka saat aku ngikutin kamu, tapi aku juga berhak kan mau ngapain aja," jelas Chandra dengan santainya.Rain berjalan sambil menunduk ia memijat pelan kepalanya. Menghadapi laki-laki seperti Chandra butuh banyak kesabaran. Chandra selalu saja menemukan jawaban tidak masuk akal yang membuat Rain terdiam.***Rain dan Chandra kini berada di dalam angkutan umum. Mereka duduk bersebelahan dengan posisi yang berdempetan. Hal ini terjadi karena angkot yang sudah penuh namun sang kernet tetap memaksa penumpang untuk naik dengan berkata masih ada ruang yang kosong.Bau keringat, parfum, bahkan rokok pun menjadi satu membuat kepala Rain pening. Di depan Rain ada seorang ibu-ibu yang membawa tas belanja, sepertinya ibu itu ingin pergi ke pasar. Di sebelah ibu itu terdapat seorang lelaki berkemeja putih dan menggunakan kacamata tebal sedang mendekap sebuah tas. Ada pula seorang wanita yang sedang memangku anaknya, sang anak terlihat tidak nyaman dengan keadaan didalam angkot, bahkan anak itu sempat menangis.Beberapa menit berlalu akhirnya Rain sampai di tujuannya, beruntung jarak sekolah dengan rumahnya yang sekarang cukup dekat. Ia segera memberhentikan angkotnya, karena ingin segera keluar dari sana.Rain keluar diikuti Chandra di belakangnya. Saat ingin membayar, Chandra menghentikannya."Biar aku aja."Rain tak menjawab. Ia segera pergi meninggalkan Chandra yang sedang membayar."Rain, tunggu." Chandra menyamakan langkahnya dengan Rain.Rain terlihat tak memperdulikan Chandra, meskipun Chandra terus mengoceh dan mengikuti Rain. "Bisa gak sih lo diem!" kesal Rain, beberapa siswa melihat ke arahnya.Chandra langsung diam. Ia menutup rapat bibirnya."Ra--"Rain menghentikan langkahnya. Ia menghadap ke arah Chandra. "Gue mau ke kelas, lo ke ruang kepala sekolah.""Tapi Ra--""Lo tinggal lurus aja dari sini, ada perpus lo belok kiri, setelah itu lurus lagi, pasti lo nemu ruang kepala sekolah, ada tulisannya. Ruang kepala sekolah bersebelahan sama ruang guru," jelas Rain. Ia ingin Chandra segera pergi dari hadapannya."Bisa diulangi lagi Ra, aku lupa," pinta Chandra. Penjelasan Rain terlalu cepat."Lo tuh ya! Padahal tinggal... Ah, udahlah!" Rain menarik tangan Chandra supaya mengikutinya. Langkahnya cukup cepat membuat Chandra hampir terjatuh karena tak bisa mengimbangi langkah Rain. Beberapa siswa di koridor memperhatikan mereka, lebih tepatnya memperhatikan Chandra. Beberapa siswa perempuan langsung bergosip dan membahas paras Chandra. Alis yang tebal, kulit putih, serta hidung yang mancung dipadukan dengan bibir tipis berwarna pink alami, membuat seluruh pandangan teralihkan padanya. Mereka pun bertanya-tanya apa hubungan Chandra dan Rain.Rain menghentikan langkahnya karena mereka telah sampai di depan ruang kepala sekolah. Rain langsung melepaskan tangan Chandra dan berjalan kembali ke kelasnya."Makasih Rain!" Chandra agak berteriak karena Rain yang mulai menjauh.***Rain terlihat sibuk menyalin PR milik salah satu temannya. Rain sebenarnya pintar namun karena kesibukannya akhir-akhir ini ia jadi tak sempat mengerjakan PR."Ra, gue denger lo tadi bareng cowok ya?" tanya Khanza, ia adalah teman Rain sejak SMP, selain itu Khanza adalah penjaga Rain di sekolah. Meski cantik dan bermata indah, gadis dengan rambut sebahu itu ahli dalam hal bela diri dan membuat pemuda yang ingin mendekatinya akan berpikir dua kali. Meski begitu Khanza bukanlah Rain yang selalu menjauhi dan enggan berhubungan dengan hampir semua laki-laki.“Anak baru,” jawab Rain acuh.“Anak baru? Sekolah tinggal beberapa bulan lagi, masih ada aja anak baru? Kenapa dia gak nunggu lulus aja dulu?""Mana gue tau." Rain masih tidak peduli.Khanza mencoba memahami sahabatnya. Ada yang berbeda dari Rain hari ini. Apalagi saat memasuki kelas, Rain sudah memasang wajah kusut. "Lo kayaknya gak suka bahas tuh orang. Ada masalah sama dia?"Rain tak menjawab, ia terlihat sibuk menulis karena jam pelajaran akan segera dimulai. Bersamaan dengan itu seorang siswa, baru saja memasuki kelas.“Eh Lif, lo tau berita tentang anak baru gak?” tanya Khanza pada siswa itu.“Tau dong, Alif gitu loh.” Siswa yang bernama Alif itu menepuk dadanya bangga.“Raja gosip,” sambung Rain.“Ish, Rain. Kok gitu sih sama Alif.” Alif yang semula terlihat bangga, kini mengerucutkan bibirnya karena perkataan Rain. Meski seorang lelaki, Alif lebih bertingkah seperti perempuan. Gaya bicara dan teman sepergaulannya kebanyakan adalah perempuan. Disekolah Alif dikenal sebagai rajanya gosip, semua gosip disekolahnya selalu Alif ketahui. Padahal jika bersikap normal layaknya laki-laki biasanya, Alif pasti sudah memiliki banyak penggemar. Wajah yang tampan dipadukan dengan tubuh yang proporsional, membuat Alif tampak sempurna. Apalagi jika ia tersenyum, rasanya dunia teralihkan pada senyumnya.“Jadi cerita gak nih?” Khanza terlihat menunggu jawaban Alif.“Pasti dong. Ngegosip pagi-pagi itu menyenangkan, hehe.” Alif langsung mengambil posisi di dekat Khanza dan Rain. Ia duduk di kursi sebelah Rain. “Jadi anak yang baru masuk itu namanya Chandra. Denger-denger sih dia bukan pindah tapi dikeluarin dari sekolahnya yang lama,” jelas Alif, ia memelankan kalimat terakhirnya hingga nyaris berbisik.Hal itu menarik perhatian Rain, ia sempat berhenti menulis ketika mendengar kata 'dikeluarkan'. Mana mungkin lelaki seperti Chandra dikeluarkan dari sekolahnya, tapi bisa jadi guru di sekolah Chandra sudah habis kesabaran menghadapi sikap Chandra yang seperti itu. Tanpa sadar ia mendekatkan tubuhnya pada Alif dan Khanza, agar mendengar suara Alif lebih jelas."Mau ikut gosip juga Ra?"Ucapan Khanza membuat Rain terkejut. Ia segera menjauh dan kembali melanjutkan tugasnya.“Hihi, Rain sok-sok an gak mau ngegosip, padahal sebenernya kepo kan? Apa jangan-jangan bener berita itu?"Rain menoleh kembali pada Alif. "Berita apa?""Chandra itu pacar Rain ya?" bisik Alif.Rain langsung menatap Alif dengan tajam, tapi Alif malah tertawa karena perubahan raut wajah Rain."Bener kan ... aduh!" Alif langsung mengadu kesakitan setelah buku Rain mengenai wajahnya. "Bukan Alif yang nyebarin gosip itu Ra, Alif denger dari anak-anak lain." Alif mengerucutkan bibirnya dan mengelus hidungnya yang kesakitan.Suara tawa Khanza terdengar senang, saat melihat Alif yang kesakitan. Sementara itu, si pelempar terlihat tidak peduli meski korbannya berusaha menjelaskan.Jam pelajaran dimulai, dan suasana kelas yang awalnya riuh berubah menjadi hening saat guru mata pelajaran untuk jam pertama memasuki ruangan. Namun ada yang menarik perhatian, yaitu kehadiran seseorang pemuda di belakang guru. Para siswa laki-laki bertanya-tanya siapa pemuda itu, sementara siswa perempuan terlihat heboh dan terkesima melihat ketampanan pemuda tersebut. Saat para siswa lain sedang asyik berbisik tentang orang itu, Rain malah terlihat tidak peduli. Wajahnya yang sebelumnya tampak ceria dan ramah berubah menjadi datar saat guru dan pemuda misterius itu masuk ke kelas. Chandra, dialah penyebab raut wajah Rain berubah. Berbeda dengan Rain, Chandra terlihat tersenyum senang saat mengetahui kalau ia sekelas dengan Rain. “Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru. Silahkan perkenalkan nama kamu.” “Halo semua, perkenalkan aku Chandra. Aku tetangganya Rain,” ucap Chandra dengan semangat, menunjuk ke arah Rain. Seketika, semua mata tertuju pada Rain Bego!
"Selamat malam abangnya Rain." Hari telah berganti menjadi malam, seperti katanya tadi, Chandra datang ke rumah Rain. Ia mengetuk pintu dan yang membukanya adalah seorang laki-laki bertubuh jangkung. Matanya tajam menatap Chandra. Lelaki itu adalah abang Rain. "Rainnya ada?" "Siapa?" Abang Rain balik bertanya. "Chandra, tetangga depan rumah, teman sekelasnya Rain juga," jelas Chandra. "Oh, lo yang tadi diceritain sama bunda. Yaudah masuk. Tunggu, biar gue panggilin Rain." Chandra duduk di tempat yang sama pertama kali ia datang ke rumah Rain. Sambil menunggu, ia membolak-balik halaman buku yang ia bawa. Chandra menghentikan kegiatannya ketika melihat Rain datang dengan membawa beberapa buku dan alat tulis di tangannya. "Banyak banget bukunya Ra," ucap Chandra. "Gue sekalian mau belajar." Rain duduk di hadapan Chandra. "Oh gitu ya. Aku mau nanya sedikit nih, gak bisa lama-lama disini. Adikku sendirian di rumah." "Lo punya adik?" "Kan aku bilang waktu itu ke kamu, nomor kedua
Alif baru saja datang, ia langsung duduk di samping Chandra. Saat menoleh ke arah Khanza, gadis itu terlihat kesal. "Lo lama banget di toilet Lif, Chandra aja yang dari perpus udah sampe dari tadi." Tadi memang Alif izin ke toilet dan meminta Khanza memesankan makanan untuknya, mungkin karena menunggunya terlalu lama Khanza jadi kesal. "Biasalah ketemu adkel tadi, jadi kita ngegosip dulu. Mana pesenan gue?" Alif terlihat mencari pesanannya. Khanza menggeser semangkok mie ayam kepada Alif. Beruntung mie itu tidak tumpah karena Khanza menggesernya dengan kasar. "Makasih ya Khanza, Khanza yang paling baik pokoknya," puji Alif. Ia berusaha menghilangkan rasa kesal Khanza. Sepertinya usahanya itu tidak berhasil. Khanza tak membalas dan malah terlihat menyeruput minumannya dengan kasar. Beralih dari Khanza, Alif kini memperhatikan Chandra dan Rain yang sedang memakan pesanan mereka masing-masing. Mereka berdua terlihat tenang dan tidak terpengaruh dengan kedatangannya. Alif merasa se
"Assalamualaikum." Rain berjalan ke arah dapur saat mencium wangi kue yang baru diangkat dari oven. Ia melihat dapur sedikit berantakan, ada beberapa wadah kotor dan bahan-bahan yang tergeletak begitu saja. "Tumben bikin kue." Rain menghampiri Bundanya yang sedang menata kue di piring. Bunda Rain memang sangat senang memasak. Dulu ia pernah bercerita pada Rain kalau ia bercita-cita menjadi koki, tapi sebelum menggapai cita-cita itu Bunda Rain sudah lebih dulu bertemu dengan Ayah Rain. Jadi keahlian memasaknya digunakan untuk menyenangkan keluarganya. "Lagi pengen aja. Oh ya Ra, tolong kasih ini ke abangmu ya. Dia lagi di kamar." Bunda Rain memberikan sepiring kue pada Rain. "Masih kencan sama tugasnya?" "Iya, katanya biar cepet selesai. Kalo kayak gitu bukannya selesai, malah sakit. Abangmu terlalu maksa dirinya, coba bilangin Ra, kalo kata-kata bunda udah gak mempan buat dia. Bunda cuma takut dia sakit." Terlihat jelas raut khawatir dari bunda Rain. "Iya Bunda, nanti Rain coba b
Mendung menghiasi langit pagi itu. Awan-awan hitam terlihat siap menjatuhkan bulir-bulir air. Udara dingin terasa menusuk tulang, membuat siapapun enggan beranjak dari kasur mereka. Tapi tidak dengan Rain. Gadis itu sudah bangun sejak mentari belum menunjukkan sinarnya. Ia membantu bundanya untuk menyiapkan sarapan. Meski hari ini libur, bukan berarti ia tak memiliki kegiatan apapun. "Mau dibatalin?" Lima menit yang lalu ia menerima telepon dari Khanza, temannya itu mengatakan bahwa rencana jalan-jalan mereka tetap dilaksanakan meskipun cuaca terlihat tak mendukung. Rain berusaha membatalkan rencana itu. Ia malas sekali pergi. Di cuaca seperti ini, biasanya Rain lebih memilih membaca novel sambil menikmati cokelat panas. "Enggak pokoknya harus jalan!" Rain berdecak mendengar jawaban dari Khanza. "Si Alif bilang gak bisa dateng Za." "Ya, kan masih ada lo sama Chandra." Khanza tetap bersikukuh ingin pergi. "Tapi—" Rain melihat ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan taman bel
Suara derit pintu yang terbuka membuat padangan Chandra dan Fani beralih ke pintu. Saat pintu terbuka terlihat bunda Rain dan Rain yang masuk. "Alhamdulillah kamu sudah sadar Chan. Gimana keadaan kamu sekarang?" "Udah lebih baik kok tante." Chandra tersenyum, ia sempat memandang pada Rain yang sedari tadi menunduk. Ia bersyukur dua orang didepannya tak mendengar teriakkan Fani tadi. "Oh, iya, Fan, ini makanan buat kamu, makan dulu ya." Bunda Rain memberikan bungkusan plastik kepada Fani. Fani menerimanya lalu mengangguk. "Tante sama kak Rain, udah makan?" tanya Fani, gadis itu terlihat membuka bungkusan plastik yang diberikan bunda Rain. "Udah kok Fan," jawab bunda Rain. Bunda Rain duduk disebelah Fani. "Tante, Chandra kapan pulang? Chandra gak betah disini. Tadi, nanya sama Fani dia malah gak mau jawab." "Kata dokter kamu bisa pulang nanti Chan," jelas bunda Rain. Chandra bersyukur bisa segera pulang dan tidak lagi merepotkan keluarga Rain. *** Malam sudah larut. Tadi sore C
Sudah hampir satu jam Chandra mendengar omelan mamanya. Sejak Chandra pulang tadi sang mama sudah berada di ruang tamu. Lama tidak bertemu bukannya saling melepas rindu, malah kemarahan dan cacian yang diberikan mamanya padanya. "Pintu gak dikunci! Adik kamu yang lagi tidur kamu tinggal! Dimana sih otak kamu! Gimana kalo adikmu itu kenapa-napa?! Di perempuan Chan! Kamu bisa gak sih jaga dia?! Kakak macam apa kamu ini!" bentak mama Chandra. Chandra hanya diam, ia sudah terbiasa dengan hal itu, jadi tak terlalu mendengarkan perkataan mamanya. Kantuk mendera Chandra sejak tadi, tapi mamanya tidak berhenti mengomel, Chandra hanya bisa menguap dan mengacuhkan perkataan mamanya. "Udah ma. Udah malem, Chandra mau tidur." Chandra terlihat menguap lagi. Kemudian Chandra beranjak namun mamanya menahan tangannya. "Kamu minum! Mama ngasih uang kamu bukan buat beli barang gak berguna kayak gitu! Jangankan jaga Fani, jaga diri kamu aja gak bisa! Mau jadi apa Fani kalo kamu yang ngerawat dia! Po
Rain menoleh ke arah Chandra, di menatap Chandra seakan bertanya siapa wanita didepannya kini. Saat sedang berdebat di depan rumah Chandra tadi, tiba-tiba pintu rumah Chandra terbuka dan seorang wanita seumuran bunda Rain keluar dari sana. Wanita itu terlihat sedikit mirip dengan Chandra. Apa dia mama Chandra? "Kamu pacarnya Chandra?" Rain langsung kembali menatap wanita itu. "Eh, bukan tante. Saya tetangga di depan rumah. Saya juga teman sekelas Chandra," ucap Rain dengan sopan. "Keluarga yang baru pindah itu ya? Saya mamanya Chandra. Jadi kamu teman sekelasnya Chandra juga. Siapa nama kamu?" Chandra terlihat heran karena ibunya tiba-tiba menjadi lembut pada Rain. Ah, Chandra lupa, mamanya selalu menunjukkan sikap palsunya di depan para tetangga. "Rain tante." Rain tersenyum ke arah mama Chandra. Ternyata benar dugaannya. "Nama yang cantik, kayak orangnya. Kalian mau berangkat sekolah ya?" "Iya tante. Sebenarnya Rain juga mau nganterin ini." Rain memberikan rantang makanan ya
Fani tidak mendapatkan tanggapan setelah mengetuk pintu kamar Chandra beberapa kali. Ia khawatir pada pemuda itu, karena tadi Chandra pulang dengan keadaan basah kuyup. Chandra tidak banyak mengatakan apapun dan langsung masuk. "Bang." Fani masuk dan melihat Chandra yang sudah membungkus tubuhnya dengan selimut. Chandra sepertinya tertidur sehingga tidak merespon panggilan Fani. Fani merasa Chandra sedang tidak baik. Tubuh pemuda itu terlihat menggigil dan hidungnya merah. Fani menyentuh dahi Chandra. Ia terkejut saat merasakan panas. Kemudian Fani beranjak dan terlihat sedang mencari sesuatu. "Kenapa Fan?" Fani menoleh saat mendengar suara Chandra. Suara pemuda itu kini terdengar serak dan beberapa kali ia bersin. "Termometer." "Udah, gue gak apa-apa. Udah minum obat juga. Sana tidur, entar malah ketularan sakit." Fani tidak mengindahkan ucapan Chandra, ia tetap mencari termometer. Setelah membersihkannya, Fani memasukkan termometer itu ke mulut Chandra. Tak lama Termometer itu
Kedatangan Rain dan Chandra disambut hangat oleh Khanza. Gadis itu tidak terlihat sakit. Sejak tadi Khanza sangat heboh karena Chandra dan Rain datang berdua. Khanza tidak henti-hentinya menggoda Rain. "Sebuah keajaiban Ra, lo mau dateng sama cowok." Seperti biasa, Rain hanya memasang muka datar. Melihat wajah datar sahabatnya itu, Khanza makin gencar menggoda Rain. "Udah mau malam ini kita pamit dulu ya Za," ucap Chandra ia merasa kalau Rain sudah tidak nyaman berada di sana. Chandra tidak tega melihat Rain, karena seharian ini Chandra sudah membuat Rain kesal. "Cepet amat, papa sama mama belum dateng, kalian ga mau nunggu mereka?" "Yang ada kita pulang tengah malem." Rain berdiri dan menarik lengan Chandra. "Ayo." "Eh, bentar. Baru juga ngobrol." "Yang penting gue udah liat lo baik-baik aja. Kita pamit." "Wei." Khanza mengikuti Rain yang menarik Chandra ke pintu keluar. "Keburu malem Za, Rain takut ketemu mbak Naya. Aduh." Tangan Rain yang semula menarik lengan Chandra, kin
Dengan raut wajah kebingungan, Rain turun dari motor Chandra. Bukan karena sudah sampai, namun karena Chandra berhenti di depan sebuah pohon dan menyuruh Rain turun. Rain menatap Chandra sementara Chandra tersenyum lebar ke arahnya. Rain mundur dua langkah. Ia takut Chandra kesurupan makhluk penunggu pohon itu. Chandra maju ke arah Rain dengan ekspresi yang sama. Rain terlihat ketakutan dan langsung memukul kepala Chandra. "Sakit Ra." Chandra mengelus kepalanya yang di pukul Rain. "Bodo!" Rain ingin pergi namun Rain menahannya. "Kamu belum kenalan sama Rachan." Chandra melihat ke arah pohon. Rain menyangka Chandra bisa melihat makhluk tak kasar mata. "Apaan sih Chan! Mending pulang! Mana sepi, mendung juga," omel Rain Melihat Rain mengomel, Chandra akhirnya menurut. Rain terlihat benar-benar kesal, meski Chandra tak tau apa penyebabnya. Padahal Chandra hanya ingin mengenalkannya pada pohon yang ia beri nama 'Rachan'. Pohon tempat Rain membantunya dulu. "Kamu kenapa sih Ra? Dulu
Rain melihat ke atas, ia melihat awan hitam yang siap menjatuhkan air hujan. "Giliran udah pulang gini, malah mau hujan." "Enggak apa-apa Ra, kita pulang hujan-hujanan biar romantis." Rain langsung menghadiahi Chandra dengan pukulan, sedangkan Chandra hanya tertawa melihat reaksi Rain. Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke parkiran. Chandra tidak henti-hentinya membuat Rain kesal dengan tingkahnya. Mereka sampai jadi tontonan beberapa siswa yang lewat, bahkan tak jarang mereka mendapat cibiran. Rain tidak menghiraukannya. Ia memang kesal, tapi ia tidak mau menunjukkannya pada Chandra. Setiap situasi seperti ini, biasanya Rain akan menyalahkan Chandra dan pergi begitu saja. Kali ini dia memilih untuk diam. Chandra banyak menolongnya hari ini, meski pemuda itu tetap menyebalkan baginya. "Ra, aku lupa, sepedaku gak ada di parkiran." "Lah, iya ya. Ngapain kita ke parkiran." Rain dan Chandra tertawa karena mereka lupa bahwa sepeda Chandra tidak berada di parkiran. Akhirnya mereka
Chandra dan Rain hanya bisa diam mendengar omelan Bu Sri. Bu Sri membahas banyak hal, bahkan membandingkan kehidupan sekolahnya dengan Rain dan Chandra. Bagaimana susahnya Bu Sri bersekolah dulu. Saking lamanya, upacara bendera pun telah selesai dan kini para murid sedang beristirahat. "Kalian berdua saya hukum untuk hormat pada bendera sampai jam pelajaran pertama selesai. Jangan lupa renungi kesalahan kalian. Saya berharap kalian bisa belajar dari peristiwa ini dan tidak mengulanginya." "Baik bu." Chandra dan Rain melangkahkan kaki keluar ruang BK dan mengikuti Bu Sri. Beberapa murid yang berada di koridor, menatap mereka. Setelah upacara para murid biasanya memang diberikan waktu lima belas menit untuk istirahat, maka dari itu banyak murid yang berkumpul di koridor. Saat sampai di lapangan Bu Sri menatap bendera merah putih yang berkibar di atas mereka. "Kalian lihat bendera itu. Mengibarkan bendera itu bukanlah hal yang mudah. Butuh banyak perjuangan dari para pahlawan. Coba ka
Rain begegas turun dan berjalan ke meja makan. Ia mengambil susu yang disiapkan Bundanya lalu meminumnya dengan cepat. Hari ini Rain terlambat bangun karena terlalu asik membaca novel yang Juan belikan, hingga larut malam. Oleh karena itu, pagi ini Rain terlihat sangat terburu-buru. "Pelan-pelan Ra." "Bang Juan mana Bund?" tanya Rain setelah menaruh gelas kosong ke tempat cucian piring. "Gak tau dia kemana, tadi pagi-pagi banget udah pergi." Rain terlihat panik. "Aduh, yang nganter Rain siapa?" "Chan–" "Yaudah Bund, Rain berangkat dulu ya. Assalamualaikum" Belum juga Bunda Rain menyelesaikan ucapannya, Rain tiba-tiba memotong. "Iya, Waalaikumusalam. Hati-hati Ra." Rain segera keluar, ia setengah berlari. Harapan terakhirnya adalah Chandra. Ia harap Chandra belum berangkat. "Ra, ayo berangkat." Rain benar-benar bersyukur saat melihat Chandra sedang menunggu di luar gerbangnya. Tanpa pikir panjang Rain langsung menghampiri Chandra dan naik di jok motornya. "Ayo Chan." Chandr
Sepulang dari rumah Aksa, Chandra bergegas menuju rumahnya. Ia tiba-tiba rindu pada Fani setelah mendengar cerita Aksa. Sebelum pulang, Aksa sempat bercerita pada Chandra tentang kematian adiknya dalam kecelakaan. Chandra terkejut dan sedih mendengarnya. Ia tak bisa membayangkan kalau itu terjadi pada Fani tepat di depan matanya, seperti yang Aksa alami. Chandra sudah memasuki kawasan kompleknya. Ia memelankan kecepatan motornya. Sayup-sayup Chandra mendengar seseorang memanggilnya. Ia menghentikan motornya, ia melihat wanita yang mendekat ke arahnya. Chandra tersenyum saat melihat wanita itu. Ia segera turun dari motornya. "Tante Arin, kapan datang?" Chandra tersenyum senang. Ia sudah lama tidak bertemu dengan wanita di hadapannya ini. Wanita itu adalah salah satu adik mamanya dan dari semua adik mamanya, Chandra memang paling akrab dengan tante Arin, karena memang hanya tante Arin yang bisa menerimanya dengan baik. "Kemarin malam, tante nginap di rumahnya mbak Dinda. Tadi tante k
Fani bisa kembali tenang saat mendengar suara motor Chandra memasuki halaman rumahnya. Sejak tadi Fani memang khawatir karena Chandra belum juga pulang meski hari sudah malam. "Darimana kok baru pulang? Lo gak bareng Kak Rain, Bang?" Chandra yang baru masuk ke ruang tamu, langsung mendudukkan dirinya di kursi. Ia terlihat sangat lelah, hingga mengabaikan pertanyaan Fani. "Bang?" Chandra memejamkan matanya. "Bentar Fan." Fani akhirnya membiarkan Chandra. Ia berjalan ke dapur dan mengambilkan air untuk Chandra. "Nih." Fani menyerahkan segelas air pada Chandra. Chandra membuka matanya ia melihat segelas air yang dibawakan Fani. Tangannya terulur untuk mengambil gelas itu. Chandra segera meneguk segelas air di tangannya tanpa sisa. Chandra menaruh gelas kosong itu di meja dan kembali memejamkan matanya. Fani tetap membiarkan Chandra, ia memilih memainkan ponselnya. Sebuah pesan dari temannya membuat Fani mengernyit. "Lo ngapain bareng Mirza?" "Latihan basket," ucap Chandra tanpa me
Chandra dengan perlahan menghisap rokok di tangannya. Setidaknya itu bisa membuatnya sedikit melupakan kejadian tadi pagi dan juga kebisingan yang dibuat para adik kelasnya saat di kantin tadi. Ia saat ini sedang berada di belakang gudang sekolah, tempat yang sangat jarang di datangi para siswa karena banyak yang menganggap tempat itu berpenunggu. Ini adalah kedua kalinya Chandra kemari, yang pertama adalah saat hari pertama ia pindah. Saat itu ia beralasan pergi ke perpus, Chandra malah berbelok ke tempat ini. Suasana sepi itu berubah ketika suara langkah kaki terdengar mendekati Chandra. Tubuh Chandra menegang, ia takut itu Rain. Bisa hancur rencana Chandra jika Rain mengetahui kelakuan Chandra yang sebenarnya. "Santai Chan, gue udah tau semuanya. Jadi gak perlu pura-pura lagi." Chandra langsung menoleh saat mendengar suara yang tidak asing baginya. Ia melihat Aksa sedang berjalan ke arahnya. Chandra membuang putung rokok di tangannya. Ia kemudian menginjak putung rokok itu untu