แชร์

BAB 180: KEPUTUSAN AKHIR RAKA

ผู้เขียน: Arjuna Wiraguna
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-18 17:00:39
Langit mulai memerah di cakrawala, menandakan fajar yang akan segera menyingsing. Di tepi sungai suci yang mengalir tenang, Raka duduk sendirian, merenungkan segala hal yang telah terjadi sejak ia pertama kali tiba di Kerajaan Gilingwesi. Udara pagi dipenuhi embun, dan aroma tanah basah serta bunga-bunga liar menyelimuti atmosfer dengan nuansa mistis yang tak bisa ia pungkiri lagi.

Di hadapannya, portal waktu masih aktif—cahaya kebiruan dari cermin perunggu berkilauan lemah, seperti mengundangnya untuk kembali ke dunia asalnya. Namun, hatinya tidak lagi tertarik pada kilauan itu. Ia telah melalui banyak hal—pertempuran besar, intrik istana, cinta yang mendalam, dan pengorbanan yang tak terhindarkan. Semua itu membawa satu kesimpulan dalam benaknya: ia tidak bisa meninggalkan Dyah Sulastri dan kerajaan ini.

Raka mengambil napas panjang, mencoba menenangkan pikiran yang penuh gejolak. Ia memikirkan tentang masa depannya di dunia modern—tentang karier sebagai arkeolog, tentang teman-teman
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 181: MENUTUP PORTAL WAKTU

    Cahaya kebiruan dari portal waktu masih berdenyut lemah di tepi sungai suci, menciptakan kilauan yang memantul di permukaan air. Udara di sekitarnya dipenuhi oleh energi spiritual yang terasa semakin kuat, seolah-olah artefak perunggu itu menolak untuk mati begitu saja. Raka berdiri di depannya, tangannya gemetar saat ia meremas liontin perunggu yang selama ini menjadi sumber kekuatan dan misterinya.Ini adalah momen terakhirnya—kesempatan terakhirnya untuk kembali ke masa depan. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa melangkah mundur lagi. Keputusannya sudah bulat. Ia akan tetap tinggal di Kerajaan Gilingwesi demi melindungi Dyah Sulastri, kerajaan, dan warisan yang tak boleh dilupakan.Raka menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang penuh gejolak. Ia mengulurkan tangan kanannya, menyentuh permukaan portal dengan ujung jarinya. Saat itu, cahaya kebiruan berdenyut lebih kuat, seolah-olah artefak itu sedang memberontak, mencoba membujuknya untuk berubah pikiran."Kau tidak bisa

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-18
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 182: DYAH SULASTRI MULAI PULIH

    Langit di atas istana Gilingwesi mulai memerah, pertanda matahari akan segera terbit. Udara pagi yang segar membawa aroma bunga kenanga dan daun pandan yang tertiup angin lembut. Di dalam bilik pribadi Putri Dyah Sulastri, lilin-lilin kecil masih menyala redup, memberikan cahaya hangat yang melingkupi ruangan dengan nuansa mistis. Suara alunan air dari sungai suci terdengar samar-samar, menciptakan ketenangan yang mendalam.Dyah Sulastri terbaring di pembaringannya, tubuhnya masih rapuh setelah beberapa hari berada dalam koma akibat ritual gaib yang hampir merenggut nyawanya. Namun, kali ini, matanya perlahan mulai terbuka. Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang memasuki ruangan. Tubuhnya terasa lemah, namun ada rasa hangat yang ia rasakan di sisi tempat tidurnya.Raka duduk di samping pembaringan Dyah Sulastri, wajahnya tampak lelah namun penuh harap. Ia telah menjaga putri itu selama beberapa hari tanpa henti, hanya meninggalkan biliknya sesek

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-19
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 183: REKONSTRUKSI KERAJAAN

    Langit di atas Gilingwesi kini cerah, namun bekas luka dari pertempuran besar masih terlihat jelas di setiap sudut kerajaan. Dinding istana yang retak, ladang-ladang yang hangus, dan puing-puing candi yang runtuh menjadi saksi bisu akan kehancuran yang pernah melanda. Namun, di tengah reruntuhan itu, semangat para penduduk mulai bangkit. Mereka bekerja bersama, memperbaiki apa yang rusak, dan berusaha mengembalikan kejayaan kerajaan mereka.Di bawah kepemimpinan Rakai Wisesa, didukung oleh Raka sebagai pemimpin spiritual sementara, rekonstruksi kerajaan dimulai dengan harapan baru. Meskipun tantangan besar masih menanti, ada rasa optimisme yang menyelimuti udara—seolah-olah keberadaan Raka membawa angin segar bagi masa depan Gilingwesi.Pagi hari di Gilingwesi dipenuhi aktivitas yang sibuk namun penuh semangat. Para pe

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-19
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 184: VISI MASA DEPAN

    Malam di Gilingwesi terasa tenang, namun ada sesuatu yang menggelisahkan di udara. Langit penuh bintang memantulkan cahaya redup ke permukaan sungai suci, menciptakan pantulan yang seolah-olah berbicara dalam bahasa tak terucapkan. Raka duduk sendirian di tepi sungai, menatap air yang bergelombang lembut. Di tangannya, liontin perunggu itu diam-diam berdenyut pelan, seolah-olah mencoba menyampaikan pesan dari dunia lain.Setelah hari-hari yang sibuk dengan rekonstruksi kerajaan dan interaksi dengan penduduk lokal, Raka akhirnya mendapatkan waktu untuk merenung. Namun, ketenangan ini tidak bertahan lama. Tiba-tiba, artefak di tangannya mulai bergetar lebih kuat, memancarkan cahaya redup yang membawa Raka ke dalam visi lain—sebuah gambaran tentang masa depan yang suram dan penuh misteri. Dalam kegelapan pikirannya, Raka mel

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-19
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 185: AWAL DARI PETUALANGAN BARU

    Matahari perlahan muncul di cakrawala, memancarkan sinar emas yang lembut ke seluruh lembah Gilingwesi. Udara pagi masih dingin, namun ada sesuatu yang hangat dalam atmosfer—seolah-olah alam sendiri merayakan awal baru bagi kerajaan ini. Raka dan Dyah Sulastri berdiri di puncak istana, menatap matahari terbit dengan tatapan penuh harapan. Di belakang mereka, reruntuhan istana yang sedang dibangun kembali tampak seperti simbol ketabahan dan semangat baru.Raka menundukkan kepala sejenak, merenungkan semua yang telah ia lalui sejak pertama kali tiba di dunia ini. Ia mengingat momen-momen sulit—saat ia hampir mati di hutan mistis, saat ia menyadari bahwa ia adalah bagian dari ramalan besar, dan saat ia membuat keputusan untuk menutup portal waktu dan tetap tinggal di masa lalu. Semua itu terasa seperti mimpi, namun juga begitu nyata."Apakah kau menyesal?" tanya Dyah Sulastri pelan, suaranya penuh rasa ingin tahu. Matanya menatap Raka dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara rasa penasara

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-19
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 186: KETEGANGAN BARU DI ISTANA

    Beberapa minggu telah berlalu sejak pertempuran besar yang hampir menghancurkan kerajaan Gilingwesi. Meskipun istana perlahan-lahan dibangun kembali, suasana di dalamnya masih dipenuhi ketegangan. Para penduduk lokal, meskipun bersyukur atas bantuan Raka dan Dyah Sulastri selama pertempuran, mulai mempertanyakan keputusan Raka untuk tetap tinggal di masa lalu. Mereka tidak yakin apakah seorang "orang asing dari masa depan" benar-benar layak menjadi pemimpin spiritual mereka.Di halaman istana, para pekerja sibuk memperbaiki dinding-dinding yang retak akibat serangan musuh. Beberapa dari mereka berbisik-bisik saat melihat Raka melewati lorong utama. Seorang pria tua dengan wajah berkerut mendekati rekannya, suaranya pelan namun terdengar jelas oleh telinga Raka."Apakah dia benar-benar bisa dipercaya?" tanya pria itu, matanya menyipit ke arah Raka. "Dia bukan dari dunia kita. Bagaimana mungkin dia bisa memahami adat istiadat kita?"Rekannya mengangguk pelan, wajahnya tampak ragu. "Aku j

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-19
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 187: KI JAGABAYA KEMBALI

    Malam semakin larut, dan udara di sekitar hutan lebat yang mengelilingi kerajaan Gilingwesi terasa semakin dingin. Di sebuah gua tersembunyi jauh dari istana, Ki Jagabaya duduk di atas batu besar dengan ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Matanya yang tajam menatap api unggun kecil yang menyala di tengah gua, sementara bayangan-bayangan aneh bergerak di dinding batu. Ia tidak sendirian—beberapa tokoh misterius berdiri di belakangnya, wajah mereka tertutup topeng hitam.Ki Jagabaya mengangkat tangannya, memadamkan api unggun dengan satu gerakan cepat. Suasana langsung menjadi gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui celah-celah gua. Ia berdiri, suaranya rendah namun penuh otoritas."Kita sudah cukup lama menunggu," katanya dengan nada dingin. "Sekarang saatnya kita bertindak. Rakai Wisesa telah membuat kesalahan fatal dengan mempercayai orang asing itu—Raka."Salah satu tokoh bertopeng maju selangkah, suaranya serak. "Apakah kau yakin rencanamu akan berhasil? Raka

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-20
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 188: PENYIHIR GELAP MASIH HIDUP

    Malam semakin larut, dan angin dingin berdesir di sekitar hutan lebat yang mengelilingi kerajaan Gilingwesi. Di sebuah gua tersembunyi jauh dari istana, sosok Penyihir Gelap itu duduk dalam kegelapan, tubuhnya tertutup luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh. Matanya yang merah menyala seperti bara api, penuh kemarahan dan dendam. Ia adalah musuh besar yang pernah dikalahkan Raka dalam pertempuran sengit beberapa waktu lalu. Namun, meskipun tubuhnya hancur, rohnya masih hidup, dan ia tidak akan berhenti sampai ia membalas dendam. Penyihir Gelap menatap api kecil yang menyala di depannya, suaranya rendah namun penuh kebencian. "Aku tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja," gumamnya pelan. "Raka... Dyah Sulastri... dan seluruh kerajaan ini akan membayar mahal atas apa yang telah mereka lakukan padaku."

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-20

บทล่าสุด

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 220: RAKAI WISESA MENYERAHKAN TAHTA

    Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 219: Ki Jagabaya Melarikan Diri Lagi

    Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 218: Arya Kertajaya Mengambil Keputusan Akhir

    Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status