Jam pelajaran dimulai, dan suasana kelas yang awalnya riuh berubah menjadi hening saat guru mata pelajaran untuk jam pertama memasuki ruangan. Namun ada yang menarik perhatian, yaitu kehadiran seseorang pemuda di belakang guru. Para siswa laki-laki bertanya-tanya siapa pemuda itu, sementara siswa perempuan terlihat heboh dan terkesima melihat ketampanan pemuda tersebut.
Saat para siswa lain sedang asyik berbisik tentang orang itu, Rain malah terlihat tidak peduli. Wajahnya yang sebelumnya tampak ceria dan ramah berubah menjadi datar saat guru dan pemuda misterius itu masuk ke kelas.Chandra, dialah penyebab raut wajah Rain berubah. Berbeda dengan Rain, Chandra terlihat tersenyum senang saat mengetahui kalau ia sekelas dengan Rain.“Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita kedatangan teman baru. Silahkan perkenalkan nama kamu.”“Halo semua, perkenalkan aku Chandra. Aku tetangganya Rain,” ucap Chandra dengan semangat, menunjuk ke arah Rain. Seketika, semua mata tertuju pada RainBego! Kenapa dia harus bilang kayak gitu! jerit batin Rain. Kini, dia harus menghadapi perhatian seluruh kelas yang tiba-tiba tertuju padanya."Oke, cukup perkenalan dari Chandra." Atensi siswa berubah ketika mendengar suara guru. "Semoga betah disini ya, Chan. Silahkan kamu duduk di sebelah Alif," ujar guru dengan senyuman ramah, menunjuk ke arah seorang pemuda yang duduk di barisan nomor 3.Chandra mengangguk lalu berjalan ke kursinya. “Halo Rain,” bisik Chandra saat melewati bangku milik Rain.***Bel istirahat berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Ruang kelas terasa semakin sepi ketika siswa-siswa mulai meninggalkannya untuk menikmati istirahat. Rain, Khanza, dan Alif masih duduk di bangku mereka, menyaksikan Chandra yang dikelilingi siswi yang mencoba berkenalan atau meminta nomor teleponnya.“Tetangga lo tuh Ra, bantuin sana,” ucap Alif yang dengan cepat mengungsi dari mejanya.Rain terlihat acuh tak acuh. “Males banget bantuin tuh orang. Gue mau ke kantin, kalian ikut gak?” ia beranjak dari duduknya“Kuy lah!” seru Khanza penuh semangat.“Ikut dong,” timpal Alif.Mereka bertiga meninggalkan kelas, meninggalkan Chandra yang berusaha keluar dari kerumunan siswi yang ingin berkenalan dengannya.“Rain, tunggu,” seru Chandra berlari menyusul mereka. Ia berhenti di depan mereka dan mencoba menyisipkan diri ke dalam kelompok. "Mau ke kantin kan? Aku ikut ya."Rain hampir menolak, tetapi Alif dengan semangatnya menjawab, "Bagus lah, tambah banyak, tambah rame. Seru!"“Makasih ya, Alif."Mereka berjalan bersama, Khanza dan Rain di depan, Alif dan Chandra di belakang. Chandra mencoba memperkenalkan diri kepada Khanza, "Eh, kamu siapa namanya? Kita belum kenalan."”Gue Khanza.” Khanza menoleh dan mensejajarkan dirinya dengan Alif dan Chandra, sementara Rain masih di depan mereka.“Lo beneran tetangga Rain?” tanya Khanza.Chandra mengangguk. “Iya, bener.”“Wah bisa apel tiap hari dong, wkwk,” timpal Alif. Chandra terlihat bingung, tapi tetap tertawa karena mendengar tawa Alif.Rain berhenti, membuat teman di belakangnya berhenti.“Kenapa Ra—”Rain menendang kaki Alif dengan keras, membuat Alif berteriak kesakitan. Setelah itu Rain kembali melanjutkan langkahnya, mengabaikan tatapan-tatapan dari banyak siswa di koridor. Chandra segera menyusul Rain.“Kan udah gue bilang, jangan ngomong kayak gitu. Kena kan Lo,” kata Khanza sambil tertawa, meninggalkan Alif yang kesakitan.***Rain dan Chandra tiba di kantin lebih dulu, diikuti oleh Khanza dan Alif. Mereka duduk di salah satu tempat kosong yang masih tersedia. Suasana kantin yang ramai dengan obrolan dan tawa siswa menjadi latar belakang mereka.“Rain mau pesan apa? Biar aku yang pesenin ya,” kata Chandra.“Gak." Yang diinginkan Rain bukan makanan, melainkan kepergian Chandra dari hadapannya. Chandra dan sikap sok akrabnya membuat Rain kesal.“Kamu belum makan dari pagi loh.” Melihat perhatian dari Chandra pada Rain, membuat Khanza maupun Alif ingin berkomentar, tapi mengingat kejadian tadi membuat mereka mengurungkan niatnya. Sudahlah, mereka tak mau membuat Rain marah. Lebih baik mereka diam dan cukup menikmati drama dadakan yang terjadi di depan mereka.Sementara di meja lain, para siswi sibuk berbisik-bisik melihat kedekatan Rain dan Chandra. Mereka membenarkan gosip yang beredar antara Rain dan Chandra.“Jadi Rain—”“Gue gak mau apa-apa. Cukup lo diem, itu aja." Meski tidak melihat Chandra pergi, melihatnya tidak bersuara rasanya lebih baik.Chandra menuruti perkataan Rain dan langsung diam.Melihat sepertinya drama kedua temannya sudah selesai, Khanza akhirnya buka suara.“Jadi kalian gak mau pesen apa-apa?”Rain dan Chandra langsung menggeleng.“Yaudah kalo gitu, gue pesen sendiri aja.”“Eh Za. Nitip ya, hehe.” Alif menyodorkan beberapa lembar uang kepada Khanza.“Lo kan bisa jalan sendiri!” Khanza terlihat menolak Alif.“Sakit nih.” Muka Alif memelas, ia juga memegang kakinya yang tadi ditendang Rain.“Huft, dasar cewek.” Khanza mendengkus, lalu mengambil uang di tangan Alif. Ia lalu berjalan memesan makanan.“Kek biasa ya Za,” ucap Alif sebelum Khanza benar-benar pergi.Kini tersisa Chandra, Rain, dan Alif. Rain terlihat sibuk memainkan jarinya, Chandra yang memperhatikan Rain, dan Alif yang memperhatikan mereka berdua.“Aku ke perpustakaan dulu ya," kata Chandra tiba-tiba memecah keheningan antara mereka."Lah, ngapain Chan? Emang lo tau?" tanya Alif penasaran."Aku tau kok, tadi sempat lewat sana. Kalian makan aja." Chandra beranjak meninggalkan Rain dan Alif.Alif menatap ke arah Rain. "Dia kayaknya pergi gara-gara sikap lo, deh, Ra.""Bagus.""Apanya yang bagus? Loh, mana anak baru itu?" Khanza datang dengan membawa makanannya dan pesanan Alif."Pergi ke perpus." Alif mendekatkan makanannya dan kembali menatap Rain. "Lo kayaknya udah keterlaluan sama si Chandra Ra. Dia keliatan baik, dia juga kayaknya pengen deket sama Lo," ucap Alif sebelum memakan makanannya."Ya, mungkin. Kalo dia menjauh, malah bagus." Rain tidak peduli. Ia pergi meninggalkan Khanza dan Alif untuk memesan."Dia kenapa sih benci sama cowok?" tanya Alif.Khanza menggeleng tanda tidak tahu. Ia tak mengerti apa yang ada dipikiran temannya itu. Sejak SMP ia memang selalu menjauhi laki-laki. Yang ada dipikirannya hanya buku dan belajar. Rain bilang ia tak mau berurusan dengan sesuatu yang ujung-ujungnya akan membuatnya sakit. Bahkan ia sempat bilang tak mau menikah, soal itu Khanza doakan semoga temannya ini memikirkan kembali.***Jam pelajaran telah usai sejak tadi. Rain berjalan ke luar sekolahnya. Ia memutuskan untuk berjalan pulang ke rumah. Ia tak mau merepotkan abangnya, karena tau akhir-akhir ini abangnya memiliki banyak tugas kuliah, maklum semester akhir. Sebenarnya teman-temannya sudah menawarkan untuk pulang bersama, tapi Rain menolak karena rumah kedua temannya itu tak searah dengan rumah Rain."Rain tunggu!" Chandra berlari menyusul Rain yang meninggalkannya begitu saja.Rain tidak mempedulikan Chandra. Ia terus berjalan hingga akhirnya pemuda itu berhasil menyusulnya."Kamu gak naik angkot?" Chandra menyamakan langkahnya dengan Rain."Gak," jawab Rain singkat."Kenapa?""Males." Sebenarnya bukan hanya itu alasan Rain. Rain sedang mencoba menghemat uang jajannya, ia ingin menabung untuk membeli novel kesukaannya yang sebentar lagi akan terbit.Chandra kembali bertanya, "tadi kamu makan kan?""Ya."Cmhandra terlihat berpikir dan mencari pertanyaan agar perjalanan pulang mereka tidak terisi dengan keheningan. Ia tiba-tiba teringat perihal nomornya yang Rain blokir "Rain, nomorku masih kamu blok ya?""Gak." Jawaban yang masih singkat, karena Rain berharap Chandra berhenti berbicara."Bagus, nanti aku telepon kamu ya.""Kita tetangga.""Oh, kamu mau aku main ke rumah kamu?" tanya Chandra dengan percaya diri."Gak gitu juga! Maksud gue kalo ada keperluan ngapain nelpon?! Lo bisa ke rumah kan! Kalo gak penting-penting banget gak usah ke rumah dan jangan nelpon gue!" geram Rain."Penting kok, aku mau bahas pelajaran. Ada materi yang gak aku ngerti. Jadi aku mau nanya kamu, bo ...." Chandra menghentikan perkataannya. Tiba-tiba saja ia merasa nyeri di bagian ulu hati.Rain terus berjalan tanpa menyadari Chandra yang berhenti. Merasa aneh karena tidak mendengar suara Chandra, akhirnya Rain berhenti dan menoleh ke belakang. Ia melihat Chandra yang berjarak beberapa langkah darinya. Chandra terlihat menahan sakit, ia memegangi perutnya, dan wajahnya sudah dipenuhi keringat. Rain panik dan segera menghampiri Chandra."Lo kenapa?" tanya Rain, ia terlihat khawatir pada Chandra."Kayaknya maag ku kambuh," ucapan Chandra terdengar sangat lirih."Lo gak makan dari pagi?"Chandra menggeleng.Ada rasa bersalah di hati Rain. Jika saja ia tak bersikap seperti tadi, pasti Chandra akan makan bersamanya di kantin, dan tak akan begini jadinya.Rain menuntun Chandra untuk duduk di bawah pohon. "Lo tunggu sini. Gue mau cari obat sebentar." Rain langsung bergegas pergi mencari obat untuk Chandra.Tak selang berapa lama, Rain datang dengan membawa obat dan sebotol air mineral. "Nih, minum dulu."Chandra menerima obat dan air dari Rain, lalu segera meminumnya."Lo tuh. Kalo udah tau punya penyakit maag, jangan sampe telat makan." Rain mengomel, walau sebenarnya ia khawatir."Maaf ya, jadi ngerepotin kamu kayak gini."Rain hanya mengangguk. "Lo udah enakan belum?""Udah kok Ra. Makasih ya.""Ya."Rain dan Chandra kembali melanjutkan perjalanan mereka. Tak banyak pembicaraan antara mereka. Karena kali ini Chandra lebih banyak diam dan Rain pun tak mau memulai obrolan.Setelah cukup lama berjalan, akhirnya mereka sampai. Rain berjalan menuju rumahnya, Chandra juga melakukan hal yang sama."Chan," panggil Rain, ia berdiri di depan pagar rumahnya dan menghadap ke arah Chandra.Chandra yang baru akan membuka pagar rumahnya, menoleh ke arah Rain. "Kenapa Ra?""Maaf ya atas sikap gue hari ini." Mengingat apa yang terjadi pada Chandra, Rain merasa bersalah. Mungkin Alif benar, ia terlalu keterlaluan padahal Chandra bersikap baik padanya.Chandra tersenyum, lalu menjawab, "engak apa-apa Ra, kita kan teman.""Teman," lirih Rain."Tapi lebih bagus kalo lebih dari itu sih. Kayak pacar contohnya, atau suami. Pasti seru kalo kita nikah," ucap Chandra sembari tersenyum.Baru saja Rain merespon baik Chandra, sifat menyebalkan Chandra kembali lagi."Gimana menurut kamu Ra?"Tak ada jawaban. Rain langsung membuka pintu gerbangnya dan memasuki rumah."Ra nanti aku ke rumah kamu ya! Makasih yang tadi!" teriak Chandra karena Rain sudah memasuki rumahnya."Baru dateng bukannya salam, malah teriak-teriak." Chandra menoleh ke arah sumber suara, ia melihat adiknya berdiri dia depan pintu dengan tangan yang dilipat. Tubuh mungilnya bersender di pintu dan matanya menatap kesal Chandra."Assalamu'alaikum cantik." Chandra membuka pintu gerbang dan berjalan ke rumahnya."Waalaikumusalam."Chandra masuk ke rumah melewati sang adik. Ia melemparkan tas ke sofa ruang tamu. Ia kemudian duduk, Chandra bersender dan memejamkan matanya."Tadi papa nelpon, nanya kabar kita." Adik Chandra ikut duduk di sofa ruang tamu."Gak usah dibahas. Blok aja." Mata Chandra masih terpejam.Adik Chandra langsung diam. Tak lama ia kembali memanggil Chandra "Bang.""Iya.""Jangan nyakitin orang lain demi kesenangan lo." Fani menatap Chandra dengan pandangan tidak suka.Chandra membuka matanya, ia tersenyum ke arah adiknya. "Anak kecil jangan ikut-ikut ya." Chandra menepuk-nepuk kepala adiknya, kemudian ia mengambil tas dan berjalan ke kamar."Selamat malam abangnya Rain." Hari telah berganti menjadi malam, seperti katanya tadi, Chandra datang ke rumah Rain. Ia mengetuk pintu dan yang membukanya adalah seorang laki-laki bertubuh jangkung. Matanya tajam menatap Chandra. Lelaki itu adalah abang Rain. "Rainnya ada?" "Siapa?" Abang Rain balik bertanya. "Chandra, tetangga depan rumah, teman sekelasnya Rain juga," jelas Chandra. "Oh, lo yang tadi diceritain sama bunda. Yaudah masuk. Tunggu, biar gue panggilin Rain." Chandra duduk di tempat yang sama pertama kali ia datang ke rumah Rain. Sambil menunggu, ia membolak-balik halaman buku yang ia bawa. Chandra menghentikan kegiatannya ketika melihat Rain datang dengan membawa beberapa buku dan alat tulis di tangannya. "Banyak banget bukunya Ra," ucap Chandra. "Gue sekalian mau belajar." Rain duduk di hadapan Chandra. "Oh gitu ya. Aku mau nanya sedikit nih, gak bisa lama-lama disini. Adikku sendirian di rumah." "Lo punya adik?" "Kan aku bilang waktu itu ke kamu, nomor kedua
Alif baru saja datang, ia langsung duduk di samping Chandra. Saat menoleh ke arah Khanza, gadis itu terlihat kesal. "Lo lama banget di toilet Lif, Chandra aja yang dari perpus udah sampe dari tadi." Tadi memang Alif izin ke toilet dan meminta Khanza memesankan makanan untuknya, mungkin karena menunggunya terlalu lama Khanza jadi kesal. "Biasalah ketemu adkel tadi, jadi kita ngegosip dulu. Mana pesenan gue?" Alif terlihat mencari pesanannya. Khanza menggeser semangkok mie ayam kepada Alif. Beruntung mie itu tidak tumpah karena Khanza menggesernya dengan kasar. "Makasih ya Khanza, Khanza yang paling baik pokoknya," puji Alif. Ia berusaha menghilangkan rasa kesal Khanza. Sepertinya usahanya itu tidak berhasil. Khanza tak membalas dan malah terlihat menyeruput minumannya dengan kasar. Beralih dari Khanza, Alif kini memperhatikan Chandra dan Rain yang sedang memakan pesanan mereka masing-masing. Mereka berdua terlihat tenang dan tidak terpengaruh dengan kedatangannya. Alif merasa se
"Assalamualaikum." Rain berjalan ke arah dapur saat mencium wangi kue yang baru diangkat dari oven. Ia melihat dapur sedikit berantakan, ada beberapa wadah kotor dan bahan-bahan yang tergeletak begitu saja. "Tumben bikin kue." Rain menghampiri Bundanya yang sedang menata kue di piring. Bunda Rain memang sangat senang memasak. Dulu ia pernah bercerita pada Rain kalau ia bercita-cita menjadi koki, tapi sebelum menggapai cita-cita itu Bunda Rain sudah lebih dulu bertemu dengan Ayah Rain. Jadi keahlian memasaknya digunakan untuk menyenangkan keluarganya. "Lagi pengen aja. Oh ya Ra, tolong kasih ini ke abangmu ya. Dia lagi di kamar." Bunda Rain memberikan sepiring kue pada Rain. "Masih kencan sama tugasnya?" "Iya, katanya biar cepet selesai. Kalo kayak gitu bukannya selesai, malah sakit. Abangmu terlalu maksa dirinya, coba bilangin Ra, kalo kata-kata bunda udah gak mempan buat dia. Bunda cuma takut dia sakit." Terlihat jelas raut khawatir dari bunda Rain. "Iya Bunda, nanti Rain coba b
Mendung menghiasi langit pagi itu. Awan-awan hitam terlihat siap menjatuhkan bulir-bulir air. Udara dingin terasa menusuk tulang, membuat siapapun enggan beranjak dari kasur mereka. Tapi tidak dengan Rain. Gadis itu sudah bangun sejak mentari belum menunjukkan sinarnya. Ia membantu bundanya untuk menyiapkan sarapan. Meski hari ini libur, bukan berarti ia tak memiliki kegiatan apapun. "Mau dibatalin?" Lima menit yang lalu ia menerima telepon dari Khanza, temannya itu mengatakan bahwa rencana jalan-jalan mereka tetap dilaksanakan meskipun cuaca terlihat tak mendukung. Rain berusaha membatalkan rencana itu. Ia malas sekali pergi. Di cuaca seperti ini, biasanya Rain lebih memilih membaca novel sambil menikmati cokelat panas. "Enggak pokoknya harus jalan!" Rain berdecak mendengar jawaban dari Khanza. "Si Alif bilang gak bisa dateng Za." "Ya, kan masih ada lo sama Chandra." Khanza tetap bersikukuh ingin pergi. "Tapi—" Rain melihat ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan taman bel
Suara derit pintu yang terbuka membuat padangan Chandra dan Fani beralih ke pintu. Saat pintu terbuka terlihat bunda Rain dan Rain yang masuk. "Alhamdulillah kamu sudah sadar Chan. Gimana keadaan kamu sekarang?" "Udah lebih baik kok tante." Chandra tersenyum, ia sempat memandang pada Rain yang sedari tadi menunduk. Ia bersyukur dua orang didepannya tak mendengar teriakkan Fani tadi. "Oh, iya, Fan, ini makanan buat kamu, makan dulu ya." Bunda Rain memberikan bungkusan plastik kepada Fani. Fani menerimanya lalu mengangguk. "Tante sama kak Rain, udah makan?" tanya Fani, gadis itu terlihat membuka bungkusan plastik yang diberikan bunda Rain. "Udah kok Fan," jawab bunda Rain. Bunda Rain duduk disebelah Fani. "Tante, Chandra kapan pulang? Chandra gak betah disini. Tadi, nanya sama Fani dia malah gak mau jawab." "Kata dokter kamu bisa pulang nanti Chan," jelas bunda Rain. Chandra bersyukur bisa segera pulang dan tidak lagi merepotkan keluarga Rain. *** Malam sudah larut. Tadi sore C
Sudah hampir satu jam Chandra mendengar omelan mamanya. Sejak Chandra pulang tadi sang mama sudah berada di ruang tamu. Lama tidak bertemu bukannya saling melepas rindu, malah kemarahan dan cacian yang diberikan mamanya padanya. "Pintu gak dikunci! Adik kamu yang lagi tidur kamu tinggal! Dimana sih otak kamu! Gimana kalo adikmu itu kenapa-napa?! Di perempuan Chan! Kamu bisa gak sih jaga dia?! Kakak macam apa kamu ini!" bentak mama Chandra. Chandra hanya diam, ia sudah terbiasa dengan hal itu, jadi tak terlalu mendengarkan perkataan mamanya. Kantuk mendera Chandra sejak tadi, tapi mamanya tidak berhenti mengomel, Chandra hanya bisa menguap dan mengacuhkan perkataan mamanya. "Udah ma. Udah malem, Chandra mau tidur." Chandra terlihat menguap lagi. Kemudian Chandra beranjak namun mamanya menahan tangannya. "Kamu minum! Mama ngasih uang kamu bukan buat beli barang gak berguna kayak gitu! Jangankan jaga Fani, jaga diri kamu aja gak bisa! Mau jadi apa Fani kalo kamu yang ngerawat dia! Po
Rain menoleh ke arah Chandra, di menatap Chandra seakan bertanya siapa wanita didepannya kini. Saat sedang berdebat di depan rumah Chandra tadi, tiba-tiba pintu rumah Chandra terbuka dan seorang wanita seumuran bunda Rain keluar dari sana. Wanita itu terlihat sedikit mirip dengan Chandra. Apa dia mama Chandra? "Kamu pacarnya Chandra?" Rain langsung kembali menatap wanita itu. "Eh, bukan tante. Saya tetangga di depan rumah. Saya juga teman sekelas Chandra," ucap Rain dengan sopan. "Keluarga yang baru pindah itu ya? Saya mamanya Chandra. Jadi kamu teman sekelasnya Chandra juga. Siapa nama kamu?" Chandra terlihat heran karena ibunya tiba-tiba menjadi lembut pada Rain. Ah, Chandra lupa, mamanya selalu menunjukkan sikap palsunya di depan para tetangga. "Rain tante." Rain tersenyum ke arah mama Chandra. Ternyata benar dugaannya. "Nama yang cantik, kayak orangnya. Kalian mau berangkat sekolah ya?" "Iya tante. Sebenarnya Rain juga mau nganterin ini." Rain memberikan rantang makanan ya
Suasana yang tenang berubah saat rintik hujan tiba-tiba jatuh membasahi bumi. Beberapa pengendara motor dan pejalan kaki sibuk mencari tempat berteduh. "Padahal cuma hujan air, mereka sampe kalang kabut kayak gitu. Gimana kalo hujan api." Chandra melihat ke luar tenda, terlihat para pejalan kaki yang berlarian mencari tempat berteduh. Chandra dan Rain sedang berada di salah satu tenda pedagang kaki lima. Chandra tiba-tiba mengajak Rain makan disana, ia tak tau kalau hujan akan turun. Beruntung mereka sudah disana sebelum hujan turun. Rain turut melihat ke arah yang sama dengan Chandra. Ini kali pertama makan berdua saja dengan seorang laki-laki. Biasanya Rain selalu makan dengan kakak atau ayah, jika harus dengan lelaki selain mereka biasanya ia ditemani oleh Khanza. "Kalo hujan api, pasti susah sih." Chandra tertawa, sementara Rain menatap ke arahnya. Ada rasa syukur saat melihat Chandra tertawa lagi. "Lo juga pasti neduh kan kalo hujan." "Mungkin iya, mungkin enggak," jawab Cha
Fani tidak mendapatkan tanggapan setelah mengetuk pintu kamar Chandra beberapa kali. Ia khawatir pada pemuda itu, karena tadi Chandra pulang dengan keadaan basah kuyup. Chandra tidak banyak mengatakan apapun dan langsung masuk. "Bang." Fani masuk dan melihat Chandra yang sudah membungkus tubuhnya dengan selimut. Chandra sepertinya tertidur sehingga tidak merespon panggilan Fani. Fani merasa Chandra sedang tidak baik. Tubuh pemuda itu terlihat menggigil dan hidungnya merah. Fani menyentuh dahi Chandra. Ia terkejut saat merasakan panas. Kemudian Fani beranjak dan terlihat sedang mencari sesuatu. "Kenapa Fan?" Fani menoleh saat mendengar suara Chandra. Suara pemuda itu kini terdengar serak dan beberapa kali ia bersin. "Termometer." "Udah, gue gak apa-apa. Udah minum obat juga. Sana tidur, entar malah ketularan sakit." Fani tidak mengindahkan ucapan Chandra, ia tetap mencari termometer. Setelah membersihkannya, Fani memasukkan termometer itu ke mulut Chandra. Tak lama Termometer itu
Kedatangan Rain dan Chandra disambut hangat oleh Khanza. Gadis itu tidak terlihat sakit. Sejak tadi Khanza sangat heboh karena Chandra dan Rain datang berdua. Khanza tidak henti-hentinya menggoda Rain. "Sebuah keajaiban Ra, lo mau dateng sama cowok." Seperti biasa, Rain hanya memasang muka datar. Melihat wajah datar sahabatnya itu, Khanza makin gencar menggoda Rain. "Udah mau malam ini kita pamit dulu ya Za," ucap Chandra ia merasa kalau Rain sudah tidak nyaman berada di sana. Chandra tidak tega melihat Rain, karena seharian ini Chandra sudah membuat Rain kesal. "Cepet amat, papa sama mama belum dateng, kalian ga mau nunggu mereka?" "Yang ada kita pulang tengah malem." Rain berdiri dan menarik lengan Chandra. "Ayo." "Eh, bentar. Baru juga ngobrol." "Yang penting gue udah liat lo baik-baik aja. Kita pamit." "Wei." Khanza mengikuti Rain yang menarik Chandra ke pintu keluar. "Keburu malem Za, Rain takut ketemu mbak Naya. Aduh." Tangan Rain yang semula menarik lengan Chandra, kin
Dengan raut wajah kebingungan, Rain turun dari motor Chandra. Bukan karena sudah sampai, namun karena Chandra berhenti di depan sebuah pohon dan menyuruh Rain turun. Rain menatap Chandra sementara Chandra tersenyum lebar ke arahnya. Rain mundur dua langkah. Ia takut Chandra kesurupan makhluk penunggu pohon itu. Chandra maju ke arah Rain dengan ekspresi yang sama. Rain terlihat ketakutan dan langsung memukul kepala Chandra. "Sakit Ra." Chandra mengelus kepalanya yang di pukul Rain. "Bodo!" Rain ingin pergi namun Rain menahannya. "Kamu belum kenalan sama Rachan." Chandra melihat ke arah pohon. Rain menyangka Chandra bisa melihat makhluk tak kasar mata. "Apaan sih Chan! Mending pulang! Mana sepi, mendung juga," omel Rain Melihat Rain mengomel, Chandra akhirnya menurut. Rain terlihat benar-benar kesal, meski Chandra tak tau apa penyebabnya. Padahal Chandra hanya ingin mengenalkannya pada pohon yang ia beri nama 'Rachan'. Pohon tempat Rain membantunya dulu. "Kamu kenapa sih Ra? Dulu
Rain melihat ke atas, ia melihat awan hitam yang siap menjatuhkan air hujan. "Giliran udah pulang gini, malah mau hujan." "Enggak apa-apa Ra, kita pulang hujan-hujanan biar romantis." Rain langsung menghadiahi Chandra dengan pukulan, sedangkan Chandra hanya tertawa melihat reaksi Rain. Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke parkiran. Chandra tidak henti-hentinya membuat Rain kesal dengan tingkahnya. Mereka sampai jadi tontonan beberapa siswa yang lewat, bahkan tak jarang mereka mendapat cibiran. Rain tidak menghiraukannya. Ia memang kesal, tapi ia tidak mau menunjukkannya pada Chandra. Setiap situasi seperti ini, biasanya Rain akan menyalahkan Chandra dan pergi begitu saja. Kali ini dia memilih untuk diam. Chandra banyak menolongnya hari ini, meski pemuda itu tetap menyebalkan baginya. "Ra, aku lupa, sepedaku gak ada di parkiran." "Lah, iya ya. Ngapain kita ke parkiran." Rain dan Chandra tertawa karena mereka lupa bahwa sepeda Chandra tidak berada di parkiran. Akhirnya mereka
Chandra dan Rain hanya bisa diam mendengar omelan Bu Sri. Bu Sri membahas banyak hal, bahkan membandingkan kehidupan sekolahnya dengan Rain dan Chandra. Bagaimana susahnya Bu Sri bersekolah dulu. Saking lamanya, upacara bendera pun telah selesai dan kini para murid sedang beristirahat. "Kalian berdua saya hukum untuk hormat pada bendera sampai jam pelajaran pertama selesai. Jangan lupa renungi kesalahan kalian. Saya berharap kalian bisa belajar dari peristiwa ini dan tidak mengulanginya." "Baik bu." Chandra dan Rain melangkahkan kaki keluar ruang BK dan mengikuti Bu Sri. Beberapa murid yang berada di koridor, menatap mereka. Setelah upacara para murid biasanya memang diberikan waktu lima belas menit untuk istirahat, maka dari itu banyak murid yang berkumpul di koridor. Saat sampai di lapangan Bu Sri menatap bendera merah putih yang berkibar di atas mereka. "Kalian lihat bendera itu. Mengibarkan bendera itu bukanlah hal yang mudah. Butuh banyak perjuangan dari para pahlawan. Coba ka
Rain begegas turun dan berjalan ke meja makan. Ia mengambil susu yang disiapkan Bundanya lalu meminumnya dengan cepat. Hari ini Rain terlambat bangun karena terlalu asik membaca novel yang Juan belikan, hingga larut malam. Oleh karena itu, pagi ini Rain terlihat sangat terburu-buru. "Pelan-pelan Ra." "Bang Juan mana Bund?" tanya Rain setelah menaruh gelas kosong ke tempat cucian piring. "Gak tau dia kemana, tadi pagi-pagi banget udah pergi." Rain terlihat panik. "Aduh, yang nganter Rain siapa?" "Chan–" "Yaudah Bund, Rain berangkat dulu ya. Assalamualaikum" Belum juga Bunda Rain menyelesaikan ucapannya, Rain tiba-tiba memotong. "Iya, Waalaikumusalam. Hati-hati Ra." Rain segera keluar, ia setengah berlari. Harapan terakhirnya adalah Chandra. Ia harap Chandra belum berangkat. "Ra, ayo berangkat." Rain benar-benar bersyukur saat melihat Chandra sedang menunggu di luar gerbangnya. Tanpa pikir panjang Rain langsung menghampiri Chandra dan naik di jok motornya. "Ayo Chan." Chandr
Sepulang dari rumah Aksa, Chandra bergegas menuju rumahnya. Ia tiba-tiba rindu pada Fani setelah mendengar cerita Aksa. Sebelum pulang, Aksa sempat bercerita pada Chandra tentang kematian adiknya dalam kecelakaan. Chandra terkejut dan sedih mendengarnya. Ia tak bisa membayangkan kalau itu terjadi pada Fani tepat di depan matanya, seperti yang Aksa alami. Chandra sudah memasuki kawasan kompleknya. Ia memelankan kecepatan motornya. Sayup-sayup Chandra mendengar seseorang memanggilnya. Ia menghentikan motornya, ia melihat wanita yang mendekat ke arahnya. Chandra tersenyum saat melihat wanita itu. Ia segera turun dari motornya. "Tante Arin, kapan datang?" Chandra tersenyum senang. Ia sudah lama tidak bertemu dengan wanita di hadapannya ini. Wanita itu adalah salah satu adik mamanya dan dari semua adik mamanya, Chandra memang paling akrab dengan tante Arin, karena memang hanya tante Arin yang bisa menerimanya dengan baik. "Kemarin malam, tante nginap di rumahnya mbak Dinda. Tadi tante k
Fani bisa kembali tenang saat mendengar suara motor Chandra memasuki halaman rumahnya. Sejak tadi Fani memang khawatir karena Chandra belum juga pulang meski hari sudah malam. "Darimana kok baru pulang? Lo gak bareng Kak Rain, Bang?" Chandra yang baru masuk ke ruang tamu, langsung mendudukkan dirinya di kursi. Ia terlihat sangat lelah, hingga mengabaikan pertanyaan Fani. "Bang?" Chandra memejamkan matanya. "Bentar Fan." Fani akhirnya membiarkan Chandra. Ia berjalan ke dapur dan mengambilkan air untuk Chandra. "Nih." Fani menyerahkan segelas air pada Chandra. Chandra membuka matanya ia melihat segelas air yang dibawakan Fani. Tangannya terulur untuk mengambil gelas itu. Chandra segera meneguk segelas air di tangannya tanpa sisa. Chandra menaruh gelas kosong itu di meja dan kembali memejamkan matanya. Fani tetap membiarkan Chandra, ia memilih memainkan ponselnya. Sebuah pesan dari temannya membuat Fani mengernyit. "Lo ngapain bareng Mirza?" "Latihan basket," ucap Chandra tanpa me
Chandra dengan perlahan menghisap rokok di tangannya. Setidaknya itu bisa membuatnya sedikit melupakan kejadian tadi pagi dan juga kebisingan yang dibuat para adik kelasnya saat di kantin tadi. Ia saat ini sedang berada di belakang gudang sekolah, tempat yang sangat jarang di datangi para siswa karena banyak yang menganggap tempat itu berpenunggu. Ini adalah kedua kalinya Chandra kemari, yang pertama adalah saat hari pertama ia pindah. Saat itu ia beralasan pergi ke perpus, Chandra malah berbelok ke tempat ini. Suasana sepi itu berubah ketika suara langkah kaki terdengar mendekati Chandra. Tubuh Chandra menegang, ia takut itu Rain. Bisa hancur rencana Chandra jika Rain mengetahui kelakuan Chandra yang sebenarnya. "Santai Chan, gue udah tau semuanya. Jadi gak perlu pura-pura lagi." Chandra langsung menoleh saat mendengar suara yang tidak asing baginya. Ia melihat Aksa sedang berjalan ke arahnya. Chandra membuang putung rokok di tangannya. Ia kemudian menginjak putung rokok itu untu