Home / Fantasi / Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir / BAB 88: ARYA KERTAJAYA MEMOHON

Share

BAB 88: ARYA KERTAJAYA MEMOHON

last update Last Updated: 2025-02-28 07:00:49
Setelah kepergian Resi Agung Darmaja, suasana di ruang bawah tanah istana kembali hening. Hanya ada Raka dan portal waktu yang masih aktif, memancarkan cahaya biru keperakan yang lembut namun penuh tekanan. Udara di ruangan itu dingin, dipenuhi aroma dupa dan lilin yang semakin kuat, menciptakan suasana mistis yang mendalam. Suara angin malam terus berdesir pelan, membawa aura misterius yang membuat Raka semakin tenggelam dalam pikiran-pikiran beratnya.

Tiba-tiba, langkah kaki berat terdengar dari pintu masuk ruangan. Arya Kertajaya muncul dengan wajah tegang, tubuhnya yang tegap tampak lebih lelah daripada biasanya. Ia mengenakan jubah perang yang sedikit kotor akibat pertempuran sebelumnya, dan matanya dipenuhi oleh rasa khawatir serta keteguhan.

"Aku tahu aku tidak punya hak untuk meminta ini," kata Arya langsung tanpa basa-basi, suaranya parau namun penuh emosi. "Namun, aku harus bicara."

Raka menoleh, menatap Arya dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan rasa hormat. "Apa y
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 89: RAKAI WISESA MENYAMPAIKAN PERMINTAAN TERAKHIR

    Setelah kepergian Arya Kertajaya, suasana di ruang bawah tanah istana kembali hening. Hanya ada Raka dan portal waktu yang masih aktif, memancarkan cahaya biru keperakan yang lembut namun penuh tekanan. Udara di ruangan itu dingin, dipenuhi aroma dupa dan lilin yang semakin kuat, menciptakan suasana mistis yang mendalam. Suara angin malam terus berdesir pelan, membawa aura misterius yang membuat Raka semakin tenggelam dalam pikiran-pikiran beratnya.Tiba-tiba, langkah kaki berat terdengar dari pintu masuk ruangan. Rakai Wisesa muncul dengan wajah tegang, tubuhnya yang tegap tampak lebih lelah daripada biasanya. Ia mengenakan jubah kerajaan yang sedikit kotor akibat pertempuran sebelumnya, dan matanya dipenuhi oleh rasa khawatir serta keteguhan."Raka," kata Rakai Wisesa langsung tanpa basa-basi, suaranya tegas namun penuh emosi. "Aku tahu kau sedang menghadapi dilema besar. Namun, aku harus bicara."Raka menoleh, menatap Rakai Wisesa dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan rasa

    Last Updated : 2025-02-28
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 90: KEPUTUSAN AKHIR

    Raka berdiri di depan portal waktu yang masih aktif, cahaya biru keperakan dari cermin perunggu memancarkan aura mistis yang mendalam. Udara dingin menyelimuti ruangan, dipenuhi aroma dupa dan lilin yang semakin kuat, menciptakan suasana magis yang menekan. Suara angin malam terus berdesir pelan, membawa bisikan-bisikan gaib seolah mencoba memberinya jawaban atas dilema yang menghantui pikirannya.Matanya tertuju pada portal waktu, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia memikirkan semua yang telah terjadi sejak ia tiba di Kerajaan Gilingwesi—pertemuannya dengan Dyah Sulastri, pertempuran besar melawan penyihir gelap, intrik politik di istana, hingga nasihat Resi Agung Darmaja dan permohonan Arya Kertajaya serta Rakai Wisesa. Semua momen itu berputar dalam benaknya seperti roda takdir yang tidak bisa dihentikan."Apa yang harus kulakukan?" gumam Raka pelan, suaranya penuh keraguan. "Aku ingin kembali ke masa depan... tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Dyah... atau kerajaan ini."Ia menu

    Last Updated : 2025-02-28
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 91: MENUTUP PORTAL WAKTU

    Raka berdiri di depan portal waktu yang masih aktif, cahaya biru keperakan dari cermin perunggu terus memancar dengan intensitas yang tak tergoyahkan. Udara di ruangan itu semakin dingin, dipenuhi aroma dupa dan lilin yang menyengat, menciptakan suasana mistis yang menekan. Suara angin malam berdesir pelan, membawa bisikan-bisikan gaib yang seolah-olah mencoba memberinya jawaban atas dilema yang menghantui pikirannya.Ia menutup mata sejenak, merasakan aliran energi spiritual yang telah tumbuh dalam dirinya sejak pertempuran besar melawan penyihir gelap. Kekuatan ini bukan hanya miliknya—ia menyadari bahwa itu adalah bagian dari warisan kerajaan Gilingwesi, hadiah dari para leluhur yang telah lama menjaga tanah ini. Dengan napas dalam-dalam, ia mulai mengulurkan tangannya ke arah portal, merasakan getaran magis yang bergemuruh di ujung jari-jarinya."Maafkan aku," gumam Raka pelan, suaranya penuh rasa hormat namun juga penyesalan. "Aku tidak bisa meninggalkan mereka."Perlahan-lahan, i

    Last Updated : 2025-02-28
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 92: DYAH SULASTRI MULAI PULIH

    Cahaya matahari pagi yang lembut menyusup melalui celah-celah jendela kayu, menciptakan bayangan halus di wajah Dyah Sulastri yang terbaring di ranjang. Udara di ruangan itu dipenuhi aroma dupa wewangian yang menenangkan, menciptakan suasana damai namun penuh harapan. Raka duduk di sisi ranjang dengan ekspresi cemas, tangannya terlipat di lutut, matanya tak pernah lepas dari wajah putri kerajaan yang masih tertidur.Sejak pertempuran besar melawan penyihir gelap, Dyah telah terbaring koma selama beberapa hari. Para tabib istana dan pendeta spiritual telah berusaha keras untuk menyembuhkannya, tetapi semuanya bergantung pada kekuatan vitalnya sendiri—sebuah warisan gaib yang mengalir dalam darahnya sebagai calon ratu suci.Perlahan-lahan, kelopak mata Dyah mulai bergerak. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya membuka matanya sepenuhnya. Pandangannya buram pada awalnya, tetapi saat ia fokus, sosok Raka tampak jelas di sisinya. Wajahnya yang tegang langsung berubah menjadi senyum le

    Last Updated : 2025-03-01
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 93: REKONSTRUKSI KERAJAAN

    Matahari pagi yang cerah menyinari reruntuhan istana Kerajaan Gilingwesi, memberikan cahaya baru pada puing-puing yang hancur akibat pertempuran besar. Udara dipenuhi oleh suara palu yang memukul kayu, derap langkah penduduk lokal yang sibuk bekerja, dan nyanyian doa-doa spiritual yang dilantunkan oleh para pendeta untuk memohon berkah dari para dewa. Meskipun bekas luka pertempuran masih terlihat jelas di setiap sudut kerajaan, semangat kebersamaan dan harapan mulai tumbuh kembali.Raka berdiri di tengah-tengah aktivitas itu, mengenakan pakaian sederhana yang biasa dikenakan oleh para pemimpin spiritual di kerajaan. Ia tampak tidak seperti dirinya yang skeptis dan modern lagi—kini ia adalah bagian integral dari masyarakat Gilingwesi. Di sisinya, Rakai Wisesa mengamati pekerjaan rekonstruksi dengan ekspresi campuran antara lega dan tegang. Meskipun kemenangan atas penyihir gelap telah membawa kedamaian sementara, raja tahu bahwa stabilitas kerajaan masih rapuh."Kita harus mempercepat

    Last Updated : 2025-03-01
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 94: VISI MASA DEPAN

    Malam itu, langit Kerajaan Gilingwesi dipenuhi bintang-bintang yang bersinar redup, seolah-olah mereka juga merasakan beban takdir yang menggantung di atas kerajaan. Udara dingin menyelimuti istana, membawa aroma tanah basah dan dedaunan jatuh dari pepohonan tua. Suara angin malam berdesir pelan, menciptakan atmosfer mistis yang mendalam. Raka berjalan menyusuri koridor batu menuju ruang meditasi di menara tertinggi istana—tempat ia sering mencari jawaban dalam keheningan.Sejak pertempuran besar melawan penyihir gelap, Raka merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan. Meskipun portal waktu telah ditutup dan Dyah Sulastri mulai pulih, hatinya masih dipenuhi oleh rasa tidak pasti. Ia tahu bahwa keputusannya untuk tetap tinggal di masa lalu bukanlah akhir dari perjalanan ini—melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar.Di ruang meditasi, lilin-lilin kecil dinyalakan di sekeliling cermin perunggu kuno yang kini mati—tidak lagi memancarkan cahaya biru keperakan seperti sebelumnya. Raka du

    Last Updated : 2025-03-01
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 95: AWAL DARI PETUALANGAN BARU

    Langit pagi mulai terang, mengusir kegelapan malam yang telah menyelimuti Kerajaan Gilingwesi selama berhari-hari. Cahaya matahari pertama muncul dari balik pegunungan, memancarkan sinar keemasan yang lembut dan menyentuh setiap sudut istana. Udara segar pagi hari membawa aroma tanah basah dan dedaunan hijau yang masih berembun. Di puncak istana, Raka dan Dyah Sulastri berdiri berdampingan, menatap cakrawala dengan perasaan campur aduk antara harapan dan keteguhan.Angin pagi berdesir pelan, membawa bisikan gaib yang seolah-olah mencoba memberi mereka jawaban. Namun, Raka dan Dyah hanya bisa menduga-duga. Yang mereka tahu adalah bahwa konflik ini belum sepenuhnya berakhir—dan ancaman baru sedang mengendap-endap di balik bayang-bayang."Mereka tidak hanya melihat matahari terbit sebagai tanda awal hari baru—tetapi juga sebagai simbol awal dari babak baru dalam hidup mereka," gumam Raka pelan, suaranya hampir tersapu oleh angin pagi.Dyah menoleh padanya, matanya penuh rasa ingin tahu. "

    Last Updated : 2025-03-01
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 96: KETEGANGAN DI ISTANA

    Meskipun pertempuran besar melawan penyihir gelap telah berakhir, suasana di istana Kerajaan Gilingwesi masih dipenuhi ketegangan. Udara pagi terasa berat, seolah-olah awan kelabu menggantung rendah di atas halaman istana. Suara bisikan penduduk lokal bergema lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan hijau yang berembun setelah hujan semalam. Penduduk berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, wajah mereka penuh keraguan dan kecemasan."Bagaimana bisa kita mempercayai seseorang yang bahkan tidak lahir di tanah ini?" gumam seorang petani tua kepada temannya, suaranya cukup keras untuk didengar oleh beberapa orang di sekitarnya. Matanya menyipit dengan ekspresi marah, tangannya gemetar saat ia menunjuk ke arah singgasana. "Ia mungkin membawa kutukan baru ke kerajaan kita."Seorang wanita muda yang sedang menyusun anyaman bambu menoleh dengan ekspresi marah. "Tapi dia sudah menyelamatkan kita! Tanpa dia, Dyah Sulastri mungkin sudah mati, dan kerajaan ini akan hancur!"Pria tua itu hany

    Last Updated : 2025-03-01

Latest chapter

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 220: RAKAI WISESA MENYERAHKAN TAHTA

    Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 219: Ki Jagabaya Melarikan Diri Lagi

    Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 218: Arya Kertajaya Mengambil Keputusan Akhir

    Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status