Pertempuran di luar istana semakin memanas. Pasukan loyalis mulai kelelahan, sementara pasukan asing dan pasukan bayangan Ki Jagabaya terus menyerang tanpa henti. Penyihir gelap berdiri di tengah medan perang, mengayunkan tongkat sihirnya dengan gerakan penuh kebencian. Setiap mantra yang ia ucapkan menciptakan ledakan energi hitam yang menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya.Raka berdiri di garis belakang, tubuhnya gemetar karena ketegangan. Ia menyadari bahwa jika ia tidak bertindak sekarang, kerajaan akan jatuh. Dengan napas dalam-dalam, ia menutup matanya dan mencoba menghubungkan dirinya dengan kekuatan spiritual yang telah berkembang di dalam dirinya sejak kedatangannya ke masa lalu.Tiba-tiba, cahaya keemasan mulai memancar dari tubuhnya. Cahaya itu membentuk pola-pola aneh di udara—simbol-simbol kuno yang tidak dikenal oleh banyak orang, tetapi sangat familiar bagi Resi Agung Darmaja. "Dia akhirnya menyadarinya," gumam Resi Agung Darmaja pelan, matanya menyipit dengan campu
Pertempuran besar masih berkecamuk di luar istana, dengan pasukan loyalis dan makhluk gaib terus melawan pasukan asing serta pasukan bayangan Ki Jagabaya. Di tengah kekacauan itu, Arya Kertajaya memimpin sekelompok prajurit elit untuk mengejar seseorang yang telah lama menjadi duri dalam daging kerajaan—Ki Jagabaya.Api unggun di dekat tenda komando menyala redup, menciptakan bayangan panjang di tanah. Udara dipenuhi aroma darah dan besi dari medan perang, menciptakan suasana suram. Angin dingin berdesir pelan, membawa aroma mistis dari hutan lebat yang mengelilingi kerajaan.Ki Jagabaya, pemimpin pasukan rahasia yang selama ini mengabdi kepada Rakai Wisesa, ternyata memiliki agenda tersembunyi. Arya berhasil melacaknya ke sebuah gua kecil di tepi hutan, tempat ia diduga sedang merapal mantra hitam untuk mendukung penyihir gelap. Dengan gerakan cepat dan strategi cermat, Arya dan pasukannya berhasil menyergap Ki Jagabaya sebelum ia sempat melarikan diri."Berhenti di situ, pengkhianat!
Langit yang tadinya biru cerah kini berubah kelabu, seolah-olah alam semesta sendiri merasakan kegelapan yang mendekat. Awan tebal bergulung-gulung, menyelimuti seluruh wilayah kerajaan dengan bayangan suram. Udara dipenuhi aroma abu dan belerang, menciptakan suasana mencekam yang membuat setiap napas terasa berat. Di tengah pertempuran besar antara pasukan loyalis dan musuh, tiba-tiba muncul suara gemuruh yang menggetarkan bumi—suara itu datang dari utara, tempat penyihir gelap diketahui bersembunyi.Para prajurit yang sedang bertarung mulai menoleh ke arah sumber suara, mata mereka dipenuhi ketakutan. Dari balik kabut hitam yang melingkupi hutan lebat, sosok penyihir gelap muncul perlahan. Tubuhnya tinggi dan kurus, dibalut jubah hitam yang berkibar meskipun tidak ada angin. Matanya bersinar merah seperti bara api, memancarkan aura kebencian dan kekuatan yang luar biasa."Kematian akan datang untuk kalian semua!" teriaknya dengan suara yang dalam dan menggelegar, menggema di seluruh
Pertempuran besar melawan penyihir gelap telah usai, namun kehancuran yang ditinggalkan masih terasa di setiap sudut kerajaan. Istana yang dulunya megah kini penuh dengan reruntuhan dan asap hitam yang belum sepenuhnya hilang. Para prajurit loyalis berkumpul untuk merawat korban luka, sementara para tabib spiritual berusaha menyembuhkan mereka yang terkena sihir hitam.Udara dipenuhi aroma dupa dan lilin dari ritual pemurnian yang dilakukan oleh para pendeta kerajaan. Suara angin malam berdesir pelan, membawa aura misterius yang membuat suasana semakin suram. Di tengah kekacauan ini, Raka terbaring lemah di sebuah ruangan sederhana di sayap istana, tubuhnya masih terbungkus perban akibat luka parah yang dideritanya saat melindungi Dyah Sulastri. Meskipun demikian, ia tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi—mengapa penyihir gelap begitu kuat? Mengapa Dyah harus menjadi pusat dari semua ini? Dan yang paling penting, mengapa dirinya, seorang ar
Pertempuran besar melawan penyihir gelap mungkin sudah usai, namun kehancuran yang ditinggalkan masih terasa di setiap sudut kerajaan. Istana yang dulunya megah kini penuh dengan reruntuhan dan asap hitam yang belum sepenuhnya hilang. Udara dipenuhi aroma dupa dan lilin dari ritual pemurnian yang dilakukan oleh para pendeta kerajaan. Suara angin malam berdesir pelan, membawa aura misterius yang membuat suasana semakin suram.Raka, yang baru saja mengetahui identitas sejatinya sebagai reinkarnasi Raden Suryakanta, masih terbaring lemah di sebuah ruangan sederhana di sayap istana. Tubuhnya masih terbungkus perban akibat luka parah yang dideritanya saat melindungi Dyah Sulastri. Meskipun demikian, ia tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya—menghadapi takdirnya, atau mencoba melarikan diri dari semua ini.Namun, ketenangan sesaat itu tiba-tiba terpecahkan oleh suara jeritan dari arah halaman istana. Raka bergegas bangkit meskipun tubuh
Setelah kejadian dramatis di halaman istana, suasana menjadi sunyi. Udara dipenuhi aroma dupa yang menyengat, bercampur dengan asap sisa-sisa pertempuran yang masih menggantung di udara. Para prajurit dan pendeta kerajaan bergerak perlahan, membersihkan reruntuhan dan merawat korban luka. Namun, bagi Raka, malam ini terasa lebih berat daripada sebelumnya.Raka duduk di samping tempat tidur Dyah Sulastri, wajahnya penuh dengan rasa bersalah dan penyesalan. Ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari tubuh Dyah yang terbaring lemah, napasnya begitu tipis hingga hampir tak terlihat. Cahaya lilin di ruangan itu berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang di dinding, seolah-olah dunia sendiri sedang menangisi nasib mereka."Aku gagal melindungimu," gumam Raka pelan, suaranya penuh emosi yang tertahan. "Apa gunanya semua ini jika aku hanya bisa duduk di sini tanpa bisa melakukan apa pun?"Resi Agung Darmaja masuk ke ruangan, langkah kakinya hampir tak terdengar di atas lantai kayu tua. Matan
Setelah pertempuran besar melawan penyihir gelap, suasana di Kerajaan Gilingwesi berangsur-angsur mulai tenang. Namun, kemenangan itu tidak membawa sukacita. Udara dipenuhi aroma asap dan debu dari reruntuhan istana yang hancur. Matahari senja memancarkan cahaya keemasan, tetapi sinarnya tidak mampu menyembunyikan luka mendalam yang dialami kerajaan ini.Pasukan asing yang sebelumnya menyerang telah mundur, meninggalkan medan perang dalam keheningan yang mencekam. Prajurit-prajurit Gilingwesi yang tersisa berkumpul di halaman istana, wajah mereka penuh lelah dan kesedihan. Beberapa dari mereka masih sibuk merawat korban luka, sementara yang lain mencoba membersihkan puing-puing dengan tangan kosong.Di tengah kehancuran ini, Rakai Wisesa berdiri di tangga utama istana yang rusak parah. Matanya menyapu seluruh area, wajahnya terlihat tegar meskipun jelas terlihat bekas air mata di pipinya. Ia mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua orang diam. Suaranya yang dalam dan berat meme
Setelah pertempuran besar yang menghancurkan sebagian besar istana, suasana di Kerajaan Gilingwesi mulai berangsur-angsur tenang. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh getaran aneh yang berasal dari ruang bawah tanah istana. Para prajurit dan pendeta kerajaan yang sedang membersihkan reruntuhan mulai merasakan energi spiritual yang kuat mengalir di udara.Raka, yang masih duduk di samping tempat tidur Dyah Sulastri, tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak biasa. Tubuhnya gemetar, seolah-olah ada kekuatan besar yang menariknya. Ia bangkit dengan cepat, wajahnya penuh rasa ingin tahu dan cemas."Apa ini?" gumam Raka pelan, tangannya menyentuh dinding ruangan. "Aku bisa merasakannya... portal waktu..."Dengan langkah cepat, ia menuju ruang bawah tanah istana, tempat portal waktu yang rusak disimpan selama ini. Di sana, ia menemukan para pendeta kerajaan berkumpul dalam lingkaran, melakukan ritual pemurnian untuk menstabilkan energi yang bergejolak.Cermin perunggu kuno—artefak yan
Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan
Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh
Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l
Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang
Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka
Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu
Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe
Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek
Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti