Langit di atas istana Gilingwesi mulai memerah, pertanda matahari akan segera terbit. Udara pagi yang segar membawa aroma bunga kenanga dan daun pandan yang tertiup angin lembut. Di dalam bilik pribadi Putri Dyah Sulastri, lilin-lilin kecil masih menyala redup, memberikan cahaya hangat yang melingkupi ruangan dengan nuansa mistis. Suara alunan air dari sungai suci terdengar samar-samar, menciptakan ketenangan yang mendalam.Dyah Sulastri terbaring di pembaringannya, tubuhnya masih rapuh setelah beberapa hari berada dalam koma akibat ritual gaib yang hampir merenggut nyawanya. Namun, kali ini, matanya perlahan mulai terbuka. Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang memasuki ruangan. Tubuhnya terasa lemah, namun ada rasa hangat yang ia rasakan di sisi tempat tidurnya.Raka duduk di samping pembaringan Dyah Sulastri, wajahnya tampak lelah namun penuh harap. Ia telah menjaga putri itu selama beberapa hari tanpa henti, hanya meninggalkan biliknya sesek
Langit di atas Gilingwesi kini cerah, namun bekas luka dari pertempuran besar masih terlihat jelas di setiap sudut kerajaan. Dinding istana yang retak, ladang-ladang yang hangus, dan puing-puing candi yang runtuh menjadi saksi bisu akan kehancuran yang pernah melanda. Namun, di tengah reruntuhan itu, semangat para penduduk mulai bangkit. Mereka bekerja bersama, memperbaiki apa yang rusak, dan berusaha mengembalikan kejayaan kerajaan mereka.Di bawah kepemimpinan Rakai Wisesa, didukung oleh Raka sebagai pemimpin spiritual sementara, rekonstruksi kerajaan dimulai dengan harapan baru. Meskipun tantangan besar masih menanti, ada rasa optimisme yang menyelimuti udara—seolah-olah keberadaan Raka membawa angin segar bagi masa depan Gilingwesi.Pagi hari di Gilingwesi dipenuhi aktivitas yang sibuk namun penuh semangat. Para pe
Malam di Gilingwesi terasa tenang, namun ada sesuatu yang menggelisahkan di udara. Langit penuh bintang memantulkan cahaya redup ke permukaan sungai suci, menciptakan pantulan yang seolah-olah berbicara dalam bahasa tak terucapkan. Raka duduk sendirian di tepi sungai, menatap air yang bergelombang lembut. Di tangannya, liontin perunggu itu diam-diam berdenyut pelan, seolah-olah mencoba menyampaikan pesan dari dunia lain.Setelah hari-hari yang sibuk dengan rekonstruksi kerajaan dan interaksi dengan penduduk lokal, Raka akhirnya mendapatkan waktu untuk merenung. Namun, ketenangan ini tidak bertahan lama. Tiba-tiba, artefak di tangannya mulai bergetar lebih kuat, memancarkan cahaya redup yang membawa Raka ke dalam visi lain—sebuah gambaran tentang masa depan yang suram dan penuh misteri. Dalam kegelapan pikirannya, Raka mel
Matahari perlahan muncul di cakrawala, memancarkan sinar emas yang lembut ke seluruh lembah Gilingwesi. Udara pagi masih dingin, namun ada sesuatu yang hangat dalam atmosfer—seolah-olah alam sendiri merayakan awal baru bagi kerajaan ini. Raka dan Dyah Sulastri berdiri di puncak istana, menatap matahari terbit dengan tatapan penuh harapan. Di belakang mereka, reruntuhan istana yang sedang dibangun kembali tampak seperti simbol ketabahan dan semangat baru.Raka menundukkan kepala sejenak, merenungkan semua yang telah ia lalui sejak pertama kali tiba di dunia ini. Ia mengingat momen-momen sulit—saat ia hampir mati di hutan mistis, saat ia menyadari bahwa ia adalah bagian dari ramalan besar, dan saat ia membuat keputusan untuk menutup portal waktu dan tetap tinggal di masa lalu. Semua itu terasa seperti mimpi, namun juga begitu nyata."Apakah kau menyesal?" tanya Dyah Sulastri pelan, suaranya penuh rasa ingin tahu. Matanya menatap Raka dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara rasa penasara
Beberapa minggu telah berlalu sejak pertempuran besar yang hampir menghancurkan kerajaan Gilingwesi. Meskipun istana perlahan-lahan dibangun kembali, suasana di dalamnya masih dipenuhi ketegangan. Para penduduk lokal, meskipun bersyukur atas bantuan Raka dan Dyah Sulastri selama pertempuran, mulai mempertanyakan keputusan Raka untuk tetap tinggal di masa lalu. Mereka tidak yakin apakah seorang "orang asing dari masa depan" benar-benar layak menjadi pemimpin spiritual mereka.Di halaman istana, para pekerja sibuk memperbaiki dinding-dinding yang retak akibat serangan musuh. Beberapa dari mereka berbisik-bisik saat melihat Raka melewati lorong utama. Seorang pria tua dengan wajah berkerut mendekati rekannya, suaranya pelan namun terdengar jelas oleh telinga Raka."Apakah dia benar-benar bisa dipercaya?" tanya pria itu, matanya menyipit ke arah Raka. "Dia bukan dari dunia kita. Bagaimana mungkin dia bisa memahami adat istiadat kita?"Rekannya mengangguk pelan, wajahnya tampak ragu. "Aku j
Malam semakin larut, dan udara di sekitar hutan lebat yang mengelilingi kerajaan Gilingwesi terasa semakin dingin. Di sebuah gua tersembunyi jauh dari istana, Ki Jagabaya duduk di atas batu besar dengan ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Matanya yang tajam menatap api unggun kecil yang menyala di tengah gua, sementara bayangan-bayangan aneh bergerak di dinding batu. Ia tidak sendirian—beberapa tokoh misterius berdiri di belakangnya, wajah mereka tertutup topeng hitam.Ki Jagabaya mengangkat tangannya, memadamkan api unggun dengan satu gerakan cepat. Suasana langsung menjadi gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui celah-celah gua. Ia berdiri, suaranya rendah namun penuh otoritas."Kita sudah cukup lama menunggu," katanya dengan nada dingin. "Sekarang saatnya kita bertindak. Rakai Wisesa telah membuat kesalahan fatal dengan mempercayai orang asing itu—Raka."Salah satu tokoh bertopeng maju selangkah, suaranya serak. "Apakah kau yakin rencanamu akan berhasil? Raka
Malam semakin larut, dan angin dingin berdesir di sekitar hutan lebat yang mengelilingi kerajaan Gilingwesi. Di sebuah gua tersembunyi jauh dari istana, sosok Penyihir Gelap itu duduk dalam kegelapan, tubuhnya tertutup luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh. Matanya yang merah menyala seperti bara api, penuh kemarahan dan dendam. Ia adalah musuh besar yang pernah dikalahkan Raka dalam pertempuran sengit beberapa waktu lalu. Namun, meskipun tubuhnya hancur, rohnya masih hidup, dan ia tidak akan berhenti sampai ia membalas dendam. Penyihir Gelap menatap api kecil yang menyala di depannya, suaranya rendah namun penuh kebencian. "Aku tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja," gumamnya pelan. "Raka... Dyah Sulastri... dan seluruh kerajaan ini akan membayar mahal atas apa yang telah mereka lakukan padaku."
Malam semakin larut, dan suasana di istana Gilingwesi terasa semakin tegang. Udara dingin berdesir lembut, membawa aroma asap kayu bakar dari api unggun yang menyala di halaman istana. Para prajurit tampak waspada, sementara penduduk lokal mulai merasakan firasat tidak enak tentang sesuatu yang mendekat. Di tengah ketegangan itu, sebuah kehadiran gaib tiba-tiba muncul—Banaspati, roh api pelindung kerajaan.Api di sekitar istana tiba-tiba menyala lebih terang, memancarkan cahaya kemerahan yang aneh. Udara di sekitarnya bergetar seperti gelombang panas, dan dari dalam nyala api tersebut muncul wujud besar Banaspati—makhluk setengah manusia, setengah api. Tubuhnya tampak seperti dipahat dari bara api yang hidup, dengan aliran magma kecil mengalir di permukaan kulitnya. Rambutnya menyala-nyala seperti lidah api liar, dan matanya bersinar seperti dua bola matahari yang terbakar. Setiap kali ia bergerak, udara di sekitarnya bergetar, menciptakan suara gemuruh yang mirip dengan ledakan jauh.
Setelah pertempuran besar yang menghancurkan, pasukan asing akhirnya mundur. Penyihir gelap telah dikalahkan oleh kekuatan spiritual Raka, dan pasukan loyalis berhasil menekan sisa-sisa pasukan bayangan Ki Jagabaya. Namun, kemenangan ini tidak datang tanpa harga mahal. Kerajaan Gilingwesi terlihat seperti reruntuhan—istana utama hancur sebagian, desa-desa di sekitarnya luluh lantak, dan banyak korban jiwa berjatuhan.Angin dingin berembus di medan perang, membawa aroma darah dan abu yang masih menyelimuti udara. Asap tebal mengepul dari bangunan-bangunan yang terbakar, menciptakan suasana kelabu yang suram. Prajurit loyalis berkumpul di lapangan istana, wajah mereka lelah namun penuh rasa syukur atas kemenangan yang diraih dengan susah payah.Namun, bagi Raka, kemenangan ini terasa kosong. Ia berdiri di tengah-tengah kerumunan prajurit, tetapi pikirannya jauh dari perayaan. Matanya tertuju pada reruntu
Pertempuran besar di luar istana mulai mereda setelah kekalahan penyihir gelap. Pasukan loyalis berhasil menekan pasukan bayangan Ki Jagabaya, yang kini tercerai-berai tanpa pemimpin mereka yang menghilang bersama penyihir gelap. Namun, Arya Kertajaya tidak puas dengan hasil ini. Ia tahu bahwa Ki Jagabaya adalah otak di balik serangan mematikan terhadap kerajaan, dan ia bertekad untuk menangkap pria itu sebelum ia melarikan diri. Di tengah kekacauan medan perang, Arya Kertajaya memimpin pasukan kecil menuju lokasi rahasia di hutan lebat tempat Ki Jagabaya diketahui bersembunyi. Ia telah mendengar desas-desus dari beberapa prajurit bayangan yang tertangkap bahwa Ki Jagabaya sedang mempersiapkan langkah selanjutnya—rencana yang lebih berbahaya daripada serangan pertama. Setelah berjam-jam mencari, Arya Kertajaya dan pasukannya akhirnya menemukan Ki Jagabaya di sebuah gua tersembunyi di tepi sungai suci.
Setelah Dyah Sulastri jatuh ke dalam koma, medan perang terasa semakin sunyi bagi Raka. Tubuhnya masih gemetar karena kelelahan dan emosi yang memuncak. Ia berlutut di tanah, memegang tubuh tak berdaya sang putri dengan erat, air mata mengalir deras di pipinya."Kenapa harus seperti ini?" gumamnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah dan kemarahan. "Kenapa aku tidak bisa melindungimu?"Pasukan loyalis mencoba mendekat untuk membawa Dyah Sulastri ke tempat aman, tetapi Raka menolak mereka dengan gerakan tangan yang tegas. Matanya kosong, namun di dalam dirinya, api kemarahan mulai menyala. Ia merasakan sesuatu yang baru—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Angin dingin berdesir, membawa aroma belerang yang semakin kuat. Penyihir gelap muncul kembali, tertawa dingin di tengah kabut hitam yang menyelimuti medan perang. "Lihatlah dirimu, Raka," ejeknya. "Kau
Pertempuran besar di luar istana mencapai puncaknya. Suara senjata yang beradu, teriakan prajurit, dan raungan makhluk gaib menggema di udara malam. Api melahap beberapa sudut benteng, sementara asap hitam membumbung tinggi ke langit, menyelimuti medan perang dalam kabut pekat. Pasukan bayangan Ki Jagabaya dan sekutunya dari dunia gaib terus menyerang tanpa henti, memanfaatkan setiap celah dalam pertahanan kerajaan.Di tengah medan perang yang kacau, Raka berdiri di garis depan, menggunakan kekuatan spiritualnya untuk melindungi pasukan loyalis. Meskipun ia berhasil menahan serangan-serangan awal, kekuatannya mulai terasa melemah. Ia merasakan energinya terkuras habis dengan cepat, membuat tubuhnya semakin goyah.Penyihir gelap muncul di tengah medan perang, dikelilingi oleh kabut hitam yang pekat. Matanya bersinar seperti bara ap
Medan perang yang sudah penuh dengan kekacauan semakin memanas saat penyihir gelap muncul di tengah-tengah pertempuran. Tubuhnya dikelilingi oleh energi hitam pekat yang mengintimidasi, dan matanya berkilat merah seperti bara api. Ia melangkah maju dengan gerakan anggun namun menakutkan, seolah-olah seluruh dunia ada dalam kendalinya."Kalian semua telah bermain cukup lama," katanya dengan suara dingin yang menusuk. "Sekarang, saatnya kalian membayar harga atas perlawanan kalian."Penyihir itu mengangkat kedua tangannya, menciptakan pusaran energi hitam besar di udara. Pusaran itu mulai melepaskan serangan sihir yang menghantam barisan pasukan loyalis, menyebabkan banyak prajurit terpental dan jatuh tak bernyawa. Para makhluk gaib yang setia kepada kerajaan pun terlihat kesulitan menghadapi kekuatan gelap ini.
Langit di atas medan perang mulai menghitam, tertutup awan tebal yang menandakan kemarahan alam. Angin dingin berhembus kencang, membawa aroma darah dan belerang yang menebal seiring dengan intensitas pertempuran. Pasukan bayangan Ki Jagabaya terus melancarkan serangan brutal, sementara makhluk gaib dari kedua pihak saling bertarung tanpa ampun.Di tengah kekacauan, Raka masih mencoba mengatur napasnya setelah menggunakan kekuatan spiritualnya untuk melindungi pasukan loyalis. Namun, energinya hampir habis, dan ia merasa dirinya tidak lagi mampu melawan jika serangan baru datang. Dyah Sulastri berdiri di sampingnya, mata hijaunya penuh dengan kekhawatiran."Kau harus istirahat," bisik Dyah pelan. "Kekuatanmu sudah mencapai batasnya."Raka menggeleng lemah. "Aku tidak bisa berhenti sekarang. Jika aku berhenti, kita semua akan mati."Sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, sebuah suara raungan keras memenuhi udara. Sebuah Genderuwo raksasa muncul dari
Pertempuran di luar istana telah berubah menjadi badai kehancuran. Pasukan bayangan Ki Jagabaya yang dipersenjatai dengan senjata mistis dan sihir hitam terus menggempur pertahanan kerajaan. Makhluk-makhluk gaib seperti Banaspati, Buto Ijo, dan Genderuwo juga turut berperang, masing-masing memilih pihak mereka. Di tengah kekacauan itu, Raka berdiri di garis depan, masih mencoba memahami situasi yang semakin tak terkendali. Angin malam membawa aroma belerang yang menusuk, sementara cahaya bulan redup tertutup awan kelabu. Suara gema tombak dan pedang bergesekan dengan energi spiritual memenuhi udara. Raka merasakan tubuhnya bergetar hebat. Dalam beberapa hari terakhir, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi padanya. Sejak ritual gaib yang dipimpin Dyah Sulastri di bab sebelumnya, ia merasakan aliran energi aneh di dalam dirinya—seperti gelombang panas yang melingkupi seluruh tubuhnya. Awalnya, ia mengabaikannya sebagai efek sam
Fajar baru saja menyingsing, namun langit di atas istana Gilingwesi sudah dipenuhi oleh awan kelabu yang bergulung-gulung bak ombak lautan. Udara terasa berat, seolah-olah seluruh alam sedang menahan napas. Di luar dinding istana, pasukan loyalis dan makhluk gaib telah berkumpul dalam formasi rapi, siap untuk menghadapi ancaman besar yang kini bergerak mendekat. Dari kejauhan, gema langkah kaki pasukan bayangan Ki Jagabaya dan pasukan asing mulai terdengar. Mereka bergerak cepat seperti badai yang tak terbendung, membawa aura gelap yang mencekam. Mata mereka berkilau merah dalam cahaya pagi yang temaram, sementara senjata mereka berkilau tajam, memantulkan sinar matahari yang lemah. Raka berdiri di garis depan bersama Dyah Sulastri dan Arya Kertajaya, meskipun kondisi Arya masih lemah setelah luka parah yang ia alami. Wajah Raka penuh tekad, matanya bersinar biru kehijauan, mencerminkan kekuatan spirit
Pagi mulai menyingsing, dan cahaya matahari yang lembut menembus kabut tipis di sekitar istana Gilingwesi. Di luar dinding istana, pasukan loyalis berkumpul dalam formasi yang rapi, bersiap untuk menghadapi ancaman besar yang akan datang. Para prajurit memeriksa senjata mereka, sementara para tabib dan dukun spiritual mempersiapkan ramuan serta mantra untuk mendukung pasukan. Namun, bukan hanya manusia yang hadir di medan perang ini. Makhluk-makhluk gaib juga turut berkumpul, masing-masing dengan kekuatan unik mereka. Banaspati, roh api yang melindungi kerajaan, berdiri di barisan depan dengan tubuhnya yang bercahaya merah menyala. Buto Ijo, penjaga candi yang perkasa, berdiri tegak di sisi lain, siap untuk melindungi tanah kerajaan dari musuh-musuh yang mencoba menyerang. Genderuwo, makhluk bayangan yang biasanya menghindari manusia, kini bergerak di antara pasukan, menggunakan kemampuannya untuk menyusup ke barisan musuh.