"Selamat malam abangnya Rain."
Hari telah berganti menjadi malam, seperti katanya tadi, Chandra datang ke rumah Rain. Ia mengetuk pintu dan yang membukanya adalah seorang laki-laki bertubuh jangkung. Matanya tajam menatap Chandra. Lelaki itu adalah abang Rain."Rainnya ada?""Siapa?" Abang Rain balik bertanya."Chandra, tetangga depan rumah, teman sekelasnya Rain juga," jelas Chandra."Oh, lo yang tadi diceritain sama bunda. Yaudah masuk. Tunggu, biar gue panggilin Rain."Chandra duduk di tempat yang sama pertama kali ia datang ke rumah Rain. Sambil menunggu, ia membolak-balik halaman buku yang ia bawa.Chandra menghentikan kegiatannya ketika melihat Rain datang dengan membawa beberapa buku dan alat tulis di tangannya."Banyak banget bukunya Ra," ucap Chandra."Gue sekalian mau belajar." Rain duduk di hadapan Chandra."Oh gitu ya. Aku mau nanya sedikit nih, gak bisa lama-lama disini. Adikku sendirian di rumah.""Lo punya adik?""Kan aku bilang waktu itu ke kamu, nomor kedua itu punya adikku."Rain hanya mengangguk-angguk seolah tak peduli. "Hm. Yaudah lo mau tanya yang mana, biar cepet selesai."Chandra membuka bukunya dan menaruhnya di meja."Ini nih Ra, aku gak paham bagian ini." Chandra menunjuk pada soal yang berisikan angka-angka yang tersusun.Rain meneliti angka-angka yang ditunjukkan Chandra. "Oh yang itu. Gini nih caranya, pake cara dari gue ya. Nanti lo perhatiin dan coba kerjain."Chandra mengangguk, ia memperhatikan dengan seksama penjelasan yang diberikan Rain. Setelah selesai Chandra langsung mencoba mengerjakan soal yang diberikan Rain."Gini kan Ra?" Chandra menunjukkan kertas berisi soal yang sudah ia kerjakan."Ya, bener kayak gitu. Lo udah paham kan sekarang.""Paham kok. Makasih ya Ra, aku jadi tau cara ngerjainnya. Yaudah Ra, aku pulang dulu ya. Kasian adikku, udah lumayan lama aku ninggalin dia." Chandra menutup bukunya dan membereskan barang yang dibawanya. Bersamaan dengan itu bunda Rain datang membawa minuman dan camilan."Sudah belajarnya? Kok udah beres-beres.""Iya tante, sudah selesai.""Cepet banget, yaudah ini ada cemilan sama minuman. Dimakan dulu." Bunda Rain menaruh nampan berisi cemilan dan minuman di meja. "Eh gak usah repot-repot tante, Chandra udah mau pulang," tolak Chandra dengan halus."Kok buruh-buruh banget?""Katanya adiknya sendirian di rumah," ucap Rain."Kenapa tadi gak sekalian di ajak kesini. Biar kenalan gitu sama Rain dan tante."Chandra tersenyum canggung. "Agak pemalu dia tante.""Gitu ya""Yaudah tante, Chandra pamit pulang ya. Titip salam sama Abangnya Rain.""Iya Chan. Kapan-kapan ajak adikmu ke rumah ya," ucap bunda Rain."Iya tante."Setelah berpamitan, Chandra langsung pergi menuju rumahnya. Sementara Rain kembali pada pekerjaannya."Kamu masih sibuk sama buku, belum selesai Ra?"Rain memang masih terlihat berkutat dengan bukunya. Tangannya tak berhenti merangkum materi."Belum Bun, sebentar lagi.""Jangan tidur malem-malem ya Ra. Jangan sampe kebablasan. Kamu tuh kadang kalo udah belajar gak inget waktu. Otak kamu juga butuh istirahat.""Tuh dengerin kata bunda. Lo tuh kalo belajar bukan cuma gak inget waktu, tapi gak inget sekitar juga. Pantesan umur segini masih jomblo. Mana pernah lo megang tangan cowok, palingan yang dipegang juga buku, buku, dan buku," timpal Abang Rain."Apaan sih bang! Ngapain juga bawa-bawa cowok. Harusnya lo seneng, adik lo satu-satunya ini gak deket sama sembarang cowok!""Kalian ini! Udah malem bukannya tidur malah debat, gak enak di denger tetangga. Pokoknya kamu Rain gak boleh tidur larut malam dan kamu Juan, daripada kamu gangguin adikmu mendingan kerjain aja tugasmu yang belum selesai!""Iya bunda," ucap Rain dan Juan bersamaan."Yaudah, bunda mau ke kamar dulu."Setelah kepergian bundanya, Juan duduk di tempat yang Chandra duduki tadi. Ia mengambil salah satu buku Rain dan membolak-balik halamannya tanpa berniat membaca. Kemudia ia beralih menatap Rain. "Chandra lumayan juga Ra," katanya berusaha menggoda.Rain tidak merespon, ia masih sibuk dengan buku-bukunya."Eh pulpen siapa nih, warna pink lagi. Punya lo Ra? Bukannya lo gak suka warna pink ya?" Juan mengambil pulpen yang tadi berada di atas meja. Sementara Rain mengehentikan tulisannya dan melihat benda di tangan Juan."Punya Chandra kayaknya," ucap Rain sebelum kembali mengalihkan fokusnya ke buku."Yaudah sana kembaliin Ra. Inget kan pesan bunda, kita gak boleh ngambil barang yang bukan milik kita meskipun barang kecil sekalipun.""Besok gue kembaliin." Rain ingin melanjutkan tulisannya, tapi Juan langsung mengambil pulpen ditangannya."Bunda juga pernah bilang—""Kita gak boleh nunda-nunda pekerjaan, nanti ujung-ujungnya lupa," potong Rain."Nah itu tau, sana pergi."Rain berdecak, namun tetap melakukan apa yang diperintahkan Juan. Ia mengambil pulpen di tangan Juan dan berjalan keluar rumah."Wah, pinternya adek gue."***Rain sampai di halaman rumahnya. Ia memperhatikan pintu rumah Chandra yang tertutup. Sepertinya ia mengurungkan niatnya untuk mengantarkan pulpen pada Chandra. Lagipula besok mereka bertemu. Baru ingin melangkah masuk ke dalam rumahnya, Rain mendengar pintu rumah Chandra terbuka. Rain langsung menoleh ke sana. Ia melihat seorang anak perempuan keluar dari sana, anak itu berjalan ke arah gerbang."Itu pasti adiknya Chandra," ucap Rain pada dirinya."Eh, Lo!" Rain memanggil anak itu dan menghampirinya."Lo adiknya Chandra kan?" Tanya Rain saat dirinya sudah berada di depan gerbang rumah Chandra.Anak itu mengangguk."Nih pulpennya Chandra, ketinggalan tadi. Oh iya, kenalin gue Rain." Rain memberikan pulpen itu pada adik Chandra dan anak itu menerimanya."Gue Fani. Makasih ya." Tak ada senyum dari Fani. Wajah Fani tetap datar meskipun mengucapkan terimakasih. Rain jadi teringat sikapnya pada Chandra."Kak, gue harap Lo jauhin Abang gue.""Kenapa?"Bukannya menjawab, Fani malah berjalan memasuki rumahItu adiknya Chandra bukan sih, beda banget. Kakaknya cerewet, adiknya malah kayak gituRain tak terlalu memikirkan perkataan Fani, ia juga tak berniat untuk lebih dekat dengan Chandra."Loh Rain, kok ada disini." Tiba-tiba seorang lelaki menyapanya. Rain kaget karena lelaki itu menyapanya secara tiba-tiba."Siapa?" tanya Rain, ia tak mengenali lelaki yang menyapanya kini. Lelaki itu menggunakan Hoodie dan topi yang membuat wajahnya tidak terlalu terlihat jelas di bawah temaramnya lampu."Arga."Rain masih menunjukkan raut wajah kebingungan."Temen SMP lo.""Oh, iya-iya." Rain pura-pura mengingatnya meski ia tak tau siapa Arga itu, Rain hanya ingin percakapannya cepat selesai."Lo kok bisa ada disini, lo kenal Chandra?""Rumah gue baru pindah, dan Chandra temen gue." Rain mengingat percakapannya dengan Chandra sepulang sekolah tadi."Oh ya? pindah kesini ya. Yang mana rumah Lo?"Rain langsung menunjuk rumah yang ada di depan rumah Chandra."Maaf sebelumnya ya Ar, ini udah larut. Gue harus pulang," ucap Rain"Yaudah deh, kapan-kapan kita ngobrol lagi ya."Rain mengangguk, lalu berjalan dengan cepat menuju rumahnya. Ia merasa tak nyaman saat berbicara dengan Arga, perasaannya juga tak enak.***Tak seperti biasanya, Rain bangun lebih pagi. Ia ingin menghindari Chandra pagi ini, ya meskipun nantinya akan bertemu di sekolah, setidaknya Rain tidak berangkat dengan Chandra pagi ini.Abangnya masih tidur, Rain tak tega membangunkannya. Karena Juan semalam begadang mengerjakan tugas. Terpaksa hari ini ia kembali berangkat menggunakan angkot.Setelah berpamitan ia segera pergi ke luar. Sepertinya rencana Rain gagal. Saat membuka pintu rumah ia melihat Chandra yang juga baru keluar rumah. Chandra terlihat tersenyum dan melambai ke arahnya. Chandra berjalan keluar gerbang, ia menuju rumah Rain."Pagi Raina Adinda. Mau naik angkot lagi? Bareng yuk," ajak Chandra. Pemuda itu menunggu Rain diluar gerbang.Dengan langkah berat, Rain menghampiri Chandra."Lo bilang lo punya motor kan, kita berangkat naik motor lo," ucap Rain. Setelah mengingat kejadian kemarin, ia sudah kapok berdesak-desakan di angkot."Beneran nih?" Chandra terlihat gembira dengan perkataan Rain,Rain terlihat mengangguk."Tunggu sebentar." Chandra langsung berlari memasuki rumahnya, tak lama ia terlihat mengeluarkan motor matic dari garasi. Ia kemudian menyalakan motor itu dan mengendarainya sampai ke depan gerbang rumah Rain."Ayo Ra."Rain membuka gerbang rumahnya, ia lalu menaiki motor Chandra."Pegangan Ra."Rain langsung memegang pundak Chandra."Yang erat ya Ra, lebih bagus kalo kamu pegang pinggang." Chandra tertawa."Dahlah, cepet berangkat!" Rain memutar matanya malas."Siap!"Chandra langsung menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.***Rain segera berjalan mendahului Chandra. Sejak dari parkiran tadi, ia menjadi bahan gosip para siswi yang sedang berkumpul. Mereka masih membahas hubungannya dengan Chandra. Rain benci mendengarnya."Rain tunggu." Chandra berusaha menyamakan langkahnya dengan Rain. "Kebiasaan ninggalin aku." Kini ia sudah berada disebelah Rain, mereka berjalan beriringan menuju kelas."Lo bisa gak sih jauhin gue. Gue gak mau jadi bahan gosip.""Rain minta yang lain aja ya. Kalo itu, aku gak bisa kabulin. Lagian ya Ra, kamu gak usah dengerin mereka. Kalo capek pasti berhenti sendiri kok."Rain memikirkan perkataan Chandra. Memang benar apa yang dikatakan Chandra."Rain.""Apa!.""Kelas kita udah lewat."Rain berhenti, ia menatap Chandra lalu menoleh ke belakang. Benar, kelas mereka sudah terlewat cukup jauh. Karena terlalu memikirkan gosip itu, Rain sampai lupa kalau kelasnya sudah terlewat."Kenapa baru bilang sih!" Rain berbalik dan berjalan ke kelasnya dengan kesal."Ya kamu keliatan serius banget tadi. Mikir apa sih?"Seperti biasa, Rain tak menjawab pertanyaan Chandra. Ia mempercepat langkahnya menuju kelas.Setelah sampai di kelas, Rain disapa oleh beberapa teman sekelasnya termasuk Alif dan Khanza."Pagi Rain dan tetangganya," sapa Alif. Ia kemudian memperhatikan wajah Rain yang terlihat kesal. "Muka lo kenapa Ra, pagi-pagi dah kek gitu?"Rain tak menanggapi Alif, ia langsung duduk di bangkunya."Pagi juga Lif," jawab Chandra.Tak mendapat jawaban dari Rain, kini Alif beralih pada Chandra. "Itu si Rain kenapa kok bisa kek gitu.""Mungkin gara-gara dengerin gosip, kamu tau sendiri kan.""Umm, gitu ya."Khanza yang sedari tadi diam, berusaha menenangkan Rain. "Udah Ra, gak usah didengerin mereka."Rain mengangguk sebagai respon terhadap Khanza. Tiba-tiba saja ia teringat pada kejadian semalam. "Oh ya Za, lo kenal Arga gak? Katanya sih temen SMP dulu."Chandra yang menaruh tasnya, langsung menoleh ke arah Rain saat mendengar pertanyaannya itu."Arga ya, coba gue inget-inget dulu." Khanza terlihat berpikir."Emangnya kenapa Ra?" Selesai menaruh tasnya Chandra langsung bergabung dengan Alif, Rain, dan Khanza."Iya Ra, tumben lo nanya soal cowok. Lo suka dia ya?" timpal Alif."Kenal aja kagak,c jawab Rain dengan acuh."Ah iya, gue inget." Pandangan Rain, Chandra, dan Alif langsung tertuju ke Khanza."Si Arga itu kayaknya ketua tim basket pas kita SMP. Dia juga pernah nembak lo kan?"Rain ingat, ia pernah ditembak didepan ratusan siswa oleh Arga, namun Rain menolaknya. Saat itu Arga terlihat marah dan pergi begitu saja setelah Rain menolaknya."Ceritanya CLBK nih," goda Alif."Lo emang gak pernah belajar dari masa lalu ya Lif," ucap Rain."Mak—"Sebuah buku terlempar mengenai kepala Alif. Si pelempar adalah Rain. Memang Alif tak belajar dari masa lalu, ia lupa apa yang dilakukan oleh Rain kemarin."Lo tega sama gue Ra, kalo gue geger otak gimana," ucapnya sambil menahan sakit."Bodo!""Jahat!" rengek Alif.Chandra hanya menggeleng melihat kelakuan Rain dan Alif, sementara Khanza hanya tertawa melihat Alif yang kesakitan.***Didalam sebuah bilik toilet, terlihat seorang pemuda yang sedang menelepon seseorang."Lo ngapain nemuin dia?!""Selow bro, cuma sekedar nyapa doang. Udah lama gue gak ngomong sama dia," Ucap seseorang di seberang."Kalo rencana kita terbongkar gimana?""Gak akan kok, tenang aja.""Yaudah deh, yang penting gue gak mau dia tau rencana kita.""Oke."Pemuda itu mematikan sambungan teleponnya."Pokoknya gue harus menang."Alif baru saja datang, ia langsung duduk di samping Chandra. Saat menoleh ke arah Khanza, gadis itu terlihat kesal. "Lo lama banget di toilet Lif, Chandra aja yang dari perpus udah sampe dari tadi." Tadi memang Alif izin ke toilet dan meminta Khanza memesankan makanan untuknya, mungkin karena menunggunya terlalu lama Khanza jadi kesal. "Biasalah ketemu adkel tadi, jadi kita ngegosip dulu. Mana pesenan gue?" Alif terlihat mencari pesanannya. Khanza menggeser semangkok mie ayam kepada Alif. Beruntung mie itu tidak tumpah karena Khanza menggesernya dengan kasar. "Makasih ya Khanza, Khanza yang paling baik pokoknya," puji Alif. Ia berusaha menghilangkan rasa kesal Khanza. Sepertinya usahanya itu tidak berhasil. Khanza tak membalas dan malah terlihat menyeruput minumannya dengan kasar. Beralih dari Khanza, Alif kini memperhatikan Chandra dan Rain yang sedang memakan pesanan mereka masing-masing. Mereka berdua terlihat tenang dan tidak terpengaruh dengan kedatangannya. Alif merasa se
"Assalamualaikum." Rain berjalan ke arah dapur saat mencium wangi kue yang baru diangkat dari oven. Ia melihat dapur sedikit berantakan, ada beberapa wadah kotor dan bahan-bahan yang tergeletak begitu saja. "Tumben bikin kue." Rain menghampiri Bundanya yang sedang menata kue di piring. Bunda Rain memang sangat senang memasak. Dulu ia pernah bercerita pada Rain kalau ia bercita-cita menjadi koki, tapi sebelum menggapai cita-cita itu Bunda Rain sudah lebih dulu bertemu dengan Ayah Rain. Jadi keahlian memasaknya digunakan untuk menyenangkan keluarganya. "Lagi pengen aja. Oh ya Ra, tolong kasih ini ke abangmu ya. Dia lagi di kamar." Bunda Rain memberikan sepiring kue pada Rain. "Masih kencan sama tugasnya?" "Iya, katanya biar cepet selesai. Kalo kayak gitu bukannya selesai, malah sakit. Abangmu terlalu maksa dirinya, coba bilangin Ra, kalo kata-kata bunda udah gak mempan buat dia. Bunda cuma takut dia sakit." Terlihat jelas raut khawatir dari bunda Rain. "Iya Bunda, nanti Rain coba b
Mendung menghiasi langit pagi itu. Awan-awan hitam terlihat siap menjatuhkan bulir-bulir air. Udara dingin terasa menusuk tulang, membuat siapapun enggan beranjak dari kasur mereka. Tapi tidak dengan Rain. Gadis itu sudah bangun sejak mentari belum menunjukkan sinarnya. Ia membantu bundanya untuk menyiapkan sarapan. Meski hari ini libur, bukan berarti ia tak memiliki kegiatan apapun. "Mau dibatalin?" Lima menit yang lalu ia menerima telepon dari Khanza, temannya itu mengatakan bahwa rencana jalan-jalan mereka tetap dilaksanakan meskipun cuaca terlihat tak mendukung. Rain berusaha membatalkan rencana itu. Ia malas sekali pergi. Di cuaca seperti ini, biasanya Rain lebih memilih membaca novel sambil menikmati cokelat panas. "Enggak pokoknya harus jalan!" Rain berdecak mendengar jawaban dari Khanza. "Si Alif bilang gak bisa dateng Za." "Ya, kan masih ada lo sama Chandra." Khanza tetap bersikukuh ingin pergi. "Tapi—" Rain melihat ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan taman bel
Suara derit pintu yang terbuka membuat padangan Chandra dan Fani beralih ke pintu. Saat pintu terbuka terlihat bunda Rain dan Rain yang masuk. "Alhamdulillah kamu sudah sadar Chan. Gimana keadaan kamu sekarang?" "Udah lebih baik kok tante." Chandra tersenyum, ia sempat memandang pada Rain yang sedari tadi menunduk. Ia bersyukur dua orang didepannya tak mendengar teriakkan Fani tadi. "Oh, iya, Fan, ini makanan buat kamu, makan dulu ya." Bunda Rain memberikan bungkusan plastik kepada Fani. Fani menerimanya lalu mengangguk. "Tante sama kak Rain, udah makan?" tanya Fani, gadis itu terlihat membuka bungkusan plastik yang diberikan bunda Rain. "Udah kok Fan," jawab bunda Rain. Bunda Rain duduk disebelah Fani. "Tante, Chandra kapan pulang? Chandra gak betah disini. Tadi, nanya sama Fani dia malah gak mau jawab." "Kata dokter kamu bisa pulang nanti Chan," jelas bunda Rain. Chandra bersyukur bisa segera pulang dan tidak lagi merepotkan keluarga Rain. *** Malam sudah larut. Tadi sore C
Sudah hampir satu jam Chandra mendengar omelan mamanya. Sejak Chandra pulang tadi sang mama sudah berada di ruang tamu. Lama tidak bertemu bukannya saling melepas rindu, malah kemarahan dan cacian yang diberikan mamanya padanya. "Pintu gak dikunci! Adik kamu yang lagi tidur kamu tinggal! Dimana sih otak kamu! Gimana kalo adikmu itu kenapa-napa?! Di perempuan Chan! Kamu bisa gak sih jaga dia?! Kakak macam apa kamu ini!" bentak mama Chandra. Chandra hanya diam, ia sudah terbiasa dengan hal itu, jadi tak terlalu mendengarkan perkataan mamanya. Kantuk mendera Chandra sejak tadi, tapi mamanya tidak berhenti mengomel, Chandra hanya bisa menguap dan mengacuhkan perkataan mamanya. "Udah ma. Udah malem, Chandra mau tidur." Chandra terlihat menguap lagi. Kemudian Chandra beranjak namun mamanya menahan tangannya. "Kamu minum! Mama ngasih uang kamu bukan buat beli barang gak berguna kayak gitu! Jangankan jaga Fani, jaga diri kamu aja gak bisa! Mau jadi apa Fani kalo kamu yang ngerawat dia! Po
Rain menoleh ke arah Chandra, di menatap Chandra seakan bertanya siapa wanita didepannya kini. Saat sedang berdebat di depan rumah Chandra tadi, tiba-tiba pintu rumah Chandra terbuka dan seorang wanita seumuran bunda Rain keluar dari sana. Wanita itu terlihat sedikit mirip dengan Chandra. Apa dia mama Chandra? "Kamu pacarnya Chandra?" Rain langsung kembali menatap wanita itu. "Eh, bukan tante. Saya tetangga di depan rumah. Saya juga teman sekelas Chandra," ucap Rain dengan sopan. "Keluarga yang baru pindah itu ya? Saya mamanya Chandra. Jadi kamu teman sekelasnya Chandra juga. Siapa nama kamu?" Chandra terlihat heran karena ibunya tiba-tiba menjadi lembut pada Rain. Ah, Chandra lupa, mamanya selalu menunjukkan sikap palsunya di depan para tetangga. "Rain tante." Rain tersenyum ke arah mama Chandra. Ternyata benar dugaannya. "Nama yang cantik, kayak orangnya. Kalian mau berangkat sekolah ya?" "Iya tante. Sebenarnya Rain juga mau nganterin ini." Rain memberikan rantang makanan ya
Suasana yang tenang berubah saat rintik hujan tiba-tiba jatuh membasahi bumi. Beberapa pengendara motor dan pejalan kaki sibuk mencari tempat berteduh. "Padahal cuma hujan air, mereka sampe kalang kabut kayak gitu. Gimana kalo hujan api." Chandra melihat ke luar tenda, terlihat para pejalan kaki yang berlarian mencari tempat berteduh. Chandra dan Rain sedang berada di salah satu tenda pedagang kaki lima. Chandra tiba-tiba mengajak Rain makan disana, ia tak tau kalau hujan akan turun. Beruntung mereka sudah disana sebelum hujan turun. Rain turut melihat ke arah yang sama dengan Chandra. Ini kali pertama makan berdua saja dengan seorang laki-laki. Biasanya Rain selalu makan dengan kakak atau ayah, jika harus dengan lelaki selain mereka biasanya ia ditemani oleh Khanza. "Kalo hujan api, pasti susah sih." Chandra tertawa, sementara Rain menatap ke arahnya. Ada rasa syukur saat melihat Chandra tertawa lagi. "Lo juga pasti neduh kan kalo hujan." "Mungkin iya, mungkin enggak," jawab Cha
Malamnya Chandra telah bersiap ke rumah Rain. ia memegang beberapa buku pelajaran dan alat tulis. Saat melintas di depan ibunya yang sibuk dengan berkas-berkas kantor di sofa, Chandra tak terhindar dari pertanyaan yang tak terelakkan. "Mau kemana?" Mama Chandra tak mengalihkan pandangannya dari kertas yang tengah dipegangnya. Chandra berhenti sejenak. Tatapan lelahnya beralih pada ibunya. Meski tahu pertanyaan itu hanya akan membuka pintu pada diskusi tak berujung, dia menjawab dengan singkat, "Rumah Rain." "Ngapain?" ibunya menyela. Chandra menggelengkan kepala, mengetahui bahwa alasan apa pun tak akan cukup memuaskan ibunya. Namun, ia tetap menjawab dengan sabar, "Ngerjain tu—" "Dia target kamu selanjutnya kan." Kali ini mama Chandra menatapnya dengan tatapan tajam. Chandra berdecak. Ia nampak tak suka dengan apa yang baru saja mamanya katakan, meski Chandra tak bisa mengelak perkataan mamanya. "Kamu emang sama kayak papa kamu! Brengsek!" Kata-kata tajam terlontar begitu saja
Fani tidak mendapatkan tanggapan setelah mengetuk pintu kamar Chandra beberapa kali. Ia khawatir pada pemuda itu, karena tadi Chandra pulang dengan keadaan basah kuyup. Chandra tidak banyak mengatakan apapun dan langsung masuk. "Bang." Fani masuk dan melihat Chandra yang sudah membungkus tubuhnya dengan selimut. Chandra sepertinya tertidur sehingga tidak merespon panggilan Fani. Fani merasa Chandra sedang tidak baik. Tubuh pemuda itu terlihat menggigil dan hidungnya merah. Fani menyentuh dahi Chandra. Ia terkejut saat merasakan panas. Kemudian Fani beranjak dan terlihat sedang mencari sesuatu. "Kenapa Fan?" Fani menoleh saat mendengar suara Chandra. Suara pemuda itu kini terdengar serak dan beberapa kali ia bersin. "Termometer." "Udah, gue gak apa-apa. Udah minum obat juga. Sana tidur, entar malah ketularan sakit." Fani tidak mengindahkan ucapan Chandra, ia tetap mencari termometer. Setelah membersihkannya, Fani memasukkan termometer itu ke mulut Chandra. Tak lama Termometer itu
Kedatangan Rain dan Chandra disambut hangat oleh Khanza. Gadis itu tidak terlihat sakit. Sejak tadi Khanza sangat heboh karena Chandra dan Rain datang berdua. Khanza tidak henti-hentinya menggoda Rain. "Sebuah keajaiban Ra, lo mau dateng sama cowok." Seperti biasa, Rain hanya memasang muka datar. Melihat wajah datar sahabatnya itu, Khanza makin gencar menggoda Rain. "Udah mau malam ini kita pamit dulu ya Za," ucap Chandra ia merasa kalau Rain sudah tidak nyaman berada di sana. Chandra tidak tega melihat Rain, karena seharian ini Chandra sudah membuat Rain kesal. "Cepet amat, papa sama mama belum dateng, kalian ga mau nunggu mereka?" "Yang ada kita pulang tengah malem." Rain berdiri dan menarik lengan Chandra. "Ayo." "Eh, bentar. Baru juga ngobrol." "Yang penting gue udah liat lo baik-baik aja. Kita pamit." "Wei." Khanza mengikuti Rain yang menarik Chandra ke pintu keluar. "Keburu malem Za, Rain takut ketemu mbak Naya. Aduh." Tangan Rain yang semula menarik lengan Chandra, kin
Dengan raut wajah kebingungan, Rain turun dari motor Chandra. Bukan karena sudah sampai, namun karena Chandra berhenti di depan sebuah pohon dan menyuruh Rain turun. Rain menatap Chandra sementara Chandra tersenyum lebar ke arahnya. Rain mundur dua langkah. Ia takut Chandra kesurupan makhluk penunggu pohon itu. Chandra maju ke arah Rain dengan ekspresi yang sama. Rain terlihat ketakutan dan langsung memukul kepala Chandra. "Sakit Ra." Chandra mengelus kepalanya yang di pukul Rain. "Bodo!" Rain ingin pergi namun Rain menahannya. "Kamu belum kenalan sama Rachan." Chandra melihat ke arah pohon. Rain menyangka Chandra bisa melihat makhluk tak kasar mata. "Apaan sih Chan! Mending pulang! Mana sepi, mendung juga," omel Rain Melihat Rain mengomel, Chandra akhirnya menurut. Rain terlihat benar-benar kesal, meski Chandra tak tau apa penyebabnya. Padahal Chandra hanya ingin mengenalkannya pada pohon yang ia beri nama 'Rachan'. Pohon tempat Rain membantunya dulu. "Kamu kenapa sih Ra? Dulu
Rain melihat ke atas, ia melihat awan hitam yang siap menjatuhkan air hujan. "Giliran udah pulang gini, malah mau hujan." "Enggak apa-apa Ra, kita pulang hujan-hujanan biar romantis." Rain langsung menghadiahi Chandra dengan pukulan, sedangkan Chandra hanya tertawa melihat reaksi Rain. Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke parkiran. Chandra tidak henti-hentinya membuat Rain kesal dengan tingkahnya. Mereka sampai jadi tontonan beberapa siswa yang lewat, bahkan tak jarang mereka mendapat cibiran. Rain tidak menghiraukannya. Ia memang kesal, tapi ia tidak mau menunjukkannya pada Chandra. Setiap situasi seperti ini, biasanya Rain akan menyalahkan Chandra dan pergi begitu saja. Kali ini dia memilih untuk diam. Chandra banyak menolongnya hari ini, meski pemuda itu tetap menyebalkan baginya. "Ra, aku lupa, sepedaku gak ada di parkiran." "Lah, iya ya. Ngapain kita ke parkiran." Rain dan Chandra tertawa karena mereka lupa bahwa sepeda Chandra tidak berada di parkiran. Akhirnya mereka
Chandra dan Rain hanya bisa diam mendengar omelan Bu Sri. Bu Sri membahas banyak hal, bahkan membandingkan kehidupan sekolahnya dengan Rain dan Chandra. Bagaimana susahnya Bu Sri bersekolah dulu. Saking lamanya, upacara bendera pun telah selesai dan kini para murid sedang beristirahat. "Kalian berdua saya hukum untuk hormat pada bendera sampai jam pelajaran pertama selesai. Jangan lupa renungi kesalahan kalian. Saya berharap kalian bisa belajar dari peristiwa ini dan tidak mengulanginya." "Baik bu." Chandra dan Rain melangkahkan kaki keluar ruang BK dan mengikuti Bu Sri. Beberapa murid yang berada di koridor, menatap mereka. Setelah upacara para murid biasanya memang diberikan waktu lima belas menit untuk istirahat, maka dari itu banyak murid yang berkumpul di koridor. Saat sampai di lapangan Bu Sri menatap bendera merah putih yang berkibar di atas mereka. "Kalian lihat bendera itu. Mengibarkan bendera itu bukanlah hal yang mudah. Butuh banyak perjuangan dari para pahlawan. Coba ka
Rain begegas turun dan berjalan ke meja makan. Ia mengambil susu yang disiapkan Bundanya lalu meminumnya dengan cepat. Hari ini Rain terlambat bangun karena terlalu asik membaca novel yang Juan belikan, hingga larut malam. Oleh karena itu, pagi ini Rain terlihat sangat terburu-buru. "Pelan-pelan Ra." "Bang Juan mana Bund?" tanya Rain setelah menaruh gelas kosong ke tempat cucian piring. "Gak tau dia kemana, tadi pagi-pagi banget udah pergi." Rain terlihat panik. "Aduh, yang nganter Rain siapa?" "Chan–" "Yaudah Bund, Rain berangkat dulu ya. Assalamualaikum" Belum juga Bunda Rain menyelesaikan ucapannya, Rain tiba-tiba memotong. "Iya, Waalaikumusalam. Hati-hati Ra." Rain segera keluar, ia setengah berlari. Harapan terakhirnya adalah Chandra. Ia harap Chandra belum berangkat. "Ra, ayo berangkat." Rain benar-benar bersyukur saat melihat Chandra sedang menunggu di luar gerbangnya. Tanpa pikir panjang Rain langsung menghampiri Chandra dan naik di jok motornya. "Ayo Chan." Chandr
Sepulang dari rumah Aksa, Chandra bergegas menuju rumahnya. Ia tiba-tiba rindu pada Fani setelah mendengar cerita Aksa. Sebelum pulang, Aksa sempat bercerita pada Chandra tentang kematian adiknya dalam kecelakaan. Chandra terkejut dan sedih mendengarnya. Ia tak bisa membayangkan kalau itu terjadi pada Fani tepat di depan matanya, seperti yang Aksa alami. Chandra sudah memasuki kawasan kompleknya. Ia memelankan kecepatan motornya. Sayup-sayup Chandra mendengar seseorang memanggilnya. Ia menghentikan motornya, ia melihat wanita yang mendekat ke arahnya. Chandra tersenyum saat melihat wanita itu. Ia segera turun dari motornya. "Tante Arin, kapan datang?" Chandra tersenyum senang. Ia sudah lama tidak bertemu dengan wanita di hadapannya ini. Wanita itu adalah salah satu adik mamanya dan dari semua adik mamanya, Chandra memang paling akrab dengan tante Arin, karena memang hanya tante Arin yang bisa menerimanya dengan baik. "Kemarin malam, tante nginap di rumahnya mbak Dinda. Tadi tante k
Fani bisa kembali tenang saat mendengar suara motor Chandra memasuki halaman rumahnya. Sejak tadi Fani memang khawatir karena Chandra belum juga pulang meski hari sudah malam. "Darimana kok baru pulang? Lo gak bareng Kak Rain, Bang?" Chandra yang baru masuk ke ruang tamu, langsung mendudukkan dirinya di kursi. Ia terlihat sangat lelah, hingga mengabaikan pertanyaan Fani. "Bang?" Chandra memejamkan matanya. "Bentar Fan." Fani akhirnya membiarkan Chandra. Ia berjalan ke dapur dan mengambilkan air untuk Chandra. "Nih." Fani menyerahkan segelas air pada Chandra. Chandra membuka matanya ia melihat segelas air yang dibawakan Fani. Tangannya terulur untuk mengambil gelas itu. Chandra segera meneguk segelas air di tangannya tanpa sisa. Chandra menaruh gelas kosong itu di meja dan kembali memejamkan matanya. Fani tetap membiarkan Chandra, ia memilih memainkan ponselnya. Sebuah pesan dari temannya membuat Fani mengernyit. "Lo ngapain bareng Mirza?" "Latihan basket," ucap Chandra tanpa me
Chandra dengan perlahan menghisap rokok di tangannya. Setidaknya itu bisa membuatnya sedikit melupakan kejadian tadi pagi dan juga kebisingan yang dibuat para adik kelasnya saat di kantin tadi. Ia saat ini sedang berada di belakang gudang sekolah, tempat yang sangat jarang di datangi para siswa karena banyak yang menganggap tempat itu berpenunggu. Ini adalah kedua kalinya Chandra kemari, yang pertama adalah saat hari pertama ia pindah. Saat itu ia beralasan pergi ke perpus, Chandra malah berbelok ke tempat ini. Suasana sepi itu berubah ketika suara langkah kaki terdengar mendekati Chandra. Tubuh Chandra menegang, ia takut itu Rain. Bisa hancur rencana Chandra jika Rain mengetahui kelakuan Chandra yang sebenarnya. "Santai Chan, gue udah tau semuanya. Jadi gak perlu pura-pura lagi." Chandra langsung menoleh saat mendengar suara yang tidak asing baginya. Ia melihat Aksa sedang berjalan ke arahnya. Chandra membuang putung rokok di tangannya. Ia kemudian menginjak putung rokok itu untu