Home / Fantasi / Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir / BAB 127: PENGKHIANATAN ARYA KERTAJAYA

Share

BAB 127: PENGKHIANATAN ARYA KERTAJAYA

last update Last Updated: 2025-03-08 02:00:33
Setelah pertempuran sengit melawan prajurit bayangan, Raka dan Dyah Sulastri akhirnya berhasil mendekati altar batu tempat artefak cermin perunggu kuno ditempatkan. Api kecil yang mengelilingi altar menciptakan penghalang energi spiritual yang sulit ditembus. Namun, mereka tahu bahwa mereka tidak punya banyak waktu—Ki Jagabaya terus mengucapkan mantra-mantra kuno, semakin dekat dengan pembukaan portal ke dunia gaib.

Arya Kertajaya, yang sebelumnya berperan sebagai pelindung tim ini, tampak berdiri agak jauh dari altar. Wajahnya dipenuhi oleh ekspresi konflik internal yang dalam. Matanya tertuju pada artefak itu dengan intensitas yang tak pernah ditunjukkannya sebelumnya. Tangannya erat memegang pedangnya, tetapi bukan untuk bertarung—melainkan seperti ia sedang merencanakan sesuatu.

"Kita harus cepat!" teriak Dyah, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh mantra Ki Jagabaya. "Raka, kau bisa melewati penghalang ini!"

Raka mengangguk, matanya tertuju pada artefak. Ia mulai merasakan getara
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 128: PERTEMPURAN DI MARKAS

    Saat Arya Kertajaya terus mencoba menguasai artefak, energi spiritual yang dipancarkan oleh cermin perunggu kuno semakin tidak terkendali. Cahaya menyilaukan memenuhi ruangan, dan angin kencang mulai berhembus liar, membawa aroma belerang yang menusuk hidung. Suara gemuruh mantra-mantra kuno bergema di seluruh gua, menciptakan getaran aneh yang dirasakan oleh setiap orang.Ki Jagabaya, yang sebelumnya sibuk dengan ritualnya sendiri, akhirnya sepenuhnya menyadari apa yang sedang terjadi. Ia berbalik dengan cepat, matanya yang tajam menembus kegelapan."Kau bodoh, Arya!" teriak Ki Jagabaya dengan suara penuh kemarahan. "Kekuatan ini bukan untuk manusia biasa! Kau hanya akan menghancurkan dirimu dan semua orang di sini!"Namun, Arya tidak mendengarkannya. Ia terus mengucapkan mantra-mantra kuno, menciptakan ledakan energi yang semakin kuat. Raka dan Dyah Sulastri segera menyadari bahwa mereka harus bertindak cepat jika ingin mencegah bencana yang lebih besar."Arya, lepaskan artefak itu!"

    Last Updated : 2025-03-08
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 129: ARYA KERTAJAYA MENYESAL

    Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran di sekitar reruntuhan gua tempat pertempuran besar baru saja berakhir. Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya duduk dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Tubuh Arya terbaring lemah di atas tanah dingin, darah segar masih merembes dari lukanya yang parah. Napasnya tersengal-sengal, tetapi matanya terbuka—penuh penyesalan.Raka berlutut di dekat Arya, wajahnya menunjukkan campuran antara kemarahan, kekecewaan, dan rasa iba. Di belakangnya, Dyah Sulastri berdiri dengan mata berkaca-kaca, tangannya erat memegang pedang yang masih bernoda darah prajurit bayangan. Suasana tegang, namun ada juga rasa haru yang mendalam."Arya," suara Raka akhirnya memecah keheningan, nadanya tajam namun terkendali. "Kenapa kau lakukan ini? Kita semua berjuang demi kerajaan, tapi kau... kau malah mencoba merebut artefak untuk dirimu sendiri."Arya menundukkan kepala, tak sanggup menatap mata Raka at

    Last Updated : 2025-03-08
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 130: KI JAGABAYA MELARIKAN DIRI

    Setelah pertempuran sengit di markasnya, Ki Jagabaya menyadari bahwa ia telah kalah. Ruangan yang dulunya menjadi pusat ritualnya kini hancur berantakan—altar rusak, artefak direbut oleh Raka, dan pasukan bayangannya tersebar atau lenyap. Namun, Ki Jagabaya bukanlah orang yang mudah menyerah. Dengan kecerdikannya yang luar biasa, ia berhasil melarikan diri ke dalam bayang-bayang bersama seorang penyihir gelap misterius yang selama ini menjadi sekutu rahasia.Angin malam berhembus kencang saat Ki Jagabaya melangkah cepat melewati lorong-lorong bawah tanah yang dipenuhi jaring laba-laba dan lumut basah. Di belakangnya, penyihir gelap itu mengikuti dengan langkah pelan namun pasti, memegang sebuah bola kristal hitam yang memancarkan cahaya suram. Suara langkah mereka teredam oleh deru angin dingin yang membawa aroma belerang dari kedalaman gua."Kau gagal," kata penyihir gelap itu dengan suara serak, penuh ejekan. "Semua rencanamu hancur karena keserakahanmu."Ki Jagabaya berhenti sejenak

    Last Updated : 2025-03-08
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 131: KEMBALI KE ISTANA

    Setelah pertempuran sengit di markas Ki Jagabaya, Raka, Dyah Sulastri, dan Arya Kertajaya memulai perjalanan kembali ke istana. Meskipun mereka berhasil merebut artefak, suasana di antara mereka tetap tegang. Arya, yang masih terluka parah, dipapah oleh dua prajurit setia yang menyusul mereka di tengah jalan. Wajahnya pucat, namun tatapannya tetap tegas—ia bersumpah untuk mendukung Raka sepenuhnya meskipun nyawanya dalam bahaya.Raka sendiri tampak cemas. Ia memegang artefak itu dengan hati-hati, merasakan getaran halus yang menjalar dari benda tersebut ke seluruh tubuhnya. Cahayanya redup, namun energinya terasa hidup, seolah-olah artefak itu memiliki kesadaran tersendiri. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Apakah artefak ini benar-benar bisa menyelamatkan kerajaan? Ataukah ia hanya menjadi alat bagi takdir yang lebih besar?Dyah berjalan di samping Raka, matanya sesekali menatap artefak itu dengan campuran rasa penasaran dan waspada. "Kita h

    Last Updated : 2025-03-08
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 132: RAKAI WISESA MULAI RAGU

    Di ruang singgasana yang luas dan dingin, Rakai Wisesa duduk sendirian di atas tahtanya. Cahaya lilin yang redup memantulkan bayangan panjang tubuhnya di lantai marmer yang retak. Suara angin malam berdesir pelan melalui celah-celah jendela tinggi, membawa aroma belerang yang menyengat—sebuah tanda bahwa dunia gaib semakin dekat.Matanya tertuju pada artefak yang kini tergeletak di atas meja kecil di samping tahta. Artefak itu masih memancarkan cahaya redup, seolah-olah memiliki nyawa tersendiri. Getaran halus dari benda tersebut membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat, seakan menuntut perhatian penuh.Rakai Wisesa menghela napas panjang, tangannya menutupi wajahnya yang tampak lelah. Pikirannya dipenuhi oleh kegagalan demi kegagalan yang terjadi selama beberapa bulan terakhir. Serangan pasukan bayangan Ki Jagabaya, protes penduduk lokal, hingga pengkhianatan Arya Kertajaya—semua ini adalah beban yang terlalu besar untuk ditanggungnya sendirian."Apa aku benar-benar layak menjad

    Last Updated : 2025-03-09
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 133: RESI AGUNG MENGGUNGKAP AGENDA TERSEMBUNYI

    Setelah keputusan Rakai Wisesa untuk menyerahkan tahta kepada Raka—meskipun ditolak oleh pemuda itu sendiri—suasana di istana semakin tegang. Semua orang menyadari bahwa kerajaan Gilingwesi berada di ambang perubahan besar, dan tidak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi selanjutnya.Namun, satu hal yang pasti: artefak kuno yang kini berada di tangan Raka adalah pusat dari semua ini. Getaran energinya semakin kuat, seolah-olah benda itu memiliki kehidupan tersendiri dan sedang menuntut sesuatu dari mereka yang memegangnya.Resi Agung Darmaja, yang selama ini tampak bijaksana namun misterius, akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan agenda tersembunyinya. Ia meminta pertemuan tertutup dengan Rakai Wisesa, Raka, Dyah Sulastri, dan beberapa penasihat senior di ruang meditasi spiritual di sayap utara istana. Ruangan itu dipenuhi aroma dupa kemenyan, cahaya lilin yang redup, serta getaran energi gaib yang membuat atmosfernya semakin mencekam.Angin malam berdesir pelan melalui celah-cela

    Last Updated : 2025-03-09
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 134: BANASPATI MARAH LAGI

    Di tengah malam yang sunyi, suasana di istana Gilingwesi berubah menjadi sesuatu yang tidak biasa. Udara terasa lebih panas dari biasanya, seolah-olah alam sedang menahan amarah besar. Api-api kecil mulai muncul di sudut-sudut istana, membakar beberapa bangunan penting tanpa sebab yang jelas. Para prajurit dan penduduk istana bergegas keluar untuk memadamkan api, tetapi mereka menyadari bahwa api tersebut tidak bisa dipadamkan dengan air biasa.Rakai Wisesa, Raka, Dyah Sulastri, dan para penasihat berkumpul di halaman utama istana. Semua mata tertuju pada api-api aneh itu, yang tampak seperti nyala gaib yang menyala dengan sendirinya. Mereka semua tahu bahwa ini bukanlah kejadian alami—ini adalah pertanda kemarahan dunia gaib."Banaspati," gumam Resi Agung Darmaja pelan, suaranya penuh ketegangan. "Roh api pelindung kerajaan kita... ia marah."Semua orang terdiam, menyadari gravitasi situasi. Banaspati, roh api yang selama ini melindungi kerajaan dari ancaman luar, kini menunjukkan tan

    Last Updated : 2025-03-09
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 135: "CAHAYA TAKDIR: KETIKA ARTEFAK BERBICARA"

    Setelah kejadian kemarahan Banaspati, suasana di istana Gilingwesi semakin tegang. Api-api gaib telah padam, tetapi bekas-bekasnya masih terlihat di beberapa bangunan penting. Para prajurit dan penduduk lokal mulai mempertanyakan apakah kerajaan ini benar-benar akan bertahan dari badai ancaman yang datang dari dalam maupun luar.Raka, Dyah Sulastri, Rakai Wisesa, dan Resi Agung Darmaja berkumpul di ruang meditasi spiritual di sayap utara istana. Ruangan itu dipenuhi aroma dupa kemenyan, cahaya lilin yang redup, serta getaran energi artefak yang semakin kuat. Semua mata tertuju pada benda kuno itu, yang kini berada di tengah meja kecil, memancarkan cahaya redup namun intens.Angin malam berdesir pelan melalui celah-celah jendela tinggi, membawa aroma belerang yang menyengat—sebuah tanda bahwa dunia gaib semakin dekat. Suara angin itu seperti bisikan halus, seolah-olah roh-roh leluhur sedang mengamati apa yang terjadi di dalam ruangan. Getaran energi spiritual artefak yang dibawa Raka ju

    Last Updated : 2025-03-09

Latest chapter

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 220: RAKAI WISESA MENYERAHKAN TAHTA

    Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 219: Ki Jagabaya Melarikan Diri Lagi

    Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 218: Arya Kertajaya Mengambil Keputusan Akhir

    Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status