Malam itu, langit Kerajaan Gilingwesi dipenuhi bintang-bintang yang bersinar redup, seolah-olah mereka juga merasakan beban takdir yang menggantung di atas kerajaan. Udara dingin menyelimuti istana, membawa aroma tanah basah dan dedaunan jatuh dari pepohonan tua. Suara angin malam berdesir pelan, menciptakan atmosfer mistis yang mendalam. Raka berjalan menyusuri koridor batu menuju ruang meditasi di menara tertinggi istana—tempat ia sering mencari jawaban dalam keheningan.Sejak pertempuran besar melawan penyihir gelap, Raka merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan. Meskipun portal waktu telah ditutup dan Dyah Sulastri mulai pulih, hatinya masih dipenuhi oleh rasa tidak pasti. Ia tahu bahwa keputusannya untuk tetap tinggal di masa lalu bukanlah akhir dari perjalanan ini—melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar.Di ruang meditasi, lilin-lilin kecil dinyalakan di sekeliling cermin perunggu kuno yang kini mati—tidak lagi memancarkan cahaya biru keperakan seperti sebelumnya. Raka du
Langit pagi mulai terang, mengusir kegelapan malam yang telah menyelimuti Kerajaan Gilingwesi selama berhari-hari. Cahaya matahari pertama muncul dari balik pegunungan, memancarkan sinar keemasan yang lembut dan menyentuh setiap sudut istana. Udara segar pagi hari membawa aroma tanah basah dan dedaunan hijau yang masih berembun. Di puncak istana, Raka dan Dyah Sulastri berdiri berdampingan, menatap cakrawala dengan perasaan campur aduk antara harapan dan keteguhan.Angin pagi berdesir pelan, membawa bisikan gaib yang seolah-olah mencoba memberi mereka jawaban. Namun, Raka dan Dyah hanya bisa menduga-duga. Yang mereka tahu adalah bahwa konflik ini belum sepenuhnya berakhir—dan ancaman baru sedang mengendap-endap di balik bayang-bayang."Mereka tidak hanya melihat matahari terbit sebagai tanda awal hari baru—tetapi juga sebagai simbol awal dari babak baru dalam hidup mereka," gumam Raka pelan, suaranya hampir tersapu oleh angin pagi.Dyah menoleh padanya, matanya penuh rasa ingin tahu. "
Meskipun pertempuran besar melawan penyihir gelap telah berakhir, suasana di istana Kerajaan Gilingwesi masih dipenuhi ketegangan. Udara pagi terasa berat, seolah-olah awan kelabu menggantung rendah di atas halaman istana. Suara bisikan penduduk lokal bergema lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan hijau yang berembun setelah hujan semalam. Penduduk berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, wajah mereka penuh keraguan dan kecemasan."Bagaimana bisa kita mempercayai seseorang yang bahkan tidak lahir di tanah ini?" gumam seorang petani tua kepada temannya, suaranya cukup keras untuk didengar oleh beberapa orang di sekitarnya. Matanya menyipit dengan ekspresi marah, tangannya gemetar saat ia menunjuk ke arah singgasana. "Ia mungkin membawa kutukan baru ke kerajaan kita."Seorang wanita muda yang sedang menyusun anyaman bambu menoleh dengan ekspresi marah. "Tapi dia sudah menyelamatkan kita! Tanpa dia, Dyah Sulastri mungkin sudah mati, dan kerajaan ini akan hancur!"Pria tua itu hany
Pagi itu, matahari bersinar lembut di atas istana Gilingwesi. Namun, suasana di dalam ruang meditasi utama jauh dari tenang. Rakai Wisesa berdiri di depan pintu kayu besar yang terbuka lebar, matanya menyipit penuh kecurigaan. Di dalam ruangan, tempat Resi Agung Darmaja biasanya menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdoa dan merenung, hanya ada kekosongan.Tidak ada jejak sedikit pun dari keberadaannya—tidak ada buku kuno, gulungan lontar, atau benda-benda ritual yang biasanya menemani sang resi. Bahkan aroma dupa yang selalu memenuhi ruangan telah lenyap tanpa bekas. Hanya ada sebuah meja batu kosong dengan debu tipis yang seolah-olah sudah lama tidak tersentuh.Rakai Wisesa melangkah masuk, tangannya gemetar saat ia menyentuh permukaan meja batu tersebut. "Di mana dia?" gumamnya pelan, suaranya penuh ketegangan. Ia menoleh kepada prajurit yang berjaga di pintu. "Apa ada yang melihatnya keluar?""Ti-tidak, Yang Mulia," jawab prajurit itu dengan nada gugup. "Kami pikir ia masih bermedi
Malam itu, langit Gilingwesi tertutup awan kelabu tebal yang menyelimuti bumi dengan kegelapan pekat. Di penjara bawah tanah istana, suara rantai berdering samar-samar diikuti oleh langkah-langkah pelan yang hampir tak terdengar. Udara lembap dan dingin membawa aroma tanah basah dan lumut tua yang memenuhi lorong-lorong sempit. Ki Jagabaya, pemimpin pasukan bayangan yang ditangkap setelah pertempuran besar melawan penyihir gelap, duduk diam di sudut selnya. Namun, matanya yang tajam seperti mata elang menunjukkan bahwa ia tidak pernah benar-benar kalah.Dari balik bayang-bayang, muncul sekelompok prajurit berpakaian hitam—pasukan bayangan yang setia padanya. Salah satu dari mereka membawa kunci ajaib yang terbuat dari tulang dan logam tua. Dengan gerakan cepat, pintu sel dibuka tanpa suara. Ki Jagabaya bangkit, tubuhnya yang kurus namun kuat bergerak seperti ular yang baru saja terbebas dari jerat."Kita tidak punya banyak waktu," bisik salah satu pasukan bayangan, suaranya rendah dan
Pagi itu, matahari mulai meninggi di langit Gilingwesi, tetapi suasana di istana masih dipenuhi ketegangan. Arya Kertajaya berdiri di halaman istana, mengamati para prajurit yang sedang berlatih dengan pedang dan tombak. Suara logam beradu terdengar tajam di udara pagi, sementara angin dingin membawa aroma tanah basah dan dedaunan hijau yang berembun. Matanya menyipit, penuh dengan kekhawatiran dan keraguan. Ia memegang gagang pedangnya erat-erat, seolah mencoba menenangkan diri dari gelombang emosi yang terus bergulir di dalam hatinya.Sejak kedatangan Raka, Arya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Awalnya, ia percaya bahwa kehadiran Raka adalah jawaban atas ramalan kuno yang disebutkan oleh Rakai Wisesa. Namun, semakin lama Raka tinggal di kerajaan, semakin besar kecurigaannya. Bagaimana mungkin seorang asing—yang bahkan bukan keturunan Gilingwesi—dapat membawa harapan bagi kerajaan ini? Apalagi setelah Resi Agung Darmaja menghilang tanpa jejak, Arya semakin yakin bahwa ada sesuatu
Malam itu, udara di istana Gilingwesi terasa lebih dingin dari biasanya. Raka berjalan menyusuri lorong-lorong bawah tanah yang lembap dan gelap, hanya ditemani cahaya lilin kecil yang ia pegang erat-erat. Rakai Wisesa telah memberinya izin untuk menelusuri ruang bawah tanah istana setelah mendengar laporan bahwa ada dokumen kuno yang belum pernah dibuka sejak berabad-abad lalu. Raka merasa ada sesuatu yang penting tersembunyi di sini—sesuatu yang mungkin bisa menjawab banyak pertanyaan tentang kerajaan ini.Langkahnya berderap pelan di atas lantai batu yang basah oleh lumut. Suara tetesan air terdengar samar-samar dari sudut ruangan, menciptakan atmosfer mistis yang membuat bulu kuduknya merinding. Di ujung lorong, ia menemukan sebuah pintu kayu tua yang tertutup rapat, dengan ukiran simbol-simbol aneh yang tampak seperti mantra kuno. Raka menghela napas dalam-dalam, lalu mendorong pintu itu perlahan.Di dalam ruangan, ia menemukan rak-rak penuh gulungan lontar kuno, patung-patung kec
Malam itu, suasana di istana Gilingwesi terasa lebih berat dari biasanya. Udara dingin membawa aroma tanah basah dan dedaunan hijau yang berembun, sementara angin malam berdesir pelan, seolah-olah membawa pesan dari dunia lain. Para prajurit berjaga dengan tegang, mata mereka waspada terhadap setiap gerakan mencurigakan. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa malam ini akan menjadi momen penting dalam sejarah kerajaan.Tiba-tiba, cahaya merah menyala muncul di halaman utama istana. Api yang aneh itu melingkar-lingkar, membentuk sosok besar yang bersinar seperti matahari terbenam. Itu adalah Banaspati, roh api pelindung kerajaan, yang jarang muncul kecuali dalam situasi mendesak. Sosoknya yang megah dan misterius memancarkan aura kekuatan gaib yang membuat semua orang yang melihatnya gemetar takut.Para penduduk istana berlutut hormat, termasuk Rakai Wisesa dan para pemimpin spiritual. Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan beberapa tokoh penting lainnya berkumpul di halaman utama, men
Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan
Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh
Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l
Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang
Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka
Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu
Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe
Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek
Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti