ํ™ˆ / Fantasi / Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir / BAB 136: PERJALANAN KE PUNCAK GUNUNG SUCI

๊ณต์œ 

BAB 136: PERJALANAN KE PUNCAK GUNUNG SUCI

์ž‘๊ฐ€: Arjuna Wiraguna
last update ์ตœ์‹  ์—…๋ฐ์ดํŠธ: 2025-03-09 22:00:37
Setelah kejadian kemarahan Banaspati dan penemuan baru tentang artefak, Raka menyadari bahwa mereka membutuhkan jawaban lebih mendalam untuk memahami kekuatan benda itu. Resi Agung Darmaja menyarankan agar mereka melakukan perjalanan spiritual ke puncak Gunung Suci, tempat para leluhur kerajaan sering bermeditasi untuk mendapatkan petunjuk dari dunia gaib.

Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya (yang meskipun masih pulih tetap bersikeras ikut), dan beberapa prajurit setia memutuskan untuk memulai perjalanan ini. Mereka membawa artefak serta perlengkapan minimal, karena perjalanan ini bukan sekadar fisikโ€”melainkan ujian spiritual yang akan menguji keyakinan, ketabahan, dan hubungan mereka dengan dunia gaib.

Gunung Suci dikenal sebagai tempat suci yang dijaga oleh makhluk-makhluk gaib seperti Banaspati, Genderuwo, dan Naga Niskala. Ada legenda bahwa hanya mereka yang memiliki hati murni dan tujuan mulia yang bisa mencapai puncaknya tanpa terhalang oleh rintangan supranatural.

Angin malam be
์ด ์ฑ…์„ ๊ณ„์† ๋ฌด๋ฃŒ๋กœ ์ฝ์–ด๋ณด์„ธ์š”.
QR ์ฝ”๋“œ๋ฅผ ์Šค์บ”ํ•˜์—ฌ ์•ฑ์„ ๋‹ค์šด๋กœ๋“œํ•˜์„ธ์š”
์ž ๊ธด ์ฑ•ํ„ฐ

๊ด€๋ จ ์ฑ•ํ„ฐ

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 137: PENGLIHATAN TENTANG MASA LALU

    Setelah mencapai puncak Gunung Suci, tim Raka menemukan altar batu kuno yang dikelilingi oleh api kecil milik Banaspati. Altar itu tampak seperti tempat meditasi, dengan simbol-simbol kuno yang terukir di permukaannya. Udara di sana terasa lebih dingin dan berat, seolah-olah waktu melambat. Suara angin malam membawa aroma belerang yang semakin kuat, menciptakan atmosfer mistis yang mendalam.Resi Agung Darmaja menginstruksikan agar mereka semua duduk dalam lingkaran di sekitar altar. "Kita harus memahami kekuatan artefak ini," katanya dengan suara tegas. "Namun, untuk melakukannya, kita harus membuka pintu ke masa lalu. Hanya dengan memahami sejarah kerajaan ini, kita bisa menemukan jawaban."Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan beberapa prajurit setia duduk dalam posisi meditasi, sementara Resi Agung Darmaja mulai melantunkan mantra spiritual. Artefak di tangan Raka mulai berdenyut, cahayanya menyilaukan dan memenuhi seluruh area di sekitar mereka. Getaran energi spiritualnya sema

    ์ตœ์‹  ์—…๋ฐ์ดํŠธ : 2025-03-10
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 138: IDENTITAS SEJATI RAKA TERUNGKAP

    Setelah penglihatan mendalam tentang masa lalu kerajaan, suasana di puncak Gunung Suci semakin tegang. Raka masih terduduk di dekat altar batu, tubuhnya gemetar karena beban emosional dari apa yang ia lihat. Dyah Sulastri duduk di sampingnya, wajahnya penuh kekhawatiran. Arya Kertajaya dan para prajurit lainnya berdiri agak jauh, memberikan ruang bagi Raka untuk merenung.Angin malam berdesir pelan melalui pepohonan tinggi, membawa aroma belerang yang semakin kuat. Suara angin itu seperti bisikan halus, seolah-olah roh-roh leluhur sedang mengamati apa yang terjadi di dalam ruangan. Getaran energi spiritual artefak yang dibawa Raka juga semakin intens, menciptakan atmosfer yang semakin mencekam.Resi Agung Darmaja, yang sejak awal tampak tenang, kini melangkah maju dengan langkah perlahan namun penuh otoritas. Matanya yang tajam menatap Raka, seolah-olah ia telah menunggu momen ini selama bertahun-tahun."Saudara Raka," kata Resi Agung Darmaja dengan suara berat namun lembut, "apa yang

    ์ตœ์‹  ์—…๋ฐ์ดํŠธ : 2025-03-10
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 139: DYAH SULASTRI MENGHADAPI TAKDIRNYA

    Setelah pengungkapan identitas Raka sebagai reinkarnasi salah satu pendiri kerajaan, suasana di puncak Gunung Suci semakin tegang. Semua orang mulai menyadari bahwa kehadiran Raka bukanlah kebetulanโ€”ia adalah bagian integral dari siklus takdir kerajaan Gilingwesi. Namun, ketegangan ini tidak hanya berfokus pada Raka. Dyah Sulastri, yang selama ini mencoba menyangkal takdirnya, mulai merasakan beban yang lebih besar.Dyah duduk agak jauh dari kelompok utama, wajahnya muram saat ia memandangi artefak di tangan Raka. Matanya berkaca-kaca, seolah-olah ia sedang berjuang melawan perasaannya sendiri. Angin malam berdesir pelan melalui pepohonan tinggi, membawa aroma belerang yang semakin kuat. Suara angin itu seperti bisikan halus, seolah-olah roh-roh leluhur sedang mengamati apa yang terjadi di dalam ruangan. Getaran energi spiritual artefak yang dibawa Raka juga semakin intens, menciptakan atmosfer yang semakin mencekam.Raka mendekatinya dengan langkah pelan, khawatir akan apa yang mungki

    ์ตœ์‹  ์—…๋ฐ์ดํŠธ : 2025-03-10
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 140: ARYA KERTAJAYA PULIH

    Setelah perjalanan spiritual ke puncak Gunung Suci, tim Raka kembali ke perkemahan sementara di lereng gunung. Arya Kertajaya, yang sebelumnya terluka parah dalam pertempuran melawan pasukan bayangan Ki Jagabaya, sedang berbaring di sebuah kemah kecil yang dikelilingi oleh obat-obatan tradisional dan ramuan herbal. Wajahnya masih pucat, tetapi luka-lukanya mulai sembuh berkat perawatan dari tabib kerajaan.Di luar kemah, angin malam berdesir pelan, membawa aroma daun sirih dan rempah-rempah yang digunakan untuk merawat luka. Api unggun di tengah perkemahan menyala-nyala, memberikan cahaya hangat yang kontras dengan dinginnya udara pegunungan. Suara alunan gamelan Jawa kuno terdengar samar-samar dari jarak jauh, menciptakan atmosfer mistis yang mendalam.Raka, Dyah Sulastri, dan beberapa prajurit lainnya berkumpul di dekat api unggun, membicarakan rencana berikutnya. Namun, mata mereka sesekali tertuju pada kemah Arya Kertajaya, khawatir akan kondisinya.Saat matahari mulai terbit di pa

    ์ตœ์‹  ์—…๋ฐ์ดํŠธ : 2025-03-10
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 141: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN

    Setelah beberapa hari beristirahat di perkemahan, tim Raka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju sungai suci yang terletak di lembah bawah gunung. Menurut legenda, sungai ini adalah tempat tinggal Naga Niskala, makhluk gaib penjaga kerajaan yang diyakini memiliki jawaban atas misteri lenyapnya Gilingwesi dari sejarah.Saat mereka tiba di tepi sungai, suasana menjadi semakin mistis. Air sungai berkilauan seperti permata biru di bawah sinar matahari pagi, namun di kedalaman air tampak bayangan hitam besar yang bergerak pelan. Uap tipis mengepul dari permukaan air, membawa aroma tanah basah dan rempah-rempah kuno. Angin sepoi-sepoi membawa suara gemericik air dan desiran dedaunan, menciptakan harmoni alam yang mendalam.Raka, Dyah Sulastri, Arya Kertajaya, dan para prajurit lainnya berdiri dengan hormat di tepi sungai. Mereka menyadari bahwa tempat ini bukan sekadar lokasi fisikโ€”ini adalah portal spiritual yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia gaib.Tiba-tiba, air

    ์ตœ์‹  ์—…๋ฐ์ดํŠธ : 2025-03-10
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 142: KI JAGABAYA MENYUSUN RENCANA BARU

    Sementara tim Raka berada di tepi Sungai Suci, mencari jawaban dari Naga Niskala, Ki Jagabaya diam-diam merencanakan langkahnya di balik layar. Di ruang bawah tanah istana yang gelap dan lembap, ia duduk di depan meja kayu tua yang dipenuhi gulungan kuno, peta kerajaan, dan artefak-artefak misterius. Lilin hitam menyala-nyala, memancarkan cahaya redup yang membuat bayangan panjang di dinding batu. Udara di ruangan itu terasa berat, membawa aroma belerang dan rempah-rempah kuno.Ki Jagabaya adalah seorang tokoh yang selalu bergerak dalam bayang-bayang. Ia tahu bahwa kekuasaan sejati tidak datang dari tahta, melainkan dari pengendalian dunia gaib. Matanya yang tajam memandang peta kerajaan dengan ekspresi dingin, sementara tangannya memegang sebuah kristal hitam yang berdenyut pelan, seolah memiliki kehidupan sendiri."Raka," gumamnya pelan, suaranya seperti bisikan angin malam. "Kau pikir kau bisa mengubah takdir? Kita akan lihat."Ki Jagabaya mulai menyusun rencana baru untuk menggulin

    ์ตœ์‹  ์—…๋ฐ์ดํŠธ : 2025-03-11
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 143: PERTEMPURAN SPIRITUAL

    Setelah meninggalkan tepi Sungai Suci, tim Raka memutuskan untuk kembali ke puncak gunung suci. Mereka percaya bahwa di sana, Raka akan menghadapi ujian spiritual yang menentukan apakah ia layak menjadi harapan baru bagi kerajaan Gilingwesi. Perjalanan menuju puncak dipenuhi dengan ketegangan dan antisipasi. Udara semakin dingin, dan kabut tebal mulai menyelimuti jalan mereka. Setiap langkah yang mereka ambil terasa lebih berat, seolah-olah gunung itu sendiri sedang menguji tekad mereka.Saat mereka mencapai puncak, suasana menjadi semakin mistis. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang tidak dikenal. Di tengah puncak, sebuah altar batu kuno berdiri tegak, dikelilingi oleh api gaib yang menyala biru kehijauan. Resi Agung Darmaja, yang telah mendampingi mereka, memberikan instruksi terakhir kepada Raka."Inilah saatnya, Saudara Raka," katanya dengan nada serius. "Ujian ini bukan hanya tentang kekuatanmu, tetapi juga tentang keyakinanmu terhadap cinta, takdir

    ์ตœ์‹  ์—…๋ฐ์ดํŠธ : 2025-03-11
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 144: KEKUATAN BARU RAKA

    Setelah pertempuran spiritual yang melelahkan di puncak gunung suci, Raka kembali ke perkemahan dengan langkah yang lebih ringan namun dipenuhi oleh rasa tanggung jawab yang semakin besar. Artefak di tangannya masih berdenyut lembut, seolah-olah memberikan pengakuan atas perjuangannya melawan bayangan dirinya sendiri. Udara malam terasa lebih tenang, tetapi aroma belerang dari dunia gaib masih menyelimuti atmosfer.Dyah Sulastri dan tim lainnya menyambutnya dengan senyum lega. Dyah mendekat, matanya penuh kekaguman. "Kau berhasil, Raka," katanya pelan. "Aku tahu kau bisa melakukannya."Raka tersenyum tipis, tetapi ekspresinya cepat berubah menjadi serius. Ia menatap artefak di tangannya, yang kini memancarkan cahaya biru keemasan. Ada sesuatu yang berbedaโ€”ia merasakan hubungan baru antara dirinya dan dunia gaib."Ada sesuatu yang berubah," gumam Raka pelan. "Aku... aku bisa mendengar mereka."Angin malam berdesir pelan, membawa aroma daun basah dan bunga liar yang tidak dikenal. Suara

    ์ตœ์‹  ์—…๋ฐ์ดํŠธ : 2025-03-11

์ตœ์‹  ์ฑ•ํ„ฐ

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflikโ€”sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta iniโ€”untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karatโ€”simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย BAB 220: RAKAI WISESA MENYERAHKAN TAHTA

    Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย Bab 219: Ki Jagabaya Melarikan Diri Lagi

    Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdirย ย ย Bab 218: Arya Kertajaya Mengambil Keputusan Akhir

    Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti

์ข‹์€ ์†Œ์„ค์„ ๋ฌด๋ฃŒ๋กœ ์ฐพ์•„ ์ฝ์–ด๋ณด์„ธ์š”
GoodNovel ์•ฑ์—์„œ ์ˆ˜๋งŽ์€ ์ธ๊ธฐ ์†Œ์„ค์„ ๋ฌด๋ฃŒ๋กœ ์ฆ๊ธฐ์„ธ์š”! ๋งˆ์Œ์— ๋“œ๋Š” ์ฑ…์„ ๋‹ค์šด๋กœ๋“œํ•˜๊ณ , ์–ธ์ œ ์–ด๋””์„œ๋‚˜ ํŽธํ•˜๊ฒŒ ์ฝ์„ ์ˆ˜ ์žˆ์Šต๋‹ˆ๋‹ค
์•ฑ์—์„œ ์ฑ…์„ ๋ฌด๋ฃŒ๋กœ ์ฝ์–ด๋ณด์„ธ์š”
์•ฑ์—์„œ ์ฝ์œผ๋ ค๋ฉด QR ์ฝ”๋“œ๋ฅผ ์Šค์บ”ํ•˜์„ธ์š”.
DMCA.com Protection Status